Share

Chapter 2

Author: Eel ardian
last update Last Updated: 2021-06-29 19:54:42

Terjebak cinta terlarang Pak bos

Panas dingin aku memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan pada Pak Hari, aduh... ada apa dengan Pak Hari ini, pikirku.

Ditambah pikiran mengenai laporan keuangan yang harus aku selesaikan, sukses membuat pikiranku mumet dan ingin berteriak, aku memejamkan mata seraya berpikir, oke... Aku balas saja pesan Pak Hari, sudah terbaca ini, kalau tidak dibalas nanti bisa kena SP lagi, pikirku.

[Maaf Pak, saya dijemput sama Ayah saya, tadi beliau sudah menelpon.] segera ku kirimkan dengan Pak Hari.

[Oh yasudah Buk tidak apa-apa, ngga berani juga nentang keputusan camer]

"Hah????!!"

 Makin terkejut aku membaca balasan dari Pak Hari, ya ampun sebenarnya kenapa Pak Hari ini, dia bercanda atau bagaimana, kepala ku senat-senut rasanya, aku memutuskan tidak membalas pesannya , karena aku tak tau harus membalasnya dengan kalimat apa.

***

"Pagi Buk, finance."

Aku segera mendongak dan melihat si empunya suara.

"Pagi, Pak" sambil menganggukkan kepala pelan dengan senyum sedikit getir sepertinya.

"Yang ikhlas toh Buk, senyumnya biar tambah cantik."

"Halah Bapak ini bisa aja, ada apa Pak?"

"Ngga ada apa-apa si, Buk. Iseng aja ke ruangan finance pingin lihat kamu, Buk."

Aku menelan saliva yang akhir-akhir ini sering tersangkut sepertinya, karena mendengar ucapan Pak Hari, yak ampun pagi-pagi aku sudah dibuat panas dingin oleh Pak Hari, aku memainkan pena di tanganku yang aku letakkan di bawah meja karena salah tingkah.

"Ummm... Bapak ini suka bener kayaknya bercanda, udah ah saya mau kerja, Pak. Balik sana ke ruangan Bapak."

Ckleekk...

pintu terbuka, Lisa yang merupakan partner kerjaku masuk dan memberi salam pada Pak Hari, aku memang satu ruangan dengan Lisa, karena memang kami berdua sama-sama finance, tetapi berbeda tugas, dikarenakan begitu banyak laporan dan jurnal yang harus diselesaikan setiap bulannya, tetapi memang Lisa jarang berada di ruangan ini, karena banyak dihabiskan di gudang tempat dia membutuhkan data.

"Yaudah, Buk nanti tolong laporannya kasih ke saya ya." Pak Hari berbicara sambil tersenyum padaku.

Aku hanya terbengong, laporan apa yang dia maksud, apa tadi dia bertanya mengenai laporan padaku, rasanya tidak pikirku. Aduh ada-ada saja Pak bos satu ini.

"Hey, An, aku udah kirim email ke kamu tentang salinan jurnal yang kamu minta kemarin ya."

"Ohya..., terima kasih ya Lis."

"Okeh, An."

Hari ini aku begitu sibuk menyelesaikan pekerjaanku, hingga tak terasa jam makan siang ku-pun sudah terlewatkan, maklum akhir bulan, jadi harus segera menyelesaikan setiap laporan yang finallynya di kirim ke kantor pusat.

"Segitu sibuknya kamu, Buk. Sampai ngga sempet makan siang."

"Eh, Bapak..., iya Pak kan nanti sore laporannya mesti dikirim Pak." 

Aku ngga sadar sejak kapan dia berada di ruanganku ini, entahla aku tak pernah menyadari kedatangannya yang tanpa aba-aba, mungkin karena aku sibuk menatap layar komputerku.

"Ya tapi ngga juga sampai harus merelakan makan siangmu."

"Tadi saya udah minta tolong sama OB kok Pak buat pesen makan."

"Yasudah lain kali jangan begini ya, Buk... Saya ngga mau loh kamu sakit, terus malah ngga masuk kerja, nanti saya ngga bisa lihat kamu jadinya."

Aku menaikkan alisku seketika, ada saja kalimat yang keluar dari mulut Pak Hari yang sukses membuat aku salah tingkah.

Aku berdehem untuk menetralkan suasana hati ini.

"Iya, Pak makasih sarannya."

Tok tok tok...

"Ya masuk aja Paklek," 

Aku sudah hapal betul kalau ketukan pintu seperti itu pasti Paklek yang datang, Paklek adalah panggilan akrab kami orang kantor kepada OB yang satu ini.

"Ini, Buk makanannya, oya ini juga ada kurir yang nganter ini buat Ibu."

Paklek menyodorkan dua plastik makanan padaku serta piring yang telah dia siapkan untukku.

"Aduh, Paklek ini sudah berapa kali saya bilang ngga usah repot-repot ambilin piring, biar saya sendiri yang ambil Pak."

"Ngga apa-apa Buk, sudah tugas saya di sini, permisi ya Buk."

"Terimakasih ya Paklek."

"Njiih Buk."

Tiba-tiba Pak Hari buka suara, dan lagi-lagi mengeluarkan kata-kata yang entahlah maknanya.

"Suwon ya Paklek, lain kali datengin ruangan Buk Anty ya waktu jam makan siang, takutnya dia telat pesen makan seperti hari ini bisa sakit dia nanti."

"Njiih, Pak."

"Yasudah, Buk kamu habiskan makananmu saya mau ke lapangan sebentar ngontrol kerjaan anak-anak."

"Iya Pak, silahkan."

