Yolanda terus menggerutu saat tangannya ditarik Arka. Ia yang berpikir bisa bahagia tidur seharian penuh, akhirnya harus dihantam kenyataan bahwa seorang Arka takkan membiarkannya tenang. Terbukti sekarang Arka tengah memaksanya untuk pergi ke pasar malam.
“Yak! Kau pikir aku tak punya kerjaan? Kenapa mengajakku ke sini, sih?” gerundelnya selama perjalanan.
“Kerja yang kau maksud pasti hanyalah tidur. Kau itu jangan jadi introvert berlebihan! Toh, harusnya kau bersyukur karena punya teman yang baik sepertiku yang sampai memikirkan dirimu.” Arka menukasnya dengan nada jengah.
Yola bungkam saja saat tengah terpojok begini. Ia tak bisa mengelak lagi karena memang benar itu kenyataannya.
Arka langsung menarik Yola menuju salah satu stand makanan. “Aku yang bayar malam ini. Hitung-hitung sebagai bentuk tanggung jawabku karena menculikmu keluar dari gua,” jelasnya santai.
Yolanda yang awalnya mengambek segera berbinar mengetahui ia akan ditraktir. Yah, bisa menghemat pengeluarannya.
“Giliran dengar kata gratis, dirimu langsung excited,” cela Arka yang harus mengikhlaskan isi dompetnya malam ini. Yola pasti akan memorotinya hingga tandas.
“Aku pesan ini dan itu. Jangan lupa, porsinya yang jumbo! Aku juga mau beli minuman yang ada di sana. Kau yang bayar, jadi aku bisa tenang,” potong Yola yang tak peduli sindiran Arka padanya.
“Dasar wanita licik,” kecam Arka sebelum terpaksa mengeluarkan dompet usangnya.
Wajah Arka ia buat melas, siapa tahu Yola akan berbaik hati tak memorotinya sampai tandas. Namun, harapan tinggallah harapan. Yolanda menggeleng dan merebut paksa dompetnya lalu mengambil semua isi uang di dalamnya.
“Nih, kukembalikan dompetmu. Isi lagi yang banyak lalu traktir diriku!” celetuk ringan Yola lalu berjalan mendahului Arka selepas membayar.
Arka mengelus dada untuk menabahkan hati. Punya teman model Yola memang sangat menguras emosi. Ingin cari teman baru, tapi sudah terlalu nyaman dengan Yola. Ingat, teman yang baik itu susah dicari apalagi kalau sudah klop!
“Mama! Aku mau peluk dan digendong mama,” pekik seorang anak perempuan yang memegangi kaki kanan Yolanda.
Arka segera mendekat dan menatap horor sama seperti yang dilakukan Yolanda. Bahkan Yola seolah diam seperti batu saking kagetnya.
“Kau punya anak selama ini? Wah, tak kusangka dirimu seberani ini menipuku. Kau mengaku masih virgin, eh tapi ternyata sudah lahirkan anak segede ini,” cerocos Arka sok terluka dengan dramatis.
Yola memandangnya jengah sambil menggetok keras kepalanya. Arka makin mengoceh tak jelas hingga membuat kepala Yola jadi pening. Belum lagi ada anak kecil yang tengah bergelayut manja di kakinya.
“Yak, kalian berdua diamlah!” ketus Yola yang akhirnya memilih meninggalkan dua orang itu.
Ia masa bodo dengan bocah cilik ataupun Arka yang tengah mengejarnya. Dirinya merasa jadi seperti ibu yang tengah menelantarkan anak dan suaminya saja.
“Berhenti mengikutiku dan jangan terus mengoceh! Aku bukan mamamu, Bocah.” Yola yang tak tahan dengan anak kecil itu segera berseru marah.
Orang-orang menatapinya dengan gunjingan yang sama sekali tak dipedulikan Yola. Toh, memang dirinya tidak kenal anak kecil ini serta ia bukanlah ibunya.
Arka tersentak kaget dengan teriakan marahnya Yola. Kalau sudah begini, Yola bisa sangat menyeramkan. Tapi anehnya, gadis kecil ini bukannya gentar, ia malah makin merengek memanggil mama pada Yola.
“Dia benar bukan anakmu, Yol?” bisik Arka yang sudah ada di sisinya Yolanda.
“Iya. Sudah berapa kali kukatakan bahwa aku ini masih virgin! Aku bahkan tak kenal siapa nama bocah ini dan di mana orangtuanya. Astaga, orangtuanya bahkan tak peduli anaknya hilang,” keluh Yola seraya melirik anak kecil di bawah kakinya itu.
