Warna senja sedang jingga jingganya. Sang bayu pun lirih bertiup, menerpa wajah yang kini tengah tersipu. Sementara jantung berdetak tidak beraturan dengan tak tahu malu.
"Aku sudah tahu semuanya," ucap pria di depanku. Tangannya yang menggenggam jemari membimbing untuk menyentuh dada bidang itu.
Detaknya hampir sama denganku. Beberapa saat kami hanya diam sembari saling tatap. Membahasakan seluruh rasa yang sedang mendera. Bahasa kalbu, mungkin.
Aku melepas genggamannya dengan cepat, mengalihkan pandang pada lukisan alam di ufuk barat. Apa yang harus kulakukan sekarang.
Pria ini tak boleh memporak-porandakan dinding tinggi yang telah kubangun sejak beberapa tahun lalu. Dinding yang tidak akan bisa ditembus oleh siapa pun. Sekat yang menunjukkan betapa tidak percayanya aku pada hal bernama: cinta.
"Aku takut, Sat. Aku takut," lirihku.
Kuakui, bisa saja penghalang itu telah runtuh kini. Diperlakukan dengan manis oleh seorang lawan jenis membuatku melayang. Siapa pun orangnya, kuyakin akan merasa menjadi istimewa jika berada di posisiku sekarang.
Kami kembali dekat karena kami pernah terlibat asmara di masa lalu. Entah apa maksudnya Tuhan mempertemukan kami lagi.
"Aku antar kamu pulang."
Pria ini masih sama seperti empat tahun lalu. Lembut.
Tak lama kami sudah berada di dalam mobil Satya, yang melaju pelan. Jalanan terlihat padat karena belum terlalu gelap, ditambah malam minggu. Banyak pasangan yang keluar memenuhi jalan.
Dulu kami pernah juga menjadi salah satu dari pasangan bahagia itu. Menikmati malam minggu, menghabiskan waktu berdua. Entah sekadar nonton film atau hanya jalan-jalan kulineran. Sampai suatu waktu hatiku retak, berakhir dengan tubuh yang meringkuk memeluk lutut di bawah siraman lampu taman.
Huh, bayangan yang cukup bangsat bila terkenang!
***
Entah sudah berapa lama aku tenggelam di dalam angan. Mobil yang kami tumpangi sudah berbelok di gang dekat rumah. Tak terasa. Aku memejam dengan kuat, mempersiapkan hati agar bibir tak bergetar. Mengatakan keputusan ini sungguh kembali menyakitiku, tapi tidak ada pilihan lain.
"Sat?" panggilku.
"Apa?" sahutnya, tetap fokus mengemudi.
Aku menghela napas pelan. Lalu menatap sosok tampan ini lekat.
"Makasih sudah antar pulang. Oiya, besok surat pengunduran diriku udah ada di meja kamu," ujarku.
Seketika mobil bertambah kecepatan lalu berhenti tepat di pelataran rumah.
"Aku enggak akan tanda tangan. Kenapa kamu terus menghindar dariku, Ta?" Sepasang mata yang biasanya teduh itu, berubah redup. Ada nada kecewa pada ucapannya barusan.
Bingung harus menjawab apa, aku hanya mengendikkan bahu sebagai jawaban. Lalu melepas seat belt dan beranjak ke luar.
Ada yang menahan tanganku saat hendak membuka pintu.
"Aku mau bicara sama kamu," pintanya.
Setengah hati kupersilakan Satya untuk duduk. Sementara aku tetap berlalu ke dalam. Membersihkan diri sebentar lalu menyeduh teh untuknya. Secangkir tanpa gula, itu kesukaannya dulu. Semoga saja masih sama.
"Mau ngomongin apalagi, Sat?"
Ia kembali menghela napas, kali ini disertai tatapan yang ... entah.
"Kalau kita enggak bisa kayak dulu lagi, enggak apa, Ta. Setidaknya jangan selalu menghindar. Aku bingung kenapa semuanya jadi kayak gini," ucapnya.
Aku tak pernah melihatnya sefrustrasi ini sebelumnya. Pria itu tengah menyugar rambut, seolah ingin mengenyahkan beban yang memenuhi pikirannya. Benar-benar terlihat kacau sekarang.
Malam semakin dingin ditambah dengan tetesan air langit yang berjatuhan. Menimbulkan suara gemuruh serupa dengan rasa marah yang kembali menyeruak. Seandainya saja aku memiliki keberanian lebih untuk mengungkap semuanya. Sendainya saja, Sat.
