Aku menatap nanar pada selembar kertas di hadapan, dengan gemetar menerimanya. Inikah akhirnya setelah mencoba bertahan? Kutangkupkan kedua tangan di wajah kemudian menangis lagi.
Tante Eve segera memeluk dan menggenggam tanganku erat seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
"Ada apa sebenarnya, Aditya?" Tante Eve bersuara.
Hanya embusan napas juga erangan frustrasi yang kudengar dari Aditya. Sahabatku itu pasti bisa merasakan apa yang kurasakan sekarang.
Sungguh. Aku mengasihani diriku sendiri. Bayangan itu kembali meneror hidupku. Apa yang telah kulakukan sehingga hidupku jadi berantakan seperti ini? Rasanya aku tak pernah melakukan dosa besar dalam hidup, tapi mengapa takdir sedemikian rumit untukku.
Semampunya, kuusap air mata yang seolah-olah tidak berhenti menetes. Detik demi detik yang berlalu terasa sangat berat. Ketakutan seolah tak pernah meninggalkanku, pun kecemasan yang acap kali menyergap tiba-tiba.
Kuyakinkan diri ini bahwa semua memang baik-baik saja. Aku punya Aditya dan keluarga ini yang selalu menyayangi dan paling penting adalah aku tidak harus terpuruk oleh masa lalu. Mama pasti akan bersedih saat melihatku begini. Tidak! Aku belum sempat membahagiakannya, jadi aku harus menentukan jalan yang terbaik agar beliau juga bahagia di atas sana.
Mama ... aku merindukanmu.
Setelah kembali tenang, aku menggenggam tangan Tante Eve.
"Makasih ya, Tante. Maaf karena Shita merepotkan kalian. Shita berjanji ini akan jadi yang terakhir kali," ucapku.
Sungguh, tubuh ini terasa nyaman berada di pelukan Tante Eve. Sikapnya mengingatkanku pada mama, karena biasanya beliaulah yang akan memeluk di saat diri ini terpuruk.
***
"Tunggu di sini, biar aku yang masuk. Mungkin kalau atasanmu hadir prosesnya tak akan lama." Aditya berkata sesaat setelah melepas seat beltnya.
Ia juga berpesan agar aku tak keluar selama menunggunya, khawatir akan timbul pertanyaan. Ia sekarang menggantikanku mengajukan surat resign pada managemen. Beberapa kali ponselku berdering, juga banyak pesan masuk di sana. Aditya tak mengizinkanku menerima panggilan atau pun sekadar membalas pesan, bahkan chat dari Mbak Gina dan Reva pun belum kubaca.
Ya. Aku telah menandatangani surat yang semalam Aditya buat. Mungkin memang harus begini jalan yang kulalui. Keputusan ini sungguh berat, tapi aku tak ada pilihan lain.
Ponsel kembali berdering saat aku berselancar di dunia biru. Nama Satya yang muncul di sana. Berkali-kali, tapi tak kuhiraukan.
Tak lama masuk satu pesan.
[Angkat, Ta. Kita harus bicara, kenapa resign mendadak seperti ini?]
Hanya kubaca, tanganku bergetar karena beban yang kurasakan. Apa aku katakan semuanya lewat pesan? Namun, itu tak mungkin, Satya pasti tak akan percaya.
Aku harus bagaimana?
Ah, persetanlah dengan pria itu! Toh melihatku histeris saja ia tak berupaya membuatku tenang. Apa yang harus kuharapkan darinya, mungkin kini aku kembali jatuh hati, tapi nanti pasti patah lagi. Jadi, aku yang akan pergi untuk kedua kalinya.
Aku mengetik balasan pada grup chat bersama Mbak Gina dan Reva. Meminta maaf karena harus mengundurkan diri secara mendadak begini.
[Tega kamu, Ta. Enggak mau ketemu kita dulu gitu?]
[Ta, ada apa sih? Kemarin masih baik-baik aja loh. Kalau ada masalah share ke kita, Ta. Siapa tahu enggak harus resign kayak gini.]
Ah, kalian. Kalian tak tahu seberapa pahit hidup yang sedang kujalani.
[Aku sayang kalian. Semoga kita masih bisa bertemu lagi, ya! Shita juga minta maaf kalau selalu merepotkan kalian, tolong ... jangan lupakan pertemanan kita.]
Setelah membalas aku segera mematikan sambungan data.
