“Hari ini tidak ke perusahaan. Apa kamu mau jalan-jalan atau pergi ke suatu tempat?” tanya Aksa sambil memperhatikan Alina yang sedang membereskan ranjang.“Mau ke mana, tanganmu saja sedang sakit,” balas Alina.Alina menoleh pada Aksa, lalu berjalan menghampiri suaminya yang duduk di sofa. Dia menatap lengan Aksa, lalu berkata, “Nanti kalau lenganmu sudah sembuh, bukankah kamu janji mau mengajakku jalan-jalan?”“Iya, memang,” balas Aksa, “tapi sekarang juga bisa, barangkali kamu bosan di rumah dan ingin jalan-jalan.”Alina menggeleng pelan. Dia mengambil buku sketsanya yang ada di bawah meja.“Aku ada pekerjaan, jadi lebih baik menyelesaikannya lebih dulu. Tahun depan aku juga menerima undangan untuk acara fashion show di Paris untuk desain baju musim semi. Huf … sepertinya pekerjaanku makin banyak,” ucap Alina seraya fokus pada buku sketsanya.Aksa menatap pada Alina yang siap menggoreskan pensil di buku sketsa.“Kamu sangat suka menjadi desainer sekarang?” tanya Aksa seraya meletak
“Kakakmu sudah yakin ingin tinggal di sini, apa kamu juga mau pindah ke sini lagi?” tanya Restu saat duduk bersama Daniel.Daniel diam. Dia menatap sang paman yang menunggu jawaban darinya.“Aku belum memikirkannya,” balas Daniel lalu menyesap teh buatan sang paman.Restu mencondongkan tubuh ke depan, menggunakan kedua lengan yang bertumpu di lutut untuk menyangga tubuhnya.“Apa kamu tidak bisa tinggal di sini karena takut teringat mantan istrimu?” tanya Restu menebak.Daniel terkejut, tetapi sedetik kemudian tersenyum getir.“Tidak, untuk apa memikirkannya,” jawab Daniel, “aku sudah tidak peduli lagi dengannya. Apalagi sejak tahu kalau dia selama ini membenci Kak Alina, wanita tak tahu diri yang tak tahu terima kasih, untuk apa aku ingat, Paman.”Daniel sudah melupakan Karin. Pergi ke rumah lamanya waktu itu pun karena ingin mengingat rumah yang dia bangun bersama sang kakak. Andai tidak ada kenangan bersama Karin di sana, mungkin Daniel mau menempatinya lagi.“Baguslah. Kamu memang h
Daniel tidak senang melihat seorang wanita mendapat kekerasan seperti ini. Apalagi lebam di rahang Jia begitu kentara, menandakan jika wanita itu benar-benar mengalami kekerasan. “Jika suamimu masih kasar, kenapa tidak kamu laporkan saja?” tanya Daniel. Bukan maksud ingin ikut campur, hanya saja dia memang tidak bisa melihat wanita teraniaya. “Ini bukan apa-apa, bukan masalah besar,” ucap Jia mencoba menghindari tatapan Daniel. Daniel menghela napas pelan. Dia masih menatap pada Jia, bertanya-tanya kenapa Jia harus bertahan atau menyembunyikan masalah kekerasan itu, jika memang suaminya tidak baik. Apa yang Jia takutkan? “Mama nangis karena Papa jahat.” Daniel terkejut. Dia menoleh dan melihat Anya turun dari mobil. “Anya.” Jia juga terkejut karena Anya tiba-tiba keluar dari mobil. Anya berjalan menghampiri Daniel. Dia menggenggam satu tangan pria itu. “Paman apa bisa bantu agar Mama tidak dipukuli Papa lagi? Papa jahat, Paman. Dia kalau pulang, pasti mukulin Mama.” A
Alina langsung menghampiri Daniel. Dia kaget melihat wajah sang adik penuh lebam, apalagi kemeja yang dipakai adiknya itu ada bercak darah.“Kamu kenapa? Berantem?” tanya Alina begitu cemas. Dia sampai memegang dagu Daniel untuk memeriksa luka di wajah Daniel.“Aku baik-baik saja. Kak Alina tidak perlu cemas,” jawab Daniel.“Tidak apa-apa bagaimana maksudnya, huh? Lihat wajahmu, bahkan pipimu begitu biru.” Alina kesal karena Daniel terlihat santai saja.Alina menarik tangan Daniel, mengajaknya masuk rumah untuk diobati.Arlo mengikuti Alina, Aksa ikut masuk menyusul Alina dan Daniel.Daniel duduk bersama Aksa selagi Alina mengambil kotak obat. Aksa memperhatikan wajah Daniel yang terluka.“Siapa yang menghajarmu?” tanya Aksa menyelidik.Daniel menatap pada sang kakak ipar. Dia menggeleng pelan seraya menggerakkan rahang yang terasa sakit.“Katakan saja, daripada kakakmu mengomel tujuh hari tujuh malam. Tidak mungkin tiba-tiba ada orang tak dikenal yang menghajarmu, kan? Apalagi kamu
