Terjebak cinta terlarang Pak Bos
"Maaf, Pak minta tanda tangan nya di sini."
"Sik... Sini yang mana, An?"
"Ini, Pak."
Aku segera menyodorkan tumpukan kertas setinggi 3cm.
"Wih borongan sampeyan, An? ngasih sing akkeeeh tenan."
"Iya, Pak... Itu kan rincian detail satu bulan ini."
"Wis lah nanti tak tanda tangani An, oya nanti kamu ke bank ngga? Itu dana yang diajuin kemarin udah dikirim loh, An."
"Iya, Pak. Nanti saya ke bank sama supir sekitar jam 10, oya sekalian Pak, ini tolong tanda tangan buat ceknya ya, Pak... Buat ke bank." sambil menyodorkan satu lembar cek.
"Nih, An. Udah."
Pak Hari menyodorkan selembar cek dengan senyum yang merekah.
"Makasih, Pak."
"Njih... An."
***
Aku segera berjalan menuju mobil di parkiran, pasti Mas Budi menunggu di mobil pikirku, karena memang seperti itulah biasanya, tetapi tidak biasanya dia tidak memberitahuku lewat pesan singkat, Mas Budi adalah supir di kantor ini, aku biasa pergi kemana mana dengannya, aku panggil Mas, karena memang orang-orang di kantor memanggilnya dengan sebutan itu, mungkin karena dia masih single dan muda.
"Ayo, Mas jalan."
Aku langsung duduk dan memasang safety belt tanpa melihat kearah kursi kemudi.
"Iya, baik Buk finance."
Suara itu kenapa seperti suara...?? Yak ampun apa aku salah naik mobil nih, aduh mati aku, rasa takut langsung menelusup ke rongga hati dan jantung hingga paru-paru.
Aku segera menoleh dan terkejut setelah sadar sosok di kemudi adalah Pak Hari bukanlah Mas Budi.
Dengan gugup aku memberanikan diri berbicara walaupun terbata.
"Ee..ee Pak Hari, ma..af Pak sepertinya saya salah naik mobil."
"Siapa bilang kamu salah naik mobil, bener kok, ya tapi memang supirmu hari ini ya Saya."
"Loh kok Bapak? Kemana Mas Budi nya?, Pak?"
"Dia lagi anter Pak Taufik ke Lapangan, dan kebetulan saya ada urusan di bank hari ini, jadi ngga ada salahnya dong saya bareng kamu."
"Oh iya Pak, makasih ya Pak, jadi ngga enak saya disupirin sama bos."
"Biasa aja, An, jangan guguplah sama saya, saya ini ngga makan orang kok, masih makan nasi sama kayak kamu" Pak Hari terkekeh sambil menghidupkan mobil dan memulai perjalanan.
"Oya, An. Apa kamu selalu duduk didepan kalau lagi sama Budi?"
Aku terkejut mendengar pertanyaan Pak Hari dan reflek menggigit bibirku sendiri.
"I...iya, Pak, saya memang selalu duduk didepan, karena saya fikir buat apa duduk di belakang toh kami ini masih karyawan semua dan saya bukanlah bos besar yang harus duduk manis dibelakang."
"Ooo... Ngono toh, Buk, saya sih rela aja Buk kalau nyupirin kamu setiap hari gini, mau kemana aja saya anterin." Pak Hari tersenyum sambil menoleh ke arahku.
Deeeeg hati ku langsung kayak dibolak-balik, ngga nyangka nih si Pak Hari yang terkenal kiler kalau di lapangan bisa bercanda sengeri ini, apa ngga ngeri tuh aku jadi kikuk mau jawab apa.
"Oya, masa si, Pak?"
"Iya, Buk finance saya serius."
Kami mengobrol banyak diperjalanan, dan aku mulai terbiasa dengan candaan yang diberikan Pak Hari, ternyata Pak Hari ini sangat lah lucu, sangatlah berbeda dengan gayanya kalau di lapangan, apalagi kalau mendengar dia berbicara, masih terdengar jelas logat Jawa nya itu yang menambah kelucuannya menurutku.
Setelah selesai mencairkan cek aku segera menuju ke mobil.
Eh tapi mana Pak Hari ya, apa dia di mobil kok ngga turun katanya ada keperluan di bank.
Cklek...
"Loh kok, Bapak masih di sini? Katanya ada keperluan di bank kok ngga turun?"
"Ngga jadi, Buk. Oya, Buk kita makan siang dulu ya, saya udah laper."
"Umm, okeh, Pak."