Aku menunpukan kening pada dashboard lalu mendengar suara pintu terbuka, ternyata Aditya.
"Maaf ya, lama. Tadi Satya sempat enggak mau tanda tangan soalnya," ucapnya sembari menjalankan mobil.
Aku membuka kaca dan melihat bangunan tempatku bekerja untuk yang terakhir kali. Mobil yang kutumpangi perlahan meninggalkan area parkir dan semakin menjauh. Ada sedih yang menelusup di dinding hati, bagaimanapun banyak kisah yang terukir di kantor itu.
Ah, sesak kembali menyerang rongga dada.
Aditya mengajakku entah ke mana, yang pasti aku belum pernah menyinggahi tempat ini. Jalan yang kami lewati serupa setapak yang hanya bisa dilalui satu jalur, dengan ukuran yang tidak terlalu lebar. Cukup untuk satu mobil. Di kanan terdapat tebing tinggi menjulang, sementara jurang yang kelihatannya dalam berada di sisi kiri.
Aku bergidik ketika melihat ke bawah, rasanya seakan ingin melompat. Jurang itu sepertinya benar-benar dalam, aku tak bisa melihat dasarnya.
"Kita mau ke mana, Dit?" tanyaku.
"Nanti juga tahu, bentar lagi sampai kok," balasnya tanpa melihatku.
Aku hanya memutar bola mata, kebiasaan!
Tak sampai sepuluh menit kami memasuki sebuah tempat wisata. Ada banyak gazebo yang di bangun di atas jurang di sini, pemiliknya menopang gazebo dengan memanfaatkan akar pohon besar yang tumbuh.
Mataku seketika dimanjakan oleh panorama serba hijau. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan bukit serta terasering yang luas, seolah-olah tidak terbatas.
"Turun, yuk!" ajak Aditya.
Aku mengikuti langkahnya menuju salah satu gazebo. Ternyata di sana sudah banyak teman-teman lama kami yang berkumpul. Jadi ini yang direncanakan Aditya sejak semalam.
Betapa beruntungnya aku bertemu pria itu.
Seketika tawaku pecah karena kekonyolan yang mereka ciptakan, suasana seperti inilah yang selalu kurindukan. Saling melempar canda adalah hal biasa ketika kami sudah bersama seperti ini. Hanya bersama mereka aku mampu sedikit melupakan segala gundah dan resah.
Rencananya kami akan menginap semalam di sini. Aditya sudah memesan satu rumah untuk kami tempati. Rumah itu tidak terlalu besar, tapi memiliki halaman yang luas. Di samping kanan langsung tembus ke jurang disertai pemandangan yang tak akan pernah bisa ditemukan di kota.
Aku benar-benar dibuat tenang di sini, berkali-kali decak kagum keluar dari bibirku saat diajak Aditya berkeliling.
"Ta, anak-anak mau ke kedung. Mau main air katanya, ada arung jeram juga. Mau ikut enggak?" tanya Aditya.
Ada wisata air juga di sini ternyata. Aku mengangguk antusias yang disambut senyuman sahabat terbaikku.
"Tapi aku pengen sendiri, Dit. Kamu gabung sama yang lain nanti ya," ucapku.
"Enggak masalah, asal jangan bertindak bodoh. Aku enggak janji bisa sepenuhnya jagain kamu kalo udah bareng mereka," ujarnya.
Aku hanya menyatukan ibu jari dan telunjuk sebagai jawaban.
***
Aku memilih duduk di batu yang berukuran cukup besar. Membenamkan kaki pada air sungai yang mengalir, sementara yang lain sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Angin pegunungan menerpa lembut, membawa kedamaian.
Mentari sore masih menunjukkan sinarnya, meski harus menerobos sela-sela dedaunan yang menaungi tempatku berada.Bening dan dinginnya air membawa ketenangan untuk diriku, membuat pikiranku berlarian kemana-mana. Membayangkan bahwa suatu saat nanti akan memiliki keluarga kecil yang bahagia, selayaknya orang lain di luar sana.
Kudekati teman Aditya yang tengah duduk melingkar, beberapa dari mereka tampak sudah berada di awang-awang pengandaian. Aku kembali ke tempat semula dengan membawa sebotol bir di tangan. Ini pertama kalinya aku mencicipi minuman ini lagi, setelah sekian lama meninggalkannya.
