Aksa menyadari kalau kali ini dia tidak akan bisa mengelak dari pertanyaan Nenek Agni apalagi bukti sudah terpampang di depan mata.Aksa memandang pada Nenek Agni yang sudah menanti jawaban darinya.“Ya,” jawab Aksa singkat.Nenek Agni terkejut dan langsung kesal.“Bagaimana bisa kamu melakukan ini? Apa susahnya menerima Alina? Alina kurang apa? Meski tidak setara dengan kita, tapi Alina itu baik.” Nenek Agni bicara sambil menahan nada bicaranya agar tidak meledak dan didengar Alina.Nenek Agni benar-benar geram karena merasa jika Aksa hanya mempermainkan kepercayaannya dan Alina.“Jika kamu mencari yang sempurna, kamu tidak akan pernah mendapatkan itu karena tidak ada orang yang sempurna. Apa baik saja tidak cukup? Bukankah yang terpenting kebaikan hatinya? Kalau mencari yang kaya juga banyak dan gampang tapi kita sudah punya harta, lalu kamu mencari apa dari Alina sampai belum bisa menerimanya?” Nenek Agni benar-benar kecewa sampai membuang muka.Kini Nenek Agni tahu alasan Aksa tid
“Nenek bisa tidur denganku di kamar, biar Aksa tidur di depan televisi,” ucap Alina sambil tersenyum canggung karena panik. “Lebih baik seperti itu,” balas Aksa membenarkan ucapan Alina, “Nenek bisa masuk angin kalau tidur di luar,” imbuh Aksa agar Nenek Agni tidak kekeh ingin tidur di luar. Nenek Agni langsung menatap tajam pada Aksa. Baru saja tadi membahas soal alasan Aksa tidak mau tidur bersama Alina, lalu sekarang beraninya membantah. Tatapan Nenek Agni pada Aksa seperti meluncurkan kalimat ‘kamu mau membantah nenek lagi?’. Alina sudah sangat cemas. Dia melirik Aksa yang sedang menatap pada Nenek Agni. “Tidak apa-apa nenek tidur di luar. Nenek hanya tidak mau mengganggu kalian saja. Nenek di sini hanya ingin sekali-kali menginap. Pokoknya kamu jangan cemas,” ucap Nenek Agni langsung bersikap manis pada Alina. Alina bingung lalu menatap pada Aksa. Aksa tidak bisa membantah ucapan Nenek Agni, lalu akhirnya mereka menerima saja. Alina dan Aksa tidak ada akhirnya pasrah. Mer
Keesokan harinya. Alina terbangun lebih awal. Dia memandang jam dinding yang menunjukkan pukul empat pagi lalu ke jendela dan terlihat di luar masih gelap. Alina mengalihkan pandangan ke tempat Aksa duduk dan melihat pria itu tertidur dengan posisi duduk dan kedua tangan dilipat di depan dada.Alina duduk di atas ranjang, lalu menatap Aksa yang masih tidur. Ini pertama kalinya dia lihat bagaimana Aksa tidur dan pria itu benar-benar masih terlihat tampan. Alina menggeleng kepala, mencoba menyadarkan dirinya yang sejak semalam tanpa sadar terus memuji ketampanan pria itu. Ada apa dengannya?Alina akhirnya turun dari ranjang. Dia mendekat pada Aksa lalu memandang pria itu lagi. Alina bertanya-tanya, bagaimana bisa Aksa tidur dengan posisi duduk dan tidak jatuh, apa Aksa juga biasa tidur seperti ini? Ya, mungkin saja begitu.“Aksa.” Alina memanggil pelan untuk membangunkan.Alina berpikir agar Aksa tidur di ranjang, meski sebentar pasti akan lebih nyaman daripada tidur dengan posisi sepert