“Yasudah, kita ajak duduk dulu di sini. Nanti pasti keluarganya akan datang mencarinya,” putus Arka yang kemudian menggandeng Yola untuk diajaknya duduk.
Sedangkan anak kecil ini terus mengekor dan mengambil duduk di tengah-tengah Yola dan Arka. Sudah sangat mirip seperti keluarga kecil yang romantis saja.
“Lalu, bagaimana jika keluarganya tak peduli? Bagaimana jika ia memang sengaja ditelantarkan? Aku sungguh tak mau merawat bocah, Ar,” sungut Yola yang tidak mau terlibat apapun dengan anak kecil.
Mengurus bocah yang tak tahu asal-usulnya? Hey, Yolanda bukan orang sebaik itu yang mau mengorbankan hidupnya demi orang lain.
Arka ikut bingung juga. Meninggalkan anak kecil sendirian di sini, bukanlah ide yang bagus. Ia tentu saja iba dengan anak kecil itu. Terlebih, Arka tipe orang yang tak tegaan. Memang berbanding terbalik sekali dengan Yolanda.
“Namamu siapa, Anak Manis?” tegur Arka yang mencoba mencari tahu.
Paling tidak, jika sudah mengantongi namanya apalagi sampai identitas orangtuanya, Arka pikir bisa melaporkannya ke polisi. Biar nanti polisi yang mencarikan keberadaan orangtuanya.
“Namaku Calista Letashia, Om.” Anak kecil ini menjawabnya dengan riang seolah Arka itu orang yang dikenalnya.
Arka ikut tersenyum saat mendapat respon baik yang diinginkannya dari sang bocah.
“Jadi namamu adalah Leta? Oh, lalu siapa nama ayah dan ibumu? Di mana orangtuamu sekarang, Leta?” ujar Arka yang mencoba kembali menggali lebih dalam.
Yolanda hanya melirik interaksi dua orang beda usia itu dengan tampang bosan. Yah, tentu karena tak ikut diajak bicara. Tapi, kalaupun ia memang diajak ngobrol, ia juga takkan mau sok akrab seperti yang dilakukan Arka. Mereka itu orang asing jika dengan bocah ini, camkan itu! Batinnya Yola ingin sekali menggertak Arka supaya bisa bersikap dingin pada gadis kecil yang beruntungnya imut ini.
“Aku tadi datang dengan ayahku, tapi saat melihat mama di sini, maka aku menghampirinya.”
Yolanda dan Arka bertatapan bingung. Apa maksudnya Leta yang dimaksud mama adalah Yola? Astaga, bolehkan Yolanda tertawa keras sekarang ini?
“Sepertinya kau salah paham, Nak. Aku bukan ibumu yang kau pikir. Mungkin saja pakaian kami sama sehingga dirimu mengira aku ibumu. Ibumu pasti sedih karena kau tak mengenali rupa asli ibumu,” sanggah Yolanda dengan nada mengejeknya.
Arka sampai mengelus dadanya sendiri saking nyelekitnya ucapan Yola.
“Dia masih bocah, Yol. Berbicaralah sedikit manis padanya! Kau sudah seperti Ibu Tiri saja, asal kau tahu,” cemooh Arka yang langsung diberi tatapan sengit oleh Yola.
“Terserah padaku. Ini mulut-mulutku sendiri, kok,” sarkasnya memilih buang muka.
Arka lalu kembali fokus saja pada anak kecil ini. Ia masih harus mencari tahu soal gadis kecil bernama Leta ini.
“Mamaku adalah dia,”—ucapnya seraya menuding Yola—"Tapi, kenapa mama tak mau menatapku?”
Setelah mendengar ucapan polos Leta, seketika mata Yola membola.
“Anak dari mana? Hey, aku masih virgin,” sentaknya yang sudah berdiri. Ingin pergi saja meninggalkan bocah itu dan tidur nyaman di rumah. Ia bisa stres jika berlama-lama berada di situasi ambigu begini.