Sensasi panas serasa membakar kerongkongan saat benda cair itu kuminum. Setelahnya tubuh terasa ringan bagaikan melayang, beban pikiran yang bergelayut perlahan terempas dari kepala.
"Gue benci lo, Satya! Lo pria bodoh yang pernah gue kenal. Lo punya segalanya, tapi enggak mampu nolongin gue yang katanya lo cintai!"
Aku meracau tak jelas, memaki semua orang yang telah mengukir luka di hidupku. Langkah yang sempoyongan sesekali membuatku terhuyung.
"Astaghfirullah, Shita!"
"Ih, lepasin!" Lelaki itu entah siapa mencoba menolongku yang hampir saja terjerembab. Pandanganku mulai mengabur dengan mulut yang tak berhenti mengucapkan sumpah serapah. Aku meronta melepas pegangannya, tapi lelaki asing ini terus saja mengikutiku. Samar-samar kudengar ucapannya yang menyayangkan sikapku. Siapa ia sebenarnya. "Hah, gue benci sama lo, Satya!" Aku kembali mengumpat. Dengan sisa kesadaran yang kupunya aku kembali melangkah menuju batu besar di pinggir sungai. "Kalau aja gue enggak ketemu sama lo! Gue pasti masih jadi anak baik kesayangan nyokap gue. Nyokap gue enggak akan meninggal!" Kutenggak minuman memabukkan itu sekali lagi, tapi baru saja ujung botol menyentuh bibir ada yang menyentaknya hingga terjatuh. Sebagian isinya terlihat tumpah di tanah. Pria itu lagi! "Apa mau lo, ha! Minuman gue jadi tumpah,"
Warna senja sedang jingga jingganya. Sang bayu pun lirih bertiup, menerpa wajah yang kini tengah tersipu. Sementara jantung berdetak tidak beraturan dengan tak tahu malu. "Aku sudah tahu semuanya," ucap pria di depanku. Tangannya yang menggenggam jemari membimbing untuk menyentuh dada bidang itu. Detaknya hampir sama denganku. Beberapa saat kami hanya diam sembari saling tatap. Membahasakan seluruh rasa yang sedang mendera. Bahasa kalbu, mungkin. Aku melepas genggamannya dengan cepat, mengalihkan pandang pada lukisan alam di ufuk barat. Apa yang harus kulakukan sekarang. Pria ini tak boleh memporak-porandakan dinding tinggi yang telah kubangun sejak beberapa tahun lalu. Dinding yang tidak akan bisa ditembus oleh siapa pun. Sekat yang menunjukkan betapa tidak percayanya aku pada hal bernama: cinta. "Aku takut, Sat. Aku takut," lirihku. Kuakui, bisa saja penghalang itu telah runtuh kini. Diperlakukan dengan manis oleh seorang lawan jenis
Aku masih menatap sedih pada potret seorang pria di layar ponsel. Hasil tangkapan kameraku bertahun-tahun lalu, kali terakhir kebersamaan kami. Sekuat apa pun kutahan dan mencoba melupakan, tapi perasaan itu tak kunjung menghilang. Padahal aku telah lama mencoba enyah dari jangkauannya.Pelarianku empat tahun ini bukan tanpa sebab. Kecewa dan marah adalah hal utama yang mendasariku pergi sejauh-jauhnya dari Satya. Kekasih yang kini telah berubah menjadi atasanku di kantor.Awalnya sempat kukira Satya tak ingat perihal diri ini, karena sikapnya yang terkesan acuh dan dingin. Namun, nyatanya pikiranku salah. Ia mengingat semua tentang kami dengan baik. Bahkan sangat terperinci. Perihal putusnya hubungan kami yang tak jelas penyebabnya, juga tentang semuanya.Di balik itu semua aku juga meradang melihatnya lagi, wajahnya begitu mirip dengan papa dan kakaknya. Dua orang yang sangat kubenci, orang yang dengan tega menghancurkan hidupku seperti ini
