Aku masih menatap sedih pada potret seorang pria di layar ponsel. Hasil tangkapan kameraku bertahun-tahun lalu, kali terakhir kebersamaan kami. Sekuat apa pun kutahan dan mencoba melupakan, tapi perasaan itu tak kunjung menghilang. Padahal aku telah lama mencoba enyah dari jangkauannya.
Pelarianku empat tahun ini bukan tanpa sebab. Kecewa dan marah adalah hal utama yang mendasariku pergi sejauh-jauhnya dari Satya. Kekasih yang kini telah berubah menjadi atasanku di kantor.
Awalnya sempat kukira Satya tak ingat perihal diri ini, karena sikapnya yang terkesan acuh dan dingin. Namun, nyatanya pikiranku salah. Ia mengingat semua tentang kami dengan baik. Bahkan sangat terperinci. Perihal putusnya hubungan kami yang tak jelas penyebabnya, juga tentang semuanya.
Di balik itu semua aku juga meradang melihatnya lagi, wajahnya begitu mirip dengan papa dan kakaknya. Dua orang yang sangat kubenci, orang yang dengan tega menghancurkan hidupku seperti ini.
Dering ponsel membuatku tersentak dari lamunan, tertera nama Aditya di sana. Malas kutekan tombol hijau dan mendekatkannya ke telinga.
"Kenapa, Dit?"
Suara di seberang sana seketika membuatku terhenyak. Aku harus membantunya berpura-pura lagi menjadi calon istrinya. Orang tuanya baru saja pulang dari luar kota dan ingin bertemu denganku.
Hal ini memang bukan yang pertama bagiku, tapi tetap saja risih. Apalagi saat mendapati berbagai pertanyaan kapan kami akan melangkah menuju pernikahan. Huh, dasar Aditya! Karena ide gilanya aku jadi serba salah seperti ini.
Kendati kalbu menuntut untuk menyudahi semuanya, aku tak dapat menolak permintaan itu. Aditya adalah satu-satunya teman yang bagaikan saudara. Ia yang selalu ada saat aku terpuruk sekali pun, termasuk saat memutuskan pergi dari hidup Satya dulu.
Rangkulan kebaikannya membuatku kembali semangat, melanjutkan hidup yang kupikir sudah tidak berarti lagi. Embusan napasku kembali terdengar, aku kemudian bersiap-siap tak lama lagi si calon suami pura-puraku itu akan menjemput.
Kali ini aku tak memakai pakaian formal. Hanya mengenakan rok plisket berwarna army dan floral blouse dengan warna senada, dipadu tas tangan putih dengan warna emas di bagian penutupnya. Setelah dirasa penampilanku cukup sopan, segera beranjak ke ruang depan menunggu Aditya datang.
Sepuluh menit berlalu, terdengar suara klakson mobil di depan rumah. Aku pun segera menghampirinya, Aditya melambaikan tangan dari balik kemudi. Turun membukakan pintu untukku, kebiasaan yang selalu dilakukannya saat menjemput.
Aditya juga tampil casual, tampak lebih tampan dari biasanya.
"Pakai minyak sebotol ya, wangi banget!" ucapku saat sudah duduk di sampingnya.
Ia hanya tertawa sembari melajukan roda empat ini keluar pekarangan.
"Akhirnya kita lunch bareng, ya, Calon Istriku." Pria di sebelahku ini terkekeh geli mendengar ucapannya sendiri.
Aku turut tersenyum melihat kelakuannya. Konyol sekali memang, memintaku menjadi kekasihnya hanya agar tidak dijodohkan oleh sang mama.
"Lo ngerepotin tau, Dit. Gue off tadinya mau nyantai lho," gerutuku. Aku masih tak mengalihkan pandangan dari ponsel.
Memencet salah satu tombol di samping kemudi, dilanjutkan menekan pilihan lagu dari handphone. Suara Adelle mengalun lembut membawakan lagu All I Ask, membuatku tak tahan untuk bersenandung.
"Ya maaf, gue juga enggak tahu kalau nyokap balik hari ini." Aditya masih fokus menatap jalanan.
Tak lama kemudian mobil kami sampai di parkiran sebuah restoran yang terlihat mewah. Kesan mahal dan nyaman sudah terasa, bahkan hanya dengan melihat bangunannya. Aku belum pernah kemari sebelum ini.