***
Makanan di piringku masih tersisa setengah, bukan karena aku malu ya ngabisinnya, karena memang aku masih kenyang oleh sarapanku pagi tadi dan memang menurutku porsi ini melebihi jatah makanku biasanya.
"Loh, An, kok piye makananmu ngga diabisin?"
"Saya udah kenyang, Pak, tadi sarapan
nya banyak sih."
"Beneran, An?, apa makanan nya ngga enak? Pesen yang lain aja kalau ngga suka, An."
"Eh engga kok Pak, enak kok makanan nya, saya emang udah kenyang, Pak. Terus porsi saya makan emang ngga begitu banyak, karena perut saya ngga bisa nerima kalau terlalu banyak jadinya mual Pak."
"Oo... Gitu saya kirain kamu ngga suka makanan nya, An."
"Suka Pak, enak banget malah, sayang banget sebenernya nyisain gini, ya tapi mau gimana emang kenyang sih."
Setelah menyelesaikan makan siang kami segera beranjak dari meja makan.
"Nih An, ambil."
"Loh, Bapak bungkusin buat siapa, buat orang di kantor ya?"
"Ya buat kamu lah An, nanti kalau di kantor kamu laper bisa jadi cemilan."
"Bapak bercanda nih masa iya saya nyemilin lobster asam manis sih, itu mah makan nama nya bukan nyemil, nyemil tu makanan ringan Pak." dasar Bapak bos yang ajaib.
***
Pak Hari tiba-tiba menepi di pinggir mini market dan mengajakku masuk ke dalamnya, tapi berhubung aku agak mengantuk jadi aku menolak dengan lembut tawarannya.
"An, nih ambil." sambil meletakkan sekantung besar penuh yang berisi makanan.
"Buat siapa Pak, banyak amat beli makanannya."
"Buat Kamu nyonya financeku, Antisya Nabila Wicaksono."
Wicaksono???? Dengan sedikit mengangkat sebelah alisku, sejak kapan namaku ada Wicaksononya, bukankah Wicaksono itu nama belakang Pak Hari, ya... Nama nya Hari setiawan Wicaksono.
"Ngga ada wicaksono nya loh Pak nama saya."
"Oh iya ya, tapi menurut saya lebih bagus kalau ada wicaksononya, ya kayak nyonya Hari Wicaksono misalnya."
Aku menelan saliva yang sedikit tiba-tiba tersangkut sepertinya.
"Oalah, Bapak ini kerjaannya bercandaaaa terus, nanti aku bisa pingsan ini."
"Ya ngga apa-apa kalau pingsan, asal pingsannya dihati saya."
"Udah ah Pak, saya lempar pake sepatu nih."
"Beneran nih mau lempar saya, emangnya berani.''
"Berani lah, tapi janji dulu jangan di pecat sayanya, janji di atas materai loh ya."
"Yaaa enak dikamu dong, Buk, enak kita tanda tangan diatas materai aja Buk, yang bukunya ada warna ijo sama merah maroon."
Aku berfikir sejenak dan mengartikan maksud jawaban Pak Hari, tapi aku bingung artinya apa, buku apa yang dimaksud.
Karena aku ngga tau jawabannya dan gengsi buat nanya, jadi aku langsung mengalihkan pembicaraan.
"Pak, buruan dong balik ke kantor saya masih banyak kerjaan ni."
"Alah besok juga bisa kok Buk."
"Enak aja nanti kerjaan saya jadi numpuk Pak Hari Setiawan Wicaksono."
"Iya deh Buk Hari Setiawan Wicaksono kita pulang.''
Aku yang terkejut mendengar ucapan Pak Hari seketika membulatkan mata sempurna dengan senyum getir.
***
[Buk Hari, pulang nanti saya anter ya? Ini perintah bos loh Buk]
Aku terbelalak membaca pesan singkat di aplikasi hijau itu, ini maksudnya apa ya, ada apa dengan Pak Hari, apa Dia kesambet pikirku, dia ini kan sudah punya istri, apa pantas mengirimiku pesan seperti ini. Aku benar-benar sulit menebak maksud dari Pak Hari, tapi entah kenapa pesannya ini telah membuat aku sedikit tersenyum, ah Antti apa yang kau pikirkan dia ini bosmu dan sudah punya istri pula.
Terjebak cinta terlarang Pak Bos
"Maaf, Pak minta tanda tangan nya di sini."
"Sik... Sini yang mana, An?"
"Ini, Pak."
Aku segera menyodorkan tumpukan kertas setinggi 3cm."Wih borongan sampeyan, An? ngasih sing akkeeeh tenan."
