Share

Bab 3

Aku menggigit bibir. "Tapi aku tetap ingin melakukan pemeriksaan kesehatan ...."

"Tunggu saja sampai aku ada waktu." Charlie memotong perkataanku. "Baiklah, aku masih ada beberapa urusan yang belum selesai, aku hanya menelepon untuk memberi tahu bahwa aku baik-baik saja, kamu tidur lebih awal, ya."

Tanpa menunggu aku berbicara lagi, Charlie menutup telepon.

Aku menatap ponsel yang sudah terputus sambungannya.

Ini adalah pertama kalinya Charlie menutup telepon lebih dulu sejak kami menjalin hubungan.

Apakah dia marah?

Setelah ragu sejenak, aku mengirimkan pesan padanya. "Selamat malam."

Charlie tidak membalas.

Aku berbaring di tempat tidur, jariku terus menggesek layar, tetapi tidak juga mendapatkan balasan darinya. Hatiku makin gelisah.

Akhirnya aku keluar dari aplikasi itu, dan membuka yang lain. Tiba-tiba muncul notifikasi bahwa pemilik postingan itu telah membuat postingan baru.

Tanpa sadar aku mengkliknya.

"Teman-teman, hari ini aku sudah membahas tentang mahar dengannya. Dia bilang keluarganya minta 88 juta, tapi dia akan membawa sedikit uang tambahan saat menikah. Aku tidak tahu berapa banyak. Kalau bisa dapat lebih banyak uang, bisa aku gunakan untuk pengobatan!"

Aku terkejut.

Ini juga 88 juta?

Kebetulan sekali!

Aku cepat-cepat menggulir ke kolom komentar, banyak yang mencaci maki dia, ada juga yang bilang mau meneruskan tulisan ini ke pihak perempuan.

Ada satu komentar yang bertanya. "Kalau uangnya nggak cukup, bagaimana?"

Pemilik postingan itu segera menjawab.

"Kalau begitu, buat dia juga tertular penyakit ini. Tak mungkin keluarganya tidak memberinya uang untuk berobat! Begitu dia mendapatkan uang itu, aku juga bisa mengambilnya!"

Aku merinding.

Siapa monster ini?

Melihat angka itu, aku tidak bisa menahan rasa curiga dan ketakutan di dalam hati. Aku mengklik foto profilnya.

Aku ingin mencari orang ini dan mengobrol secara pribadi untuk mengetahui siapa dia.

Namun, tidak aku sangka, begitu aku masuk, semua postingan sebelumnya sudah dihapus.

Aku mengirimkan pesan pribadi, tetapi hanya muncul tanda seru merah.

Dia mengatur akunnya agar tidak bisa dihubungi.

Ketidaknyamanan di hatiku makin besar.

Aku menatap foto profilnya, berharap bisa menemukan petunjuk.

Malam itu, aku hampir tidak bisa tidur.

Keesokan harinya, sampai siang, aku tidak tahan untuk mengirim pesan ke Charlie. "Apakah kamu ada waktu hari ini?"

Beberapa saat kemudian, Charlie membalas. "Aku sedang perjalanan dinas."

Sekarang dia sedang dalam perjalanan dinas?

Kenapa dia harus pergi dinas sekarang, tepat saat aku minta dia melakukan pemeriksaan kesehatan?

Rasa curiga di hatiku tumbuh seperti tunas yang tidak bisa aku padamkan.

Aku hanya bisa menenangkan diri, mungkin dia memang sibuk dengan pekerjaan, setelah perjalanan dinas aku akan berbicara lagi tentang pemeriksaan kesehatan ini.

Namun, tidak aku sangka, malam itu, aku melihat foto dia bermain di bar bersama teman-teman prianya.

Meskipun wajah Charlie tidak terlihat, aku melihat sebuah tangan yang mengenakan cincin pasangan kami.

Huruf Y&C yang diukir khusus pada cincin itu bersinar di bawah lampu bar yang gemerlap.

Hatiku langsung terasa sangat berat.

Aku segera mengirim pesan kepada Charlie. "Sekarang kamu ada di mana?"

Lama kemudian baru dia membalas. "Masih di luar kota, ada apa?"

Aku menatap tangan di foto itu, tubuhku tiba-tiba terasa dingin.

Selama seminggu penuh, aku tidak menghubungi Charlie.

Selama itu pula, Charlie menelepon dan mengirim pesan, tetapi aku pura-pura tidak melihat.

Hingga pada akhir pekan, orang tuaku bertanya, "Yuna, apa kamu bertengkar dengan Charlie? Dia menelepon kami menanyakanmu."

"Dia membahas pernikahan denganku, tapi nggak mau melakukan pemeriksaan kesehatan pra-nikah." Aku memberi tahu orang tuaku. "Aku merasa ada yang nggak beres."

Mendengar itu, orang tuaku mengernyitkan dahi. "Seharusnya nggak begitu, kami lihat Charlie ini anak yang cukup jujur!"

Aku menunjukkan pesan sebelumnya dan foto itu kepada mereka.

Orang tuaku langsung terdiam.

Akhirnya Ibu berkata, "Kalau begitu, aku akan menghubungi orang tuanya, untuk bertanya kenapa dia nggak mau melakukan pemeriksaan kesehatan."

Melihat orang tuaku berpihak padaku, aku merasa lega.

Malam itu, Charlie menelepon lagi.

Kali ini aku mengangkatnya.

Dia langsung berkata, "Besok kita akan pergi melakukan pemeriksaan kesehatan pra-nikah."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status