Saat mencapai pintu, seorang pelayan mempersilakan kami untuk masuk. Perempuan yang kutaksir masih dua puluh tahunan itu menunjukkan di mana orang tua Aditya berada.
"Silakan Kak, sudah direserve sama Pak Hartawan." Setelah mengucap demikian, perempuan muda itu pamit undur diri.
Aditya menyalami kedua orang tuanya, begitu pun denganku. Mama Aditya--Tante Eve--semringah melihatku datang, beliau langsung memeluk dan mencium pipiku bergantian.
"Kalian ini serasi sekali," pujinya. Membuatku sedikit kikuk.
Serasi apanya, jika bukan Aditya yang meminta aku tak akan membohongi mereka seperti ini.
Makanan yang dipesan datang menghentikan perbincangan kami. Banyak menu yang dibawa pelayan ke sini, bagaimana cara menghabiskannya sedangkan kami hanya berempat.
Kami makan diselingi candaan dari papa dan mama Aditya. Sejauh yang kukenal, mereka adalah orang tua yang hangat. Entah apa sebabnya sampai Aditya tumbuh menjadi bocah bengal seperti sekarang.
"Oh, langsung gabung ke sini saja. Iya, sudah ditunggu." Om Hartawan memutus sambungan telepon, mengalihkan pandang padaku.
"Ponakan om, Shita. Dia nanti yang akan membantu kalian fitting baju," ujarnya.
Aku yang sedang makan sontak terbatuk mendengan ucapannya. Tante Eve mengangsurkan gelas, yang kemudian kuminum hingga isinya tersisa setengah.
"Fi-fitting?" tanyaku memastikan.
Tatapanku tajam mengarah pada Aditya yang terlihat biasa saja, apa ia sudah tahu tentang ini sebelumnya. Kuinjak kakinya di bawah meja, pria itu terlihat meringis kesakitan.
"Pa, ini apaan sih? Fitting apaan?" Akhirnya ia buka suara.
Tante Eve yang berada tepat di sisiku terdengar berdehem, lalu menggenggam jemariku.
"Begini, Sayang. Om dan tante ini sudah enggak sabar mau punya anak perempuan, kalau dilihat kalian udah sama sama dewasa. Jadi, nunggu apalagi?" jelasnya. Wanita lembut ini sungguh sosok yang sangat baik menurutku, tapi bagaimana jika akhirnya ia tahu aku hanya pura-pura.
"Tapi, Tante ...."
Kalimatku terjeda karena ada yang datang. Seorang perempuan yang terlihat sebayaku, berpakaian modis dengan kacamata hitam bertengger di kepalanya.
"Mela! Duduk," sapa Tante Eve. Sesaat setelah berpelukan dengan gadis itu.
"Ini Dit, cewek yang katanya bikin lo hampir gila?" ujarnya. Tangan Mela terulur dengan segera kusambut.
Kali ini Aditya yang tersedak mendengar ucapan Mela. Ia buru-buru meneguk jus jeruk di depannya hingga tandas.
Kami mengulum senyum melihat tingkahnya. Lucu. Sepertinya mereka saling menjahili saat bertemu. Eh, tapi apa maksud Mela barusan? Serius atau hanya sekadar menggoda sepupunya.
Satu pesan masuk ke ponselku. Dari Aditya, membuat keningku berkerut.
[Plis, turuti aja dulu maunya bokap gue, ya? Plis! Ya?]
Hah? Apa maksudnya?
Setelahnya pembicaraan kami berubah menjadi lebih horor. Om Hartawan dan Tante Eve begitu bersemangat melihat inspirasi pesta pernikahan yang ditunjukkan keponakannya.
Mati aku!
*****
Aku baru bisa menginterogasi Aditya ketika kami sudah di perjalanan pulang. Sepanjang jalan aku selalu protes, dengan diamnya selama pembahasan yang membosankan itu.
"Lo kan tahu gue gimana, Dit! Bisa-bisanya sih manut aja, jatuh cinta aja gue enggak mau, ini mau dinikahin. Sama lo lagi," sungutku.
Seperti biasa, pria gemblung itu hanya terkekeh mendengar segala cerocosanku.
Menyebalkan."Udahlah mungkin kita emang ditakdirkan berjodoh, Ta." Aditya menjawab dengan entengnya.
Aku menoleh dan melayangkan pukulan ke bahunya, "Lo pikir gue mau, ha?"
Ia mengaduh dengan dramatis.