"Iya, Pak... Itu kan rincian detail satu bulan ini."
"Wis lah nanti tak tanda tangani An, oya nanti kamu ke bank ngga? Itu dana yang diajuin kemarin udah dikirim loh, An."
"Iya, Pak. Nanti saya ke bank sama supir sekitar jam 10, oya sekalian Pak, ini tolong tanda tangan buat ceknya ya, Pak... Buat ke bank." sambil menyodorkan satu lembar cek.
"Nih, An. Udah."
Pak Hari menyodorkan selembar cek dengan senyum yang merekah."Makasih, Pak."
"Njih... An."
***
Aku segera berjalan menuju mobil di parkiran, pasti Mas Budi menunggu di mobil pikirku, karena memang seperti itulah biasanya, tetapi tidak biasanya dia tidak memberitahuku lewat pesan singkat, Mas Budi adalah supir di kantor ini, aku biasa pergi kemana mana dengannya, aku panggil Mas, karena memang orang-orang di kantor memanggilnya dengan sebutan itu, mungkin karena dia masih single dan muda.
"Ayo, Mas jalan."
Aku langsung duduk dan memasang safety belt tanpa melihat kearah kursi kemudi."Iya, baik Buk finance."
Suara itu kenapa seperti suara...?? Yak ampun apa aku salah naik mobil nih, aduh mati aku, rasa takut langsung menelusup ke rongga hati dan jantung hingga paru-paru.
Aku segera menoleh dan terkejut setelah sadar sosok di kemudi adalah Pak Hari bukanlah Mas Budi.Dengan gugup aku memberanikan diri berbicara walaupun terbata.
"Ee..ee Pak Hari, ma..af Pak sepertinya saya salah naik mobil.""Siapa bilang kamu salah naik mobil, bener kok, ya tapi memang supirmu hari ini ya Saya."
"Loh kok Bapak? Kemana Mas Budi nya?, Pak?"
"Dia lagi anter Pak Taufik ke Lapangan, dan kebetulan saya ada urusan di bank hari ini, jadi ngga ada salahnya dong saya bareng kamu."
"Oh iya Pak, makasih ya Pak, jadi ngga enak saya disupirin sama bos."
"Biasa aja, An, jangan guguplah sama saya, saya ini ngga makan orang kok, masih makan nasi sama kayak kamu" Pak Hari terkekeh sambil menghidupkan mobil dan memulai perjalanan.
"Oya, An. Apa kamu selalu duduk didepan kalau lagi sama Budi?"Aku terkejut mendengar pertanyaan Pak Hari dan reflek menggigit bibirku sendiri.
"I...iya, Pak, saya memang selalu duduk didepan, karena saya fikir buat apa duduk di belakang toh kami ini masih karyawan semua dan saya bukanlah bos besar yang harus duduk manis dibelakang.""Ooo... Ngono toh, Buk, saya sih rela aja Buk kalau nyupirin kamu setiap hari gini, mau kemana aja saya anterin." Pak Hari tersenyum sambil menoleh ke arahku.
Deeeeg hati ku langsung kayak dibolak-balik, ngga nyangka nih si Pak Hari yang terkenal kiler kalau di lapangan bisa bercanda sengeri ini, apa ngga ngeri tuh aku jadi kikuk mau jawab apa.
"Oya, masa si, Pak?"
"Iya, Buk finance saya serius."
Kami mengobrol banyak diperjalanan, dan aku mulai terbiasa dengan candaan yang diberikan Pak Hari, ternyata Pak Hari ini sangat lah lucu, sangatlah berbeda dengan gayanya kalau di lapangan, apalagi kalau mendengar dia berbicara, masih terdengar jelas logat Jawa nya itu yang menambah kelucuannya menurutku.
Setelah selesai mencairkan cek aku segera menuju ke mobil.
Eh tapi mana Pak Hari ya, apa dia di mobil kok ngga turun katanya ada keperluan di bank.Cklek...
"Loh kok, Bapak masih di sini? Katanya ada keperluan di bank kok ngga turun?""Ngga jadi, Buk. Oya, Buk kita makan siang dulu ya, saya udah laper."
"Umm, okeh, Pak."
***Makanan di piringku masih tersisa setengah, bukan karena aku malu ya ngabisinnya, karena memang aku masih kenyang oleh sarapanku pagi tadi dan memang menurutku porsi ini melebihi jatah makanku biasanya.
"Loh, An, kok piye makananmu ngga diabisin?"
