Tiffara harus menyembunyikan trauma karena perkosaan itu dari Bagas kakaknya. Dia tidak mau kemarahan Bagas tak terkendalikan, dan akan berbuat nekat. Dia tidak mau kakaknya tersangkut hukum dan membuatnya masuk bui. Dia juga tidak mau hidup sendiri di rumah sebesar itu. Hanya bersama dua orang pembantu tentu rasanya tetap berbeda. Hidupnya sudah kesepian bila Bagas sedang sibuk di kantornya. Akan lebih kesepian lagi bila membayangkan dia hidup di bui untuk jangka waktu yang tidak sebentar. Tiffa tidak ingin itu semua terjadi. Satu-satunya teman hidupnya sejak kecil adalah kakaknya seorang, yaitu Bagas.
Berhari-hari Tiffa tidak berani keluar kamar, hatinya begitu hancur bila mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.
"Mbok Darsih, mana Tiffa? Dia tidak sekolah kok belum keluar kamar? Suruh dia keluar dan sarapan!" titah Bagas.
"Iya Mas." Jawab Darsih.
Bergegas Darsih menapaki tangga pergi ke lantai dua menuju kamar Tiffa.
"Mbak Tiffa?" panggil Darsih sambil mengetuk pintu kamar Tiffa. "Ditunggu Mas Bagas di meja makan, Mbak Tiffa."
"Iya Mbok." Jawabnya dari dalam kamar.
Tak berapa lama kemudian Tiffara sudah keluar kamar dengan seragam sekolahnya. Dia menuruni tangga dengan murungnya.
"Sini sayang kita sarapan, kamu masih masuk sekolah, bukankah ujiannya sudah selesai?" tanya Bagas sambil menatap Intens wajah Tiffara.
"Aku mau menemui guru BP masalah jalur kuliah mandiri, Mas. Aku jalur PMDK tidak masuk." Ujar Tiffara sedih.
"Udah jalur apa saja tidak masalah, yang penting sesuai dengan keinginanmu. Jangan pikirkan masalah beaya, untuk kamu apapun mas lakukan." Ujar Bagas memberi semangat.
"Percaya....kakakku adalah jiwaku!" sahut Tiffara sambil tersenyum bangga.
"Aku lihat sejak beberapa hari ini kamu kelihatan murung dan lemas, apakah kamu sakit?" tanya Bagas menyelidik.
"Tidak mas, aku lagi kurang tidur, tiap malam bermain hp sampai pagi." Jawabnya berbohong.
"Selamat pagi.....!" teriak tamu yang tiba-tiba nyelonong masuk.
"Diva sayang, pagi sekali? Sarapan belum? Ayo duduklah kita sarapan!" sambut Bagas.
"Tiffa, sudah pengumuman ujian belum?" tanya Diva kepada Tiffa.
"Belum Mbak, tanggal 15." Jawabnya datar.
"Rencana melanjutkan kemana, Tiffa?" tanyanya kemudian.
"Belum tahu mbak." Jawabnya tetap datar.
"Gara-gara merebutkan wanita macam kamu, aku jadi korban pemerkosaan. Kalau memang dulu kamu pacaran sama Ahem, kenapa nikung ke kakakku? Dasar wanita tidak setia!" umpatnya dalam hati.
"Sarapanlah sayang!" tawar Bagas kepada Diva.
"Sarapannya apa nih, ada nasgor dan roti? Coba nasi goreng aja deh!" ujarnya sambil menyendoknya ke piring.
"Mbok Darsih, ada ketimun tidak?" teriak Diva.
"Ada Non!" Jawab Mbok Darsih berteriak dari dapur.
Dret...
Dret...
Dret...
Ponsel Diva di atas meja bergetar. Bagas dan Diva bersamaan memandang layar ponsel yang tampak profil Ahem.
"Ahem!" pekik Diva.
Sontak membuat Tiffara terbelalak, bayangan kejadian sore itu terpampang jelas. Ada rasa jijik dan muak. Tangannya mengepal kuat dan rahangnya mengeras menahan dendam dan sakit.
"Angkat saja!" perintah Bagas.
"Ih males, si anak mama ...anak manja, ngapain sih?" gumam Diva pura-pura acuh.
"Ayolah, kamu speaker, aku ingin tahu apa maunya?" pinta Bagas.