Aku segera membuka plastik makanan yang diberikan oleh Paklek, eh tapi aku bingung, kata Paklek tadi ada kurir yang anter makanan, dan aku mengintip plastik makanan yang kedua dan membuka kotaknya, berisi ayam bakar dan seafood sepertinya, serta nasi yang ikut serta di dalamnya.

Dari siapa ini?, Batinku. Perasaan aku ngga merasa pesen makanan, ditengah kebingunganku, aku dikagetkan oleh suara ponsel kesayanganku.

[Dihabiskan makanannya ya, Buk. Itu ayam bakar sama sambel udang kesukaan kamu]

Haaahhh..., aku terbelalak menatap isi pesan itu, ternyata Pak Hari yang telah memesan makanan untukku.

Aku segera menuju ke dapur untuk memberikan satu makananku pada Paklek, tak mungkin juga aku habiskan sendirian makanan sebanyak ini, pikirku. Aku memang sering membelikan Paklek makan juga jikalau aku menyuruhnya, tetapi tadi Paklek tak mau katanya sudah kenyang.

"Paklek ini makanan buat Paklek, ambil saja, kalau sudah kenyang bisa Paklek simpen buat dibawa pulang, ini isinya ayam bakar sama sambel udang."

"Aduh, Ibu repot-repot kasih makanan buat saya, kenapa ngga Ibu aja yang makan ayam bakar sama udangnya, Buk..., kan ini makanan favorit Ibu." 

Aku memang sering memesan ayam bakar dan udang pada Paklek karena aku memang menyukainya.

"Kan saya udah ada nasi padang yang saya pesen dari Paklek tadi, ngga mungkin juga saya habiskan semua nya"

"Oh yasudah matur suwon nggeh, Buk"

"Iya, sama-sama Paklek"

***

Akhirnya selesai juga kerjaanku, ampun, lelah pikiran rasanya mengerjakan semua angka-angka ini, tapi apalah daya toh ini memang akhir dari keputusanku dulu untuk mengambil jurusan akuntansi di bangku kuliah.

Aku duduk bersandar di kursi melepaskan penat otakku, karena sudah diperas habis oleh pekerjaanku.

Tak terasa mata ini terpejam dengan sendirinya, mungkin dikarenakan semalam aku membawa pekerjaanku ke rumah dan bergadang hingga larut malam.

"Buk, tok tok tok Buk assalamualaikum."

Aku perlahan membuka mata karena mendengar suara itu.

"Eh, Bapak, maaf Pak saya ngga tau Bapak dateng." dengan sedikit menggosok mata untuk menetralkan penglihatanku.

"Capek ya Buk, makanya kerjaan di kantor jangan dibawa ke rumah Buk, ngga apa-apa selesain di kantor aja, biar ngga ganggu waktu istirahatmu."

"Kan hari ini date line laporannya, Pak."

"Ya telat satu dua hari ngga apa-apa biar nanti saya yang bilang ke kantor pusat."

"Ngga usah Pak, udah selesai juga kok kerjaan saya."

"Alhamdulillah kalau begitu, tapi lain kali jangan lagi ya, Buk. Bisa sakit kamu mikirin kerjaan, oya nanti pulang bareng saya ya, ada yang mau saya bahas sedikit sama kamu dan juga saya pingin beli sate dideket rumah kamu"

"Oh, iya Pak."

Aku benar-benar bingung dan tak tau harus menjawab apa selain kata iya Pak, apa sebenarnya yang ingin dibicarakan Pak Hari, apa tidak bisa sekarang saja, dan dari mana pula dia tau kalau di dekat rumahku ada jualan sate, serta masalah pekerjaan yang aku bawa pulang, ah pusing aku memikirkan dan menebak-nebaknya.

***

"Buk, pasang safety beltnya, apa mau saya pasangkan?"

"Eh, ngga usah Pak, saya pasang sendiri aja."

"Oya Buk, Kita makan malam dulu mau?"

Lagi-lagi aku menelan saliva yang sepertinya selalu tersangkut mendengar ucapan Pak Hari.

"Umm, makan malam ya Pak, kayak nya ngga usah deh Pak, saya belum laper dan juga agak mengantuk karena kurang tidur semalam."

"Oh, yasudah tidak apa-apa, besok aja deh kalau gitu."

Aduh, kenapa Bapak ini, pikirku, ah kalau saja dia temanku dan bukan bosku mungkin sudah aku pegang jidatnya untuk memastikan apa dia sehat atau memang sedang demam yang membuat perkataannya ngelantur menurutku.

"Pak, katanya ada yang mau Bapak bahas, tentang apa Pak, kenapa ngga dibahas di kantor aja, sampai-sampai Bapak repot nganterin saya pulang."

"Ummm, apa ya Buk, kok mendadak saya lupa Buk."

 Pak Hari terkekeh sambil menaikan alis serta mengerutkan keningnya.

"Hah?? Lupa Pak?" 

Apa bisa lupa secepat itu ya, pikirku. Ada-ada saja keajaiban yang ditunjukkan Bapak ini, sesuatu yang tidak mungkin menurutku, karena memang Pak Hari merupakan sosok yang teliti dan pengingat.

"Iya, saya lupa, saya ingetnya ya mau ajak kamu makan malam, tapi berhubung kamunya ngga mau dan setuju untuk besok saja, ya saya pikir tidak masalah."

Lah kapan saya bilang setujuh si ini, aduh aku menggaruk kepalaku yang tak gatal sebenarnya.

"Ummm..., bisa lupa gitu ya Pak, yasudah deh Bapak inget aja dulu dan bisa kasih tau saya besok."