"Ada banyak hal yang tidak bisa diungkapkan pada orang lain, Sat. Untuk hubungan kita, aku minta maaf karena harus berakhir seperti ini. Sekarang pulanglah. Keluargamu pasti sudah menunggu," kataku, pada akhirnya.
Sesak sekali rasanya membayangkan kejadian empat tahun lalu. Potongan masa silam itu kembali hadir, padahal sebelum kedatangannya aku hampir berhasil menghancurkan segala ingatan tentang itu. Nyatanya, bukannya sembuh kini lukaku bertambah parah.
"Ta, kamu enggak pernah kasih alasan jelas putusnya hubungan kita. Ada apa sebenarnya? Kamu sangat jauh berubah, kamu bukan Nashita yang aku kenal!"
Nada bicaranya sedikit keras, mungkin karena rasa penasarannya.Bukankah tadi ia bilang jika tahu semuanya, lalu apa maksudnya?
"Udah malam Sat, sebaiknya kamu pulang. Aku juga harus istirahat," ujarku, sembari melangkah menutup pintu.
Masih kudengar dengan jelas suaranya di luar memanggil.
"Aku juga enggak mau kayak gini, Sat. Papa dan Kakakmu yang merencanakan semuanya."
Aku bergumam sendiri, tergemap karena menyadari posisiku saat ini.
Setelah mematikan lampu ruang tamu, aku merebahkan diri di kamar. Memandangi plafon kamar yang malah menampilkan wajah Satya yang tersenyum.
Berkali-kali aku hanya memiringkan tubuh ke kiri dan kanan, mata masih juga enggan terpejam. Pikiran kembali mengembara kemana-mana, sementara di luar sana masih hujan. Malah terdengar semakin deras, kilat juga sesekali menyambar. Hati berkata untuk melihat ke depan apakah Satya masih berada di sana, tapi ego lebih mendominasi.
Sudahlah, Satya pasti bisa menjaga dirinya sendiri. Pada kenyataannya aku masih terus memikirkan Satya, karena tidak mendengar suara deru mobilnya meninggalkan halaman.
Suara petir terdengar memekakkan telinga, membuatku merapatkan selimut hingga menutup kepala. Setelahnya gelap, aku ketiduran.
Aku terbangun saat mendengar suara pintu depan diketuk seseorang. Dengan malas kudekati, orang macam apa yang bertamu pagi buta begini.
"Maaf ganggu Mbak Shita, itu temannya Mbak bukan ya?" ucap Pak RT. Tangannya menunjuk seorang pria yang sedang dibaringkan di bangku panjang teras.
Satya?
"Eh, iya, Pak. Ini teman saya kenapa?" tanyaku panik. Aku segera menghampiri Satya yang tampak tak sadarkan diri.
Kutepuk pipinya pelan sembari memanggil namanya. Ia tak juga bereaksi, kurasakan wajah dan tangannya dingin. Apa Satya tak pulang semalam?
"Tadi saya mau ke masjid, Mbak. Mas ini keluar dari teras mau ke mobil, tapi tiba-tiba pingsan. Makanya saya panggil beberapa orang buat angkat ke sini," jelas Pak RT yang seperti membaca kebingunganku.
Aku kembali ke kamar untuk mengambil minyak kayu putih, kemudian mengoleskan sedikit di dekat hidung Satya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya mata itu terbuka.
Kami mengucap syukur secara bersamaan.
"Ya sudah Mbak Shita, kami pamit ke masjid dulu ya? Keburu telat nanti," pamit Pak RT.
Usai mengucapkan terima kasih, kuajak Satya masuk agar beristirahat sebentar.
Membantunya berbaring di karpet depan TV, lalu membalut tubuhnya dengan selimut tebal kesayanganku. Aku meninggalkan Satya ketika matanya kembali terpejam. Bibir itu terlihat begitu pucat, terselip rasa tak tega melihatnya seperti ini.
Aku masih sibuk di dapur mempersiapkan minuman hangat dan sarapan untuk Satya. Hingga tak sadar pria itu telah berada di sampingku. Senyumnyalah yang pertama kulihat.
"Kenapa ke sini?"
"Aku mau salat, Ta. Di mana tempat wudhunya?" jawabnya, masih menyunggingkan senyum.
Kutunjuk di mana kamar mandi berada, tanpa mengatakan apa pun padanya. Tak lama kemudian aku sudah berada di ruang tamu dengan dua cangkir cokelat hangat dan sajadah.
