Aku menggenggam kuat pegangan bangku taman, hingga buku jari memutih. Menekan segala emosi yang mulai mencuat dari dalam diriku.
"Apa pun jika menyangkut dirimu, Ta," ucapnya kemudian.
Baiklah. Mungkin memang sudah saatnya Satya tahu tentang kelakuan bejat kakak dan papanya. Sekali lagi, kuhirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan.
"Sebelum itu. Aku boleh tanya sesuatu?"
Kulihat ia mengangguk dan masih terus memperhatikanku.
"Bagaimana sikap Richie saat di rumah?" ujarku dingin.
Awalnya aku tak pernah mengira bahwa Richie dan Satya adalah kakak adik. Sebelum kejadian menjijikan itu terjadi, aku telah lebih dulu mengenal baik Satya. Jadi kutanyakan hal itu sekarang, sekadar ingin tahu bagaimana respon Satya saat tahu kakaknya menghancurkanku.
"Kamu kenal sama--"
Kupotong ucapannya, "Ck! Jawab saja,"
"Richie adalah kakak terbaik yang aku punya, Ta. Dia rela nukar posisinya untuk bisa sekolah buat aku, padahal dia lulus sebentar lagi. Dia juga yang kerja keras bantu papa sampai sesukses sekarang. Richie itu ... pria paling tulus yang aku kenal. Emangnya kenapa, Ta?"
Huh, tulus katanya! Satya hanya belum tahu siapa Richie yang sebenarnya. Aku bahkan pernah berkali-kali memergoki lelaki itu tengah menggandeng perempuan bayaran.
Sebegitu berartinya pria itu untuk adiknya. Aku penasaran apa yang akan dilakukan mantan kekasihku ini, jika kubongkar semuanya yang telah terjadi.
"Seberharga itu?" lirihku.
Aku membiarkan angin malam membelai wajah, sedangkan gigiku mulai gemelutuk menahan amarah.
"Apa kamu akan percaya jika kukatakan dialah penyebab semua ini, Sat?" Kutatap mata hitam itu.
"Maksud kamu, Richie tak sebaik yang kami lihat, begitu?"
"Ya!"
Aku bangkit berdiri siap melayangkan ucapan yang harusnya ia dengar sedari dulu. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Tubuhku gemetar seluruhnya, bayangan-bayangan itu kembali menari-nari di pelupuk mata. Membuat hawa panas menyelimuti sekujur badan.
Jantungku terasa berdentam keras, kepala juga rasanya sakit tak terperikan. Aku berteriak sekuatnya sambil memegangi kepala. Mencoba mengusir potret lelaki bangsat yang mengusik tidurku.
"Aditya ... Aditya." Aku tahu kini sedang meracau, antara sadar dan tiidak.
Kucari ponsel di dalam tas dengan tangan bergetar, sementara Satya terlihat bingung tanpa mau menyentuhku sedikit pun. Lelaki ini ternyata juga sok suci, padahal tadi ia telah dicium seorang perempuan di muka umum. Aku jadi semakin membencinya.
"Dit ... tolong gue, Dit," ucapku begitu panggilan tersambung.
Suara paniknya terdengar saat tahu aku menangis. Kukatakan padanya untuk menjemput di tempatku berada sekarang. Ini di luar kendaliku, harusnya aku tak begini. Harusnya aku sudah mengatakan sejujurnya pada Satya.
Harusnya ... jika saja peristiwa itu tak meninggalkan bekas dalam jiwaku.
Entah berapa lama aku menahan sakit ini sendirian, diiringi suara Satya yang hanya bisa bertanya tanpa melakukan apa pun. Sungguh. Aku membencinya sekarang!
Bibirku masih berusaha mengucap semuanya, saat kurasakan rangkulan di kedua lengan. Dalam keremangan aku masih bisa tahu bahwa itu Aditya.
"Ta, lo kenapa? Kenapa jadi gini, Ta?"
Suaranya masih panik sementara aku hanya bisa memeluknya erat. Tempat ternyamanku saat ini hanyalah bahu Aditya.