"Njiih, Buk. Tapi sambil makan malam ya kasih tau nya, soalnya pembahasannya ini lebih afdol kalau sambil makan malam, Buk."

"Ealah, bisa gitu ya Pak."

"Bisa lah Buk, kalau sama saya bisa semua, Buk."

Kami melanjutkan perjalanan ke rumahku yang memakan waktu sekitar 40 menit karena ditambah macet sedikit, perjalanan kami diiringi oleh banyaknya lampu jalan dan lampu berkelap kelip di sana-sini, tak terasa aku sudah sampai di rumah, dengan seabrek kelelahan yang aku bawa, berharap akan bisa tidur nyenyak malam ini, masalah sate yang ingin dibeli Pak Hari, aku memutuskan tak mau ikut dengannya, karena sudah bisa aku tebak, nanti dia akan membelikan juga untuk ku, pikirku.

Tiiing....

Pertanda bahwa ada pesan di ponselku

"Selamat istirahat Buk Hari, semoga tidur nyenyak dan bisa memimpikan Pak bos."

Aku terbelalak membacanya dan langsung geleng-geleng sendiri, yak ampun ada apa dengan bosku ini, sepertinya dia bener-bener kurang sehat ini, pikirku.

Terjebak cinta terlarang Pak Bos part 2

(Rate 17+)

Panas dingin aku memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan pada Pak Hari, aduh... ada apa dengan Pak Hari ini, pikirku.

Ditambah pikiran mengenai laporan keuangan yang harus aku selesaikan, sukses membuat pikiranku mumet dan ingin berteriak, aku memejamkan mata seraya berpikir, oke... Aku balas saja pesan Pak Hari, sudah terbaca ini, kalau tidak dibalas nanti bisa kena SP lagi, pikirku.

[Maaf Pak, saya dijemput sama Ayah saya, tadi beliau sudah menelpon.] segera ku kirimkan dengan Pak Hari.

[Oh yasudah Buk tidak apa-apa, ngga berani juga nentang keputusan camer]

"Hah????!!"

 Makin terkejut aku membaca balasan dari Pak Hari, ya ampun sebenarnya kenapa Pak Hari ini, dia bercanda atau bagaimana, kepala ku senat-senut rasanya, aku memutuskan tidak membalas pesannya , karena aku tak tau harus membalasnya dengan kalimat apa.

***

"Pagi Buk, finance."

Aku segera mendongak dan melihat si empunya suara.

"Pagi, Pak" sambil menganggukkan kepala pelan dengan senyum sedikit getir sepertinya.

"Yang ikhlas toh Buk, senyumnya biar tambah cantik."

"Halah Bapak ini bisa aja, ada apa Pak?"

"Ngga ada apa-apa si, Buk. Iseng aja ke ruangan finance pingin lihat kamu, Buk."

Aku menelan saliva yang akhir-akhir ini sering tersangkut sepertinya, karena mendengar ucapan Pak Hari, yak ampun pagi-pagi aku sudah dibuat panas dingin oleh Pak Hari, aku memainkan pena di tanganku yang aku letakkan di bawah meja karena salah tingkah.

"Ummm... Bapak ini suka bener kayaknya bercanda, udah ah saya mau kerja, Pak. Balik sana ke ruangan Bapak."

Ckleekk...

pintu terbuka, Lisa yang merupakan partner kerjaku masuk dan memberi salam pada Pak Hari, aku memang satu ruangan dengan Lisa, karena memang kami berdua sama-sama finance, tetapi berbeda tugas, dikarenakan begitu banyak laporan dan jurnal yang harus diselesaikan setiap bulannya, tetapi memang Lisa jarang berada di ruangan ini, karena banyak dihabiskan di gudang tempat dia membutuhkan data.

"Yaudah, Buk nanti tolong laporannya kasih ke saya ya." Pak Hari berbicara sambil tersenyum padaku.

Aku hanya terbengong, laporan apa yang dia maksud, apa tadi dia bertanya mengenai laporan padaku, rasanya tidak pikirku. Aduh ada-ada saja Pak bos satu ini.

"Hey, An, aku udah kirim email ke kamu tentang salinan jurnal yang kamu minta kemarin ya."

"Ohya..., terima kasih ya Lis."

"Okeh, An."

Hari ini aku begitu sibuk menyelesaikan pekerjaanku, hingga tak terasa jam makan siang ku-pun sudah terlewatkan, maklum akhir bulan, jadi harus segera menyelesaikan setiap laporan yang finallynya di kirim ke kantor pusat.

"Segitu sibuknya kamu, Buk. Sampai ngga sempet makan siang."

"Eh, Bapak..., iya Pak kan nanti sore laporannya mesti dikirim Pak." 

Aku ngga sadar sejak kapan dia berada di ruanganku ini, entahla aku tak pernah menyadari kedatangannya yang tanpa aba-aba, mungkin karena aku sibuk menatap layar komputerku.

"Ya tapi ngga juga sampai harus merelakan makan siangmu."

"Tadi saya udah minta tolong sama OB kok Pak buat pesen makan."

"Yasudah lain kali jangan begini ya, Buk... Saya ngga mau loh kamu sakit, terus malah ngga masuk kerja, nanti saya ngga bisa lihat kamu jadinya."

Aku menaikkan alisku seketika, ada saja kalimat yang keluar dari mulut Pak Hari yang sukses membuat aku salah tingkah.

Aku berdehem untuk menetralkan suasana hati ini.

"Iya, Pak makasih sarannya."

Tok tok tok...