Satya salat dengan khusyu di depanku. Wajahnya tampak lebih segar meski masih sedikit pucat. Melihatnya berdoa seperti mengingatkan pada diriku yang dulu. Entah sudah berapa lama aku tak melakukan kewajiban itu.
Aku kecewa pada takdir yang terus saja menyulitkan hidupku. Entahlah, bagaimana harus kujelaskan.
***
Akhirnya aku bisa bernapas lega saat mobil Satya perlahan meninggalkan halaman. Tugasku sekarang adalah meminta maaf pada Pak RT sekaligus menjelaskan perkara yang telah terjadi semalam tadi.
"Iya, Mbak. Itu pasti pacarnya ya, lagi marahan, 'kan?" ucap lelaki gemuk di depanku.
Aku hanya nyengir menampakan deretan geligi mungil yang kumiliki, sementara kulihat Pak RT dan istrinya terkekeh melihatku.
Setelah semua selesai aku pun pamit. Kebetulan hari ini aku sudah meminta Mbak Gina menggantikanku.
Aku masih menatap sedih pada potret seorang pria di layar ponsel. Hasil tangkapan kameraku bertahun-tahun lalu, kali terakhir kebersamaan kami. Sekuat apa pun kutahan dan mencoba melupakan, tapi perasaan itu tak kunjung menghilang. Padahal aku telah lama mencoba enyah dari jangkauannya.Pelarianku empat tahun ini bukan tanpa sebab. Kecewa dan marah adalah hal utama yang mendasariku pergi sejauh-jauhnya dari Satya. Kekasih yang kini telah berubah menjadi atasanku di kantor.Awalnya sempat kukira Satya tak ingat perihal diri ini, karena sikapnya yang terkesan acuh dan dingin. Namun, nyatanya pikiranku salah. Ia mengingat semua tentang kami dengan baik. Bahkan sangat terperinci. Perihal putusnya hubungan kami yang tak jelas penyebabnya, juga tentang semuanya.Di balik itu semua aku juga meradang melihatnya lagi, wajahnya begitu mirip dengan papa dan kakaknya. Dua orang yang sangat kubenci, orang yang dengan tega menghancurkan hidupku seperti ini
Aku kembali pada rutinitas semula. Rasanya memang belum siap meninggalkan kantor ini dan semua kenangan di dalamnya. Terlepas bahwa kini Satya adalah atasanku yang baru, tapi di sini aku bak menemukan keluarga kedua. Banyak teman baik yang kujumpai karena bekerja di tempat ini.Beberapa karyawan mulai berdatangan termasuk Mbak Gina. Ia segera serah terima beberapa file yang dikerjakannya kemarin."Ini daftar meeting Pak Satya bulan ini ya, udah diatur ulang sama managemen. Kamu cocokin lagi ya, Ta. Oiya, Pak Satya juga enggak masuk kemarin," ucap Mbak Gina."Emang kenapa, Mbak?" Tanganku masih sibuk menyusun draft yang dibawanya."Katanya sih sakit, tapi enggak tahu juga deh. Semoga aja hari ini dateng, boss besar kunjungan, Ta. Siap-siap, ya!" terangnya sambil lalu.Aku menatap meja kosong di seberang sana, kembali memikirkan bagaimana keadaan Satya saat ini.'Duh, eling, Ta! Lupakan Satya, kalian sudah berakhir sejak hari itu
Aku menggenggam kuat pegangan bangku taman, hingga buku jari memutih. Menekan segala emosi yang mulai mencuat dari dalam diriku."Apa pun jika menyangkut dirimu, Ta," ucapnya kemudian.Baiklah. Mungkin memang sudah saatnya Satya tahu tentang kelakuan bejat kakak dan papanya. Sekali lagi, kuhirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan."Sebelum itu. Aku boleh tanya sesuatu?"Kulihat ia mengangguk dan masih terus memperhatikanku."Bagaimana sikap Richie saat di rumah?" ujarku dingin.Awalnya aku tak pernah mengira bahwa Richie dan Satya adalah kakak adik. Sebelum kejadian menjijikan itu terjadi, aku telah lebih dulu mengenal baik Satya. Jadi kutanyakan hal itu sekarang, sekadar ingin tahu bagaimana respon Satya saat tahu kakaknya menghancurkanku."Kamu kenal sama--"Kupotong ucapannya, "Ck! Jawab saja,""Richie adalah kakak terbaik yang aku punya, Ta. Dia rela nukar posisinya untuk bisa sekolah