"Saya udah kenyang, Pak, tadi sarapan
nya banyak sih.""Beneran, An?, apa makanan nya ngga enak? Pesen yang lain aja kalau ngga suka, An."
"Eh engga kok Pak, enak kok makanan nya, saya emang udah kenyang, Pak. Terus porsi saya makan emang ngga begitu banyak, karena perut saya ngga bisa nerima kalau terlalu banyak jadinya mual Pak."
"Oo... Gitu saya kirain kamu ngga suka makanan nya, An."
"Suka Pak, enak banget malah, sayang banget sebenernya nyisain gini, ya tapi mau gimana emang kenyang sih."
Setelah menyelesaikan makan siang kami segera beranjak dari meja makan.
"Nih An, ambil."
"Loh, Bapak bungkusin buat siapa, buat orang di kantor ya?"
"Ya buat kamu lah An, nanti kalau di kantor kamu laper bisa jadi cemilan."
"Bapak bercanda nih masa iya saya nyemilin lobster asam manis sih, itu mah makan nama nya bukan nyemil, nyemil tu makanan ringan Pak." dasar Bapak bos yang ajaib.
***
Pak Hari tiba-tiba menepi di pinggir mini market dan mengajakku masuk ke dalamnya, tapi berhubung aku agak mengantuk jadi aku menolak dengan lembut tawarannya.
"An, nih ambil." sambil meletakkan sekantung besar penuh yang berisi makanan.
"Buat siapa Pak, banyak amat beli makanannya."
"Buat Kamu nyonya financeku, Antisya Nabila Wicaksono."
Wicaksono???? Dengan sedikit mengangkat sebelah alisku, sejak kapan namaku ada Wicaksononya, bukankah Wicaksono itu nama belakang Pak Hari, ya... Nama nya Hari setiawan Wicaksono.
"Ngga ada wicaksono nya loh Pak nama saya."
"Oh iya ya, tapi menurut saya lebih bagus kalau ada wicaksononya, ya kayak nyonya Hari Wicaksono misalnya."
Aku menelan saliva yang sedikit tiba-tiba tersangkut sepertinya.
"Oalah, Bapak ini kerjaannya bercandaaaa terus, nanti aku bisa pingsan ini."
"Ya ngga apa-apa kalau pingsan, asal pingsannya dihati saya."
"Udah ah Pak, saya lempar pake sepatu nih."
"Beneran nih mau lempar saya, emangnya berani.''
"Berani lah, tapi janji dulu jangan di pecat sayanya, janji di atas materai loh ya."
"Yaaa enak dikamu dong, Buk, enak kita tanda tangan diatas materai aja Buk, yang bukunya ada warna ijo sama merah maroon."
Aku berfikir sejenak dan mengartikan maksud jawaban Pak Hari, tapi aku bingung artinya apa, buku apa yang dimaksud.
Karena aku ngga tau jawabannya dan gengsi buat nanya, jadi aku langsung mengalihkan pembicaraan."Pak, buruan dong balik ke kantor saya masih banyak kerjaan ni."
"Alah besok juga bisa kok Buk."
"Enak aja nanti kerjaan saya jadi numpuk Pak Hari Setiawan Wicaksono."
"Iya deh Buk Hari Setiawan Wicaksono kita pulang.''
Aku yang terkejut mendengar ucapan Pak Hari seketika membulatkan mata sempurna dengan senyum getir.***
[Buk Hari, pulang nanti saya anter ya? Ini perintah bos loh Buk]
Aku terbelalak membaca pesan singkat di aplikasi hijau itu, ini maksudnya apa ya, ada apa dengan Pak Hari, apa Dia kesambet pikirku, dia ini kan sudah punya istri, apa pantas mengirimiku pesan seperti ini. Aku benar-benar sulit menebak maksud dari Pak Hari, tapi entah kenapa pesannya ini telah membuat aku sedikit tersenyum, ah Antti apa yang kau pikirkan dia ini bosmu dan sudah punya istri pula.
