Aku sudah selesai bersiap ke kantor, memakai setelan kemeja pink salem, dipadu dengan celana hitam, dilengkapi dengan hijab berwarna senada. Tiba-tiba dering ponselku berbunyi dan tertera nama 'Pak bos' di sana. Ada apa Pak Hari menelpon sepagi ini, ada yang urgent, 'kah?
"Assalamu' alaikum, Pak."
"Walaikumus salam, Buk. Saya udah di ujung jalan dekat rumahmu, Buk." Terdengar suara dari seberang.
"Loh, ngapain di sana, Pak?" tanyaku kaget.
"Ya ... jemput kamu lah, Buk." jawabnya datar.
"Kapan kita janjian mau pergi ke kantor bareng, Pak?" tanyaku sedikit heran.
"Ya nggak ada janji, sih. Tapi berhubung saya sangat peduli dan juga takut kalau karyawan saya telat, jadi saya jemput. Nggak salah, 'kan? Udah, Buk. Ayo, kita pergi nanti telat." jawabnya santai.
Apalagi ini? Tak mungkin juga ditolak, jika dia sudah di depan. aku segera memberi tahu Ayah bahwa beliau tak perlu mengantarku.
Aku naik ke mobil Pak Hari. Walaupun, sebenarnya aku agak malas. Takut orang beranggapan lain dan berpikir tidak-tidak.
"Assalamu' alaikum, Buk." sapa Pak Hari ketika aku masuk.
"Walaikumus salam, Pak." jawabku pelan.
"Kenapa mukanya gitu, Buk? Apa kamu marah karena saya jemput?" tanyanya dengan menatap ke arahku.
"Nggak marah, Pak. Saya cuma takut nanti orang berpikir yang tidak-tidak." Aku berbicara dengan menundukkan kepala. Entahlah, aku tak berani menatap Pak Hari. Andai saja dia masih single, sudah bisa dipastikan aku akan senang dengan semua perhatiannya ini.
"Maaf kalau saya membuat kamu tidak nyaman, Buk."
Perjalanan kami hening dari pembicaraan, hanya terdengar suara nyanyian dari Judika 'aku yang tersakiti'.
***
Hari ini aku lebih santai. Karena, kerjaanku tak terlalu banyak, jadi tak perlu terburu-buru hingga menguras pikiran seperti kemarin.
Jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Namun, belum terlihat sosok Pak Hari ke ruanganku. Biasanya keluar masuk ruangan ini, ada saja alasannya. Ah, kenapa juga aku memikirkannya, tapi kenapa aku merasa jadi ada yang kurang. Aduh! An stop berpikir aneh.
Tok! Tok! Tok!
"Iya, masuk."
Pak Lek muncul dengan membawa kantung putih. "Buk, ini ada kurir yang antar makanan."
"Oh, iya, Paklek, makasih." jawabku dengan senyum di bibir.
Apa Pak Hari lagi yang memesan makanan untukku siang ini, mana mungkin dia. Laki-laki itu mungkin kecewa atas kata-kataku pagi tadi.
Aku pun tak berselera untuk makan. Entahlah, semangatku rasanya hilang pergi kemana aku pun tak tau.
Ku habiskan waktu makan siangku dengan bermain game seraya mendengarkan musik, hal yang sudah lama tak aku lakukan.
"Kenapa makanannya nggak dimakan, Buk?" Tiba-tiba terdengar suara, aku pun mendongak. Aku bengong mendapati Pak Hari sudah berada di depanku.
"Apa semarah itu kamu sama saya, Buk? Sampai nggak mau makan, makanan dari saya?" tanyanya dengan serius.
"Oh, jadi Bapak yang pesen makanan ini? Makasih ya, Pak. Saya nggak tau siapa yang kasih, makanya nggak saya makan. Takut racun nanti." jawabku sekenanya diiringi senyuman yang keluar begitu saja. Entahlah, seperti ada beban yang terlepas dari pikiranku setelah melihat Pak Hari.
"Kamu cantik sekali kalau tersenyum gitu. Eh, maaf, Buk. Aduh, kelepasan ngomong saya, jangan marah ya, Buk?" Kata Pak Hari seraya meletakkan telapak tangannya pada mulut.
"Saya nggak marah kok Pak." Tetap dengan senyuman yang termanis sepertinya.
"Syukurlah kalau begitu. Buk, apa nanti sore mau pulang bareng saya dilanjut dengan makan malam? Ada yang mau saya bicarakan." Pak Hari bertanya dengan kerutan di keningnya.
"Iya, Pak. Mau," jawabku singkat.
"Saya tunggu di parkiran ya nanti." Terlihat senyum yang sumringah dari wajahnya.
"Njiih, Pak."
Pak Hari lalu duduk di kursi di depanku. "Wih, udah bisa ngomong njiih, Buk finance."
Aku menatap Pak Hari yang tersenyum. "Iyalah, sering denger dari Bapak."
"Enak banget, Loh, Buk denger kamu ngomong njiih, alus bener sedep saya dengernya," jawabnya dengan semangat.
Aku hanya membalas dengan senyuman.