"Ya masuk aja Paklek," 

Aku sudah hapal betul kalau ketukan pintu seperti itu pasti Paklek yang datang, Paklek adalah panggilan akrab kami orang kantor kepada OB yang satu ini.

"Ini, Buk makanannya, oya ini juga ada kurir yang nganter ini buat Ibu."

Paklek menyodorkan dua plastik makanan padaku serta piring yang telah dia siapkan untukku.

"Aduh, Paklek ini sudah berapa kali saya bilang ngga usah repot-repot ambilin piring, biar saya sendiri yang ambil Pak."

"Ngga apa-apa Buk, sudah tugas saya di sini, permisi ya Buk."

"Terimakasih ya Paklek."

"Njiih Buk."

Tiba-tiba Pak Hari buka suara, dan lagi-lagi mengeluarkan kata-kata yang entahlah maknanya.

"Suwon ya Paklek, lain kali datengin ruangan Buk Anty ya waktu jam makan siang, takutnya dia telat pesen makan seperti hari ini bisa sakit dia nanti."

"Njiih, Pak."

"Yasudah, Buk kamu habiskan makananmu saya mau ke lapangan sebentar ngontrol kerjaan anak-anak."

"Iya Pak, silahkan."

Aku segera membuka plastik makanan yang diberikan oleh Paklek, eh tapi aku bingung, kata Paklek tadi ada kurir yang anter makanan, dan aku mengintip plastik makanan yang kedua dan membuka kotaknya, berisi ayam bakar dan seafood sepertinya, serta nasi yang ikut serta di dalamnya.

Dari siapa ini?, Batinku. Perasaan aku ngga merasa pesen makanan, ditengah kebingunganku, aku dikagetkan oleh suara ponsel kesayanganku.

[Dihabiskan makanannya ya, Buk. Itu ayam bakar sama sambel udang kesukaan kamu]

Haaahhh..., aku terbelalak menatap isi pesan itu, ternyata Pak Hari yang telah memesan makanan untukku.

Aku segera menuju ke dapur untuk memberikan satu makananku pada Paklek, tak mungkin juga aku habiskan sendirian makanan sebanyak ini, pikirku. Aku memang sering membelikan Paklek makan juga jikalau aku menyuruhnya, tetapi tadi Paklek tak mau katanya sudah kenyang.

"Paklek ini makanan buat Paklek, ambil saja, kalau sudah kenyang bisa Paklek simpen buat dibawa pulang, ini isinya ayam bakar sama sambel udang."

"Aduh, Ibu repot-repot kasih makanan buat saya, kenapa ngga Ibu aja yang makan ayam bakar sama udangnya, Buk..., kan ini makanan favorit Ibu." 

Aku memang sering memesan ayam bakar dan udang pada Paklek karena aku memang menyukainya.

"Kan saya udah ada nasi padang yang saya pesen dari Paklek tadi, ngga mungkin juga saya habiskan semua nya"

"Oh yasudah matur suwon nggeh, Buk"

"Iya, sama-sama Paklek"

***

Akhirnya selesai juga kerjaanku, ampun, lelah pikiran rasanya mengerjakan semua angka-angka ini, tapi apalah daya toh ini memang akhir dari keputusanku dulu untuk mengambil jurusan akuntansi di bangku kuliah.

Aku duduk bersandar di kursi melepaskan penat otakku, karena sudah diperas habis oleh pekerjaanku.

Tak terasa mata ini terpejam dengan sendirinya, mungkin dikarenakan semalam aku membawa pekerjaanku ke rumah dan bergadang hingga larut malam.

"Buk, tok tok tok Buk assalamualaikum."

Aku perlahan membuka mata karena mendengar suara itu.

"Eh, Bapak, maaf Pak saya ngga tau Bapak dateng." dengan sedikit menggosok mata untuk menetralkan penglihatanku.

"Capek ya Buk, makanya kerjaan di kantor jangan dibawa ke rumah Buk, ngga apa-apa selesain di kantor aja, biar ngga ganggu waktu istirahatmu."

"Kan hari ini date line laporannya, Pak."

"Ya telat satu dua hari ngga apa-apa biar nanti saya yang bilang ke kantor pusat."

"Ngga usah Pak, udah selesai juga kok kerjaan saya."

"Alhamdulillah kalau begitu, tapi lain kali jangan lagi ya, Buk. Bisa sakit kamu mikirin kerjaan, oya nanti pulang bareng saya ya, ada yang mau saya bahas sedikit sama kamu dan juga saya pingin beli sate dideket rumah kamu"

"Oh, iya Pak."

Aku benar-benar bingung dan tak tau harus menjawab apa selain kata iya Pak, apa sebenarnya yang ingin dibicarakan Pak Hari, apa tidak bisa sekarang saja, dan dari mana pula dia tau kalau di dekat rumahku ada jualan sate, serta masalah pekerjaan yang aku bawa pulang, ah pusing aku memikirkan dan menebak-nebaknya.

***

"Buk, pasang safety beltnya, apa mau saya pasangkan?"

"Eh, ngga usah Pak, saya pasang sendiri aja."

"Oya Buk, Kita makan malam dulu mau?"

Lagi-lagi aku menelan saliva yang sepertinya selalu tersangkut mendengar ucapan Pak Hari.

"Umm, makan malam ya Pak, kayak nya ngga usah deh Pak, saya belum laper dan juga agak mengantuk karena kurang tidur semalam."

"Oh, yasudah tidak apa-apa, besok aja deh kalau gitu."