Aku menatap nanar pada selembar kertas di hadapan, dengan gemetar menerimanya. Inikah akhirnya setelah mencoba bertahan? Kutangkupkan kedua tangan di wajah kemudian menangis lagi.Tante Eve segera memeluk dan menggenggam tanganku erat seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja."Ada apa sebenarnya, Aditya?" Tante Eve bersuara.Hanya embusan napas juga erangan frustrasi yang kudengar dari Aditya. Sahabatku itu pasti bisa merasakan apa yang kurasakan sekarang.Sungguh. Aku mengasihani diriku sendiri. Bayangan itu kembali meneror hidupku. Apa yang telah kulakukan sehingga hidupku jadi berantakan seperti ini? Rasanya aku tak pernah melakukan dosa besar dalam hidup, tapi mengapa takdir sedemikian rumit untukku.Semampunya, kuusap air mata yang seolah-olah tidak berhenti menetes. Detik demi detik yang berlalu terasa sangat berat. Ketakutan seolah tak pernah meninggalkanku, pun kecemasan yang acap kali menyergap tiba-tiba.Kuyaki
"Ih, lepasin!" Lelaki itu entah siapa mencoba menolongku yang hampir saja terjerembab. Pandanganku mulai mengabur dengan mulut yang tak berhenti mengucapkan sumpah serapah. Aku meronta melepas pegangannya, tapi lelaki asing ini terus saja mengikutiku. Samar-samar kudengar ucapannya yang menyayangkan sikapku. Siapa ia sebenarnya. "Hah, gue benci sama lo, Satya!" Aku kembali mengumpat. Dengan sisa kesadaran yang kupunya aku kembali melangkah menuju batu besar di pinggir sungai. "Kalau aja gue enggak ketemu sama lo! Gue pasti masih jadi anak baik kesayangan nyokap gue. Nyokap gue enggak akan meninggal!" Kutenggak minuman memabukkan itu sekali lagi, tapi baru saja ujung botol menyentuh bibir ada yang menyentaknya hingga terjatuh. Sebagian isinya terlihat tumpah di tanah. Pria itu lagi! "Apa mau lo, ha! Minuman gue jadi tumpah,"
"Ih, lepasin!" Lelaki itu entah siapa mencoba menolongku yang hampir saja terjerembab. Pandanganku mulai mengabur dengan mulut yang tak berhenti mengucapkan sumpah serapah. Aku meronta melepas pegangannya, tapi lelaki asing ini terus saja mengikutiku. Samar-samar kudengar ucapannya yang menyayangkan sikapku. Siapa ia sebenarnya. "Hah, gue benci sama lo, Satya!" Aku kembali mengumpat. Dengan sisa kesadaran yang kupunya aku kembali melangkah menuju batu besar di pinggir sungai. "Kalau aja gue enggak ketemu sama lo! Gue pasti masih jadi anak baik kesayangan nyokap gue. Nyokap gue enggak akan meninggal!" Kutenggak minuman memabukkan itu sekali lagi, tapi baru saja ujung botol menyentuh bibir ada yang menyentaknya hingga terjatuh. Sebagian isinya terlihat tumpah di tanah. Pria itu lagi! "Apa mau lo, ha! Minuman gue jadi tumpah,"
Aku menatap nanar pada selembar kertas di hadapan, dengan gemetar menerimanya. Inikah akhirnya setelah mencoba bertahan? Kutangkupkan kedua tangan di wajah kemudian menangis lagi.Tante Eve segera memeluk dan menggenggam tanganku erat seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja."Ada apa sebenarnya, Aditya?" Tante Eve bersuara.Hanya embusan napas juga erangan frustrasi yang kudengar dari Aditya. Sahabatku itu pasti bisa merasakan apa yang kurasakan sekarang.Sungguh. Aku mengasihani diriku sendiri. Bayangan itu kembali meneror hidupku. Apa yang telah kulakukan sehingga hidupku jadi berantakan seperti ini? Rasanya aku tak pernah melakukan dosa besar dalam hidup, tapi mengapa takdir sedemikian rumit untukku.Semampunya, kuusap air mata yang seolah-olah tidak berhenti menetes. Detik demi detik yang berlalu terasa sangat berat. Ketakutan seolah tak pernah meninggalkanku, pun kecemasan yang acap kali menyergap tiba-tiba.Kuyaki