Dan Diva menurut apa kata Bagas. Akhirnya telepon itu diangkat on speaker. Sehingga bukan saja Bagas, Tiffa pun bisa mendengarnya.
"Halo sayang?" sapa Ahem saat telepon diangkat. "Aku jemput ya, ada yang ingin aku bicarakan sama kamu!" lanjutnya.
"Aku sudah berangkat, ini aku mampir ke rumah Mas Bagas. Mau bicara apa sih? Nanti kita kan ketemu di kampus, kita bisa bicara nanti!" kata Diva memberi harapan.
"Ya udah aku tunggu di kampus, cepet datang ya....aku merindukanmu!" bisiknya menggoda.
"Gombal! Bukankah aku sekarang kekasih Bagas, kok kamu masih berani sih menggoda aku?" kata Diva menggoda Ahem, untuk memanasi Bagas yang ada di sampingnya agar cemburu.
"Aku yakin suatu saat, pasti kamu akan bertekuk lutut memohon cintaku. Da....sayaang ku tunggu di kaampus!" Katanya menggoda dan menutup teleponnya.
Tiffara semakin sakit hati melihat sandiwara yang ada di depan matanya. Karena dia lah satu-satunya gadis yang menderita sebagai korban pelampiasan pertarungan mereka berdua.
"Jangan sampai kamu CLBK. Udah tidak usah digubris, bikin cemburu saja! Ngapain sih kamu masih ngasih hati ke dia? Awas kalau kalian bermain di belakang aku!" ancam Bagas.
"Ih cemburu ya? Jangan khawatir sayang!" rayu Diva. "Mbok Darsih....lama sekali sih timunnya!" lanjutnya berteriak.
Tiffara memandang tingkah Diva yang sok kuasa di rumahnya. Dia memandang dengan tajam dan dingin. Apalagi bila mengingat Ahem melakukan itu pada dirinya, karena sakit hatinya pada Diva dan Bagas.
"Ini non timunnya! Sudah saya bersihkan sekalian." Kata Darsih tergopoh-gopoh.
"Ya iyalah mbok dibersihkan sekalian, masak aku yang harus membersihkan sendiri. Lain kali kalau nasi goreng itu harus disiapin juga timunnya!" Usulnya agak ketus.
"Aku dan Mas Bagas tidak suka mentimun Mbak. Mbok Darsih tahu itu..." Sahut Tiffa ketus dan memandang sinis Diva.
Bagas terkejut melihat adiknya dengan sikap dingin dan juteknya. Padahal sebelumnya sikapnya ke Diva baik-baik saja.
"Mas Bagas, aku berangkat duluan!" pamitnya beranjak pergi.
"Tiffa, kamu tidak bareng Mas Bagas?" Teriaknya sambil memandang punggung Tiffa yang semakin menjauh dan hilang.
***
Ini hari Ahem di wisuda, papa dan mamanya mendampinginya. Dia lulus dengan nilai tertinggi bahkan Cumlaude. Abidin dan Titin sangat bahagia dan bangga, bahkan dia sudah terdaftar di Universitas terkenal di London.
"Kita harus merayakannya ma, aku akan undang sahabat ku dan teman-teman mu, Ahem!" titah Abidin.
"Ya terserah papa deh, bagaimana menurutmu Ahem?" tanya Titin pasrah.
"Iya ma, aku juga terserah papa deh." Jawab Ahem.
Mereka berjalan beriringan masuk mobil. Ahem mulai melepas toganya dan masuk menyetir mobil. Sedang di sampingnya Abidin, ayahnya. Titin duduk di bangku belakang.
Bila teringat tadi, Ahem sangat kesal dan sakit hati. Saat melihat Diva didampingi kedua orang tuanya dan Bagas juga mendampingi wisudanya. Ahem mengambil jurusan Fak. Ekonomi, sedang Diva jurusan Hukum. Ahem hanya bisa memandangnya dari jauh.
"Kenapa hanya untuk mendekatinya saja aku tidak bisa, hari ini kamu tampak cantik." Pikirnya dalam hati.
Dia terus melamun sambil menyetir, teringat juga bahwa dia harus segera pergi meninggalkan Indonesia. Kalau tidak, masalahnya dengan Tiffa akan terkuak.