Terjebak cinta terlarang Pak bosPanas dingin aku memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan pada Pak Hari, aduh... ada apa dengan Pak Hari ini, pikirku.Ditambah pikiran mengenai laporan keuangan yang harus aku selesaikan, sukses membuat pikiranku mumet dan ingin berteriak, aku memejamkan mata seraya berpikir, oke... Aku balas saja pesan Pak Hari, sudah terbaca ini, kalau tidak dibalas nanti bisa kena SP lagi, pikirku.[Maaf Pak, saya dijemput sama Ayah saya, tadi beliau sudah menelpon.] segera ku kirimkan dengan Pak Hari.[Oh yasudah Buk tidak apa-apa, ngga berani juga nentang keputusan camer]"Hah????!!"Makin terkejut aku membaca balasan dari Pak Hari, ya ampun sebenarnya kenapa Pak Hari ini, dia bercanda atau bagaimana, kepala ku senat-senut rasanya, aku memutuskan tidak membalas pesannya , karena aku tak tau harus membalasnya dengan kalimat apa.***
Aku sudah selesai bersiap ke kantor, memakai setelan kemeja pink salem, dipadu dengan celana hitam, dilengkapi dengan hijab berwarna senada. Tiba-tiba dering ponselku berbunyi dan tertera nama 'Pak bos' di sana. Ada apa Pak Hari menelpon sepagi ini, ada yang urgent, 'kah? "Assalamu' alaikum, Pak." "Walaikumus salam, Buk. Saya udah di ujung jalan dekat rumahmu, Buk." Terdengar suara dari seberang. "Loh, ngapain di sana, Pak?" tanyaku kaget. "Ya ... jemput kamu lah, Buk." jawabnya datar. "Kapan kita janjian mau pergi ke kantor bareng, Pak?" tanyaku sedikit heran. "Ya nggak ada janji, sih. Tapi berhubung saya sangat peduli dan juga takut kalau karyawan saya telat, jadi saya jemput. Nggak salah, 'kan? Udah, Buk. Ayo, kita pergi nanti telat." jawabnya santai. Apalagi ini? Tak mungkin juga ditolak, jika dia sudah di depan. a
Aku hanya menggigit bibir mendengar ucapan Pak Hari. "Halo, An." "Buk, kamu masih di situ kan?" "Halooooww, Buk Antysa." "Eee ... iya, Pak. Saya masih di sini." "Sebenarnya, saya mau dateng ke rumahmu. Tapi berhubung ini sudah malam, jadi saya telepon saja. Buk, saya benar-benar sudah bercerai dari istri saya, saya bisa buktikan itu kalau kamu nggak percaya." "Kapan Bapak bercerai?" Karena seingat ku tak pernah ada yang bergosip mengenai perceraian Pak Hari di kantor, padahal aku tahu betul orang-orang di kantor, berisi ratu gosip semua. "Sudah 4 bulan yang lalu. Kamu ingat waktu saya cuti selama satu minggu, pada 4 bulan yang lalu. Satu bulan setelah kamu kerja, di sanalah momen di mana saya sedang terpuruk. Ummm ... begini saja, Buk. Besok saja saya ceritakan, karena kurang enak rasanya kalau harus menjelaskan via telepon."
Malam ini aku habiskan dengan mendengarkan lagu dari penyanyi perempuan jebolan salah satu pencarian bakat, Fatin Sidqia. Bukan tanpa alasan, karena apa? Karena sepanjang perjalanan pulang bersama Pak Hari tadi siang, hanya album penyanyi perempuan itu saja yang kudengar, sepertinya Pak Hari menyukai lagu-lagu darinya. Entahla, aku hanya menebak sebenarnya. Malam ini aku seperti dimabuk cinta, kebahagiaan yang sulit kuungkapkan telah bersemi mengisi relung hati. Secepat inikah aku menaruh hati padanya? Ah, siapa yang tak ingin mendapatkan lelaki seperti Pak Hari? Lelaki tampan berwibawa serta bijaksana. Tetapi, Kalau sampai semua orang tau mengenai hubungan yang kumiliki dengan Pak Hari bila aku menerimanya, apa nanti kata mereka? Usiaku yang baru 23 tahun menjalin hubungan dengan lelaki duda berusia 38 tahun. Apa kata keluargaku? Ah, nanti saja kupikirkan itu, aku tak mau mengganggu suasana hatiku saat ini. Ting!