"Yasudah, Buk. Kamu makan dulu, dong. Nanti masuk angin, loh. Saya mau keluar sebentar. "Lelaki bertubuh tegap ini pun berdiri.
"Kemana, Pak?"
Ups! reflek aku menutup mulut, kenapa aku jadi kepo ya.
Pak Bos ini pun menoleh dengan kerlingan mata. "Ke hatimu, Buk."
"Ealah, Bapak. Saya serius." jawabku ketus.
Dengan meletakkan tangan di atas meja, ia menatapku. "Saya merkurius ini loh, Buk."
Dasar tukang bercanda, aku sampai keki dibuatnya. "Tau ah! Bodoh amat! Dah sana pergi katanya mau keluar!"
"Tambah cantik kalau ngambek, sih." jawabnya dengan nada menggoda.
Aku melotot ke arah Pak Bos. "Udah deh, Pak!"
"Tuh! 'kan! Tambah cantik lagi."
"Bapaaakk!" kali ini aku melotot sempurna.
"Eh iya, Buk saya pergi."
Tiba-tiba Pak Hari mendekat.
"Saya mau ke kantor notaris, Buk." katanya sedikit berbisik. Setelah itu dia langsung ngibrit kabur.
Aku hanya tersenyum, aduh kenapa dengan perasaanku ini, apa aku mulai welcome dengan Pak Hari? jangan ya Allah, aku tak mau bermain api.
***
"Buk, mau makan di mana?" tanya Pak Bos yang sedang menyetir mobil.
"Terserah Bapak saja asal jangan jauh-jauh." jawabku pelan.
Kami pergi ke cafe tak jauh dari rumahku, sepanjang makan Pak Hari terus saja memberikan kata-kata manis yang membuat aku tersipu, oh, My God!
"Pak, katanya ada yang mau dibicarakan, apa?" tanyaku pada Pak Bos yang sibuk menyuap makanan ke dalam mulutnya.
"Sudah saya kirim ke emailmu, Buk?" jawabnya singkat.
"Lah! terus buat apa makan malam kalau emang bisa dikirim lewat email, Pak?" Aku langsung menepuk jidatku.
"Ya ... nggak apa-apa, Buk."
Enak bener dia tersenyum seperti tidak bersalah.
"Hayuk, Pak. Pulang udah malem ini." ajakku pada lelaki berkulit sawo matang ini.
"Yaudah, hayuk."
***
Aku selesai membersihkan diri dan bersiap tidur. Eh ... tapi aku baru ingat masalah email yang dikirim Pak Hari, aku segera membuka email di ponselku.
Antysa Nabila, Kamu tentu mengerti dengan perhatian saya selama ini, saya mencintaimu, An. Tak ingin memendam rasa ini terlalu lama lagi. Tak mau kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kamu. Saya diam-diam menaruh hati padamu dan ingin menjadikanmu istri .
Begitu saya tahu hubunganmu dengan Galih telah kandas, saya tak mau melewatkan kesempatan itu begitu saja. Kamu tahu Buk finance, waktu saya interview kamu, itu bukanlah kali pertama saya melihat kamu, melainkan sudah ke tiga kalinya, mungkin ini jodoh namanya, Buk.
Saya benar-benar mencintai kamu, Buk. Dan berharap kamu membalas perasaan ini. Hati saya tulus buat kamu, mungkin kamu akan menganggap saya gila karena mencintai anak usia 23 tahun, sedangkan usia saya sendiri sudah 38 tahun.
Saya awalnya takut, Buk. Harus mengungkapkan perasaan ini. Namun, seperti saya katakan, saya tidak mau kehilangan kesempatan ini. Maaf kalau saya berbicara lewat pesan email. Rasanya takut kamu akan marah seperti pagi tadi, saya takut kamu membenci saya, Buk. Saya tidak sanggup melihat wajah murungmu lagi seperti tadi. Maka dari itu saya putuskan untuk berbicara lewat email saja, setidaknya saya tak perlu melihat wajahmu yang marah ketika membaca ini.
Saya tidak memaksamu untuk membalas perasaan ini, akan tetapi, tentu hati ini berharap besar bisa menjalin hubungan denganmu.
Dari yang menyayangimu, Hari Setiawan wicaksono.
Aku hanya bengong dan tak tau harus berkata apa setelah membaca isi email dari Pak Hari.
Akhirnya, aku memberanikan diri membalasnya.
Pak, saya berterima kasih atas perasaan yang telah Bapak kasih untuk saya, tapi ini sepertinya salah, karena ... pertama, Bapak merupakan atasan saya, aneh sepertinya jika Bapak mempunyai perasaan seperti ini.
Kedua, koreksi saya jika saya salah, bukankah Bapak sudah memiliki istri?.
Ketiga, saya tak mau bermain api di rumah tangga orang
Segera ku kirimkan email balasannya.
Kantuk di mataku tiba-tiba menghilang, mataku menerawang jauh memikirkan hal ini. Tiga puluh menit kemudian ponselku berdering dan aku mendadak takut mengangkatnya.
Karena nama yang terpampang di layar adalah Pak Bos. Aku kumpulkan keberanianku untuk mengangkat telepon tersebut.
