Itu, jangan lupa komentarnya seperti biasa, ya. Serius ini, kalau komennya semakin sepi, besok Desember up 3 bab aja ya, hehehehe kalau ramai, lanjut 4 bab
Suara langkah kecil itu terdengar menggema di ruang IGD rumah sakit. Suara isak dari gadis kecil berumur dua belas tahun dan sepuluh tahun itu memenuhi ruang IGD yang baru saja mereka masuki.“Sus, apa ada korban kecelakaan yang dibawa ke sini?” tanya seorang wanita berumur 30 tahunan.“Iya, satu korban kritis dan satu lagi meninggal dunia.”Jawaban perawat itu membuat gadis kecil mempererat genggaman tangannya pada tangan sang adik, sedangkan wanita yang bersama gadis kecil itu terkesiap dengan bola mata membulat lebar.Mereka diarahkan ke sebuah brankar yang terdapat di salah satu ruangan. Terlihat tubuh yang terbaring di sana dan sudah ditutup dengan kain putih.Alina kecil berlari ke brankar dan memberanikan diri membuka kain penutup tubuh yang sudah terbaring kaku di sana sehingga memperlihatkan wajah sang papa.“Papa!” teriak Alina histeris.Tangisnya semakin pecah. Dia memeluk tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa setelah sebelumnya mengalami insiden kecelakaan mobil.Dani mena
“Kamu ingat, kan? Kamu ingat bagaimana mamamu meninggal? Semua karena keluarga suamimu itu. Mamamu meninggal karena terlambat mendapat donor darah, darah yang seharusnya diberikan untuk mamamu, diambil oleh wanita itu. Wanita yang sekarang jadi mertuamu!”Alina hampir limbung mendengar ucapan sang bibi. Apa itu semua benar?“Bibi jangan mengarang cerita!” Alina mencoba mengelak meski bibirnya bergetar.“Mengarang? Kamu bilang aku mengarang? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Wanita itu mengancam dokter yang menangani kondisi mamamu. Aku lihat dua kantong darah itu diambil dari tangan perawat. Dia kaya dan punya kuasa, bahkan dokter setuju dan tidak melakukan perlawanan saat wanita itu mengambil darah yang seharusnya diberikan ke mamamu. Tebak untuk siapa darah itu? Untuk anaknya yang kini jadi suamimu!”Alina syok dengan rasa tak percaya. Saat itu sang bibi pergi untuk mengecek kenapa dokter lama mengambil darah, lalu setelahnya dia tidak tahu apa yang terjadi. Alina merasa tub
Aksa bingung dengan yang terjadi. Dia benar-benar melihat Alina yang sedang dalam kondisi begitu emosional. Aksa tidak pernah melihat Alina semarah ini.“Al, tenangkan dirimu dan kita bicara jika memang ada masalah,” ujar Aksa membujuk.Alina masih meremat rambut begitu kuat. Dia merasa bersalah dan berdosa, bagaimana bisa dia menikah dengan orang yang menjadi penyebab ibunya meninggal.Bahkan karena tak mampu mengontrol emosinya, Alina memukul perutnya sendiri sampai membuat Aksa sangat terkejut.“Al!” Aksa langsung menahan kedua tangan Alina.“Lepas!” teriak Alina memberontak.Aksa menyadari kalau Alina akan menyakiti diri sendiri. Dia masih menahan kedua tangan Alina, memeluknya dari belakang dan mengunci kedua tangan Alina agar tidak menyakiti.“Tenangkan dirimu, Al.” Aksa masih mencoba menenangkan.Alina berteriak keras diikuti suara tangis dengan jerit memilukan. Dia mencoba meronta, tetapi Aksa menahannya begitu kuat.“Biarkan aku mati saja! Biarkan aku pergi!” teriak Alina ber
Sasmita berjalan cepat menuju IGD. Dia langsung ke rumah sakit begitu mendapat kabar jika Aksa mengalami kecelakaan karena naik motor.“Bagaimana bisa Aksa naik motor, hah? Kenapa kamu mengizinkannya?!” amuk Sasmita pada sopir yang bertanggung jawab mengantar jemput Aksa.Aksa baru berumur empat belas tahun, tentu hal itu membuat Sasmita panik karena sopirnya lalai sampai Aksa naik motor sendiri dan mengalami kecelakaan.“Ma-maaf, Nyonya. Tuan Aksa kabur, saya mencarinya dan waktu menemukannya, Tuan nekat naik motor dan menabrak truk di persimpangan. Saya minta maaf.” Sopir itu ketakutan karena Sasmita mengamuknya.Sasmita ingin mengamuk tetapi sekarang dia memilih melihat kondisi Aksa lebih dulu.Nenek Agni yang juga berada di sana hanya menatap pada sopir itu lalu berjalan mengikuti Sasmita yang sudah berjalan lebih dulu.“Keluarga pasien atas nama Aksa Radjasa?” tanya perawat saat bertemu Sasmita di depan ruang pemeriksaan.“Iya benar, saya ibunya,” ucap Sasmita dengan ekspresi waj