Setelah Nenek Agni pulang, Aksa pergi ke perusahaan seperti biasa. Ilham yang sudah menunggu Aksa, langsung ikut masuk ke ruangan atasannya itu.“Pak, Marsha sudah ditangkap karena menjual data perusahaan,” ucap Ilham melapor.Aksa tersenyum jahat, lalu membalikkan badan dan menatap Ilham.“Bagaimanapun caranya, dia harus dihukum berat,” perintah Aksa.“Anda tenang saja, semua akan berjalan sesuai dengan yang Anda inginkan,” balas Ilham.Aksa mengangguk, lalu beberapa saat kemudian ponselnya berdering. Aksa melihat nama Bams terpampang di layar.“Bagaimana?” tanya Aksa karena memberi perintah lain pada Bams.“Wanita yang menganiaya istri Anda sudah ditangkap polisi.”“Bagus, pastikan dia tidak bisa bebas!” perintah Aksa lagi.Setelah mendengar jawaban dari Bams, Aksa mengakhiri panggilan lalu menatap pada Ilham. Aksa ingin memberi pelajaran orang yang berani mengganggu istrinya, tetapi dia tidak bisa langsung ke kantor polisi karena statusnya.“Pergilah ke kantor polisi dan pastikan
Alina pulang dalam kondisi bingung, dia tidak merasa melapor, kenapa ada laporan masuk dan memang atas namanya. Dia keluar dari lift sambil menggaruk kepala tidak gatal, saat berjalan menuju unit apartemennya, Alina melihat Aksa sudah pulang.“Kamu sudah pulang? Kenapa pulang sangat awal?” tanya Alina keheranan.Aksa tidak menjawab pertanyaan Alina, dia juga tidak bertanya dari mana Alina.Alina mengedikkan kedua bahu, tidak kaget Aksa tidak menjawab.Alina dan Aksa masuk apartemen bersama, lalu Alina menceritakan yang baru saja dilakukan, tanpa menunggu Aksa bertanya.“Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Marsha sejahat itu,” ucap Alina ketika sudah duduk berdua dengan Aksa dan menceritakan masalah penangkapan wanita kemarin juga Marsha.“Aku tidak pernah membalas perbuatannya, bahkan aku berharap dia sadar. Tapi bukannya sadar, dia malah semakin menjadi-jadi. Teganya dia menyuruh orang untuk memfitnahku, masih begitu dia bersekongkol dengan pria yang entah siapa aku tidak tahu, ta
Hari berikutnya. Alina akhirnya mencoba membuka butik lagi setelah kejadian sebelumnya. Dia mencoba optimis meski ada rasa cemas juga. Ya, seperti tebakannya, hari itu butik sangat sepi, bahkan dari pagi sampai siang tidak ada orang yang masuk ke sana sama sekali. Bahkan Alina melihat beberapa orang lewat depan butiknya hanya menoleh lalu seperti berbisik-bisik, hal itu membuat Alina benar-benar merasa tidak nyaman.“Sudah, pintunya jangan dilihatin terus,” kata Kaira yang ada di sana karena mendengar kasus yang menyeret nama Alina.Alina menoleh pada Kaira sambil tersenyum. “Tidak ada.”Alina memilih mengecek laporan penjualannya, lalu melihat Kaira mendekat.“Mungkin orang-orang belum pada gajian, makanya mereka tidak belanja. Lagian pakaian di sini beberapa diantaranya dibuat secara eksklusif, jadi pastilah pembelinya orang spesial dan mungkin itu belum ada. Wajarlah kalau belum ada yang datang,” ucap Kaira dengan nada candaan.Alina tertawa mendengar ucapan Kaira. Dia tahu kalau
Dani baru saja pulang setelah seharian bekerja. Dia sudah tahu kabar Alina yang dituduh sebagai selingkuhan orang. Dani langsung menghubungi Aksa waktu itu dan mendapat informasi jika semua baik-baik saja karena Alina hanya difitnah. Dani merasa lega karena Alina mendapat suami yang tepat dan selalu melindungi.Dani sendiri sengaja tidak menemui Alina karena takut kalau kakaknya merasa sedih. Mendengar jika Aksa sudah mengatasi masalah itu, membuat Dani memilih percaya pada Aksa.“Mandilah, aku sudah pesan makanan,” ucap Karin ketika melihat Dani pulang.Dani hanya mengangguk lalu pergi ke kamar. Semenjak Alina keluar dari rumah, Karin memang tak pernah memasak karena tidak bisa. Mereka pun akhirnya setiap hari membeli makanan di luar.Setelah Dani mandi, dia dan Karin sudah duduk di meja makan untuk makan malam bersama.“Video Kak Alina yang viral waktu itu, sekarang sudah tidak ada lagi,” ucap Karin tiba-tiba membahas masalah itu, “aneh sekali sih, padahal biasanya video viral seper