Sengaja sore ini aku tak mengizinkan Pak Hari mengantarku pulang karena aku tak mau orang kantor berpikiran negatif, dengan status duda Pak Hari yang sama sekali belum diketahui orang-orang kantor. Aku membaringkan badanku yang letih di atas kasur, pikiranku melayang memikirkan sosok Pak Hari, entah kenapa ada rasa rindu yang menelusup. Aku merasa mulai mencintai Pak Hari, sosoknya yang perhatian dan lucu membuat aku tak ingin jauh darinya. Aku melirik jam yang menempel di dinding, jam menunjukkan pukul 20:35. Tetapi, kenapa Pak Hari tak kunjung menghubungiku? Apakah dia merasa kecewa karena aku tak mengizinkannya mengantarku tadi? Kenapa juga aku gelisah seperti ini? Sepuluh, dua puluh, hingga empat puluh menit kemudian tak kunjung ada kabar darinya. Ah, bisa mati penasaran aku kalau begini, kuputuskan untuk menelponnya. Tuuuutt! Tuuuut! Belum ada jawaban juga, kemana Pak bosku ini? Apa dia marah atau jang
Pagi ini aku sudah menyiapkan beberapa pakaian dan keperluan yang mungkin akan aku butuhkan selama dua hari di kota A. Aku hanya tinggal menunggu Mas Budi menjemput saja. "An, itu jemputanmu sudah datang, Nak." Suara terdengar dari balik pintu. Aku merapikan tas dan siap berangkat. "Iya, Buk, sebentar." Mas Budi langsung menyambar koper kecilku dan memasukkannya ke dalam mobil. Eh, tapi tunggu ... aku seperti mengenal orang yang berbicara dengan Ayah. Aku mundur dua langkah agar bisa melihat sang empunya wajah dan ternyata itu Pak Hari. Oalah itu beneran Pak Bos, aku mematung dengan mulut yang menganga, dia keren sekali pagi ini, tidak seperti biasanya. Gayanya hari ini jauh dari kata formal, dia berpenampilan seperti anak muda. Perpaduan baju dan celana selutut yang di gunakannya serta dilengkapi dengan sepatu branded, sungguh tampilan yang indah dipandang. "Sudah siap
Mata ini tak kunjung mendapatkan rasa kantuk, aku memikirkan kemarahan Pak Hari yang kulihat tadi, rasanya ingin bertanya padanya. Namun, aku takut ... aku tak berani mencampuri urusannya. Sekarang, aku hanya mondar-mandir, sesekali mengintip ke layar televisi di kamar ini, rasa kesalku pada Pak Hari berubah menjadi rasa penasaran yang tinggi. Aku benar-benar tak bisa tidur karena gelisah. Kuputuskan untuk mencari udara segar saja di luar, siapa tau aku lebih tenang dan menikmati keindahan lampu yang berwarna-warni di taman hotel. Rasa dingin menelusup hingga ke tulangku dan ditambah aku yang tidak memakai jaket membuat desiran angin masuk ke pori-pori. Sedang asyik menikmati lampu-lampu taman, aku dikejutkan oleh bisikan di telingaku. "Ngapain di luar, Buk?" Aku menoleh, ternyata itu Pak Hari. "Nggak ngapa-ngapain, Pak. Hanya saja saya belum bisa tidur," jawabk
Aku begitu bahagia, hari-hariku lalui dengan penuh senyuman, pusing karena pekerjaan pun rasanya terbayar jika selepas kerja, aku bisa melihat sosok Pak Hari menemaniku. Tak terasa satu bulan berlalu, hubungan kami makin erat, bahkan kami berniat ingin melangsungkan kejenjang yang lebih serius, angan-angan pernikahan pun sudah di depan mata, bulan depan rencananya Pak Hari akan melamarku. Ah, bahagianya aku. "Hey, ngelamuni apa, sih? Senyam-senyum aja." Aku menoleh ke sumber suara, ternyata itu Manda. "Apa, sih, Man? Kepo, deh." Manda bersender pada meja kerjaku dan senyum-senyum seraya memicingkan mata. "Iya, deh. Yang sebentar lagi jadi nyonya Hari Setiawan Wicaksono, Beb kalo kamu udah nikah sama Pak Hari nanti, kamu masih kerja di sini nggak, sih? Masih mau temenan sama aku yang karyawan biasa ini, 'kan?" Aku menarik beberapa helai rambutnya. "Mulai, deh
Pagi ini aku bangun dengan mata yang seperti berkunang-kunang, mungkin terlalu banyak menangis semalam. Mataku pun terlihat bengkak di cermin. Ah, malu rasanya kalau harus berangkat kerja dengan mata bengkak seperti ini, kuputuskan untuk meminta izin saja untuk tidak masuk kerja. Aku segera menghubungi Manda, agar bisa menyampaikan izinku pada Pak Taufik kepala HRD. Hari ini aku hanya menghabiskan waktu di kamar, sesekali menggosok cincin di jari manis. Siapa tahu keluar jin hihi, perasaan bahagia dan sedih pun bercampur di dalamnya. Ponselku berdering, tapi entah kenapa malas sekali rasanya mengangkat panggilan itu, sudah bisa dipastikan itu adalah Pak Hari. Aku tetap bergeming dengan musik di ponsel itu, aku butuh istirahat saat ini. *** Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara Ibu. "An, ada si Hari di luar nak." "Ngapain, Buk?" tanyaku heran