Seorang nenek sedang menyeberang jalan, pandangan sang nenek telah kabur, sehingga ada mobil melaju kencang dia tidak kelihatan. Tiffara yang menyadari nenek itu dalam bahaya, dia spontan berlari dan mendorong nenek itu sampai jatuh tersungkur di pinggir jalan raya, dan Tiffa...
"Aaaaaagh!" Tiffa terserempet dan berguling diatas aspal.
"Ahem, apa yang kamu lakukan, kamu melamun ya?" tanya Titin panik.
"Astaga, aku menabrak orang ma?" pekiknya menyesal.
"Ayo kita segera turun, kita tolong dia!" ajak Titin.
"Yah bepergian sama mama, pasti bisa ditebak akan berakhir seperti ini. Coba kalau aku sendirian, pasti udah kabur! Ngapain juga harus ditolong, salah dia sendiri dong!" lanjutnya menggerutu dalam hati.
"Nenek, apakah nenek terluka?" tanya Titin, dan Ahem serta Abidin berdiri di belakangnya.
"Saya tidak apa-apa Nyonya, gadis itu menolong saya, pasti dia yang terluka." Jawab nenek itu sambil menunjuk kerumunan orang.
"Kok di kerumuni orang, jangan-jangan dia...."Kata Ahem penasaran.
Ahem berlari menghampirinya, demikian juga dengan Titin dan Abidin. Perlahan Ahem menyentuh lengannya sambil memanggil,
"Mbak...mbak, kamu baik-baik saja kan?"
"Titin segera menghampirinya dan meraih tubuh gadis itu dan menyibakkan rambut yang menutupi wajahnya. Begitu rambut tersibak, wajah gadis yang tak asing lagi itu tampak jelas.
"Tiffara?" pekik Titin berteriak. "Tiffa...bangun sayang!" lanjutnya membangunkan.
"Waduh dia lagi, kenapa sih harus ketemu dia lagi. Mampus aku kalau Bagas sampai tahu, aku sudah memperkosanya, sekarang malah menabraknya. Mimpi apa aku semalam? Kenapa harus ketemu dia lagi sih?" gerutunya dalam hati.
"Ahem, kok bengong sih, ayo angkat dia ke mobil, kita bawa dia ke rumah sakit!" perintah Titin ketus.
"Iya ma." Jawabnya tegas.
Ahem yang perkasa dengan mudahnya mengangkat tubuh mungil Tiffara. Titin berlarian membukakan pintu mobil di bangku belakang. Titin segera duduk dibangku belakang dan kepala Tiffara berada di pangkuannya.
"Ayo segera masuk, cepat kita bawa dia rumah sakit!" pinta Titin.
Ahem dan Abidin segera mengambil tempat duduk dan Abidin meminta dia yang menyetir, karena dia melihat Ahem nampak tidak tenang.
Mobil pun melaju menuju rumah sakit kota. Kini mobil itu sudah sampai di depan pintu masuk IGD.
"Dokter...suster tolong!" teriak Ahem dari depan pintu masuk.
Dua orang perawat datang membawa brankar dan menghampiri mobil Ahem. Perlahan Ahem mengangkat tubuh mungil itu memindahkan ke atas brankar. Kemudian membawanya ke ruang periksa dokter.
"Semua tunggu diluar dulu ya Bu!" pinta perawat, kemudian menutup pintunya.
Di dalam dokter sedang memeriksa dengan intensif. Tiga puluh menit kemudian dokter keluar.
"Dokter bagaimana keadaan putri kami?" tanya Titin kepada dokter.
"Mari kita masuk!" ajak dokter.
Ahem dan kedua orangtuanya masuk mengikuti dokter.
"Bagaimana keadaannya dokter? Bagaimana dia masih belum juga sadar? Apakah lukanya parah?" tanya Ahem khawatir, dia membayangkan bagaimana mungkin Bagas bisa menerima semua ini?
"Bun, ini putrinya mengalami benturan yang sangat kuat. Untungnya dia tidak sampai luka berat di kepalanya. Hanya luka-luka lecet di muka dan tangannya. Mungkin untuk beberapa saat dia belum sadar. Tapi semua baik-baik saja. Yang lebih penting lagi kandungannya aman." Dokter menjelaskan.
"Apa?" pekik ketiga orang itu hampir bersamaan.