Aksa diam di ruang televisi setelah makan malam. Dia menoleh pada Alina yang masih ada di dapur sedang mencuci piring. Kemarin Alina menangis sampai sembab, tetapi sekarang Alina begitu bahagia bahkan mencuci piring pun bisa sambil tersenyum.Kenapa Alina bisa cepat sekali melupakan kesedihan yang menimpa? Apa karena Alina sudah terbiasa menghadapi masalah, sehingga kejadian seperti kemarin tidak membuatnya sampai sedih berlarut-larut?Tunggu! Kenapa Aksa harus peduli?Dahi Aksa berkerut halus, dia bingung dengan pikirannya sendiri yang terkadang berubah-ubah. Dia merasa itu bukan dirinya, Aksa tidak pernah memikirkan apa pun yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Apa mungkin karena Aksa kasihan? Bisa jadi seperti itu.Aksa menolak untuk peduli, tetapi tanpa sadar dia sudah melakukan banyak hal untuk Alina. Lalu, apa sebenarnya tujuan dari yang dilakukannya itu?Saat Aksa masih diam, dia tidak sadar jika Alina ternyata sudah berdiri di hadapannya. Tentu saja hal itu
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser
Jia menatap Daniel yang sedang merapikan ranjang khusus penunggu. Dia merasa tak enak hati karena sudah merepotkan pria itu.“Kamu bisa tidur di tempat kakakmu. Aku tidak apa-apa tidur di sini sendiri, lagi pula ada perawat yang bisa aku panggil jika butuh sesuatu,” ujar Jia karena tak ingin terus menerus merepotkan Daniel.Daniel menoleh ke arah Jia, lalu dia duduk di tepian ranjang khusus penunggu seraya menatap pada Jia.“Aku sudah berjanji pada Anya untuk menjagamu, jadi aku akan tetap di sini,” ujar Daniel.Jia berbaring seraya menatap pada Daniel.“Kak Alina bilang kalau besok akan membawa Anya ke sini, jadi sekarang istirahatlah. Kamu harus terlihat baik-baik saja agar Anya tidak sedih,” ujar Daniel.Jia hanya mengangguk. Dia tidak memaksa jika memang Daniel tetap mau tinggal, meski sebenarnya Jia canggung berada di satu ruangan berdua dengan pria, terlebih dia dan Daniel tidak ada hubungan apa pun.“Selamat malam,” ucap Daniel lalu naik ke atas ranjang. Dia membaringkan tubuhn
Di rumah sakit. Daniel masih menemani Jia yang terbaring lemah. Dokter mengatakan jika tidak ada kerusakan fatal di organ dalam, sehingga Jia hanya butuh perawatan biasa sampai kondisinya benar-benar pulih.“Kamu membutuhkan sesuatu?” tanya Daniel.Jia menggeleng.Daniel sabar menemani Jia karena kondisi Jia yang masih lemas. Terdengar suara ketukan pintu kamar. Daniel menoleh dan melihat pintu kamar terbuka. Kedua orang tua Edwin ternyata datang untuk melihat kondisi Jia.Daniel segera berdiri lalu sedikit membungkuk ke arah mertua Jia, sedangkan Jia masih terbaring lemah dan hanya bisa menatap dua orang itu.“Saya keluar dulu,” ucap Daniel agar Jia dan kedua orang tua Edwin bisa bicara.Kedua orang tua Edwin mengangguk. Mereka tak menyangka jika Daniel sangat sopan, padahal sebelumnya mereka sudah menuduh jika Daniel selingkuhan Jia.“Bagaimana kondisimu?” tanya ibu Edwin setelah Daniel keluar dari ruangan itu.“Tidak baik,” jawab Jia lirih.Kedua orang tua itu saling pandang, lal