Aduh, kenapa Bapak ini, pikirku, ah kalau saja dia temanku dan bukan bosku mungkin sudah aku pegang jidatnya untuk memastikan apa dia sehat atau memang sedang demam yang membuat perkataannya ngelantur menurutku.

"Pak, katanya ada yang mau Bapak bahas, tentang apa Pak, kenapa ngga dibahas di kantor aja, sampai-sampai Bapak repot nganterin saya pulang."

"Ummm, apa ya Buk, kok mendadak saya lupa Buk."

 Pak Hari terkekeh sambil menaikan alis serta mengerutkan keningnya.

"Hah?? Lupa Pak?" 

Apa bisa lupa secepat itu ya, pikirku. Ada-ada saja keajaiban yang ditunjukkan Bapak ini, sesuatu yang tidak mungkin menurutku, karena memang Pak Hari merupakan sosok yang teliti dan pengingat.

"Iya, saya lupa, saya ingetnya ya mau ajak kamu makan malam, tapi berhubung kamunya ngga mau dan setuju untuk besok saja, ya saya pikir tidak masalah."

Lah kapan saya bilang setujuh si ini, aduh aku menggaruk kepalaku yang tak gatal sebenarnya.

"Ummm..., bisa lupa gitu ya Pak, yasudah deh Bapak inget aja dulu dan bisa kasih tau saya besok."

"Njiih, Buk. Tapi sambil makan malam ya kasih tau nya, soalnya pembahasannya ini lebih afdol kalau sambil makan malam, Buk."

"Ealah, bisa gitu ya Pak."

"Bisa lah Buk, kalau sama saya bisa semua, Buk."

Kami melanjutkan perjalanan ke rumahku yang memakan waktu sekitar 40 menit karena ditambah macet sedikit, perjalanan kami diiringi oleh banyaknya lampu jalan dan lampu berkelap kelip di sana-sini, tak terasa aku sudah sampai di rumah, dengan seabrek kelelahan yang aku bawa, berharap akan bisa tidur nyenyak malam ini, masalah sate yang ingin dibeli Pak Hari, aku memutuskan tak mau ikut dengannya, karena sudah bisa aku tebak, nanti dia akan membelikan juga untuk ku, pikirku.

Tiiing....

Pertanda bahwa ada pesan di ponselku

"Selamat istirahat Buk Hari, semoga tidur nyenyak dan bisa memimpikan Pak bos."

Aku terbelalak membacanya dan langsung geleng-geleng sendiri, yak ampun ada apa dengan bosku ini, sepertinya dia bener-bener kurang sehat ini, pikirku.

Related chapters

  • Pertengkaran Hati   Chapter 3

    Aku sudah selesai bersiap ke kantor, memakai setelan kemeja pink salem, dipadu dengan celana hitam, dilengkapi dengan hijab berwarna senada. Tiba-tiba dering ponselku berbunyi dan tertera nama 'Pak bos' di sana. Ada apa Pak Hari menelpon sepagi ini, ada yang urgent, 'kah? "Assalamu' alaikum, Pak." "Walaikumus salam, Buk. Saya udah di ujung jalan dekat rumahmu, Buk." Terdengar suara dari seberang. "Loh, ngapain di sana, Pak?" tanyaku kaget. "Ya ... jemput kamu lah, Buk." jawabnya datar. "Kapan kita janjian mau pergi ke kantor bareng, Pak?" tanyaku sedikit heran. "Ya nggak ada janji, sih. Tapi berhubung saya sangat peduli dan juga takut kalau karyawan saya telat, jadi saya jemput. Nggak salah, 'kan? Udah, Buk. Ayo, kita pergi nanti telat." jawabnya santai. Apalagi ini? Tak mungkin juga ditolak, jika dia sudah di depan. a

    Last Updated : 2021-08-19
  • Pertengkaran Hati   Chapter 4

    Aku hanya menggigit bibir mendengar ucapan Pak Hari. "Halo, An." "Buk, kamu masih di situ kan?" "Halooooww, Buk Antysa." "Eee ... iya, Pak. Saya masih di sini." "Sebenarnya, saya mau dateng ke rumahmu. Tapi berhubung ini sudah malam, jadi saya telepon saja. Buk, saya benar-benar sudah bercerai dari istri saya, saya bisa buktikan itu kalau kamu nggak percaya." "Kapan Bapak bercerai?" Karena seingat ku tak pernah ada yang bergosip mengenai perceraian Pak Hari di kantor, padahal aku tahu betul orang-orang di kantor, berisi ratu gosip semua. "Sudah 4 bulan yang lalu. Kamu ingat waktu saya cuti selama satu minggu, pada 4 bulan yang lalu. Satu bulan setelah kamu kerja, di sanalah momen di mana saya sedang terpuruk. Ummm ... begini saja, Buk. Besok saja saya ceritakan, karena kurang enak rasanya kalau harus menjelaskan via telepon."

    Last Updated : 2021-08-23
  • Pertengkaran Hati   Chapter 5

    Malam ini aku habiskan dengan mendengarkan lagu dari penyanyi perempuan jebolan salah satu pencarian bakat, Fatin Sidqia. Bukan tanpa alasan, karena apa? Karena sepanjang perjalanan pulang bersama Pak Hari tadi siang, hanya album penyanyi perempuan itu saja yang kudengar, sepertinya Pak Hari menyukai lagu-lagu darinya. Entahla, aku hanya menebak sebenarnya. Malam ini aku seperti dimabuk cinta, kebahagiaan yang sulit kuungkapkan telah bersemi mengisi relung hati. Secepat inikah aku menaruh hati padanya? Ah, siapa yang tak ingin mendapatkan lelaki seperti Pak Hari? Lelaki tampan berwibawa serta bijaksana. Tetapi, Kalau sampai semua orang tau mengenai hubungan yang kumiliki dengan Pak Hari bila aku menerimanya, apa nanti kata mereka? Usiaku yang baru 23 tahun menjalin hubungan dengan lelaki duda berusia 38 tahun. Apa kata keluargaku? Ah, nanti saja kupikirkan itu, aku tak mau mengganggu suasana hatiku saat ini. Ting!