"Halo."
"Ya, halo ... Buk. Kamu belum tidur, 'kan? Apa saya mengganggu kamu?" tanyanya dari seberang telepon.
"Nggak, kok, Pak. Ada apa?" tanyaku, seraya meremas bantal di tanganku.
"Masalah balasan emailmu tadi, ummm...."
Aku benar-benar takut dan gugup mendengar ucapan Pak Hari, kira-kira mau bicara apa dia? Apa tak dimarahi istrinya menelepon wanita jam segini.
"Buk ... yang pertama, menurut saya tidaklah aneh jika seorang laki-laki mencintai seorang perempuan walaupun itu atasan dan bawahan sekalipun. Yang kedua, saya sudah bercerai dari istri saya, dan yang ketiga saya rasa sudah terjawab dengan poin kedua"
Aku hanya bisa diam dengan jawaban Pak Hari, yak Allah benarkah dia sudah bercerai?
Terjebak cinta terlarang Pak bos 3
(Rate 17+)Aku sudah selesai bersiap ke kantor, memakai setelan kemeja pink salem, dipadu dengan celana hitam, dilengkapi dengan hijab berwarna senada. Tiba-tiba dering ponselku berbunyi dan tertera nama 'Pak bos' di sana. Ada apa Pak Hari menelpon sepagi ini, ada yang urgent, 'kah?
"Assalamu' alaikum, Pak."
"Walaikumus salam, Buk. Saya udah di ujung jalan dekat rumahmu, Buk." Terdengar suara dari seberang.
"Loh, ngapain di sana, Pak?" tanyaku kaget.
"Ya ... jemput kamu lah, Buk." jawabnya datar.
"Kapan kita janjian mau pergi ke kantor bareng, Pak?" tanyaku sedikit heran.
"Ya nggak ada janji, sih. Tapi berhubung saya sangat peduli dan juga takut kalau karyawan saya telat, jadi saya jemput. Nggak salah, 'kan? Udah, Buk. Ayo, kita pergi nanti telat." jawabnya santai.
Apalagi ini? Tak mungkin juga ditolak, jika dia sudah di depan. aku segera memberi tahu Ayah bahwa beliau tak perlu mengantarku.
Aku naik ke mobil Pak Hari. Walaupun, sebenarnya aku agak malas. Takut orang beranggapan lain dan berpikir tidak-tidak.
"Assalamu' alaikum, Buk." sapa Pak Hari ketika aku masuk.
"Walaikumus salam, Pak." jawabku pelan.
"Kenapa mukanya gitu, Buk? Apa kamu marah karena saya jemput?" tanyanya dengan menatap ke arahku.
"Nggak marah, Pak. Saya cuma takut nanti orang berpikir yang tidak-tidak." Aku berbicara dengan menundukkan kepala. Entahlah, aku tak berani menatap Pak Hari. Andai saja dia masih single, sudah bisa dipastikan aku akan senang dengan semua perhatiannya ini.
"Maaf kalau saya membuat kamu tidak nyaman, Buk."
Perjalanan kami hening dari pembicaraan, hanya terdengar suara nyanyian dari Judika 'aku yang tersakiti'.
***Hari ini aku lebih santai. Karena, kerjaanku tak terlalu banyak, jadi tak perlu terburu-buru hingga menguras pikiran seperti kemarin.
Jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Namun, belum terlihat sosok Pak Hari ke ruanganku. Biasanya keluar masuk ruangan ini, ada saja alasannya. Ah, kenapa juga aku memikirkannya, tapi kenapa aku merasa jadi ada yang kurang. Aduh! An stop berpikir aneh.
Tok! Tok! Tok!
"Iya, masuk."Pak Lek muncul dengan membawa kantung putih. "Buk, ini ada kurir yang antar makanan."
"Oh, iya, Paklek, makasih." jawabku dengan senyum di bibir.
Apa Pak Hari lagi yang memesan makanan untukku siang ini, mana mungkin dia. Laki-laki itu mungkin kecewa atas kata-kataku pagi tadi.
Aku pun tak berselera untuk makan. Entahlah, semangatku rasanya hilang pergi kemana aku pun tak tau.
Ku habiskan waktu makan siangku dengan bermain game seraya mendengarkan musik, hal yang sudah lama tak aku lakukan."Kenapa makanannya nggak dimakan, Buk?" Tiba-tiba terdengar suara, aku pun mendongak. Aku bengong mendapati Pak Hari sudah berada di depanku.
"Apa semarah itu kamu sama saya, Buk? Sampai nggak mau makan, makanan dari saya?" tanyanya dengan serius.
"Oh, jadi Bapak yang pesen makanan ini? Makasih ya, Pak. Saya nggak tau siapa yang kasih, makanya nggak saya makan. Takut racun nanti." jawabku sekenanya diiringi senyuman yang keluar begitu saja. Entahlah, seperti ada beban yang terlepas dari pikiranku setelah melihat Pak Hari.
"Kamu cantik sekali kalau tersenyum gitu. Eh, maaf, Buk. Aduh, kelepasan ngomong saya, jangan marah ya, Buk?" Kata Pak Hari seraya meletakkan telapak tangannya pada mulut.