Sejurus kemudian Aditya mendudukanku di bangku. Lalu beralih menatap Satya di ujung yang lain.
"Ini pasti gara-gara lo, kan? Enggak cukup lo sama keluarga lo bikin hidup Nashita hancur, hah! Kalau sampai ada apa-apa sama Shita, kalau sampai dia depresi lagi, lo bakal ancur sama gue!"
Entah apa yang mereka lakukan sekarang, tapi aku mendengar suara seseorang sedang berkelahi. Keduanya baru berhenti saat aku memekik.
"Lo denger ya, jangan harap hidup lo tenang!" Aditya tengah mengancam Satya yang hanya bereaksi membela diri.
"Richie ... Richie enggak sesempurna yang kamu kira, Sat," lirihku.
Rasa dalam hatiku ingin mengungkap semuanya malam ini, tapi aku tak berdaya. Aditya memapahku menuju mobilnya, belum sempat sampai ketika tubuhku seperti ringan tak terasa apa pun.
Panggilannya masih sempat kudengar, sesaat sebelum semuanya gelap.
***
Mataku terbuka karena sebuah suara yang sangat kukenal. Itu seperti Tante Eve. Tunggu, aku berada di kamar yang asing. Beberapa potretku terpajang di dinding, juga sebuah lukisan yang ....
"Kamu udah bangun, Sayang?" sapa Tante Eve.
Aku hanya mengangguk lemah, wanita yang melahirkan Aditya itu mendekat. Meraba keningku sebentar lalu tersenyum.
"Udah enggak panas, kamu tidur di sini aja, ya? Nanti tante temani tidur," ucapnya kemudian.
Tante Eve membenahi letak selimutku seraya mengatakan bahwa Aditya tadi yang membawa kemari.
"Aditya mana, Tan?" tanyaku.
"Tadi pamit sama tante mau keluar sebentar. Buru-buru gitu Ta, tapi enggak tahu ke mana," jawabnya. "udah nanti juga balik, kamu tunggu sebentar ya, tante ambilin makan malam dulu."
Kutahan tangan wanita lembut ini, kukatakan padanya aku belum ingin makan.
"Tante ... ini kamar Aditya? Kok banyak banget foto Shita?" tanyaku.
Tante Eve kemudian berkisah tentang kamar ini, katanya ini bermula ketika Aditya patah hati. Lelaki tinggi itu menghabiskan waktunya untuk melukis potret diriku. Dipajangnya di kamar hingga kemudian benih cinta itu tumbuh subur sampai sekarang.
Seketika wajahku memanas, mungkinkah yang diceritakan Tante Eve memang benar adanya. Rasanya ini terlalu mustahil untuk aku dan Aditya. Selama ini kedekatan kami hanya sebatas sahabat. Atau bisa jadi Tante Eve-lah yang salah persepsi.
Obrolan kami terhenti kala Aditya datang dengan sebuah kertas di tangannya.
"Kamu dari mana aja, Dit?" Tante Eve menatap putranya dengan gemas.
Yang ditanya tak menjawab langsung mengempaskan tubuhnya di kursi tak jauh dari ranjang. Mengangsurkan kertas yang dibawanya ke hadapanku.
"Tanda tangan, Ta." Tatapannya tepat mengarah padaku.
Aku mengernyit tak mengerti maksudnya.
"Kamu bilang mau resign dari kantor 'kan? Tanda tangan biar aku yang urus semuanya," ujarnya seakan tahu yang kupikirkan.