Aku kembali pada rutinitas semula. Rasanya memang belum siap meninggalkan kantor ini dan semua kenangan di dalamnya. Terlepas bahwa kini Satya adalah atasanku yang baru, tapi di sini aku bak menemukan keluarga kedua. Banyak teman baik yang kujumpai karena bekerja di tempat ini.Beberapa karyawan mulai berdatangan termasuk Mbak Gina. Ia segera serah terima beberapa file yang dikerjakannya kemarin."Ini daftar meeting Pak Satya bulan ini ya, udah diatur ulang sama managemen. Kamu cocokin lagi ya, Ta. Oiya, Pak Satya juga enggak masuk kemarin," ucap Mbak Gina."Emang kenapa, Mbak?" Tanganku masih sibuk menyusun draft yang dibawanya."Katanya sih sakit, tapi enggak tahu juga deh. Semoga aja hari ini dateng, boss besar kunjungan, Ta. Siap-siap, ya!" terangnya sambil lalu.Aku menatap meja kosong di seberang sana, kembali memikirkan bagaimana keadaan Satya saat ini.'Duh, eling, Ta! Lupakan Satya, kalian sudah berakhir sejak hari itu
Aku menggenggam kuat pegangan bangku taman, hingga buku jari memutih. Menekan segala emosi yang mulai mencuat dari dalam diriku."Apa pun jika menyangkut dirimu, Ta," ucapnya kemudian.Baiklah. Mungkin memang sudah saatnya Satya tahu tentang kelakuan bejat kakak dan papanya. Sekali lagi, kuhirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan."Sebelum itu. Aku boleh tanya sesuatu?"Kulihat ia mengangguk dan masih terus memperhatikanku."Bagaimana sikap Richie saat di rumah?" ujarku dingin.Awalnya aku tak pernah mengira bahwa Richie dan Satya adalah kakak adik. Sebelum kejadian menjijikan itu terjadi, aku telah lebih dulu mengenal baik Satya. Jadi kutanyakan hal itu sekarang, sekadar ingin tahu bagaimana respon Satya saat tahu kakaknya menghancurkanku."Kamu kenal sama--"Kupotong ucapannya, "Ck! Jawab saja,""Richie adalah kakak terbaik yang aku punya, Ta. Dia rela nukar posisinya untuk bisa sekolah
"Ih, lepasin!" Lelaki itu entah siapa mencoba menolongku yang hampir saja terjerembab. Pandanganku mulai mengabur dengan mulut yang tak berhenti mengucapkan sumpah serapah. Aku meronta melepas pegangannya, tapi lelaki asing ini terus saja mengikutiku. Samar-samar kudengar ucapannya yang menyayangkan sikapku. Siapa ia sebenarnya. "Hah, gue benci sama lo, Satya!" Aku kembali mengumpat. Dengan sisa kesadaran yang kupunya aku kembali melangkah menuju batu besar di pinggir sungai. "Kalau aja gue enggak ketemu sama lo! Gue pasti masih jadi anak baik kesayangan nyokap gue. Nyokap gue enggak akan meninggal!" Kutenggak minuman memabukkan itu sekali lagi, tapi baru saja ujung botol menyentuh bibir ada yang menyentaknya hingga terjatuh. Sebagian isinya terlihat tumpah di tanah. Pria itu lagi! "Apa mau lo, ha! Minuman gue jadi tumpah,"
Aku menatap nanar pada selembar kertas di hadapan, dengan gemetar menerimanya. Inikah akhirnya setelah mencoba bertahan? Kutangkupkan kedua tangan di wajah kemudian menangis lagi.Tante Eve segera memeluk dan menggenggam tanganku erat seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja."Ada apa sebenarnya, Aditya?" Tante Eve bersuara.Hanya embusan napas juga erangan frustrasi yang kudengar dari Aditya. Sahabatku itu pasti bisa merasakan apa yang kurasakan sekarang.Sungguh. Aku mengasihani diriku sendiri. Bayangan itu kembali meneror hidupku. Apa yang telah kulakukan sehingga hidupku jadi berantakan seperti ini? Rasanya aku tak pernah melakukan dosa besar dalam hidup, tapi mengapa takdir sedemikian rumit untukku.Semampunya, kuusap air mata yang seolah-olah tidak berhenti menetes. Detik demi detik yang berlalu terasa sangat berat. Ketakutan seolah tak pernah meninggalkanku, pun kecemasan yang acap kali menyergap tiba-tiba.Kuyaki