Yolanda menggaruk frustrasi kepalanya hingga rambut panjangnya jadi berantakan. Ia memicing tajam pada Arka yang masih saja memegangi tangan kecil Leta dan terus mengekori ke mana dirinya pergi. “Hey, usir dia! Aku tak mau orang-orang berpikir aku ini berusaha menelantarkan anak.” Yola berbalik dan berteriak marah pada Arka.“Kau itu sungguh tega sekali. Leta masih kecil dan orangtuanya saja belum menemukannya. Kita harus menjaganya, bukan?” bantah Arka yang sangat iba pada Leta.Yolanda menggeleng keras. “Tidak harus, kok. Tinggalkan saja dia di sini sampai orangtuanya datang! Atau jika kau tak tega, maka rawat saja dia. Tapi aku tidak mau ikut-ikutan dan mau pulang.”Tak menunggu Arka menyahuti, Yola langsung berlari secepatnya untuk pergi. Ia tak mau diekori oleh dua orang itu yang menurutnya akan sangat merepotkan.Arka yang ditinggal juga tak pikir panjang untuk menggendong Leta dan mengejar Yola. Ia berteriak memanggil nama Yolanda agar membuat temannya itu malu dan berhenti me
“Kau tengah melamunkan apa? Jangan buat keadaan suram di tempat ini!” tegur Yola saat berjalan melewati Arka untuk mengambil gelas di sebelahnya. Arka tak biasanya suntuk seperti itu sampai beberapa kali pelanggan wanita menegurnya. Arka lah yang paling ramah ketimbang Yolanda jika menyangkut memberi pelayanan seperti sekarang. Makanya, Yolanda dibuat bingung dengan sikapnya yang aneh malam ini. “Entah kenapa, tapi aku teringat tentang Leta. Bagaimana kabarnya gadis kecil itu, ya?” ucap Arka yang malah mendapat jitakan dari Yola. “Kau pasti sudah gila. Kenapa memikirkan bocah itu, hah? Sudahlah, lanjutkan pekerjaanmu dengan baik! Sehabis pulang nanti, aku pastikan akan membersihkan otakmu yang sudah terkontaminasi itu,” ungkap Yola begitu frontal. Arka membuatnya jadi sebal sendiri. Menyesal juga sudah menanyakan alasan perubahan sikap tak biasanya ini. Yola sama sekali tak ingat soal bocah kecil yang mengganggunya itu. Sudah seminggu sejak pertemuan mereka dengan Leta malam itu da
“Kau sudah bertemu dengan Yardan? Maaf, aku harus lempar dia kepadamu karena aku tengah sibuk. Lalu, bagaimana hasilnya?” sosor Arka saat Yolanda baru saja memakai kembali apronnya.“Aku bilang bahwa kita tak butuh uangnya. Yah, aku memang sudah gila menolak rezeki itu. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tak mau lagi berurusan dengan orang sepertinya,” ungkap Yola apa adanya.Awalnya Arka mau memotong ucapan Yola saat dirinya bilang bahwa menolak uang kompensasinya, namun ia bungkam di kalimat terakhir Yola. Yah, Arka memang tahu bahwa Yolanda benci berurusan dengan orang kaya. Menurutnya, orang dengan banyak harta selalu sombong dan menyepelekan orang-orang kecil tak berduit seperti dirinya.Arka kadang setuju dan kadang tidak dengan pemikirannya Yola yang satu ini. Namun, ia lebih memilih menghargai batasan yang sudah dibangun Yola.“Iya juga, sih, aku merasa bahwa Yardan adalah orang yang berduit. Terlihat sekali pakaiannya yang formal khas kantoran serta terlihat mahal. Memang lebih bai
Yolanda berjalan mendahului Arka dan keduanya memilih berpisah untuk mencari mangsa. Tapi kenyataannya, keduanya hanya duduk dan menatapi orang berlalu-lalang serta bergerombol di lantai dansa. Ada juga pole dance–tari tiang–yang ditarikan cukup erotis oleh penarinya membuat Yola meneguk ludah susah payah. Suasananya terlalu bising hingga memekakkan telinganya. Rasanya ia mau menyerah saja tanpa menyelesaikan tantangan yang ia buat dengan Arka. Biar saja ia relakan beberapa lembar uangnya untuk membayar hari ini karena itu lebih baik ketimbang dirinya berlama-lama di tempat tak nyaman ini.Yola menoleh ke kanan-kiri untuk mencari keberadaan Arka yang entah di mana batang hidungnya itu.“Jangan-jangan Arka sudah berhasil dapat mangsa?” tebak Yola lalu mendecih kesal setelahnya.Yola lalu turun dari kursi tinggi dan berjalan dengan menyempil di antara banyaknya orang yang tengah bergoyang heboh sambil bersorak tak karuan itu. Dirinya pastikan takkan mau masuk ke tempat seperti ini lagi.