"Aku ganteng lho, Ta. Wah, pelecehan nih!" Aku hanya mencebik mendengarnya.
"Pokoknya gue enggak mau tahu, lo jelasin semuanya sama Tante Eve. Kalau enggak, biar gue yang mengakhiri ini," ancamku.
Tiba-tiba kurasakan mobil melambat dan berhenti di pinggir jalan. Aditya melepas seat beltnya, lalu memandangku dengan entah. Ia kemudian mencondongkan badannya.
"Gimana kalau gue beneran sayang sama lo?"
Ucapannya barusan refleks membuatku menarik diri, hingga terantuk pintu. Embusan napasnya terasa memenuhi wajah, mataku membulat mencerna apa yang baru saja dikatakannya.
Sesaat kemudian ia tersenyum, "Aku bercanda, Ta. Santai aja."
Hufh, lega!
Aku kembali pada rutinitas semula. Rasanya memang belum siap meninggalkan kantor ini dan semua kenangan di dalamnya. Terlepas bahwa kini Satya adalah atasanku yang baru, tapi di sini aku bak menemukan keluarga kedua. Banyak teman baik yang kujumpai karena bekerja di tempat ini.Beberapa karyawan mulai berdatangan termasuk Mbak Gina. Ia segera serah terima beberapa file yang dikerjakannya kemarin."Ini daftar meeting Pak Satya bulan ini ya, udah diatur ulang sama managemen. Kamu cocokin lagi ya, Ta. Oiya, Pak Satya juga enggak masuk kemarin," ucap Mbak Gina."Emang kenapa, Mbak?" Tanganku masih sibuk menyusun draft yang dibawanya."Katanya sih sakit, tapi enggak tahu juga deh. Semoga aja hari ini dateng, boss besar kunjungan, Ta. Siap-siap, ya!" terangnya sambil lalu.Aku menatap meja kosong di seberang sana, kembali memikirkan bagaimana keadaan Satya saat ini.'Duh, eling, Ta! Lupakan Satya, kalian sudah berakhir sejak hari itu
Aku menggenggam kuat pegangan bangku taman, hingga buku jari memutih. Menekan segala emosi yang mulai mencuat dari dalam diriku."Apa pun jika menyangkut dirimu, Ta," ucapnya kemudian.Baiklah. Mungkin memang sudah saatnya Satya tahu tentang kelakuan bejat kakak dan papanya. Sekali lagi, kuhirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan."Sebelum itu. Aku boleh tanya sesuatu?"Kulihat ia mengangguk dan masih terus memperhatikanku."Bagaimana sikap Richie saat di rumah?" ujarku dingin.Awalnya aku tak pernah mengira bahwa Richie dan Satya adalah kakak adik. Sebelum kejadian menjijikan itu terjadi, aku telah lebih dulu mengenal baik Satya. Jadi kutanyakan hal itu sekarang, sekadar ingin tahu bagaimana respon Satya saat tahu kakaknya menghancurkanku."Kamu kenal sama--"Kupotong ucapannya, "Ck! Jawab saja,""Richie adalah kakak terbaik yang aku punya, Ta. Dia rela nukar posisinya untuk bisa sekolah
Aku menatap nanar pada selembar kertas di hadapan, dengan gemetar menerimanya. Inikah akhirnya setelah mencoba bertahan? Kutangkupkan kedua tangan di wajah kemudian menangis lagi.Tante Eve segera memeluk dan menggenggam tanganku erat seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja."Ada apa sebenarnya, Aditya?" Tante Eve bersuara.Hanya embusan napas juga erangan frustrasi yang kudengar dari Aditya. Sahabatku itu pasti bisa merasakan apa yang kurasakan sekarang.Sungguh. Aku mengasihani diriku sendiri. Bayangan itu kembali meneror hidupku. Apa yang telah kulakukan sehingga hidupku jadi berantakan seperti ini? Rasanya aku tak pernah melakukan dosa besar dalam hidup, tapi mengapa takdir sedemikian rumit untukku.Semampunya, kuusap air mata yang seolah-olah tidak berhenti menetes. Detik demi detik yang berlalu terasa sangat berat. Ketakutan seolah tak pernah meninggalkanku, pun kecemasan yang acap kali menyergap tiba-tiba.Kuyaki