Aku menggenggam kuat pegangan bangku taman, hingga buku jari memutih. Menekan segala emosi yang mulai mencuat dari dalam diriku."Apa pun jika menyangkut dirimu, Ta," ucapnya kemudian.Baiklah. Mungkin memang sudah saatnya Satya tahu tentang kelakuan bejat kakak dan papanya. Sekali lagi, kuhirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan."Sebelum itu. Aku boleh tanya sesuatu?"Kulihat ia mengangguk dan masih terus memperhatikanku."Bagaimana sikap Richie saat di rumah?" ujarku dingin.Awalnya aku tak pernah mengira bahwa Richie dan Satya adalah kakak adik. Sebelum kejadian menjijikan itu terjadi, aku telah lebih dulu mengenal baik Satya. Jadi kutanyakan hal itu sekarang, sekadar ingin tahu bagaimana respon Satya saat tahu kakaknya menghancurkanku."Kamu kenal sama--"Kupotong ucapannya, "Ck! Jawab saja,""Richie adalah kakak terbaik yang aku punya, Ta. Dia rela nukar posisinya untuk bisa sekolah
Aku kembali pada rutinitas semula. Rasanya memang belum siap meninggalkan kantor ini dan semua kenangan di dalamnya. Terlepas bahwa kini Satya adalah atasanku yang baru, tapi di sini aku bak menemukan keluarga kedua. Banyak teman baik yang kujumpai karena bekerja di tempat ini.Beberapa karyawan mulai berdatangan termasuk Mbak Gina. Ia segera serah terima beberapa file yang dikerjakannya kemarin."Ini daftar meeting Pak Satya bulan ini ya, udah diatur ulang sama managemen. Kamu cocokin lagi ya, Ta. Oiya, Pak Satya juga enggak masuk kemarin," ucap Mbak Gina."Emang kenapa, Mbak?" Tanganku masih sibuk menyusun draft yang dibawanya."Katanya sih sakit, tapi enggak tahu juga deh. Semoga aja hari ini dateng, boss besar kunjungan, Ta. Siap-siap, ya!" terangnya sambil lalu.Aku menatap meja kosong di seberang sana, kembali memikirkan bagaimana keadaan Satya saat ini.'Duh, eling, Ta! Lupakan Satya, kalian sudah berakhir sejak hari itu
Aku masih menatap sedih pada potret seorang pria di layar ponsel. Hasil tangkapan kameraku bertahun-tahun lalu, kali terakhir kebersamaan kami. Sekuat apa pun kutahan dan mencoba melupakan, tapi perasaan itu tak kunjung menghilang. Padahal aku telah lama mencoba enyah dari jangkauannya.Pelarianku empat tahun ini bukan tanpa sebab. Kecewa dan marah adalah hal utama yang mendasariku pergi sejauh-jauhnya dari Satya. Kekasih yang kini telah berubah menjadi atasanku di kantor.Awalnya sempat kukira Satya tak ingat perihal diri ini, karena sikapnya yang terkesan acuh dan dingin. Namun, nyatanya pikiranku salah. Ia mengingat semua tentang kami dengan baik. Bahkan sangat terperinci. Perihal putusnya hubungan kami yang tak jelas penyebabnya, juga tentang semuanya.Di balik itu semua aku juga meradang melihatnya lagi, wajahnya begitu mirip dengan papa dan kakaknya. Dua orang yang sangat kubenci, orang yang dengan tega menghancurkan hidupku seperti ini
Warna senja sedang jingga jingganya. Sang bayu pun lirih bertiup, menerpa wajah yang kini tengah tersipu. Sementara jantung berdetak tidak beraturan dengan tak tahu malu. "Aku sudah tahu semuanya," ucap pria di depanku. Tangannya yang menggenggam jemari membimbing untuk menyentuh dada bidang itu. Detaknya hampir sama denganku. Beberapa saat kami hanya diam sembari saling tatap. Membahasakan seluruh rasa yang sedang mendera. Bahasa kalbu, mungkin. Aku melepas genggamannya dengan cepat, mengalihkan pandang pada lukisan alam di ufuk barat. Apa yang harus kulakukan sekarang. Pria ini tak boleh memporak-porandakan dinding tinggi yang telah kubangun sejak beberapa tahun lalu. Dinding yang tidak akan bisa ditembus oleh siapa pun. Sekat yang menunjukkan betapa tidak percayanya aku pada hal bernama: cinta. "Aku takut, Sat. Aku takut," lirihku. Kuakui, bisa saja penghalang itu telah runtuh kini. Diperlakukan dengan manis oleh seorang lawan jenis