"Saya nggak marah kok Pak." Tetap dengan senyuman yang termanis sepertinya.
"Syukurlah kalau begitu. Buk, apa nanti sore mau pulang bareng saya dilanjut dengan makan malam? Ada yang mau saya bicarakan." Pak Hari bertanya dengan kerutan di keningnya.
"Iya, Pak. Mau," jawabku singkat.
"Saya tunggu di parkiran ya nanti." Terlihat senyum yang sumringah dari wajahnya.
"Njiih, Pak."
Pak Hari lalu duduk di kursi di depanku. "Wih, udah bisa ngomong njiih, Buk finance."
Aku menatap Pak Hari yang tersenyum. "Iyalah, sering denger dari Bapak."
"Enak banget, Loh, Buk denger kamu ngomong njiih, alus bener sedep saya dengernya," jawabnya dengan semangat.
Aku hanya membalas dengan senyuman.
"Yasudah, Buk. Kamu makan dulu, dong. Nanti masuk angin, loh. Saya mau keluar sebentar. "Lelaki bertubuh tegap ini pun berdiri.
"Kemana, Pak?"
Ups! reflek aku menutup mulut, kenapa aku jadi kepo ya.Pak Bos ini pun menoleh dengan kerlingan mata. "Ke hatimu, Buk."
"Ealah, Bapak. Saya serius." jawabku ketus.
Dengan meletakkan tangan di atas meja, ia menatapku. "Saya merkurius ini loh, Buk."
Dasar tukang bercanda, aku sampai keki dibuatnya. "Tau ah! Bodoh amat! Dah sana pergi katanya mau keluar!"
"Tambah cantik kalau ngambek, sih." jawabnya dengan nada menggoda.
Aku melotot ke arah Pak Bos. "Udah deh, Pak!"
"Tuh! 'kan! Tambah cantik lagi."
"Bapaaakk!" kali ini aku melotot sempurna.
"Eh iya, Buk saya pergi."
Tiba-tiba Pak Hari mendekat.
"Saya mau ke kantor notaris, Buk." katanya sedikit berbisik. Setelah itu dia langsung ngibrit kabur.
Aku hanya tersenyum, aduh kenapa dengan perasaanku ini, apa aku mulai welcome dengan Pak Hari? jangan ya Allah, aku tak mau bermain api.
***
"Buk, mau makan di mana?" tanya Pak Bos yang sedang menyetir mobil.
"Terserah Bapak saja asal jangan jauh-jauh." jawabku pelan.
Kami pergi ke cafe tak jauh dari rumahku, sepanjang makan Pak Hari terus saja memberikan kata-kata manis yang membuat aku tersipu, oh, My God!
"Pak, katanya ada yang mau dibicarakan, apa?" tanyaku pada Pak Bos yang sibuk menyuap makanan ke dalam mulutnya.
"Sudah saya kirim ke emailmu, Buk?" jawabnya singkat.
"Lah! terus buat apa makan malam kalau emang bisa dikirim lewat email, Pak?" Aku langsung menepuk jidatku.
"Ya ... nggak apa-apa, Buk."
Enak bener dia tersenyum seperti tidak bersalah."Hayuk, Pak. Pulang udah malem ini." ajakku pada lelaki berkulit sawo matang ini.
"Yaudah, hayuk."
***
Aku selesai membersihkan diri dan bersiap tidur. Eh ... tapi aku baru ingat masalah email yang dikirim Pak Hari, aku segera membuka email di ponselku.
Antysa Nabila, Kamu tentu mengerti dengan perhatian saya selama ini, saya mencintaimu, An. Tak ingin memendam rasa ini terlalu lama lagi. Tak mau kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kamu. Saya diam-diam menaruh hati padamu dan ingin menjadikanmu istri .
Begitu saya tahu hubunganmu dengan Galih telah kandas, saya tak mau melewatkan kesempatan itu begitu saja. Kamu tahu Buk finance, waktu saya interview kamu, itu bukanlah kali pertama saya melihat kamu, melainkan sudah ke tiga kalinya, mungkin ini jodoh namanya, Buk.
Saya benar-benar mencintai kamu, Buk. Dan berharap kamu membalas perasaan ini. Hati saya tulus buat kamu, mungkin kamu akan menganggap saya gila karena mencintai anak usia 23 tahun, sedangkan usia saya sendiri sudah 38 tahun.
Saya awalnya takut, Buk. Harus mengungkapkan perasaan ini. Namun, seperti saya katakan, saya tidak mau kehilangan kesempatan ini. Maaf kalau saya berbicara lewat pesan email. Rasanya takut kamu akan marah seperti pagi tadi, saya takut kamu membenci saya, Buk. Saya tidak sanggup melihat wajah murungmu lagi seperti tadi. Maka dari itu saya putuskan untuk berbicara lewat email saja, setidaknya saya tak perlu melihat wajahmu yang marah ketika membaca ini.
Saya tidak memaksamu untuk membalas perasaan ini, akan tetapi, tentu hati ini berharap besar bisa menjalin hubungan denganmu.