Aku menatap nanar pada selembar kertas di hadapan, dengan gemetar menerimanya. Inikah akhirnya setelah mencoba bertahan? Kutangkupkan kedua tangan di wajah kemudian menangis lagi.Tante Eve segera memeluk dan menggenggam tanganku erat seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja."Ada apa sebenarnya, Aditya?" Tante Eve bersuara.Hanya embusan napas juga erangan frustrasi yang kudengar dari Aditya. Sahabatku itu pasti bisa merasakan apa yang kurasakan sekarang.Sungguh. Aku mengasihani diriku sendiri. Bayangan itu kembali meneror hidupku. Apa yang telah kulakukan sehingga hidupku jadi berantakan seperti ini? Rasanya aku tak pernah melakukan dosa besar dalam hidup, tapi mengapa takdir sedemikian rumit untukku.Semampunya, kuusap air mata yang seolah-olah tidak berhenti menetes. Detik demi detik yang berlalu terasa sangat berat. Ketakutan seolah tak pernah meninggalkanku, pun kecemasan yang acap kali menyergap tiba-tiba.Kuyaki
"Ih, lepasin!" Lelaki itu entah siapa mencoba menolongku yang hampir saja terjerembab. Pandanganku mulai mengabur dengan mulut yang tak berhenti mengucapkan sumpah serapah. Aku meronta melepas pegangannya, tapi lelaki asing ini terus saja mengikutiku. Samar-samar kudengar ucapannya yang menyayangkan sikapku. Siapa ia sebenarnya. "Hah, gue benci sama lo, Satya!" Aku kembali mengumpat. Dengan sisa kesadaran yang kupunya aku kembali melangkah menuju batu besar di pinggir sungai. "Kalau aja gue enggak ketemu sama lo! Gue pasti masih jadi anak baik kesayangan nyokap gue. Nyokap gue enggak akan meninggal!" Kutenggak minuman memabukkan itu sekali lagi, tapi baru saja ujung botol menyentuh bibir ada yang menyentaknya hingga terjatuh. Sebagian isinya terlihat tumpah di tanah. Pria itu lagi! "Apa mau lo, ha! Minuman gue jadi tumpah,"
Warna senja sedang jingga jingganya. Sang bayu pun lirih bertiup, menerpa wajah yang kini tengah tersipu. Sementara jantung berdetak tidak beraturan dengan tak tahu malu. "Aku sudah tahu semuanya," ucap pria di depanku. Tangannya yang menggenggam jemari membimbing untuk menyentuh dada bidang itu. Detaknya hampir sama denganku. Beberapa saat kami hanya diam sembari saling tatap. Membahasakan seluruh rasa yang sedang mendera. Bahasa kalbu, mungkin. Aku melepas genggamannya dengan cepat, mengalihkan pandang pada lukisan alam di ufuk barat. Apa yang harus kulakukan sekarang. Pria ini tak boleh memporak-porandakan dinding tinggi yang telah kubangun sejak beberapa tahun lalu. Dinding yang tidak akan bisa ditembus oleh siapa pun. Sekat yang menunjukkan betapa tidak percayanya aku pada hal bernama: cinta. "Aku takut, Sat. Aku takut," lirihku. Kuakui, bisa saja penghalang itu telah runtuh kini. Diperlakukan dengan manis oleh seorang lawan jenis
Aku masih menatap sedih pada potret seorang pria di layar ponsel. Hasil tangkapan kameraku bertahun-tahun lalu, kali terakhir kebersamaan kami. Sekuat apa pun kutahan dan mencoba melupakan, tapi perasaan itu tak kunjung menghilang. Padahal aku telah lama mencoba enyah dari jangkauannya.Pelarianku empat tahun ini bukan tanpa sebab. Kecewa dan marah adalah hal utama yang mendasariku pergi sejauh-jauhnya dari Satya. Kekasih yang kini telah berubah menjadi atasanku di kantor.Awalnya sempat kukira Satya tak ingat perihal diri ini, karena sikapnya yang terkesan acuh dan dingin. Namun, nyatanya pikiranku salah. Ia mengingat semua tentang kami dengan baik. Bahkan sangat terperinci. Perihal putusnya hubungan kami yang tak jelas penyebabnya, juga tentang semuanya.Di balik itu semua aku juga meradang melihatnya lagi, wajahnya begitu mirip dengan papa dan kakaknya. Dua orang yang sangat kubenci, orang yang dengan tega menghancurkan hidupku seperti ini