Aku menggenggam kuat pegangan bangku taman, hingga buku jari memutih. Menekan segala emosi yang mulai mencuat dari dalam diriku."Apa pun jika menyangkut dirimu, Ta," ucapnya kemudian.Baiklah. Mungkin memang sudah saatnya Satya tahu tentang kelakuan bejat kakak dan papanya. Sekali lagi, kuhirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan."Sebelum itu. Aku boleh tanya sesuatu?"Kulihat ia mengangguk dan masih terus memperhatikanku."Bagaimana sikap Richie saat di rumah?" ujarku dingin.Awalnya aku tak pernah mengira bahwa Richie dan Satya adalah kakak adik. Sebelum kejadian menjijikan itu terjadi, aku telah lebih dulu mengenal baik Satya. Jadi kutanyakan hal itu sekarang, sekadar ingin tahu bagaimana respon Satya saat tahu kakaknya menghancurkanku."Kamu kenal sama--"Kupotong ucapannya, "Ck! Jawab saja,""Richie adalah kakak terbaik yang aku punya, Ta. Dia rela nukar posisinya untuk bisa sekolah
Aku kembali pada rutinitas semula. Rasanya memang belum siap meninggalkan kantor ini dan semua kenangan di dalamnya. Terlepas bahwa kini Satya adalah atasanku yang baru, tapi di sini aku bak menemukan keluarga kedua. Banyak teman baik yang kujumpai karena bekerja di tempat ini.Beberapa karyawan mulai berdatangan termasuk Mbak Gina. Ia segera serah terima beberapa file yang dikerjakannya kemarin."Ini daftar meeting Pak Satya bulan ini ya, udah diatur ulang sama managemen. Kamu cocokin lagi ya, Ta. Oiya, Pak Satya juga enggak masuk kemarin," ucap Mbak Gina."Emang kenapa, Mbak?" Tanganku masih sibuk menyusun draft yang dibawanya."Katanya sih sakit, tapi enggak tahu juga deh. Semoga aja hari ini dateng, boss besar kunjungan, Ta. Siap-siap, ya!" terangnya sambil lalu.Aku menatap meja kosong di seberang sana, kembali memikirkan bagaimana keadaan Satya saat ini.'Duh, eling, Ta! Lupakan Satya, kalian sudah berakhir sejak hari itu
Aku masih menatap sedih pada potret seorang pria di layar ponsel. Hasil tangkapan kameraku bertahun-tahun lalu, kali terakhir kebersamaan kami. Sekuat apa pun kutahan dan mencoba melupakan, tapi perasaan itu tak kunjung menghilang. Padahal aku telah lama mencoba enyah dari jangkauannya.Pelarianku empat tahun ini bukan tanpa sebab. Kecewa dan marah adalah hal utama yang mendasariku pergi sejauh-jauhnya dari Satya. Kekasih yang kini telah berubah menjadi atasanku di kantor.Awalnya sempat kukira Satya tak ingat perihal diri ini, karena sikapnya yang terkesan acuh dan dingin. Namun, nyatanya pikiranku salah. Ia mengingat semua tentang kami dengan baik. Bahkan sangat terperinci. Perihal putusnya hubungan kami yang tak jelas penyebabnya, juga tentang semuanya.Di balik itu semua aku juga meradang melihatnya lagi, wajahnya begitu mirip dengan papa dan kakaknya. Dua orang yang sangat kubenci, orang yang dengan tega menghancurkan hidupku seperti ini
Warna senja sedang jingga jingganya. Sang bayu pun lirih bertiup, menerpa wajah yang kini tengah tersipu. Sementara jantung berdetak tidak beraturan dengan tak tahu malu. "Aku sudah tahu semuanya," ucap pria di depanku. Tangannya yang menggenggam jemari membimbing untuk menyentuh dada bidang itu. Detaknya hampir sama denganku. Beberapa saat kami hanya diam sembari saling tatap. Membahasakan seluruh rasa yang sedang mendera. Bahasa kalbu, mungkin. Aku melepas genggamannya dengan cepat, mengalihkan pandang pada lukisan alam di ufuk barat. Apa yang harus kulakukan sekarang. Pria ini tak boleh memporak-porandakan dinding tinggi yang telah kubangun sejak beberapa tahun lalu. Dinding yang tidak akan bisa ditembus oleh siapa pun. Sekat yang menunjukkan betapa tidak percayanya aku pada hal bernama: cinta. "Aku takut, Sat. Aku takut," lirihku. Kuakui, bisa saja penghalang itu telah runtuh kini. Diperlakukan dengan manis oleh seorang lawan jenis