    Last Updated : 2021-08-23
  • Pertengkaran Hati   Chapter 6

    Sengaja sore ini aku tak mengizinkan Pak Hari mengantarku pulang karena aku tak mau orang kantor berpikiran negatif, dengan status duda Pak Hari yang sama sekali belum diketahui orang-orang kantor. Aku membaringkan badanku yang letih di atas kasur, pikiranku melayang memikirkan sosok Pak Hari, entah kenapa ada rasa rindu yang menelusup. Aku merasa mulai mencintai Pak Hari, sosoknya yang perhatian dan lucu membuat aku tak ingin jauh darinya. Aku melirik jam yang menempel di dinding, jam menunjukkan pukul 20:35. Tetapi, kenapa Pak Hari tak kunjung menghubungiku? Apakah dia merasa kecewa karena aku tak mengizinkannya mengantarku tadi? Kenapa juga aku gelisah seperti ini? Sepuluh, dua puluh, hingga empat puluh menit kemudian tak kunjung ada kabar darinya. Ah, bisa mati penasaran aku kalau begini, kuputuskan untuk menelponnya. Tuuuutt! Tuuuut! Belum ada jawaban juga, kemana Pak bosku ini? Apa dia marah atau jang

    Last Updated : 2021-08-27
  • Pertengkaran Hati   Chapter 7

    Pagi ini aku sudah menyiapkan beberapa pakaian dan keperluan yang mungkin akan aku butuhkan selama dua hari di kota A. Aku hanya tinggal menunggu Mas Budi menjemput saja. "An, itu jemputanmu sudah datang, Nak." Suara terdengar dari balik pintu. Aku merapikan tas dan siap berangkat. "Iya, Buk, sebentar." Mas Budi langsung menyambar koper kecilku dan memasukkannya ke dalam mobil. Eh, tapi tunggu ... aku seperti mengenal orang yang berbicara dengan Ayah. Aku mundur dua langkah agar bisa melihat sang empunya wajah dan ternyata itu Pak Hari. Oalah itu beneran Pak Bos, aku mematung dengan mulut yang menganga, dia keren sekali pagi ini, tidak seperti biasanya. Gayanya hari ini jauh dari kata formal, dia berpenampilan seperti anak muda. Perpaduan baju dan celana selutut yang di gunakannya serta dilengkapi dengan sepatu branded, sungguh tampilan yang indah dipandang. "Sudah siap

    Last Updated : 2021-08-27
  • Pertengkaran Hati   Chapter 8

    Mata ini tak kunjung mendapatkan rasa kantuk, aku memikirkan kemarahan Pak Hari yang kulihat tadi, rasanya ingin bertanya padanya. Namun, aku takut ... aku tak berani mencampuri urusannya. Sekarang, aku hanya mondar-mandir, sesekali mengintip ke layar televisi di kamar ini, rasa kesalku pada Pak Hari berubah menjadi rasa penasaran yang tinggi. Aku benar-benar tak bisa tidur karena gelisah. Kuputuskan untuk mencari udara segar saja di luar, siapa tau aku lebih tenang dan menikmati keindahan lampu yang berwarna-warni di taman hotel. Rasa dingin menelusup hingga ke tulangku dan ditambah aku yang tidak memakai jaket membuat desiran angin masuk ke pori-pori. Sedang asyik menikmati lampu-lampu taman, aku dikejutkan oleh bisikan di telingaku. "Ngapain di luar, Buk?" Aku menoleh, ternyata itu Pak Hari. "Nggak ngapa-ngapain, Pak. Hanya saja saya belum bisa tidur," jawabk

    Last Updated : 2021-08-27
  • Pertengkaran Hati   Chapter 9

    Aku begitu bahagia, hari-hariku lalui dengan penuh senyuman, pusing karena pekerjaan pun rasanya terbayar jika selepas kerja, aku bisa melihat sosok Pak Hari menemaniku. Tak terasa satu bulan berlalu, hubungan kami makin erat, bahkan kami berniat ingin melangsungkan kejenjang yang lebih serius, angan-angan pernikahan pun sudah di depan mata, bulan depan rencananya Pak Hari akan melamarku. Ah, bahagianya aku. "Hey, ngelamuni apa, sih? Senyam-senyum aja." Aku menoleh ke sumber suara, ternyata itu Manda. "Apa, sih, Man? Kepo, deh." Manda bersender pada meja kerjaku dan senyum-senyum seraya memicingkan mata. "Iya, deh. Yang sebentar lagi jadi nyonya Hari Setiawan Wicaksono, Beb kalo kamu udah nikah sama Pak Hari nanti, kamu masih kerja di sini nggak, sih? Masih mau temenan sama aku yang karyawan biasa ini, 'kan?" Aku menarik beberapa helai rambutnya. "Mulai, deh