Bams menatap Naya yang hanya diam. Dia tersenyum getir, Bams yakin kalau Naya akan mundur setelah mendengar ceritanya. Inilah alasan kenapa Bams tidak pernah mau dekat dengan wanita, dia takut jika ditolak karena masa lalu dan asal usulnya yang buruk.“Sudah tahu aku hasil anak apa, hidup dan besar di mana, lalu bagaimana kejamnya aku, kan? Jika mau mundur, mundur saja.” Bams tersenyum getir lalu memalingkan muka dari Naya.Naya melihat tatapan kecewa dari mata Bams. Ya, meski dia syok, tetapi bukan berarti dia akan langsung menilai Bams buruk juga. Mungkin Naya hanya butuh memikirkan dengan matang, mempertimbangkan dengan pemikiran dingin, lalu melihat kebaikan Bams yang sekarang. Bukankah begitu?“Tidak apa, aku terima.” Bams mengusap kedua pahanya, lalu berdiri untuk kembali ke kamar. Lagi pula, untuk apa menunggu, dia sudah tahu jawabannya.Naya terkejut Bams mau pergi. Dia langsung menahan pergelangan tangan Bams.“Dih, kenapa main pergi saja?” tanya Naya seraya menatap pada Bams
Sembilan tahun lalu. “Dasar jalang sialan. Kamu bilang mau memberiku perawan, ternyata mana?” Seorang pria berbadan besar menampar wanita paruh baya hingga tersungkur di lantai. “Ta-tapi dia bilang kalau belum pernah melakukannya.” Wanita itu mencoba menjelaskan, tetapi tamparan kembali dilayangkan secara bertubi-tubi. “Sialan! Kamu hanya mencoba menipuku! Kembalikan uangku!” perintah pria itu seraya menjambak rambut wanita paruh baya itu. Saat itu, Bams yang berumur dua puluhan tahun, melihat wanita tadi dianiaya. Dia melempar barang belanjaan yang dibawanya, lantas menghampiri untuk menolong wanita yang tak lain ibunya. “Berhenti memukuli ibuku!” teriak Bams seraya menghalau tangan pria tadi memukul sang ibu. Pria itu geram karena ada yang menahannya. Dia menghempaskan tubuh Bams hingga tersungkur di lantai. “Tidak usah ikut campur, kecuali kamu mau mengganti uangku. Atau, kamu mau jadi gigolo lalu uangnya untuk mengganti uang yang sudah wanita ini ambil!” Pria itu tersenyum
Naya menuang segelas air putih, lalu menyodorkannya ke Bams.“Minum obatmu, lalu istirahat. Tidak usah memikirkan hal lainnya, lagi pula penjahatnya sudah ditangkap,” ucap Naya masih menyodorkan segelas air putih dan obat yang harus diminum Bams.Bams tak segera mengambil gelas dan obat itu. Dia malah terus memandangi wajah Naya seraya tersenyum kecil.“Apa? Kenapa menatapku seperti itu? Ini obatnya. Naya mendekatkan gelas dan obat itu agar Bams segera menerimanya.“Nay, kamu serius menyukaiku?” tanya Bams masih seperti mimpi.Naya menghela napas Bams kembali membahas itu.“Tidak, aku berkata seperti itu agar kamu cepat sembuh saja,” elak Naya.Ekspresi wajah Bams berubah. Dia mengambil obat dan segelas air putih dari tangan Naya, lantas meminum obat itu dalam sekali tenggak.Naya menahan senyum melihat Bams kesal. Pria matang ini sangat lucu ketika sedang kesal.“Aku menyukaimu, tapi jika kamu juga benar-benar menyukaiku,” ucap Naya setelah Bams selesai minum.Bams diam menatap pada