Dari yang menyayangimu, Hari Setiawan wicaksono.
Aku hanya bengong dan tak tau harus berkata apa setelah membaca isi email dari Pak Hari.
Akhirnya, aku memberanikan diri membalasnya.
Pak, saya berterima kasih atas perasaan yang telah Bapak kasih untuk saya, tapi ini sepertinya salah, karena ... pertama, Bapak merupakan atasan saya, aneh sepertinya jika Bapak mempunyai perasaan seperti ini.
Kedua, koreksi saya jika saya salah, bukankah Bapak sudah memiliki istri?.
Ketiga, saya tak mau bermain api di rumah tangga orang
Segera ku kirimkan email balasannya.
Kantuk di mataku tiba-tiba menghilang, mataku menerawang jauh memikirkan hal ini. Tiga puluh menit kemudian ponselku berdering dan aku mendadak takut mengangkatnya.
Karena nama yang terpampang di layar adalah Pak Bos. Aku kumpulkan keberanianku untuk mengangkat telepon tersebut.
"Halo."
"Ya, halo ... Buk. Kamu belum tidur, 'kan? Apa saya mengganggu kamu?" tanyanya dari seberang telepon.
"Nggak, kok, Pak. Ada apa?" tanyaku, seraya meremas bantal di tanganku.
"Masalah balasan emailmu tadi, ummm...."
Aku benar-benar takut dan gugup mendengar ucapan Pak Hari, kira-kira mau bicara apa dia? Apa tak dimarahi istrinya menelepon wanita jam segini.
"Buk ... yang pertama, menurut saya tidaklah aneh jika seorang laki-laki mencintai seorang perempuan walaupun itu atasan dan bawahan sekalipun. Yang kedua, saya sudah bercerai dari istri saya, dan yang ketiga saya rasa sudah terjawab dengan poin kedua"
Aku hanya bisa diam dengan jawaban Pak Hari, yak Allah benarkah dia sudah bercerai?
Chapter 3 Pertengkaran Hati, ganti judul ya gaes đ
Aku hanya menggigit bibir mendengar ucapan Pak Hari. "Halo, An." "Buk, kamu masih di situ kan?" "Halooooww, Buk Antysa." "Eee ... iya, Pak. Saya masih di sini." "Sebenarnya, saya mau dateng ke rumahmu. Tapi berhubung ini sudah malam, jadi saya telepon saja. Buk, saya benar-benar sudah bercerai dari istri saya, saya bisa buktikan itu kalau kamu nggak percaya." "Kapan Bapak bercerai?" Karena seingat ku tak pernah ada yang bergosip mengenai perceraian Pak Hari di kantor, padahal aku tahu betul orang-orang di kantor, berisi ratu gosip semua. "Sudah 4 bulan yang lalu. Kamu ingat waktu saya cuti selama satu minggu, pada 4 bulan yang lalu. Satu bulan setelah kamu kerja, di sanalah momen di mana saya sedang terpuruk. Ummm ... begini saja, Buk. Besok saja saya ceritakan, karena kurang enak rasanya kalau harus menjelaskan via telepon."
Malam ini aku habiskan dengan mendengarkan lagu dari penyanyi perempuan jebolan salah satu pencarian bakat, Fatin Sidqia. Bukan tanpa alasan, karena apa? Karena sepanjang perjalanan pulang bersama Pak Hari tadi siang, hanya album penyanyi perempuan itu saja yang kudengar, sepertinya Pak Hari menyukai lagu-lagu darinya. Entahla, aku hanya menebak sebenarnya. Malam ini aku seperti dimabuk cinta, kebahagiaan yang sulit kuungkapkan telah bersemi mengisi relung hati. Secepat inikah aku menaruh hati padanya? Ah, siapa yang tak ingin mendapatkan lelaki seperti Pak Hari? Lelaki tampan berwibawa serta bijaksana. Tetapi, Kalau sampai semua orang tau mengenai hubungan yang kumiliki dengan Pak Hari bila aku menerimanya, apa nanti kata mereka? Usiaku yang baru 23 tahun menjalin hubungan dengan lelaki duda berusia 38 tahun. Apa kata keluargaku? Ah, nanti saja kupikirkan itu, aku tak mau mengganggu suasana hatiku saat ini. Ting!