“Kenapa tidak biarkan aku mati saja waktu itu?!” Aksa mengamuk. Matanya memerah menahan amarah dan sakit bercampur jadi satu.Sasmita diam dengan air mata yang menetes dari kelopak mata.“Tenangkan dirimu dan bicaralah baik-baik,” ujar Mirza menasihati.“Bagaimana bisa aku tenang sekarang!” Aksa menatap pada Mirza, lalu kembali bicara. “Selama ini aku tertekan. Sejak kecil aku tertekan, karena itu aku nekat naik motor temanku agar aku tidak frustasi! Sekarang, Alina seperti ini, apa aku harus tenang!”Aksa meluapkan emosi yang terasa membuncah di dada.“Dia menyalahkanku. Apa aku bisa tenang?” Aksa menatap satu persatu orang tuanya dan sang nenek. Mereka tidak pernah mengerti apa yang dirasakannya.“Mama minta maaf. Mama hanya ingin kamu selamat, semua hanya demi kebaikanmu,” ujar Sasmita menjelaskan.Aksa menatap sang nenek dan ibu bergantian, lalu bertanya, “Apa kalian sudah tahu kalau Alina adalah putri dari wanita yang kalian ambil darahnya?”Nenek Agni hanya diam, sedangkan Sasmi
Setelah tertidur beberapa jam, akhirnya Alina mulai membuka mata perlahan. Alina merasa hampa, bahkan saat bangun pun air mata masih saja terus ingin menetes dari kelopak mata.“Kamu sudah bangun.”Alina langsung menoleh saat mendengar suara itu. Jika sebelumnya senyum akan menghiasi wajahnya ketika mendengar suara Aksa, tetapi sekarang hanya ada emosi yang meluap saat melihat pria itu.“Mau apa lagi kamu? Bagaimana bisa kamu tega memberiku obat penenang, huh?!” Alina kembali mengamuk dan tidak mau didekati Aksa.Aksa bergeming di tempatnya. Dia berdiri menatap Alina yang menatapnya penuh amarah.“Aku melakukan itu hanya agar kamu tidak melukai diri sendiri,” jawab Aksa dengan begitu tenang.“Satu-satunya yang melukaiku adalah kamu!” hardik Alina penuh emosi. Dia sudah duduk dengan waspada, meskipun kepalanya masih pening. Dia tidak mau jika sampai Aksa kembali menahannya dan memberinya obat penenang seperti tadi.Alina melihat Aksa hanya diam, lalu dia kembali berkata, “Aku ingin ber
Nenek Agni dan Sasmita datang ke rumah Aksa untuk bertemu serta meminta maaf pada Alina. Saat sampai di sana, mereka hanya bertemu dengan Bams.“Di mana Aksa?” tanya Nenek Agni.“Pak Aksa di ruang kerjanya,” jawab Bams.Nenek Agni dan Sasmita pergi ke ruang kerja Aksa, di sana mereka melihat pria itu duduk sambil memegangi kepala.“Di mana Alina? Nenek dan mamamu perlu meminta maaf padanya serta menjelaskan semuanya,” ujar Nenek Agni.Aksa mengangkat kepala lalu memandang dua wanita yang berdiri di hadapannya saat ini.“Untuk apa?” tanya Aksa dengan nada datar. Tatapan matanya begitu dingin saat memandang pada Sasmita dan Nenek Agni.“Kami hanya perlu menjelaskan padanya,” jawab Nenek Agni.“Tidak perlu. Kalian tidak perlu melakukan apa pun.” Aksa melarang keduanya bertemu Alina.Sasmita menoleh pada Nenek Agni, sedangkan wanita tua itu menghela napas pelan.“Mungkin, nenek bisa membujuknya dan sedikit menasihatinya juga. Bukankah kamu tahu sendiri kalau nenek lebih dekat dengan Alina
Aksa masuk kamar membawa makanan. Dia tidak membiarkan siapa pun masuk tanpa seizin dirinya. Aksa melihat Alina duduk memeluk kedua lutut sambil bersandar di headboard seraya memandang ke jendela.“Al, makanlah dulu,” ucap Aksa sambil meletakkan nampan berisi makanan dan minuman.Alina tidak merespon ucapan Aksa. Tatapannya kosong memandang pada jendela.Aksa diam melihat Alina seperti ini. Namun, tidak ada cara selain mengurung Alina di kamar atau dia akan benar-benar kehilangan istrinya itu.“Jika kamu tidak mau makan karena marah padaku, tapi setidaknya kamu tetap makan demi janinmu.” Setelah mengatakan itu Aksa keluar dari kamar.Aksa menyadari jika Alina tidak akan pernah makan jika ada dirinya di sana.Alina menoleh saat Aksa sudah pergi. Dia melihat makanan di atas nakas, tetapi tak ada niat untuk menjamah sedikit pun makanan itu.Malam itu, pertama kalinya mereka tertidur terpisah lagi seperti pertama kali mereka baru saja menikah dulu.Aksa tidak ingin berada di kamar karena
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.