Daniel menatap Aksa dan Alina bergantian, lalu bertanya, “Kalian kenal Jia?”Alina menoleh pada Aksa. Suaminya itu langsung mengambil ponsel di meja, lalu menghubungi seseorang.Aksa menghubungi Ilham, tentu saja Ilham yang lebih banyak memiliki informasi soal orang-orang yang pernah berhubungan dengan Aksa.“Halo, Pak.” Suara Ilham terdengar dari seberang panggilan.“Apa kamu tahu informasi soal Jia?” tanya Aksa.Alina dan Daniel diam memperhatikan Aksa yang sedang bicara di telepon.“Jia? Jia Alexander?” tanya Ilham dari seberang panggilan.“Ya, mungkin itu. Aku mau tanya, apa Jia memiliki putri bernama Anya?” tanya Aksa kemudian.“Iya, Bu Jia memang anaknya bernama Anya. Kenapa Anda tiba-tiba menanyakan soal Jia?” Aksa langsung menatap pada Alina dan Daniel, ternyata tebakannya benar kalau Jia yanga Daniel maksud adalah Jia yang dikenalnya.“Carikan informasi lengkap soal Jia. Termasuk informasi soal suaminya,” perintah Aksa.Setelah mendengar balasan dari Ilham. Aksa mengakhiri p
Bams dan Naya baru saja pulang setelah jalan-jalan. Keduanya sudah turun dari mobil dan hendak pergi ke paviliun.“Kuharap kamu tidak menjauhiku karena menganggap aku ini menyeramkan,” ucap Bams saat mereka berjalan bersama.Naya terkejut. Dia langsung menoleh pada Bams.“Tidak. Aku juga tidak tahu apa-apa, jadi aku anggap itu hanya informasi pribadi tentangmu yang tidak perlu dikorek,” balas Naya memang tidak melanjutkan pembahasan soal siapa Bams sebenarnya.Bams mengangguk-angguk pelan.“Kakak Naya dali mana?” Naya dan Bams menghentikan langkah ketika mendengar suara Arlo. Mereka melihat bocah itu sudah berdiri di depan mereka sedang memegang bola.“Baru dari luar, Arlo main sendirian?” tanya Naya keheranan. Tidak biasanya Alina membiarkan Arlo bermain sendiri.“Iya, Alo main sendili,” jawab Arlo, “soalnya Mama lagi ngobatin wajahnya Paman Daniel. Wajahnya melah-melah.”Naya mengerutkan alis, begitu juga dengan Bams yang keheranan. Merah-merah bagaimana maksudnya?Mereka memilih m
Naya melihat Daniel yang duduk sendirian di teras. Dia pun berjalan menghampiri pria itu. “Bagaimana lukamu?” tanya Naya sambil duduk di kursi yang bersebelahan dengan Daniel. Daniel menoleh pada Naya, lalu menjawab, “Tidak terlalu parah.” Naya memperhatikan wajah Daniel yang penuh lebam. “Kamu tidak melaporkan pengeroyokan ini ke polisi?” tanya Naya. “Tidak,” jawab Daniel. “Kenapa?” tanya Naya keheranan. “Aku sedang memikirkan konsekuensi yang didapat, jika gegabah melapor,” jawab Daniel. Dahi Naya berkerut. “Mereka itu hanya orang suruhan, jika aku lapor, maka yang akan ditangkap hanya mereka dan aku yakin orang yang membayar mereka akan mengelak serta membungkam mereka untuk tak bicara. Lalu, setelah aku melaporkan kasus ini, wanita itu pasti akan semakin menderita. Aku yakin kalau suami wanita itu akan semakin menyiksa karena tahu jika aku akan melawannya,” ujar Daniel menceritakan pemikirannya panjang lebar. Naya diam sejenak, mencoba mencerna maksud ucapan Daniel. Sampa
Daniel berada di rumah. Dia ingin mengabaikan masalah Jia, tetapi entah kenapa tidak bisa karena dalam masalah ini, bukan hanya Jia yang menjadi korban, tetapi juga Anya.Tiba-tiba saja Daniel cemas, apakah Jia dan Anya baik-baik saja?“Anya tahu cara menggunakan ponsel, kan?”Daniel tiba-tiba cemas, apalagi Anya masih kecil dan besar kemungkinan belum dikenalkan dengan ponsel.Daniel memandangi ponselnya. Harusnya dia meminta nomor ponsel Jia, kan? Ah, entahlah. Dia mendadak gelisah.Saat Daniel masih diam dengan kecemasan berlebihannya, ponselnya tiba-tiba berdering. Daniel menatap nomor tak dikenal pada layar ponsel, lalu berpikir mungkinkah ini Anya?Daniel segera menjawab panggilan itu.Di sisi lain, Anya ada di kamar karena ketakutan, dia memegang ponsel yang menempel di telinga."Halo."Anya mendengar suara dari seberang panggilan."Paman Daniel." Anya bicara dengan suara gemetar."Anya, ini Anya, kan?"Anya mendengar suara Daniel, lalu berkata, "Paman, Papa datang dan mukul Ma
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser
Jia menatap Daniel yang sedang merapikan ranjang khusus penunggu. Dia merasa tak enak hati karena sudah merepotkan pria itu.“Kamu bisa tidur di tempat kakakmu. Aku tidak apa-apa tidur di sini sendiri, lagi pula ada perawat yang bisa aku panggil jika butuh sesuatu,” ujar Jia karena tak ingin terus menerus merepotkan Daniel.Daniel menoleh ke arah Jia, lalu dia duduk di tepian ranjang khusus penunggu seraya menatap pada Jia.“Aku sudah berjanji pada Anya untuk menjagamu, jadi aku akan tetap di sini,” ujar Daniel.Jia berbaring seraya menatap pada Daniel.“Kak Alina bilang kalau besok akan membawa Anya ke sini, jadi sekarang istirahatlah. Kamu harus terlihat baik-baik saja agar Anya tidak sedih,” ujar Daniel.Jia hanya mengangguk. Dia tidak memaksa jika memang Daniel tetap mau tinggal, meski sebenarnya Jia canggung berada di satu ruangan berdua dengan pria, terlebih dia dan Daniel tidak ada hubungan apa pun.“Selamat malam,” ucap Daniel lalu naik ke atas ranjang. Dia membaringkan tubuhn
Di rumah sakit. Daniel masih menemani Jia yang terbaring lemah. Dokter mengatakan jika tidak ada kerusakan fatal di organ dalam, sehingga Jia hanya butuh perawatan biasa sampai kondisinya benar-benar pulih.“Kamu membutuhkan sesuatu?” tanya Daniel.Jia menggeleng.Daniel sabar menemani Jia karena kondisi Jia yang masih lemas. Terdengar suara ketukan pintu kamar. Daniel menoleh dan melihat pintu kamar terbuka. Kedua orang tua Edwin ternyata datang untuk melihat kondisi Jia.Daniel segera berdiri lalu sedikit membungkuk ke arah mertua Jia, sedangkan Jia masih terbaring lemah dan hanya bisa menatap dua orang itu.“Saya keluar dulu,” ucap Daniel agar Jia dan kedua orang tua Edwin bisa bicara.Kedua orang tua Edwin mengangguk. Mereka tak menyangka jika Daniel sangat sopan, padahal sebelumnya mereka sudah menuduh jika Daniel selingkuhan Jia.“Bagaimana kondisimu?” tanya ibu Edwin setelah Daniel keluar dari ruangan itu.“Tidak baik,” jawab Jia lirih.Kedua orang tua itu saling pandang, lal
Bams menatap Naya yang hanya diam. Dia tersenyum getir, Bams yakin kalau Naya akan mundur setelah mendengar ceritanya. Inilah alasan kenapa Bams tidak pernah mau dekat dengan wanita, dia takut jika ditolak karena masa lalu dan asal usulnya yang buruk.“Sudah tahu aku hasil anak apa, hidup dan besar di mana, lalu bagaimana kejamnya aku, kan? Jika mau mundur, mundur saja.” Bams tersenyum getir lalu memalingkan muka dari Naya.Naya melihat tatapan kecewa dari mata Bams. Ya, meski dia syok, tetapi bukan berarti dia akan langsung menilai Bams buruk juga. Mungkin Naya hanya butuh memikirkan dengan matang, mempertimbangkan dengan pemikiran dingin, lalu melihat kebaikan Bams yang sekarang. Bukankah begitu?“Tidak apa, aku terima.” Bams mengusap kedua pahanya, lalu berdiri untuk kembali ke kamar. Lagi pula, untuk apa menunggu, dia sudah tahu jawabannya.Naya terkejut Bams mau pergi. Dia langsung menahan pergelangan tangan Bams.“Dih, kenapa main pergi saja?” tanya Naya seraya menatap pada Bams
Sembilan tahun lalu. “Dasar jalang sialan. Kamu bilang mau memberiku perawan, ternyata mana?” Seorang pria berbadan besar menampar wanita paruh baya hingga tersungkur di lantai. “Ta-tapi dia bilang kalau belum pernah melakukannya.” Wanita itu mencoba menjelaskan, tetapi tamparan kembali dilayangkan secara bertubi-tubi. “Sialan! Kamu hanya mencoba menipuku! Kembalikan uangku!” perintah pria itu seraya menjambak rambut wanita paruh baya itu. Saat itu, Bams yang berumur dua puluhan tahun, melihat wanita tadi dianiaya. Dia melempar barang belanjaan yang dibawanya, lantas menghampiri untuk menolong wanita yang tak lain ibunya. “Berhenti memukuli ibuku!” teriak Bams seraya menghalau tangan pria tadi memukul sang ibu. Pria itu geram karena ada yang menahannya. Dia menghempaskan tubuh Bams hingga tersungkur di lantai. “Tidak usah ikut campur, kecuali kamu mau mengganti uangku. Atau, kamu mau jadi gigolo lalu uangnya untuk mengganti uang yang sudah wanita ini ambil!” Pria itu tersenyum