"Jadi, putri kami sedang hamil dokter?" tanya Titin tak percaya.
"Kalian semua belum tahu? Kehamilannya sudah masuk tujuh Minggu. Nanti selanjutnya dokter kandungan Prita yang akan memeriksa. Bayinya sehat, detak jantungnya sangat bagus. Kayaknya kembar deh Mas, tapi untuk memastikannya dengan dokter Prita saja ya?" titah dokter.
"Cucu kita Pa......cucu kita kembar pa...?" pekik Titin menangis bahagia.
'Semoga dia dan bayinya baik-baik saja, ma!" Abidin menimpali dengan perasaannya yang tak kalah bahagianya dengan Titin.
"Waduh gimana ini, berarti mau tidak mau aku harus menikahinya. Tapi dia adiknya Bagas. Pasti ini pukulan berat buat Bagas. Apakah aku senang dan puas dengan berita ini, karena aku bisa menghancurkan Bagas? Apa yang dipikirkan dia nanti bila mengetahui adiknya hamil karena aku, dan bahkan sekarang keadaannya seperti ini karena aku tabrak." Pikir Ahem gundah dan gelisah. "Padahal kita sedang bersayembara untuk mendapatkan cintanya Diva." Lanjutnya.
Apa yang akan terjadi bila Bagas mengetahui semua ini? Akankah Ahem menikahi Tiffara?
Bersambung.....
Ahem duduk termenung, didekat ranjang Tiffa terbaring. Dia memandang tajam gadis yang tergolek tak berdaya di depan matanya. "Kamu cantik sekali, imut....tapi sama sekali kamu bukan tipe aku. Diva lah tipe aku, dia tinggi, sintal bak gitar Spanyol putih dan cantik. Tapi kakakmu merebutnya dariku. Aku sudah dua tahun berpacaran, tapi dia berani menggodanya." Pikirnya dalam hati. Ahem sendirian, papa dan mamanya keluar untuk mencari makan malam, setelah sejak siang berada di rumah sakit. Dia juga berpamitan pulang untuk mandi dan mengambilkan baju buat Tiffara. Titin berpesan untuk secepatnya mengabari kakaknya tentang keadaan Tiffara. Tapi dia ragu, membayangkan amukan Bagas apalagi situasi di rumah sakit membuatnya berulang-ulang berpikir. Berkali-kali ponsel Tiffara berdering dari Bagas, pasti dia sangat mengkhawatirkannya. "Bagaimana aku menceritakan k
Entah apa yang sedang Ahem pikirkan, yang jelas keadaan membuatnya harus menikahi Tiffara. Sekalipun hatinya tak pernah bisa berpaling dari Diva. Selain itu dia sedang memikirkan bayi kembar yang sedang dalam kandungan Tiffara. Dia tidak ingin bayinya lahir tanpa status yang jelas. Berbeda dengan Abidin yang menginginkan Ahem menikah dengan Dania, anak dari Handoko sahabat bisnisnya. Seolah rencana itu tak akan pernah padam sebelum kesampaian. Dania anak tunggal dan perusahaan papanya hampir menyebar ke seluruh Indonesia. Ujung-ujungnya tetap karena harta dan tahta membuat Abidin kekeh dengan perjodohannya. Bagas sebagai kakak sekaligus orangtua buat Tiffara selalu menginginkan yang terbaik. Ternyata Tiffara sendiri berubah pikiran, dia bersedia menikah dan menunda kuliahnya demi kelahiran sang buah hatinya. Sebenarnya Bagas ragu dengan keputusan Tiffara, tapi apa boleh buat dia sendiri berubah
Ahem dengan gugup dan malu menanggalkan gaun penganten dengan hati-hati. Takut kalau-kalau tiba-tiba Tiffara tersadar dan berontak, maka dia akan mendapat malu. Setelah gaun itu berhasil dilepasnya, kini dia mendapati baju korset yang sangat banyak dan berbaris kancingnya. Dia semakin gugup, bagaimana dia harus dengan hati-hati dan membutuhkan waktu yang lama untuk membukanya. "Apaan ini? Bagaimana aku terjebak dengan keadaan seperti ini? Mama, aku benci situasi ini!" pekiknya dalam hati. Ahem terpaksa dengan telaten membuka satu persatu kancing korsetnya. "Ini harus dilepas dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas ya? Kalau dari atas nanti bukit kembarnya nampak duluan." Pikirnya sambil cengar-cengir sendirian. "Atau dari bawah aja duluan ya. Duh rumit juga sih baju wanita, kenapa aku harus malu, dia kan udah halal." Pikirnya dalam hati. "Ah tidak meskipun dia istriku aku tidak mu