"Ih, lepasin!" Lelaki itu entah siapa mencoba menolongku yang hampir saja terjerembab. Pandanganku mulai mengabur dengan mulut yang tak berhenti mengucapkan sumpah serapah. Aku meronta melepas pegangannya, tapi lelaki asing ini terus saja mengikutiku. Samar-samar kudengar ucapannya yang menyayangkan sikapku. Siapa ia sebenarnya. "Hah, gue benci sama lo, Satya!" Aku kembali mengumpat. Dengan sisa kesadaran yang kupunya aku kembali melangkah menuju batu besar di pinggir sungai. "Kalau aja gue enggak ketemu sama lo! Gue pasti masih jadi anak baik kesayangan nyokap gue. Nyokap gue enggak akan meninggal!" Kutenggak minuman memabukkan itu sekali lagi, tapi baru saja ujung botol menyentuh bibir ada yang menyentaknya hingga terjatuh. Sebagian isinya terlihat tumpah di tanah. Pria itu lagi! "Apa mau lo, ha! Minuman gue jadi tumpah,"
Warna senja sedang jingga jingganya. Sang bayu pun lirih bertiup, menerpa wajah yang kini tengah tersipu. Sementara jantung berdetak tidak beraturan dengan tak tahu malu. "Aku sudah tahu semuanya," ucap pria di depanku. Tangannya yang menggenggam jemari membimbing untuk menyentuh dada bidang itu. Detaknya hampir sama denganku. Beberapa saat kami hanya diam sembari saling tatap. Membahasakan seluruh rasa yang sedang mendera. Bahasa kalbu, mungkin. Aku melepas genggamannya dengan cepat, mengalihkan pandang pada lukisan alam di ufuk barat. Apa yang harus kulakukan sekarang. Pria ini tak boleh memporak-porandakan dinding tinggi yang telah kubangun sejak beberapa tahun lalu. Dinding yang tidak akan bisa ditembus oleh siapa pun. Sekat yang menunjukkan betapa tidak percayanya aku pada hal bernama: cinta. "Aku takut, Sat. Aku takut," lirihku. Kuakui, bisa saja penghalang itu telah runtuh kini. Diperlakukan dengan manis oleh seorang lawan jenis
"Ih, lepasin!" Lelaki itu entah siapa mencoba menolongku yang hampir saja terjerembab. Pandanganku mulai mengabur dengan mulut yang tak berhenti mengucapkan sumpah serapah. Aku meronta melepas pegangannya, tapi lelaki asing ini terus saja mengikutiku. Samar-samar kudengar ucapannya yang menyayangkan sikapku. Siapa ia sebenarnya. "Hah, gue benci sama lo, Satya!" Aku kembali mengumpat. Dengan sisa kesadaran yang kupunya aku kembali melangkah menuju batu besar di pinggir sungai. "Kalau aja gue enggak ketemu sama lo! Gue pasti masih jadi anak baik kesayangan nyokap gue. Nyokap gue enggak akan meninggal!" Kutenggak minuman memabukkan itu sekali lagi, tapi baru saja ujung botol menyentuh bibir ada yang menyentaknya hingga terjatuh. Sebagian isinya terlihat tumpah di tanah. Pria itu lagi! "Apa mau lo, ha! Minuman gue jadi tumpah,"
Aku menatap nanar pada selembar kertas di hadapan, dengan gemetar menerimanya. Inikah akhirnya setelah mencoba bertahan? Kutangkupkan kedua tangan di wajah kemudian menangis lagi.Tante Eve segera memeluk dan menggenggam tanganku erat seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja."Ada apa sebenarnya, Aditya?" Tante Eve bersuara.Hanya embusan napas juga erangan frustrasi yang kudengar dari Aditya. Sahabatku itu pasti bisa merasakan apa yang kurasakan sekarang.Sungguh. Aku mengasihani diriku sendiri. Bayangan itu kembali meneror hidupku. Apa yang telah kulakukan sehingga hidupku jadi berantakan seperti ini? Rasanya aku tak pernah melakukan dosa besar dalam hidup, tapi mengapa takdir sedemikian rumit untukku.Semampunya, kuusap air mata yang seolah-olah tidak berhenti menetes. Detik demi detik yang berlalu terasa sangat berat. Ketakutan seolah tak pernah meninggalkanku, pun kecemasan yang acap kali menyergap tiba-tiba.Kuyaki