    Last Updated : 2021-09-01
  • Pertengkaran Hati   Chapter 10

    Pagi ini aku bangun dengan mata yang seperti berkunang-kunang, mungkin terlalu banyak menangis semalam. Mataku pun terlihat bengkak di cermin. Ah, malu rasanya kalau harus berangkat kerja dengan mata bengkak seperti ini, kuputuskan untuk meminta izin saja untuk tidak masuk kerja. Aku segera menghubungi Manda, agar bisa menyampaikan izinku pada Pak Taufik kepala HRD. Hari ini aku hanya menghabiskan waktu di kamar, sesekali menggosok cincin di jari manis. Siapa tahu keluar jin hihi, perasaan bahagia dan sedih pun bercampur di dalamnya. Ponselku berdering, tapi entah kenapa malas sekali rasanya mengangkat panggilan itu, sudah bisa dipastikan itu adalah Pak Hari. Aku tetap bergeming dengan musik di ponsel itu, aku butuh istirahat saat ini. *** Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara Ibu. "An, ada si Hari di luar nak." "Ngapain, Buk?" tanyaku heran

    Last Updated : 2021-09-14

Latest chapter

  • Pertengkaran Hati   Chapter 10

    Pagi ini aku bangun dengan mata yang seperti berkunang-kunang, mungkin terlalu banyak menangis semalam. Mataku pun terlihat bengkak di cermin. Ah, malu rasanya kalau harus berangkat kerja dengan mata bengkak seperti ini, kuputuskan untuk meminta izin saja untuk tidak masuk kerja. Aku segera menghubungi Manda, agar bisa menyampaikan izinku pada Pak Taufik kepala HRD. Hari ini aku hanya menghabiskan waktu di kamar, sesekali menggosok cincin di jari manis. Siapa tahu keluar jin hihi, perasaan bahagia dan sedih pun bercampur di dalamnya. Ponselku berdering, tapi entah kenapa malas sekali rasanya mengangkat panggilan itu, sudah bisa dipastikan itu adalah Pak Hari. Aku tetap bergeming dengan musik di ponsel itu, aku butuh istirahat saat ini. *** Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara Ibu. "An, ada si Hari di luar nak." "Ngapain, Buk?" tanyaku heran

  • Pertengkaran Hati   Chapter 9

    Aku begitu bahagia, hari-hariku lalui dengan penuh senyuman, pusing karena pekerjaan pun rasanya terbayar jika selepas kerja, aku bisa melihat sosok Pak Hari menemaniku. Tak terasa satu bulan berlalu, hubungan kami makin erat, bahkan kami berniat ingin melangsungkan kejenjang yang lebih serius, angan-angan pernikahan pun sudah di depan mata, bulan depan rencananya Pak Hari akan melamarku. Ah, bahagianya aku. "Hey, ngelamuni apa, sih? Senyam-senyum aja." Aku menoleh ke sumber suara, ternyata itu Manda. "Apa, sih, Man? Kepo, deh." Manda bersender pada meja kerjaku dan senyum-senyum seraya memicingkan mata. "Iya, deh. Yang sebentar lagi jadi nyonya Hari Setiawan Wicaksono, Beb kalo kamu udah nikah sama Pak Hari nanti, kamu masih kerja di sini nggak, sih? Masih mau temenan sama aku yang karyawan biasa ini, 'kan?" Aku menarik beberapa helai rambutnya. "Mulai, deh

  • Pertengkaran Hati   Chapter 8

    Mata ini tak kunjung mendapatkan rasa kantuk, aku memikirkan kemarahan Pak Hari yang kulihat tadi, rasanya ingin bertanya padanya. Namun, aku takut ... aku tak berani mencampuri urusannya. Sekarang, aku hanya mondar-mandir, sesekali mengintip ke layar televisi di kamar ini, rasa kesalku pada Pak Hari berubah menjadi rasa penasaran yang tinggi. Aku benar-benar tak bisa tidur karena gelisah. Kuputuskan untuk mencari udara segar saja di luar, siapa tau aku lebih tenang dan menikmati keindahan lampu yang berwarna-warni di taman hotel. Rasa dingin menelusup hingga ke tulangku dan ditambah aku yang tidak memakai jaket membuat desiran angin masuk ke pori-pori. Sedang asyik menikmati lampu-lampu taman, aku dikejutkan oleh bisikan di telingaku. "Ngapain di luar, Buk?" Aku menoleh, ternyata itu Pak Hari. "Nggak ngapa-ngapain, Pak. Hanya saja saya belum bisa tidur," jawabk

  • Pertengkaran Hati   Chapter 7

    Pagi ini aku sudah menyiapkan beberapa pakaian dan keperluan yang mungkin akan aku butuhkan selama dua hari di kota A. Aku hanya tinggal menunggu Mas Budi menjemput saja. "An, itu jemputanmu sudah datang, Nak." Suara terdengar dari balik pintu. Aku merapikan tas dan siap berangkat. "Iya, Buk, sebentar." Mas Budi langsung menyambar koper kecilku dan memasukkannya ke dalam mobil. Eh, tapi tunggu ... aku seperti mengenal orang yang berbicara dengan Ayah. Aku mundur dua langkah agar bisa melihat sang empunya wajah dan ternyata itu Pak Hari. Oalah itu beneran Pak Bos, aku mematung dengan mulut yang menganga, dia keren sekali pagi ini, tidak seperti biasanya. Gayanya hari ini jauh dari kata formal, dia berpenampilan seperti anak muda. Perpaduan baju dan celana selutut yang di gunakannya serta dilengkapi dengan sepatu branded, sungguh tampilan yang indah dipandang. "Sudah siap