Aku begitu bahagia, hari-hariku lalui dengan penuh senyuman, pusing karena pekerjaan pun rasanya terbayar jika selepas kerja, aku bisa melihat sosok Pak Hari menemaniku. Tak terasa satu bulan berlalu, hubungan kami makin erat, bahkan kami berniat ingin melangsungkan kejenjang yang lebih serius, angan-angan pernikahan pun sudah di depan mata, bulan depan rencananya Pak Hari akan melamarku. Ah, bahagianya aku. "Hey, ngelamuni apa, sih? Senyam-senyum aja." Aku menoleh ke sumber suara, ternyata itu Manda. "Apa, sih, Man? Kepo, deh." Manda bersender pada meja kerjaku dan senyum-senyum seraya memicingkan mata. "Iya, deh. Yang sebentar lagi jadi nyonya Hari Setiawan Wicaksono, Beb kalo kamu udah nikah sama Pak Hari nanti, kamu masih kerja di sini nggak, sih? Masih mau temenan sama aku yang karyawan biasa ini, 'kan?" Aku menarik beberapa helai rambutnya. "Mulai, deh
Mata ini tak kunjung mendapatkan rasa kantuk, aku memikirkan kemarahan Pak Hari yang kulihat tadi, rasanya ingin bertanya padanya. Namun, aku takut ... aku tak berani mencampuri urusannya. Sekarang, aku hanya mondar-mandir, sesekali mengintip ke layar televisi di kamar ini, rasa kesalku pada Pak Hari berubah menjadi rasa penasaran yang tinggi. Aku benar-benar tak bisa tidur karena gelisah. Kuputuskan untuk mencari udara segar saja di luar, siapa tau aku lebih tenang dan menikmati keindahan lampu yang berwarna-warni di taman hotel. Rasa dingin menelusup hingga ke tulangku dan ditambah aku yang tidak memakai jaket membuat desiran angin masuk ke pori-pori. Sedang asyik menikmati lampu-lampu taman, aku dikejutkan oleh bisikan di telingaku. "Ngapain di luar, Buk?" Aku menoleh, ternyata itu Pak Hari. "Nggak ngapa-ngapain, Pak. Hanya saja saya belum bisa tidur," jawabk
Pagi ini aku sudah menyiapkan beberapa pakaian dan keperluan yang mungkin akan aku butuhkan selama dua hari di kota A. Aku hanya tinggal menunggu Mas Budi menjemput saja. "An, itu jemputanmu sudah datang, Nak." Suara terdengar dari balik pintu. Aku merapikan tas dan siap berangkat. "Iya, Buk, sebentar." Mas Budi langsung menyambar koper kecilku dan memasukkannya ke dalam mobil. Eh, tapi tunggu ... aku seperti mengenal orang yang berbicara dengan Ayah. Aku mundur dua langkah agar bisa melihat sang empunya wajah dan ternyata itu Pak Hari. Oalah itu beneran Pak Bos, aku mematung dengan mulut yang menganga, dia keren sekali pagi ini, tidak seperti biasanya. Gayanya hari ini jauh dari kata formal, dia berpenampilan seperti anak muda. Perpaduan baju dan celana selutut yang di gunakannya serta dilengkapi dengan sepatu branded, sungguh tampilan yang indah dipandang. "Sudah siap
Sengaja sore ini aku tak mengizinkan Pak Hari mengantarku pulang karena aku tak mau orang kantor berpikiran negatif, dengan status duda Pak Hari yang sama sekali belum diketahui orang-orang kantor. Aku membaringkan badanku yang letih di atas kasur, pikiranku melayang memikirkan sosok Pak Hari, entah kenapa ada rasa rindu yang menelusup. Aku merasa mulai mencintai Pak Hari, sosoknya yang perhatian dan lucu membuat aku tak ingin jauh darinya. Aku melirik jam yang menempel di dinding, jam menunjukkan pukul 20:35. Tetapi, kenapa Pak Hari tak kunjung menghubungiku? Apakah dia merasa kecewa karena aku tak mengizinkannya mengantarku tadi? Kenapa juga aku gelisah seperti ini? Sepuluh, dua puluh, hingga empat puluh menit kemudian tak kunjung ada kabar darinya. Ah, bisa mati penasaran aku kalau begini, kuputuskan untuk menelponnya. Tuuuutt! Tuuuut! Belum ada jawaban juga, kemana Pak bosku ini? Apa dia marah atau jang
Malam ini aku habiskan dengan mendengarkan lagu dari penyanyi perempuan jebolan salah satu pencarian bakat, Fatin Sidqia. Bukan tanpa alasan, karena apa? Karena sepanjang perjalanan pulang bersama Pak Hari tadi siang, hanya album penyanyi perempuan itu saja yang kudengar, sepertinya Pak Hari menyukai lagu-lagu darinya. Entahla, aku hanya menebak sebenarnya. Malam ini aku seperti dimabuk cinta, kebahagiaan yang sulit kuungkapkan telah bersemi mengisi relung hati. Secepat inikah aku menaruh hati padanya? Ah, siapa yang tak ingin mendapatkan lelaki seperti Pak Hari? Lelaki tampan berwibawa serta bijaksana. Tetapi, Kalau sampai semua orang tau mengenai hubungan yang kumiliki dengan Pak Hari bila aku menerimanya, apa nanti kata mereka? Usiaku yang baru 23 tahun menjalin hubungan dengan lelaki duda berusia 38 tahun. Apa kata keluargaku? Ah, nanti saja kupikirkan itu, aku tak mau mengganggu suasana hatiku saat ini. Ting!