Aku menggenggam kuat pegangan bangku taman, hingga buku jari memutih. Menekan segala emosi yang mulai mencuat dari dalam diriku."Apa pun jika menyangkut dirimu, Ta," ucapnya kemudian.Baiklah. Mungkin memang sudah saatnya Satya tahu tentang kelakuan bejat kakak dan papanya. Sekali lagi, kuhirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan."Sebelum itu. Aku boleh tanya sesuatu?"Kulihat ia mengangguk dan masih terus memperhatikanku."Bagaimana sikap Richie saat di rumah?" ujarku dingin.Awalnya aku tak pernah mengira bahwa Richie dan Satya adalah kakak adik. Sebelum kejadian menjijikan itu terjadi, aku telah lebih dulu mengenal baik Satya. Jadi kutanyakan hal itu sekarang, sekadar ingin tahu bagaimana respon Satya saat tahu kakaknya menghancurkanku."Kamu kenal sama--"Kupotong ucapannya, "Ck! Jawab saja,""Richie adalah kakak terbaik yang aku punya, Ta. Dia rela nukar posisinya untuk bisa sekolah
Aku kembali pada rutinitas semula. Rasanya memang belum siap meninggalkan kantor ini dan semua kenangan di dalamnya. Terlepas bahwa kini Satya adalah atasanku yang baru, tapi di sini aku bak menemukan keluarga kedua. Banyak teman baik yang kujumpai karena bekerja di tempat ini.Beberapa karyawan mulai berdatangan termasuk Mbak Gina. Ia segera serah terima beberapa file yang dikerjakannya kemarin."Ini daftar meeting Pak Satya bulan ini ya, udah diatur ulang sama managemen. Kamu cocokin lagi ya, Ta. Oiya, Pak Satya juga enggak masuk kemarin," ucap Mbak Gina."Emang kenapa, Mbak?" Tanganku masih sibuk menyusun draft yang dibawanya."Katanya sih sakit, tapi enggak tahu juga deh. Semoga aja hari ini dateng, boss besar kunjungan, Ta. Siap-siap, ya!" terangnya sambil lalu.Aku menatap meja kosong di seberang sana, kembali memikirkan bagaimana keadaan Satya saat ini.'Duh, eling, Ta! Lupakan Satya, kalian sudah berakhir sejak hari itu
Aku masih menatap sedih pada potret seorang pria di layar ponsel. Hasil tangkapan kameraku bertahun-tahun lalu, kali terakhir kebersamaan kami. Sekuat apa pun kutahan dan mencoba melupakan, tapi perasaan itu tak kunjung menghilang. Padahal aku telah lama mencoba enyah dari jangkauannya.Pelarianku empat tahun ini bukan tanpa sebab. Kecewa dan marah adalah hal utama yang mendasariku pergi sejauh-jauhnya dari Satya. Kekasih yang kini telah berubah menjadi atasanku di kantor.Awalnya sempat kukira Satya tak ingat perihal diri ini, karena sikapnya yang terkesan acuh dan dingin. Namun, nyatanya pikiranku salah. Ia mengingat semua tentang kami dengan baik. Bahkan sangat terperinci. Perihal putusnya hubungan kami yang tak jelas penyebabnya, juga tentang semuanya.Di balik itu semua aku juga meradang melihatnya lagi, wajahnya begitu mirip dengan papa dan kakaknya. Dua orang yang sangat kubenci, orang yang dengan tega menghancurkan hidupku seperti ini
Warna senja sedang jingga jingganya. Sang bayu pun lirih bertiup, menerpa wajah yang kini tengah tersipu. Sementara jantung berdetak tidak beraturan dengan tak tahu malu. "Aku sudah tahu semuanya," ucap pria di depanku. Tangannya yang menggenggam jemari membimbing untuk menyentuh dada bidang itu. Detaknya hampir sama denganku. Beberapa saat kami hanya diam sembari saling tatap. Membahasakan seluruh rasa yang sedang mendera. Bahasa kalbu, mungkin. Aku melepas genggamannya dengan cepat, mengalihkan pandang pada lukisan alam di ufuk barat. Apa yang harus kulakukan sekarang. Pria ini tak boleh memporak-porandakan dinding tinggi yang telah kubangun sejak beberapa tahun lalu. Dinding yang tidak akan bisa ditembus oleh siapa pun. Sekat yang menunjukkan betapa tidak percayanya aku pada hal bernama: cinta. "Aku takut, Sat. Aku takut," lirihku. Kuakui, bisa saja penghalang itu telah runtuh kini. Diperlakukan dengan manis oleh seorang lawan jenis