Ahem masih menunggu jawaban dari Tiffara, dia memandang penuh selidik. Karena Tiffara masih diam, Ahem merasa kalau dia keberatan kalau Ahem mengantar Diva pulang. Membayangkan wanita sedang mabuk di Club malam sendirian khawatir juga. Takut lelaki iseng akan mejebaknya dan memperkosanya. Akhirnya dengan berat hati Ahem menutup pintu kamar begitu mereka berdua sudah masuk. "Pergilah, kasihan Mbak Diva dalam bahaya, malam-malam seperti ini berada di luar sendirian!" Tiffara memberi izin. "Kamu yakin?" tanya Ahem ragu. "Cepat antar dia pulang! Aku menunggumu disini!" ujarnya pelan dan berat. Ternyata rasa kemanusiaannya mengalahkan egonya. Itu semua karena kebaikan hati nurani Tiffara. "Aku berjanji secepatnya kembali!" janji Ahem. Akhirnya Ahem ganti baju, mengambil jaket dan pergi keluar.
Ahem mencoba meyakinkan pada Tiffara lewat balik pintu kamarnya. Hati yang luas bak samudra itu pun begitu mudah memaafkannya. Dia membukakan pintu kamarnya. Ahem melirik jam di atas meja yang menunjukkan hampir pukul 04.00. Dia tak menyangka waktu begitu cepat berlalu. Ahem sadar, Tiffara pasti sedang menunggunya, hingga dia belum tidur. Ahem merasa kesal pada hati dan pikirannya yang tidak pernah mau sejalan. Bila dia berada di dekat Tiffara, yang ada hanya rasa kasihan dan rasa berdosa. Berbeda bila dekat dengan Diva, yang ada rasa cinta dan nafsu yang selalu bergelora. Tapi kekuatan pikirannya selalu bisa mengendalikan dirinya. Seperti dalam moto hidupnya, "Sebelum malam pertama aku tak akan melepas perjakaku dan tak akan mengambil keperwananmu." Meskipun motto itu akhirnya telah dihancurkan pada sore terkutuk itu. Cinta dan nafsu yang bergelora selalu runtuh hanya de
Kesedihan Bagas bukan karena Diva yang berkhianat, tapi lebih ke perasaan Tiffara. Adik kesayangannya itu sudah seolah menjadi jiwanya. Dia selalu dalam diam menahan kesedihannya. Bagas membayangkan dengan senyum tulusnya, dia menelan segala kesedihannya sendiri. "Aku tidak bersedih wanita jalang macam kamu mengkhianati ku, aku justru bersukur mengetahuimu lebih awal. Tapi Tiffa ku, dia nafasku...aku tidak bisa hidup tanpa dia. Aku akan membawa adikku pulang, itu kalau memang kamu tidak bisa membuatnya bahagia!" gumam Bagas sedih dengan air matanya yang bergulir. "Jangan Bagas! Jangan bawa dia pergi, aku akan pulang sekarang juga!" janji Ahem. Bagas tanpa menghiraukannya lagi dia melangkah pergi. Dengan tegap tanpa berpaling lagi dia berjalan menuju mobilnya, dan melajukan mobilnya pergi. "Tidak Ahem! Kamu tidak boleh pergi! Berani selangkah kamu meninggalkan aku, aku