Aku kembali pada rutinitas semula. Rasanya memang belum siap meninggalkan kantor ini dan semua kenangan di dalamnya. Terlepas bahwa kini Satya adalah atasanku yang baru, tapi di sini aku bak menemukan keluarga kedua. Banyak teman baik yang kujumpai karena bekerja di tempat ini.Beberapa karyawan mulai berdatangan termasuk Mbak Gina. Ia segera serah terima beberapa file yang dikerjakannya kemarin."Ini daftar meeting Pak Satya bulan ini ya, udah diatur ulang sama managemen. Kamu cocokin lagi ya, Ta. Oiya, Pak Satya juga enggak masuk kemarin," ucap Mbak Gina."Emang kenapa, Mbak?" Tanganku masih sibuk menyusun draft yang dibawanya."Katanya sih sakit, tapi enggak tahu juga deh. Semoga aja hari ini dateng, boss besar kunjungan, Ta. Siap-siap, ya!" terangnya sambil lalu.Aku menatap meja kosong di seberang sana, kembali memikirkan bagaimana keadaan Satya saat ini.'Duh, eling, Ta! Lupakan Satya, kalian sudah berakhir sejak hari itu
"Ih, lepasin!" Lelaki itu entah siapa mencoba menolongku yang hampir saja terjerembab. Pandanganku mulai mengabur dengan mulut yang tak berhenti mengucapkan sumpah serapah. Aku meronta melepas pegangannya, tapi lelaki asing ini terus saja mengikutiku. Samar-samar kudengar ucapannya yang menyayangkan sikapku. Siapa ia sebenarnya. "Hah, gue benci sama lo, Satya!" Aku kembali mengumpat. Dengan sisa kesadaran yang kupunya aku kembali melangkah menuju batu besar di pinggir sungai. "Kalau aja gue enggak ketemu sama lo! Gue pasti masih jadi anak baik kesayangan nyokap gue. Nyokap gue enggak akan meninggal!" Kutenggak minuman memabukkan itu sekali lagi, tapi baru saja ujung botol menyentuh bibir ada yang menyentaknya hingga terjatuh. Sebagian isinya terlihat tumpah di tanah. Pria itu lagi! "Apa mau lo, ha! Minuman gue jadi tumpah,"
Aku menatap nanar pada selembar kertas di hadapan, dengan gemetar menerimanya. Inikah akhirnya setelah mencoba bertahan? Kutangkupkan kedua tangan di wajah kemudian menangis lagi.Tante Eve segera memeluk dan menggenggam tanganku erat seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja."Ada apa sebenarnya, Aditya?" Tante Eve bersuara.Hanya embusan napas juga erangan frustrasi yang kudengar dari Aditya. Sahabatku itu pasti bisa merasakan apa yang kurasakan sekarang.Sungguh. Aku mengasihani diriku sendiri. Bayangan itu kembali meneror hidupku. Apa yang telah kulakukan sehingga hidupku jadi berantakan seperti ini? Rasanya aku tak pernah melakukan dosa besar dalam hidup, tapi mengapa takdir sedemikian rumit untukku.Semampunya, kuusap air mata yang seolah-olah tidak berhenti menetes. Detik demi detik yang berlalu terasa sangat berat. Ketakutan seolah tak pernah meninggalkanku, pun kecemasan yang acap kali menyergap tiba-tiba.Kuyaki