Arka tengah kelimpungan memapah seorang wanita cantik yang mabuk berat ini. Ia banyak meracau tak jelas membuatnya kesulitan membawanya keluar dari diskotek.Beruntung sekali saat tiba di pintu keluar, ia bertemu dengan Yola yang tengah duduk-duduk santai di bangku depan.“Hey, buruan cepat bantu!” pekik Arka yang membuat Yola menyadari kedatangannya.“Eh, cewek mana yang kau bawa itu?— Dudukkan dulu di sini, Ar!” sahut Yola ikut panik.Ia berdiri untuk membantu Arka mendudukkan wanita yang teler itu di bangku. Saat sudah memastikan wanita itu tiduran nyaman di bangku panjang, Yola langsung mendelik pada Arka. Tanpa babibu ia melayangkan tempeleng mautnya ke kepala Arka.“Kenapa kau pukul aku, Yol?” protes Arka sembari mengelus kepalanya yang ditempeleng Yola kuat barusan.Yolanda mendengus. “Kau apakan wanita ini, hah? Dia sampai mabuk berat begitu. Apa ini caramu untuk bisa menggaet wanita dan memenangkan taruhan kita, ya? Wah, tak kusangka kau selicik ini,” sindirnya dengan delikan
Yardan segera menggendong Livia untuk membawanya masuk ke dalam. Tertinggal dua orang yang saling berpandangan dengan wajah ambigu.“Jika tahu dia sudah menikah, untuk apa lagi aku menyukainya Yol? Hancur sudah perasaanku,” sungut Arka lalu menggandeng tangan Yolanda untuk diajaknya pulang.“Yang sabar! Mungkin wanita itu memang bukan jodohmu. Ayolah bersemangat! Masih banyak wanita lajang lain di luaran sana,” kekeh Yola antara menenangkan si sahabat atau tengah mengejeknya.Tanpa keduanya sadari, Yardan keluar dari rumah dan mencari keberadaan mereka. Ia belum mengucapkan terima kasih karena telah mengantar Livia. Namun karena tak mendapati mereka di luar, Yardan lalu kembali masuk ke rumah. Ia harus mengurusi si Livia yang tengah mabuk itu.Yolanda dan Arka tidak langsung pulang. Keduanya mampir di salah satu minimarket membeli makanan cepat saji dan minuman kaleng beralkohol.“Maaf, tapi makanan ini sudah kadaluwarsa,” ucap penjaga kasir memberitahukan.“Kapan kadaluwarsanya?” tan
Yolanda akhirnya mengetahui fakta bahwa istri Yardan alias ibunya Aleta sudah meninggal dunia. Ketiganya kini tengah duduk di salah satu bangku beton yang sengaja dibuat di luar area pemakaman guna tempat istirahat para peziarah.Leta yang bertemu Yolanda tentu saja merasa senang. Ia bahkan merengek minta dipangku oleh Yola, dan perempuan ini menurutinya.Yardan sendirilah yang menceritakan soal kepergian sang istri. Ia katakan bahwa Laras sudah 4 tahun ini meninggal karena kecelakaan.“Istriku benar-benar mempertaruhkan hidupnya untuk melahirkan Leta. Ia yang waktu itu pendarahan hebat akibat kecelakaan, nyatanya tetap memilih agar Leta selamat keluar dari perutnya. Meski Leta pada akhirnya harus lahir prematur dan menjalani operasi sesar, dia mampu tumbuh menjadi anak sehat seperti sekarang.” Yardan menjelaskan itu dengan mata menerawang seolah mengingat kejadian beberapa tahun silam itu di mana ia kehilangan sang istri tercinta.Ada rasa senang juga sedih menyelimutinya kala itu. I
Yolanda memilih mendiamkan Yardan dan tak merespon apapun yang pria itu bicarakan. Jadi bisa dibayangkan sendiri bagaimana canggungnya situasi di mobil sekarang.“Jam sudah menunjukkan angka 10 malam, Yol. Apakah kau tak izin saja sekalian di tempat kerjamu? Kau juga takkan bisa ke sana dalam kondisi hujan lebat begini,” tegur Yardan yang kemudian terdengar jauh lebih pengertian.Didiamkan Yolanda membuatnya mengerti akan kesalahannya. Yah, ia pasti terdengar terlalu menyepelekan pekerjaan yang Yolanda geluti. Padahal jujur di hati Yardan tak ada maksud seperti itu. Ia yang memang sudah terbiasa bicara lugas ternyata kali ini harus menyalahkan mulut kurang ajarnya itu.“Kau sungguh akan terus mendiamkanku begini? Kau masih begitu marah dengan ucapanku beberapa jam yang lalu, ya? Aku sungguh minta maaf jika ucapanku menyinggungmu, Yol.” Akhirnya Yardan benar-benar menghilangkan gengsinya untuk minta maaf. Yah, tak ada gunanya terus mempertahankan gengsi dan tak mau minta maaf. Ia lebih