Sehabis sarapan pagi, Ahem bersiap mengantar Tiffara pergi periksa dokter. Titin senang sekali saat-saat dia melihat calon cucunya di layar monetor. Detak jantungnya sangat kuat, dokter bilang bayi sangat sehat. "Hanya saja ada masalah pada mamanya. Dia mengandung bayi kembar dan beresiko di usia yang masih muda. Kandungannya lemah, dia harus badrest untuk beberapa bulan ke depan dan yang terpenting lagi, dia tidak boleh stres." Dokter memaparkan kesehatan Tiffa yang sangat beresiko. "Jadi ini berbahaya bila istri saya stres, dokter?" Ahem bertanya dengan hati-hati. "Ini berbahaya buat keduanya, bisa mengakibatkan terburuknya pendarahan bahkan keguguran." Dokter menjelaskan kembali dengan hati-hati juga. "Sudah jangan khawatir, Oma akan menjaga keduanya sayang...mamanya juga cucu-cucu Oma." Titin menghibur Ahem. "Cucuku sayang, sekarang papa ngantar kalian periksa, tap
Seperti disambar petir rasanya, menyaksikan istri sedang berada dalam dekapan kakaknya. Terlihat jelas wajah Tiffa yang tenang dan nyaman menikmatinya. "Ini malam terakhir bagi kita, Kak Ahem. Aku ingin kita menghabiskannya bersama anak-anak kita. Terima kasih kamu menepati janjimu untuk bertemu Diva hanya sebentar." Kata Tiffa dengan lembut dan manja. "Sekalipun kita tidak saling mencintai tidak ada salahnya kita bersahabat demi anak-anak kita." Lanjutnya. "Kita hanya bersahabat?" sahut Vigo pelan. Tiffa sontak menarik tubuhnya dengan kuat dan setengah mendorong Virgo, sehingga dia terpental dua langkah ke belakang. Tiffa menatap tajam dan takut, untuk kedua kalinya dia melakukan hal yang sama. Dia menyesal begitu ceroboh tanpa melihat dengan seksama siapa orang yang mengetuk pintu. Dia asal memeluk begitu saja. Ahem berdiri terpaku menahan sakit hatinya. Bu
"Ikut aku!" ajak Ahem tiba-tiba."Kemana?" tanya Tiffara penasaran.Ahem tidak menjawab, dia berjalan menuju mobilnya. Tiffara terpaksa mengikuti tanpa banyak bertanya. Para mahasiswa tertegun menatapnya."Masuk!" perintah Ahem singkat."Apa dia yang terpilih?" teriak seorang mahasiswi."Apa benar?" yang lain menimpali.Ahem membukakan pintu dan meminta Tiffara masuk. Tak lama kemudian mobil pun melaju kencang.Dret ... dret ... dret! Ponsel Tiffara berdering, Virgo yang menelepon. Ini saatnya Tiffara membalas Ahem, dia telah membuat hati Tiffara tercekam cemburu karena biro jodoh yang dia buka."Kak Virgo?" sapanya manja."Tiffara, lagi dimana nih?" tanyanya lembut."Lagi jalan, Kak Virgo. Kakak sendiri lagi ngapain?" "Aku lagi suntuk, aku butuh teman ngobrol, Tiffa," kata Virgo sedih."Lagi mikirin apa? Boleh berbagi sama aku, udah makan belum? Apa kita ketemu makan malam saja," Tiffara dengan lembut menawarkannya.Ciiiit!Spontan Ahem menginjak rem dan berhenti. Ternyata sikap gen
"Akulah yang pertama jatuh cinta padamu, Tiffa. Dan kamu malah menikah dengan Ahem adikku yang belum kamu kenal sebelumnya. Dan selama menikah pun kamu tidak pernah bahagia, tapi anehnya aku tidak bisa masuk diantara kalian," kata Virgo sedih."Maafkan aku Kak Virgo, yang belum bisa membalas cintamu," jawab Tiffara sedih."Aku tidak akan pernah memaksa perasaanmu, tapi setidaknya kamu mau percaya padaku bahwa aku sangat mencintaimu," Virgo meyakinkan."Duh, kok malah curhat di depanku sih," gerutu Ahem dalam hati.Dret ... dret ... dret! Ponsel Virgo berdering, Diva yang sedang menelepon."Aku keluar dulu, Tiffa!" pamit Virgo."Papa Virgo mau kemana?" tanya kedua bocah kecil itu bersamaan."Papa keluar sebentar, Sayang! Nanti kembali lagi," janji Virgo.Dia segera keluar ruangan dan mengangkat telepon dari Diva."Dimana kamu?" tanya Virgo kasar. Dia berpapasan dengan Bagas tapi Virgo tidak menyadarinya. Sontak membuat Bagas penasaran dan berpikiran ingin membuntutinya dan menguping.
