Share

Bab 2

"Memangnya kenapa dengan pemeriksaan?" Aku juga bingung, tidak tahu kenapa wajahnya tiba-tiba berubah. "Banyak orang yang melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum menikah, bukan?"

"Itu karena mereka yang tidak menjaga diri, kita nggak perlu!" kata Charlie. "Lagi pula, untuk pendaftaran pernikahan sekarang, nggak diperlukan pemeriksaan kesehatan, buat apa membuang waktu?"

"Apa maksudmu dengan buang-buang waktu? Ini juga untuk kesehatan kita masing-masing ...."

Aku masih ingin meyakinkannya, tetapi belum sempat aku berbicara, suara dering ponsel Charlie sudah memotong.

Dia mengambil ponselnya di meja dan membacanya. "Temanku mengirim pesan, katanya ada urusan mendesak yang harus aku urus, jadi aku antar kamu pulang saja dulu!"

Dia berkata sambil berdiri.

Melihatnya yang begitu terburu-buru, aku memutuskan untuk menahan apa yang ingin aku katakan.

"Nggak perlu, aku bisa pulang sendiri," kataku. "Kamu pergi saja."

"Kalau begitu, aku pergi dulu, ya."

Dia segera pergi dengan terburu-buru.

Aku melihat punggungnya, merasakan kecanggungan yang sulit dijelaskan.

Mengapa aku merasa dia sengaja menghindar?

Setelah sampai di rumah, aku mengirim pesan untuk memberitahunya bahwa aku baik-baik saja, tetapi dia tidak kunjung membalas.

Hingga malam tiba, dia baru meneleponku.

"Aku baru saja melihat pesanmu. Ada sedikit masalah dengan temanku, jadi aku baru saja sampai di rumah."

"Ada masalah apa?" Aku bertanya dengan khawatir.

"Ya, itu mantan pacarnya yang dulu. Mereka hampir menikah, tapi tiba-tiba pacarnya meminta mahar 200 juta dan tiga cincin berlian. Temanku dari keluarga sederhana, jadi dia nggak mampu membayar itu. Akhirnya, mereka putus, dan sekarang wanita itu menyesal. Dia kembali mencari temanku, bahkan mengancam akan bunuh diri di depan pintu rumahnya!"

Charlie terdiam sejenak, lalu bertanya, "Yuna, keluargamu nggak akan meminta mahar sebanyak itu, 'kan?"

Aku mengerutkan dahi.

Sebenarnya, menanyakan mahar itu tidak masalah, tetapi setelah dia menjelaskan panjang lebar, aku merasa seolah-olah dia sedang membuat alasan, dan itu membuat aku sedikit tidak nyaman.

Namun, aku tetap menjawabnya, "Ibuku bilang maharnya harus 88 juta, karena itu angka baik."

"Delapan puluh delapan juta?" Suara Charlie jelas berubah.

"Kenapa, masih terlalu besar?"

"Bukan begitu, untuk menikahimu, jangankan 88 juta, bahkan 880 juta pun nggak masalah!" Charlie berkata manis, membuatku sedikit merasa tenang.

Namun, dia segera ragu lagi. "Hanya saja, karena baru selesai pandemi, usaha keluargaku nggak sebaik dulu, ditambah kita harus membeli rumah untuk pernikahan, pasti akan menghabiskan banyak uang. Jadi, 880 juta itu memang agak berat ...."

"Aku mengerti," kataku.

Aku bukan orang yang tidak pengertian. Dia sudah memikirkan untuk membeli rumah untuk pernikahan kita nanti, jadi aku tidak bisa bersikap tidak peduli.

Aku langsung berkata jujur, "Mahar itu hanya formalitas. Kata ibuku, saat menikah nanti, dia akan memberikan sedikit tambahan uang dan itu semua akan dibawa sekaligus bersama uang mahar."

"Benarkah?" Charlie langsung senang. "Aku tahu, kamu dan orang tuamu orang yang pengertian! Tenang saja, aku pasti akan menyiapkan mahar 88 juta itu! Oh ya, apa kamu sudah memberi tahu orang tuamu tentang pertemuan keluarga kita?"

Ketika membicarakan ini, aku jadi teringat pada sikapnya yang aneh siang tadi.

Aku mencoba bertanya, "Bagaimana dengan pemeriksaan kesehatan itu?"

Di ujung telepon, tiba-tiba suasana menjadi hening.

Setelah beberapa saat, aku mendengar suara Charlie menjadi dingin, "Yuna, apa kamu meragukan aku?"

Aku terkejut, "Aku nggak ...."

"Kalau nggak, kenapa kamu mau aku melakukan pemeriksaan?" Charlie tampak marah. "Apa kamu khawatir aku terinfeksi penyakit, curiga kalau aku selingkuh? Aku nggak menyangka, setelah enam bulan bersama, kamu masih berpikir seperti itu! Sangat mengecewakan!"

"Bukan begitu!" Aku panik dan langsung duduk dari tempat tidur. "Aku nggak berpikir begitu!"

Aku menarik napas dalam-dalam dan menjelaskan. "Aku bukan meragukanmu, aku hanya mempertimbangkan masa depan. Kamu tahu, setelah kita menikah, pasti kita ingin punya anak. Kalau ada masalah kesehatan yang nggak kita ketahui, itu nggak adil untuk kita dan anak kita kelak!"

Suasana menjadi hening selama beberapa detik.

Kemudian, suara Charlie menjadi lebih lembut. "Oh, jadi begitu. Tapi kamu nggak perlu khawatir, apa pun masalahmu, aku nggak akan meninggalkanmu. Jadi jangan berpikir yang aneh-aneh."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status