Jia dan Daniel saling pandang, sampai akhirnya Jia tersenyum lalu mengambil cangkir kopi untuk Daniel dan memberikan pada pria itu.“Minumlah,” ucap Jia.Daniel mengangguk. Dia menyesap kopi buatan Jia.Jia menatap pada Daniel yang sedang minum, hingga terbesit pertanyaan yang membuatnya penasaran.“Dan, kita sudah menjadi suami-istri, apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Jia.Daniel baru saja selesai minum. Dia menatap pada Jia, lalu meletakkan cangkir di meja.“Tanya saja,” jawab Daniel.“Jangan tersinggung, ya. Aku hanya mau tanya tanpa bermaksud apa-apa,” ujar Jia.Daniel mengangguk-angguk.“Apa penyebab kamu mandul?” tanya Jia dengan sangat hati-hati.Daniel terkejut mendengar pertanyaan Jia, tetapi dia sudah berjanji untuk menjawab.“Itu karena sperma yang dihasilkan tidak bagus, bahkan terlalu sedikit,” jawab Daniel dengan senyum getir di wajah.Jia melihat Daniel yang malu, mungkin karena jawaban itu sangat pribadi untuk Daniel. Namun, mereka sudah suami istri, sudah sewajar
Acara pernikahan Jia dan Daniel diadakan sederhana bersama keluarga. “Mama, dedeknya kok belum bisa main baleng? Kan sudah besal ini?” tanya Arlo seraya menunjuk pada anak Kaira.Alina dan Kaira menoleh bersamaan mendengar suara aduan Arlo. Mereka memandang pada anak Kaira yang ada di stroller.“Dek Disya belum bisa kalau lari-lari, terus sekarang Dek Disya ngantuk. Tuh lagi minum susu,” ujar Kaira menjelaskan karena putrinya anteng seraya minum susu dari dot.“Ah, nggak asyik. Padahal Alo mau main sama dedek. Nanti kalau dedeknya Alo kelual, pokoknya halus main, nggak boleh bobok.” Setelah mengatakan itu, Arlo berlari menyusul Anya yang sedang bermain ayunan.Alina dan Kaira sampai terkejut bersamaan, dua wanita itu sampai menggeleng pelan dengan tingkah Arlo.“Lama-lama sifat anak itu seperti ayahnya. Kalau menginginkan sesuatu, harus didapat. Keras kepala dan susah sekali diaturnya,” ucap Kaira.“Nunggu punya pawang,” balas Alina.“Dih, sekecil itu. Kayaknya kamu harus ekstra saba
Saat malam hari. Arlo berada di kamar bersama Alina dan Aksa. Alina memang selalu berusaha menemani Arlo sebelum tidur, agar putranya tidak merasa kesepian atau terabaikan.“Ini dedeknya?” tanya Arlo saat melihat foto USG yang Alina berikan.“Iya,” jawab Alina.“Kok kecil sekali?” tanya Arlo seraya mengamati foto USG itu.Aksa dan Alina menahan senyum.“Iya, kan masih di dalam perut. Kalau nanti sudah keluar, dedeknya bisa besar kayak Arlo,” jawab Alina menjelaskan.Arlo mengangguk-angguk. Lalu tangan mungilnya menyentuh perut Alina.“Dedek cepat keluar, ya. Biar bisa main sama Alo.” Setelah mengatakan itu, Arlo mencium perut Alina.Alina dan Aksa saling pandang dengan seulas senyum di wajah. Mereka bersyukur karena Arlo menerima kehamilan itu dan tidak iri sama sekali.“Sekarang tidur, ya.” Alina menarik selimut. Dia dan Aksa mau berbaring di samping Arlo.“Alo mau bobok sendili,” ucap Arlo.Alina terkejut, tetapi menjelaskan, “Iya, nanti bobok sendiri. Sekarang biarkan mama dan Papa
Aksa mengantar Alina ke rumah sakit. Dia memang meluangkan waktu menemani Alina memeriksakan kandungan karena tak mau melewatkan momen melihat tumbuh kembang calon bayi mereka.“Janinnya tumbuh sangat baik. Berat dan ukurannya sangat pas dengan usianya, jenis kelaminnya--” Dokter ingin menyebutkan jenis kelamin janin Alina, tetapi langsung dicegah.“Jangan sebutkan, Dok. Biar menjadi kejutan,” potong Alina.“Padahal aku mau tahu, Al.” Aksa sudah semangat menunggu, tetapi Alina malah menolak.“Tidak usah, pokoknya biar kejutan,” kekeh Alina.Aksa melirik pada dokter yang tersenyum.“Baiklah, saya tidak akan menyebutkan jenis kelaminnya,” ujar dokter itu.Aksa menatap kecewa pada Alina, padahal dia sudah sangat antusias.Alina hanya menahan senyum melihat suaminya kecewa.“Ingat ya, Bu Alina. Makan apa pun yang Anda mau, tidak usah memantang apa pun, selama yang dimakan bagus untuk pertumbuhan janin. Mungkin makanan kemasan, beralkohol, dan fast food saja yang saya larang,” ujar dokter p