Tiffara mulai membuka matanya, betapa terkejutnya dia berbaring di ranjang rumah sakit. Sebentar dia mengingat-ingat apa yang terjadi. Sontak dia bangun dan hendak turun dari tempat tidur tapi tiba-tiba perutnya mual dan pusing-pusing. Akhirnya kembali dia roboh di tempat tidur. "Tiffa, istirahatlah dulu! Kamu masih terkena pengaruh racun ular," gumam Bagas yang baru saja masuk ruangan. Bagas membantu membaringkan tubuh Tiffara kemudian memeriksa keningnya apakah masih demam ataukah sudah membaik. "Syukurlah kamu sudah membaik, Tiffa," gumam Bagas lega. "Bagaimana keadaan anak-anak dan Kak Ahem, Mas?" tanya Tiffara khawatir. "Anak-anak sudah baik-baik saja, Tiffa. Jangan khawatir!" hibur Bagas. "Gimana dengan Kak Ahem?" tanya Tiffara masih khawatir. "Kenapa kamu mengkhawatirkan dia? Dia kan bukan apa-apa kamu?" tanya Bagas menggoda. "Dia kan papa dari kedua anakku, Mas. Dia juga dosenku, apakah salah kalau aku mengkhawatirkannya?" jawab Tiffara tersipu malu. "Ooo jadi seorang
Karena jaraknya tidak jauh Bagas dan Tiffara sudah sampai di rumah Ahem. Pintu pagar juga masih tertutup rapat. Dua satpam menjaga dengan aman pintu gerbang, tidak ada tanda-tanda ada orang keluar masuk lewat pintu. Apa itu artinya mereka pelakunya orang dalam sendiri. Din ... din ... din! Klakson mobil dibunyikan, Bagas dan Tiffara telah sampai dan satpam berlari membukakan pintu. Satu-satunya akses untuk keluar masuk rumah itu. "Ada apa, Pak?" tanya Bagas saat turun dari mobil. "Ada penyusup, Mas. Kenapa kamu masih di sini tidak mencari atau mengejarnya?" ketus Bagas. "Bos Ahem yang minta kami berdua harus jaga ketat pintu keluar," jawab salah satu satpam. "Dua bodyguard sudah berusaha mengejarnya,' lanjutnya. Tiffara bergegas berlari menuju rumah, sebelum kaki melangkah masuk dia melihat sekilas bayangan di semak-semak rerimbunan tanaman bunga. Sontak dia berhenti dan berbalik arah. "Mas Bagas, itu dia!" teriak Tiffara. Sontak sosok yang bersembunyi itu pun segera berlari t
Kini acara pertunangan telah selesai. Tiffara diam-diam mengawasi Ahem, apakah benar tidak ada luka di hatinya. Sebelum Tiffara hadir dalam hidupnya, Ahem dan Diva adalah sepasang kekasih. Rasanya tidak mungkin tidak ada luka di hatinya, apakah dia menutupinya? Tiffara sambil memegang foto yang dia temukan di lemari Ahem, dia terus mengingat-ingat. "Ada apa denganmu, Tiffa?" tanya Bagas. "Mas, kemarin Mbak Diva tunangan sama Kak Virgo," ujarku. "Sama Virgo? Iyakah? Hati-hati Tiffa, dia ular! Jaga anak-anakmu!" pesan Bagas. "Sebenarnya Kak Ahem meminta aku untuk tidur di sana agar bisa fokus mengawasi anak-anak. Tapi aku masih minta waktu berpikir, Mas," ungkap Tiffara. "Kenapa harus berpikir, Tiffa? Demi anak-anakmu ke sampingkan egomu, Tiffa," pesan Bagas. "Jangan sampai kamu menyesal," lanjutnya sedih. Tiffa mulai berpikir serius dengan apa yang baru dikatakan Bagas. Selama ini dia belum berpikir sejauh itu. "Ma