Sengaja sore ini aku tak mengizinkan Pak Hari mengantarku pulang karena aku tak mau orang kantor berpikiran negatif, dengan status duda Pak Hari yang sama sekali belum diketahui orang-orang kantor. Aku membaringkan badanku yang letih di atas kasur, pikiranku melayang memikirkan sosok Pak Hari, entah kenapa ada rasa rindu yang menelusup. Aku merasa mulai mencintai Pak Hari, sosoknya yang perhatian dan lucu membuat aku tak ingin jauh darinya. Aku melirik jam yang menempel di dinding, jam menunjukkan pukul 20:35. Tetapi, kenapa Pak Hari tak kunjung menghubungiku? Apakah dia merasa kecewa karena aku tak mengizinkannya mengantarku tadi? Kenapa juga aku gelisah seperti ini? Sepuluh, dua puluh, hingga empat puluh menit kemudian tak kunjung ada kabar darinya. Ah, bisa mati penasaran aku kalau begini, kuputuskan untuk menelponnya. Tuuuutt! Tuuuut! Belum ada jawaban juga, kemana Pak bosku ini? Apa dia marah atau jang
Pagi ini aku sudah menyiapkan beberapa pakaian dan keperluan yang mungkin akan aku butuhkan selama dua hari di kota A. Aku hanya tinggal menunggu Mas Budi menjemput saja. "An, itu jemputanmu sudah datang, Nak." Suara terdengar dari balik pintu. Aku merapikan tas dan siap berangkat. "Iya, Buk, sebentar." Mas Budi langsung menyambar koper kecilku dan memasukkannya ke dalam mobil. Eh, tapi tunggu ... aku seperti mengenal orang yang berbicara dengan Ayah. Aku mundur dua langkah agar bisa melihat sang empunya wajah dan ternyata itu Pak Hari. Oalah itu beneran Pak Bos, aku mematung dengan mulut yang menganga, dia keren sekali pagi ini, tidak seperti biasanya. Gayanya hari ini jauh dari kata formal, dia berpenampilan seperti anak muda. Perpaduan baju dan celana selutut yang di gunakannya serta dilengkapi dengan sepatu branded, sungguh tampilan yang indah dipandang. "Sudah siap
Mata ini tak kunjung mendapatkan rasa kantuk, aku memikirkan kemarahan Pak Hari yang kulihat tadi, rasanya ingin bertanya padanya. Namun, aku takut ... aku tak berani mencampuri urusannya. Sekarang, aku hanya mondar-mandir, sesekali mengintip ke layar televisi di kamar ini, rasa kesalku pada Pak Hari berubah menjadi rasa penasaran yang tinggi. Aku benar-benar tak bisa tidur karena gelisah. Kuputuskan untuk mencari udara segar saja di luar, siapa tau aku lebih tenang dan menikmati keindahan lampu yang berwarna-warni di taman hotel. Rasa dingin menelusup hingga ke tulangku dan ditambah aku yang tidak memakai jaket membuat desiran angin masuk ke pori-pori. Sedang asyik menikmati lampu-lampu taman, aku dikejutkan oleh bisikan di telingaku. "Ngapain di luar, Buk?" Aku menoleh, ternyata itu Pak Hari. "Nggak ngapa-ngapain, Pak. Hanya saja saya belum bisa tidur," jawabk
Aku begitu bahagia, hari-hariku lalui dengan penuh senyuman, pusing karena pekerjaan pun rasanya terbayar jika selepas kerja, aku bisa melihat sosok Pak Hari menemaniku. Tak terasa satu bulan berlalu, hubungan kami makin erat, bahkan kami berniat ingin melangsungkan kejenjang yang lebih serius, angan-angan pernikahan pun sudah di depan mata, bulan depan rencananya Pak Hari akan melamarku. Ah, bahagianya aku. "Hey, ngelamuni apa, sih? Senyam-senyum aja." Aku menoleh ke sumber suara, ternyata itu Manda. "Apa, sih, Man? Kepo, deh." Manda bersender pada meja kerjaku dan senyum-senyum seraya memicingkan mata. "Iya, deh. Yang sebentar lagi jadi nyonya Hari Setiawan Wicaksono, Beb kalo kamu udah nikah sama Pak Hari nanti, kamu masih kerja di sini nggak, sih? Masih mau temenan sama aku yang karyawan biasa ini, 'kan?" Aku menarik beberapa helai rambutnya. "Mulai, deh
Pagi ini aku bangun dengan mata yang seperti berkunang-kunang, mungkin terlalu banyak menangis semalam. Mataku pun terlihat bengkak di cermin. Ah, malu rasanya kalau harus berangkat kerja dengan mata bengkak seperti ini, kuputuskan untuk meminta izin saja untuk tidak masuk kerja. Aku segera menghubungi Manda, agar bisa menyampaikan izinku pada Pak Taufik kepala HRD. Hari ini aku hanya menghabiskan waktu di kamar, sesekali menggosok cincin di jari manis. Siapa tahu keluar jin hihi, perasaan bahagia dan sedih pun bercampur di dalamnya. Ponselku berdering, tapi entah kenapa malas sekali rasanya mengangkat panggilan itu, sudah bisa dipastikan itu adalah Pak Hari. Aku tetap bergeming dengan musik di ponsel itu, aku butuh istirahat saat ini. *** Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara Ibu. "An, ada si Hari di luar nak." "Ngapain, Buk?" tanyaku heran