Aku menggenggam kuat pegangan bangku taman, hingga buku jari memutih. Menekan segala emosi yang mulai mencuat dari dalam diriku."Apa pun jika menyangkut dirimu, Ta," ucapnya kemudian.Baiklah. Mungkin memang sudah saatnya Satya tahu tentang kelakuan bejat kakak dan papanya. Sekali lagi, kuhirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan."Sebelum itu. Aku boleh tanya sesuatu?"Kulihat ia mengangguk dan masih terus memperhatikanku."Bagaimana sikap Richie saat di rumah?" ujarku dingin.Awalnya aku tak pernah mengira bahwa Richie dan Satya adalah kakak adik. Sebelum kejadian menjijikan itu terjadi, aku telah lebih dulu mengenal baik Satya. Jadi kutanyakan hal itu sekarang, sekadar ingin tahu bagaimana respon Satya saat tahu kakaknya menghancurkanku."Kamu kenal sama--"Kupotong ucapannya, "Ck! Jawab saja,""Richie adalah kakak terbaik yang aku punya, Ta. Dia rela nukar posisinya untuk bisa sekolah
Aku kembali pada rutinitas semula. Rasanya memang belum siap meninggalkan kantor ini dan semua kenangan di dalamnya. Terlepas bahwa kini Satya adalah atasanku yang baru, tapi di sini aku bak menemukan keluarga kedua. Banyak teman baik yang kujumpai karena bekerja di tempat ini.Beberapa karyawan mulai berdatangan termasuk Mbak Gina. Ia segera serah terima beberapa file yang dikerjakannya kemarin."Ini daftar meeting Pak Satya bulan ini ya, udah diatur ulang sama managemen. Kamu cocokin lagi ya, Ta. Oiya, Pak Satya juga enggak masuk kemarin," ucap Mbak Gina."Emang kenapa, Mbak?" Tanganku masih sibuk menyusun draft yang dibawanya."Katanya sih sakit, tapi enggak tahu juga deh. Semoga aja hari ini dateng, boss besar kunjungan, Ta. Siap-siap, ya!" terangnya sambil lalu.Aku menatap meja kosong di seberang sana, kembali memikirkan bagaimana keadaan Satya saat ini.'Duh, eling, Ta! Lupakan Satya, kalian sudah berakhir sejak hari itu
Aku masih menatap sedih pada potret seorang pria di layar ponsel. Hasil tangkapan kameraku bertahun-tahun lalu, kali terakhir kebersamaan kami. Sekuat apa pun kutahan dan mencoba melupakan, tapi perasaan itu tak kunjung menghilang. Padahal aku telah lama mencoba enyah dari jangkauannya.Pelarianku empat tahun ini bukan tanpa sebab. Kecewa dan marah adalah hal utama yang mendasariku pergi sejauh-jauhnya dari Satya. Kekasih yang kini telah berubah menjadi atasanku di kantor.Awalnya sempat kukira Satya tak ingat perihal diri ini, karena sikapnya yang terkesan acuh dan dingin. Namun, nyatanya pikiranku salah. Ia mengingat semua tentang kami dengan baik. Bahkan sangat terperinci. Perihal putusnya hubungan kami yang tak jelas penyebabnya, juga tentang semuanya.Di balik itu semua aku juga meradang melihatnya lagi, wajahnya begitu mirip dengan papa dan kakaknya. Dua orang yang sangat kubenci, orang yang dengan tega menghancurkan hidupku seperti ini
Warna senja sedang jingga jingganya. Sang bayu pun lirih bertiup, menerpa wajah yang kini tengah tersipu. Sementara jantung berdetak tidak beraturan dengan tak tahu malu. "Aku sudah tahu semuanya," ucap pria di depanku. Tangannya yang menggenggam jemari membimbing untuk menyentuh dada bidang itu. Detaknya hampir sama denganku. Beberapa saat kami hanya diam sembari saling tatap. Membahasakan seluruh rasa yang sedang mendera. Bahasa kalbu, mungkin. Aku melepas genggamannya dengan cepat, mengalihkan pandang pada lukisan alam di ufuk barat. Apa yang harus kulakukan sekarang. Pria ini tak boleh memporak-porandakan dinding tinggi yang telah kubangun sejak beberapa tahun lalu. Dinding yang tidak akan bisa ditembus oleh siapa pun. Sekat yang menunjukkan betapa tidak percayanya aku pada hal bernama: cinta. "Aku takut, Sat. Aku takut," lirihku. Kuakui, bisa saja penghalang itu telah runtuh kini. Diperlakukan dengan manis oleh seorang lawan jenis