Tak berselang lama Ahem masuk ke kamarnya. Saat itu Tiffara sedang berdiri di depan pintu akan keluar kamar. Ahem terperanjat, melihat Tiffara yang tampil cantik sekali. Ahem berjalan mendekati Tiffa sehingga membuatnya terdesak mundur. "Apa yang kamu lakukan?" ketus Tiffa. "Aku akan memperkosa kamu lagi," kata Ahem terus menggoda. "Hiks ... hiks ... hiks, silakan! Emang Dede'nya bisa bangun?" balas Tiffa menggoda diiringi tawanya. "Boleh kita coba, kamu akan menjadi kelinci percobaanku," desaknya sambil terus memepet Tiffa sampai terhimpit antara dinding dan tubuh Ahem. "Kak Ahemmmm!" pekik Tiffara sambil memejamkan mata. Tak sadar kedua tangan Tiffara mencengkeram pinggang Ahem membuatnya semakin terbakar birahinya. Bibir sexinya melumat lembut bibir Tiffara. Membuat cengkeraman itu semakin kuat bahkan tak sadar tangan Tiffara melingkar kuat di pinggang Ahem membuat Ahem semakin terjebak dalam pagutannya. "Kak Ahem," desahnya
"Mana ada impoten malah dipamerkan, di gembar-gembor kan, malah kita tidak percaya dong!" sahut mahasiswi sambil ngekeh. Sambil berlalu Dosen Ahem tertawa kecil. Melody terus memantaunya dari jauh, dia mengikuti dari belakang. Kini dia sembunyi dibalik pot besar di pinggir jalan. "Kok cepat menghilang sih?" gerutu Melody kesal sambil beranjak bangun. Saat hendak beranjak bangun, dia mendapati bayangan sosok lelaki berdiri di sampingnya. Perlahan dia mendongak ke atas. "Hah!" pekiknya. "Bagaimana bapak tiba-tiba di sini?" lanjut Melody terkejut. "Kamu sendiri ngapain di sini, ngikuti aku kan?" tanya Ahem menohok. "Apa? Mengikuti bapak? Ya nggaklah!" teriakku membantah. "Melody atau Tiffara ya? Ya Melody sajalah terlanjur terbiasa dengan Melody di kamus. Tolong bawakan tas dan bukuku ke ruanganku!" perintah Dosen Ahem. "Saya, Pak?" sahut Melody bertanya. "Iya, kamu. Kenapa? Nggak mau, Bodyguard Melo?" desak Ahem.
Ahem terperanjat dengan perkataan Arman yang mengatakan Virgo tiba-tiba akan menikahi Diva. Padahal sebelumnya Virgo tidak pernah dekat dengan Diva. Entah karena cemburu atau apa, Ahem merasa seolah tidak rela Virgo menikahi Diva dan diajak tinggal bersama satu rumah. Tapi sementara Ahem belum bisa mengungkapkan rasa keberatan itu kepada Virgo. "Aku ganti baju dulu, Melo, tolong bereskan kopiku!" pinta Ahem. Iya, Bos," jawab Melo. Aku mengambil lap dan membersihkan tumpahan kopi. "Kamu bisa bayangkan betapa menderitanya Ahem bila Diva hidup bahagia bersama Virgo," ujar Arman yang tiba-tiba muncul, mengejek. "Jadi paman bahagia bila melihat Ahem menderita, begitu?" tanya Melo. "Bisa dibilang begitu, dia sudah lama bahagia sudah waktunya ganti kakaknya yang harus bahagia," jawab Arman. "Boleh juga, asal bukan dengan cara licik, Paman. Bahagia tidak bisa diraih dengan cara kotor," ujar Melo. "Anda bisa melakukan sesuka hat
"Ma, mama ... mamaku mana, Om Melo?" tanya lirih Ruhi saat membuka matanya. Saat itu Melo sedang tidur di bibir ranjang, pantatnya di kursi. Segera matanya terbuka mendapati Ruhi memanggilnya. "Sayang, kamu sudah sadar? Apa yang kamu rasakan, Sayang?" tanya Melo gugup bercampur bahagia. "Ruhi, kamu sudah bangun?" teriak Arjun. "Sebentar aku panggil dokter!" teriak Melo masih gugup. "Dokter!" teriak Melo di depan pintu. Saking gugupnya, padahal di samping ranjang ada tombol untuk memanggil dokter atau perawat. Tak lama seorang dokter dan seorang perawat datang dengan tergesa-gesa. "Dok, anak saya sudah sadar, tolong periksa dia!" kata Melo bahagia. Dokter memeriksa sekilas tentang kesehatannya. Perawat membantu memeriksa tensi darahnya. Melo hanya tertegun seolah tak percaya. "Anda siapa?" tanya dokter. "Saya mamanya, maksud saya ... saya pengasuhnya, Dok," jawab Melo gugup. "Mana ke