  • Pertengkaran Hati   Chapter 6

    Sengaja sore ini aku tak mengizinkan Pak Hari mengantarku pulang karena aku tak mau orang kantor berpikiran negatif, dengan status duda Pak Hari yang sama sekali belum diketahui orang-orang kantor. Aku membaringkan badanku yang letih di atas kasur, pikiranku melayang memikirkan sosok Pak Hari, entah kenapa ada rasa rindu yang menelusup. Aku merasa mulai mencintai Pak Hari, sosoknya yang perhatian dan lucu membuat aku tak ingin jauh darinya. Aku melirik jam yang menempel di dinding, jam menunjukkan pukul 20:35. Tetapi, kenapa Pak Hari tak kunjung menghubungiku? Apakah dia merasa kecewa karena aku tak mengizinkannya mengantarku tadi? Kenapa juga aku gelisah seperti ini? Sepuluh, dua puluh, hingga empat puluh menit kemudian tak kunjung ada kabar darinya. Ah, bisa mati penasaran aku kalau begini, kuputuskan untuk menelponnya. Tuuuutt! Tuuuut! Belum ada jawaban juga, kemana Pak bosku ini? Apa dia marah atau jang

  • Pertengkaran Hati   Chapter 5

    Malam ini aku habiskan dengan mendengarkan lagu dari penyanyi perempuan jebolan salah satu pencarian bakat, Fatin Sidqia. Bukan tanpa alasan, karena apa? Karena sepanjang perjalanan pulang bersama Pak Hari tadi siang, hanya album penyanyi perempuan itu saja yang kudengar, sepertinya Pak Hari menyukai lagu-lagu darinya. Entahla, aku hanya menebak sebenarnya. Malam ini aku seperti dimabuk cinta, kebahagiaan yang sulit kuungkapkan telah bersemi mengisi relung hati. Secepat inikah aku menaruh hati padanya? Ah, siapa yang tak ingin mendapatkan lelaki seperti Pak Hari? Lelaki tampan berwibawa serta bijaksana. Tetapi, Kalau sampai semua orang tau mengenai hubungan yang kumiliki dengan Pak Hari bila aku menerimanya, apa nanti kata mereka? Usiaku yang baru 23 tahun menjalin hubungan dengan lelaki duda berusia 38 tahun. Apa kata keluargaku? Ah, nanti saja kupikirkan itu, aku tak mau mengganggu suasana hatiku saat ini. Ting!

  • Pertengkaran Hati   Chapter 4

    Aku hanya menggigit bibir mendengar ucapan Pak Hari. "Halo, An." "Buk, kamu masih di situ kan?" "Halooooww, Buk Antysa." "Eee ... iya, Pak. Saya masih di sini." "Sebenarnya, saya mau dateng ke rumahmu. Tapi berhubung ini sudah malam, jadi saya telepon saja. Buk, saya benar-benar sudah bercerai dari istri saya, saya bisa buktikan itu kalau kamu nggak percaya." "Kapan Bapak bercerai?" Karena seingat ku tak pernah ada yang bergosip mengenai perceraian Pak Hari di kantor, padahal aku tahu betul orang-orang di kantor, berisi ratu gosip semua. "Sudah 4 bulan yang lalu. Kamu ingat waktu saya cuti selama satu minggu, pada 4 bulan yang lalu. Satu bulan setelah kamu kerja, di sanalah momen di mana saya sedang terpuruk. Ummm ... begini saja, Buk. Besok saja saya ceritakan, karena kurang enak rasanya kalau harus menjelaskan via telepon."

  • Pertengkaran Hati   Chapter 3

    Aku sudah selesai bersiap ke kantor, memakai setelan kemeja pink salem, dipadu dengan celana hitam, dilengkapi dengan hijab berwarna senada. Tiba-tiba dering ponselku berbunyi dan tertera nama 'Pak bos' di sana. Ada apa Pak Hari menelpon sepagi ini, ada yang urgent, 'kah? "Assalamu' alaikum, Pak." "Walaikumus salam, Buk. Saya udah di ujung jalan dekat rumahmu, Buk." Terdengar suara dari seberang. "Loh, ngapain di sana, Pak?" tanyaku kaget. "Ya ... jemput kamu lah, Buk." jawabnya datar. "Kapan kita janjian mau pergi ke kantor bareng, Pak?" tanyaku sedikit heran. "Ya nggak ada janji, sih. Tapi berhubung saya sangat peduli dan juga takut kalau karyawan saya telat, jadi saya jemput. Nggak salah, 'kan? Udah, Buk. Ayo, kita pergi nanti telat." jawabnya santai. Apalagi ini? Tak mungkin juga ditolak, jika dia sudah di depan. a

  • Pertengkaran Hati   Chapter 2

    Terjebak cinta terlarang Pak bosPanas dingin aku memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan pada Pak Hari, aduh... ada apa dengan Pak Hari ini, pikirku.Ditambah pikiran mengenai laporan keuangan yang harus aku selesaikan, sukses membuat pikiranku mumet dan ingin berteriak, aku memejamkan mata seraya berpikir, oke... Aku balas saja pesan Pak Hari, sudah terbaca ini, kalau tidak dibalas nanti bisa kena SP lagi, pikirku.[Maaf Pak, saya dijemput sama Ayah saya, tadi beliau sudah menelpon.] segera ku kirimkan dengan Pak Hari.[Oh yasudah Buk tidak apa-apa, ngga berani juga nentang keputusan camer]"Hah????!!"Makin terkejut aku membaca balasan dari Pak Hari, ya ampun sebenarnya kenapa Pak Hari ini, dia bercanda atau bagaimana, kepala ku senat-senut rasanya, aku memutuskan tidak membalas pesannya , karena aku tak tau harus membalasnya dengan kalimat apa.***

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status