Aku hanya menggigit bibir mendengar ucapan Pak Hari. "Halo, An." "Buk, kamu masih di situ kan?" "Halooooww, Buk Antysa." "Eee ... iya, Pak. Saya masih di sini." "Sebenarnya, saya mau dateng ke rumahmu. Tapi berhubung ini sudah malam, jadi saya telepon saja. Buk, saya benar-benar sudah bercerai dari istri saya, saya bisa buktikan itu kalau kamu nggak percaya." "Kapan Bapak bercerai?" Karena seingat ku tak pernah ada yang bergosip mengenai perceraian Pak Hari di kantor, padahal aku tahu betul orang-orang di kantor, berisi ratu gosip semua. "Sudah 4 bulan yang lalu. Kamu ingat waktu saya cuti selama satu minggu, pada 4 bulan yang lalu. Satu bulan setelah kamu kerja, di sanalah momen di mana saya sedang terpuruk. Ummm ... begini saja, Buk. Besok saja saya ceritakan, karena kurang enak rasanya kalau harus menjelaskan via telepon."
Aku sudah selesai bersiap ke kantor, memakai setelan kemeja pink salem, dipadu dengan celana hitam, dilengkapi dengan hijab berwarna senada. Tiba-tiba dering ponselku berbunyi dan tertera nama 'Pak bos' di sana. Ada apa Pak Hari menelpon sepagi ini, ada yang urgent, 'kah? "Assalamu' alaikum, Pak." "Walaikumus salam, Buk. Saya udah di ujung jalan dekat rumahmu, Buk." Terdengar suara dari seberang. "Loh, ngapain di sana, Pak?" tanyaku kaget. "Ya ... jemput kamu lah, Buk." jawabnya datar. "Kapan kita janjian mau pergi ke kantor bareng, Pak?" tanyaku sedikit heran. "Ya nggak ada janji, sih. Tapi berhubung saya sangat peduli dan juga takut kalau karyawan saya telat, jadi saya jemput. Nggak salah, 'kan? Udah, Buk. Ayo, kita pergi nanti telat." jawabnya santai. Apalagi ini? Tak mungkin juga ditolak, jika dia sudah di depan. a
Terjebak cinta terlarang Pak bosPanas dingin aku memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan pada Pak Hari, aduh... ada apa dengan Pak Hari ini, pikirku.Ditambah pikiran mengenai laporan keuangan yang harus aku selesaikan, sukses membuat pikiranku mumet dan ingin berteriak, aku memejamkan mata seraya berpikir, oke... Aku balas saja pesan Pak Hari, sudah terbaca ini, kalau tidak dibalas nanti bisa kena SP lagi, pikirku.[Maaf Pak, saya dijemput sama Ayah saya, tadi beliau sudah menelpon.] segera ku kirimkan dengan Pak Hari.[Oh yasudah Buk tidak apa-apa, ngga berani juga nentang keputusan camer]"Hah????!!"Makin terkejut aku membaca balasan dari Pak Hari, ya ampun sebenarnya kenapa Pak Hari ini, dia bercanda atau bagaimana, kepala ku senat-senut rasanya, aku memutuskan tidak membalas pesannya , karena aku tak tau harus membalasnya dengan kalimat apa.***