Terjebak cinta terlarang Pak Bos"Maaf, Pak minta tanda tangan nya di sini.""Sik... Sini yang mana, An?""Ini, Pak."Aku segera menyodorkan tumpukan kertas setinggi 3cm."Wih borongan sampeyan, An? ngasih sing akkeeeh tenan.""Iya, Pak... Itu kan rincian detail satu bulan ini.""Wis lah nanti tak tanda tangani An, oya nanti kamu ke bank ngga? Itu dana yang diajuin kemarin udah dikirim loh, An.""Iya, Pak. Nanti saya ke bank sama supir sekitar jam 10, oya sekalian Pak, ini tolong tanda tangan buat ceknya ya, Pak... Buat ke bank." sambil menyodorkan satu lembar cek."Nih, An. Udah."Pak Hari menyodorkan selembar cek dengan senyum yang merekah."Makasih, Pak.""Njih... An."***Aku segera berjalan menuju mobil di park
Pagi ini aku bangun dengan mata yang seperti berkunang-kunang, mungkin terlalu banyak menangis semalam. Mataku pun terlihat bengkak di cermin. Ah, malu rasanya kalau harus berangkat kerja dengan mata bengkak seperti ini, kuputuskan untuk meminta izin saja untuk tidak masuk kerja. Aku segera menghubungi Manda, agar bisa menyampaikan izinku pada Pak Taufik kepala HRD. Hari ini aku hanya menghabiskan waktu di kamar, sesekali menggosok cincin di jari manis. Siapa tahu keluar jin hihi, perasaan bahagia dan sedih pun bercampur di dalamnya. Ponselku berdering, tapi entah kenapa malas sekali rasanya mengangkat panggilan itu, sudah bisa dipastikan itu adalah Pak Hari. Aku tetap bergeming dengan musik di ponsel itu, aku butuh istirahat saat ini. *** Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara Ibu. "An, ada si Hari di luar nak." "Ngapain, Buk?" tanyaku heran
Aku begitu bahagia, hari-hariku lalui dengan penuh senyuman, pusing karena pekerjaan pun rasanya terbayar jika selepas kerja, aku bisa melihat sosok Pak Hari menemaniku. Tak terasa satu bulan berlalu, hubungan kami makin erat, bahkan kami berniat ingin melangsungkan kejenjang yang lebih serius, angan-angan pernikahan pun sudah di depan mata, bulan depan rencananya Pak Hari akan melamarku. Ah, bahagianya aku. "Hey, ngelamuni apa, sih? Senyam-senyum aja." Aku menoleh ke sumber suara, ternyata itu Manda. "Apa, sih, Man? Kepo, deh." Manda bersender pada meja kerjaku dan senyum-senyum seraya memicingkan mata. "Iya, deh. Yang sebentar lagi jadi nyonya Hari Setiawan Wicaksono, Beb kalo kamu udah nikah sama Pak Hari nanti, kamu masih kerja di sini nggak, sih? Masih mau temenan sama aku yang karyawan biasa ini, 'kan?" Aku menarik beberapa helai rambutnya. "Mulai, deh
Mata ini tak kunjung mendapatkan rasa kantuk, aku memikirkan kemarahan Pak Hari yang kulihat tadi, rasanya ingin bertanya padanya. Namun, aku takut ... aku tak berani mencampuri urusannya. Sekarang, aku hanya mondar-mandir, sesekali mengintip ke layar televisi di kamar ini, rasa kesalku pada Pak Hari berubah menjadi rasa penasaran yang tinggi. Aku benar-benar tak bisa tidur karena gelisah. Kuputuskan untuk mencari udara segar saja di luar, siapa tau aku lebih tenang dan menikmati keindahan lampu yang berwarna-warni di taman hotel. Rasa dingin menelusup hingga ke tulangku dan ditambah aku yang tidak memakai jaket membuat desiran angin masuk ke pori-pori. Sedang asyik menikmati lampu-lampu taman, aku dikejutkan oleh bisikan di telingaku. "Ngapain di luar, Buk?" Aku menoleh, ternyata itu Pak Hari. "Nggak ngapa-ngapain, Pak. Hanya saja saya belum bisa tidur," jawabk
Pagi ini aku sudah menyiapkan beberapa pakaian dan keperluan yang mungkin akan aku butuhkan selama dua hari di kota A. Aku hanya tinggal menunggu Mas Budi menjemput saja. "An, itu jemputanmu sudah datang, Nak." Suara terdengar dari balik pintu. Aku merapikan tas dan siap berangkat. "Iya, Buk, sebentar." Mas Budi langsung menyambar koper kecilku dan memasukkannya ke dalam mobil. Eh, tapi tunggu ... aku seperti mengenal orang yang berbicara dengan Ayah. Aku mundur dua langkah agar bisa melihat sang empunya wajah dan ternyata itu Pak Hari. Oalah itu beneran Pak Bos, aku mematung dengan mulut yang menganga, dia keren sekali pagi ini, tidak seperti biasanya. Gayanya hari ini jauh dari kata formal, dia berpenampilan seperti anak muda. Perpaduan baju dan celana selutut yang di gunakannya serta dilengkapi dengan sepatu branded, sungguh tampilan yang indah dipandang. "Sudah siap
Sengaja sore ini aku tak mengizinkan Pak Hari mengantarku pulang karena aku tak mau orang kantor berpikiran negatif, dengan status duda Pak Hari yang sama sekali belum diketahui orang-orang kantor. Aku membaringkan badanku yang letih di atas kasur, pikiranku melayang memikirkan sosok Pak Hari, entah kenapa ada rasa rindu yang menelusup. Aku merasa mulai mencintai Pak Hari, sosoknya yang perhatian dan lucu membuat aku tak ingin jauh darinya. Aku melirik jam yang menempel di dinding, jam menunjukkan pukul 20:35. Tetapi, kenapa Pak Hari tak kunjung menghubungiku? Apakah dia merasa kecewa karena aku tak mengizinkannya mengantarku tadi? Kenapa juga aku gelisah seperti ini? Sepuluh, dua puluh, hingga empat puluh menit kemudian tak kunjung ada kabar darinya. Ah, bisa mati penasaran aku kalau begini, kuputuskan untuk menelponnya. Tuuuutt! Tuuuut! Belum ada jawaban juga, kemana Pak bosku ini? Apa dia marah atau jang
Malam ini aku habiskan dengan mendengarkan lagu dari penyanyi perempuan jebolan salah satu pencarian bakat, Fatin Sidqia. Bukan tanpa alasan, karena apa? Karena sepanjang perjalanan pulang bersama Pak Hari tadi siang, hanya album penyanyi perempuan itu saja yang kudengar, sepertinya Pak Hari menyukai lagu-lagu darinya. Entahla, aku hanya menebak sebenarnya. Malam ini aku seperti dimabuk cinta, kebahagiaan yang sulit kuungkapkan telah bersemi mengisi relung hati. Secepat inikah aku menaruh hati padanya? Ah, siapa yang tak ingin mendapatkan lelaki seperti Pak Hari? Lelaki tampan berwibawa serta bijaksana. Tetapi, Kalau sampai semua orang tau mengenai hubungan yang kumiliki dengan Pak Hari bila aku menerimanya, apa nanti kata mereka? Usiaku yang baru 23 tahun menjalin hubungan dengan lelaki duda berusia 38 tahun. Apa kata keluargaku? Ah, nanti saja kupikirkan itu, aku tak mau mengganggu suasana hatiku saat ini. Ting!
Aku hanya menggigit bibir mendengar ucapan Pak Hari. "Halo, An." "Buk, kamu masih di situ kan?" "Halooooww, Buk Antysa." "Eee ... iya, Pak. Saya masih di sini." "Sebenarnya, saya mau dateng ke rumahmu. Tapi berhubung ini sudah malam, jadi saya telepon saja. Buk, saya benar-benar sudah bercerai dari istri saya, saya bisa buktikan itu kalau kamu nggak percaya." "Kapan Bapak bercerai?" Karena seingat ku tak pernah ada yang bergosip mengenai perceraian Pak Hari di kantor, padahal aku tahu betul orang-orang di kantor, berisi ratu gosip semua. "Sudah 4 bulan yang lalu. Kamu ingat waktu saya cuti selama satu minggu, pada 4 bulan yang lalu. Satu bulan setelah kamu kerja, di sanalah momen di mana saya sedang terpuruk. Ummm ... begini saja, Buk. Besok saja saya ceritakan, karena kurang enak rasanya kalau harus menjelaskan via telepon."
Aku sudah selesai bersiap ke kantor, memakai setelan kemeja pink salem, dipadu dengan celana hitam, dilengkapi dengan hijab berwarna senada. Tiba-tiba dering ponselku berbunyi dan tertera nama 'Pak bos' di sana. Ada apa Pak Hari menelpon sepagi ini, ada yang urgent, 'kah? "Assalamu' alaikum, Pak." "Walaikumus salam, Buk. Saya udah di ujung jalan dekat rumahmu, Buk." Terdengar suara dari seberang. "Loh, ngapain di sana, Pak?" tanyaku kaget. "Ya ... jemput kamu lah, Buk." jawabnya datar. "Kapan kita janjian mau pergi ke kantor bareng, Pak?" tanyaku sedikit heran. "Ya nggak ada janji, sih. Tapi berhubung saya sangat peduli dan juga takut kalau karyawan saya telat, jadi saya jemput. Nggak salah, 'kan? Udah, Buk. Ayo, kita pergi nanti telat." jawabnya santai. Apalagi ini? Tak mungkin juga ditolak, jika dia sudah di depan. a
Terjebak cinta terlarang Pak bosPanas dingin aku memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan pada Pak Hari, aduh... ada apa dengan Pak Hari ini, pikirku.Ditambah pikiran mengenai laporan keuangan yang harus aku selesaikan, sukses membuat pikiranku mumet dan ingin berteriak, aku memejamkan mata seraya berpikir, oke... Aku balas saja pesan Pak Hari, sudah terbaca ini, kalau tidak dibalas nanti bisa kena SP lagi, pikirku.[Maaf Pak, saya dijemput sama Ayah saya, tadi beliau sudah menelpon.] segera ku kirimkan dengan Pak Hari.[Oh yasudah Buk tidak apa-apa, ngga berani juga nentang keputusan camer]"Hah????!!"Makin terkejut aku membaca balasan dari Pak Hari, ya ampun sebenarnya kenapa Pak Hari ini, dia bercanda atau bagaimana, kepala ku senat-senut rasanya, aku memutuskan tidak membalas pesannya , karena aku tak tau harus membalasnya dengan kalimat apa.***