Saat itu Celia menjawab dengan ekspresi wajah yang riang, hanya untuk menyenangkan ibunya, dia pun mulai berbicara omong kosong, “Ibu tenang saja, Celia pasti akan segera membawakan ibu seorang menantu yang sangat tampan dan juga sangat kaya.”
“Itu bukan syarat utama untuk menjadi menantu ibu, yang penting dia harus menyayangimu dengan tulus.” “Tentu saja, tidak hanya menyayangiku, dia juga sangat bucin.” Celia tersenyum lalu mencium tangan ibunya, “Dan yang penting, Celia yakin dia juga sangat menyayangi ibu.” “Ibu tidak penting.” “Siapa bilang, jika mau menikahiku maka dia juga harus menyayangi ibuku.” “Jadi kamu sudah bertemu seseorang? “Tentu saja. Tapi yang terpenting sekarang, ibu harus sembuh dulu, baru setelah itu Celia akan membawa dia untuk bertemu dengan ibu.” “Aamiin. Tapi ngomong-ngomong apa itu bucin?” “Itu artinya di matanya tidak akan ada wanita lain selain putrimu yang cantik ini. Dia sangat tergila-gila padaku.” Setelah itu mereka tertawa bersama. Celia ingat betapa manis senyuman ibunya waktu itu. Dia juga masih bisa merasakan tangan hangat ibunya saat menyentuh dan membelai kepalanya dengan lembut hingga membuatnya tertidur. Tubuh Celia goyah, Bibi Mery memeluk bahunya dengan sangat erat takut gadis itu akan terjatuh sewaktu-waktu. Sampai di rumah. Rumah itu terlihat sunyi sekarang. Celia menyentuh kursi teras dengan lembut, tempat biasa ibunya selalu duduk saat pagi atau sore hari menunggunya pulang kerja dengan senyuman. Tapi mulai hari ini tidak akan ada lagi yang menunggunya pulang di rumah. Celia merasa sangat lelah. Hari ini dia berencana menghabiskan waktunya untuk beristirahat. Namun, belum sampai di kamar, terdengar suara mobil yang terparkir di halaman. “Akhirnya kamu pulang juga.” Suara yang familiar tapi terdengar tidak bersahabat di telinga Celia. Itu adalah suara pamannya, Arnold. Dia adalah adik dari ibunya. Ayah dari Eliza. Celia tidak pernah mempunyai kenangan yang indah dengan keluarga dari ibunya terutama Arnold dan keluarganya. “Paman Arnold…” Lana berbalik untuk menyapa. “Silahkan duduk, paman mau minum apa?” “Tidak perlu, aku kesini hanya ingin memberitahumu bahwa lusa akan menjadi hari pernikahanmu.” “Menikah? Tapi…Dengan siapa?” Celia sedikit terkejut saat mendengarnya. Dia terduduk di kursi berusaha untuk bersikap biasa. Karena berpikir mungkin ibunya sebelum meninggal sudah memberikan tanggung jawab penuh masalah pernikahannya kepada pamannya. Tapi tetap saja pernikahan yang kesannya mendadak membuat Celia merasa tidak nyaman. Apalagi ibunya baru saja dimakamkan dan terlebih lagi dia tidak tahu siapa calon suaminya. Celia bermaksud menolak dengan cara yang sopan. Tapi belum lagi sadar dari keterkejutannya, Arnold menyebutkan sebuah nama… “Dengan Benjamin.” Saat mendengar nama Benjamin, Ciela terkejut bukan kepalang. Dia bahkan mengira bahwa Arnold sedang bercanda atau mungkin ada masalah dengan pendengarannya sendiri. Dengan berusaha mempertahankan ketenangannya Celia berkata, “Apa? Paman jangan bercanda dengan sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi.” Arnold menatap Celia dengan tatapan yang dingin dan berkata, “Suka atau tidak, aku sudah putuskan lusa kamu harus menikah dengan Benjamin!” Melihat keteguhan Arnold, membuat Celia yakin bahwa dia tidak sedang bercanda. Tubuhnya seketika merinding, bagaimana mungkin, paman yang selama ini dia hormati tega memaksanya untuk menikah dengan Benjamin? Dan dengan keteguhan yang sama, Celia berkata, “Aku tidak akan pernah bisa menikah dengan dia.” “Kenapa tidak bisa?!” “Karena dia adalah pamanku!” Jacob Albern memiliki lima orang anak, dan Benjamin adalah anak bungsu di dalam keluarga. Benjamin sudah menikah dan memiliki empat orang anak, sedangkan istrinya baru saja meninggal tiga bulan yang lalu karena sakit. Selama 24 tahun kehidupan Celia, dimatanya Benjamin adalah pamannya jadi bagaimana mungkin dia bisa menikah dengannya? Hanya dengan membayangkannya saja Ciela merasa sangat jijik. “Kamu salah, kamu hanya anak pungut! Tidak ada darah Albern ataupun Harrison yang mengalir di dalam tubuhmu. Jadi pernikahanmu dengan Benjamin tidak menyalahi hukum apapun.” Saat mendengar ucapan Arnold, langit seakan runtuh menimpa Celia. Dia menatap wajah Arnold dan berharap pamannya itu akan tertawa dan berkata bahwa semua yang barusan dia ucapkan hanya sebuah lelucon. Tapi sebaliknya, yang Celia lihat hanya tatapan kebencian. Seluruh tubuhnya terasa lemas seperti tidak bertulang. Kebenaran itu seperti menghantam dadanya hingga membuatnya terasa sulit untuk bernafas. Seakan belum puas mengeluarkan kebenciannya, Arnold kembali berkata, “Kakak dan kakak iparku terlalu menyayangimu sehingga warisan yang mereka tinggalkan semua atas namamu. Kamu hanya anak pungut tidak pantas memiliki warisan sebanyak itu. Kamu harus menikah dengan Benjamin agar semua warisan kembali menjadi milik keluarga Albern kami!” Celia dan ibunya selalu hidup sederhana sejak ayahnya meninggal, dia sama sekali tidak tahu jika kedua orang tuanya mewarisi harta yang membuat keluarga Albern tergiur dan gelap mata. Sebenarnya ada apa? Sejak kecil, selain Tuhan di dunia ini hanya ibunya yang Celia percaya. Tapi sekarang ibunya tidak ada, lalu siapa yang harus dipercayai? Tentu, Celia tidak percaya begitu saja semua omongan Arnold mengenai statusnya sebagai anak pungut. Meskipun hal itu benar, dia harus mencari tahu sendiri kebenarannya. Celia melirik pintu utama yang terbuka lebar, dia berusaha untuk lari keluar, namun anak buah Arnold yang sudah berjaga dengan cepat menangkapnya kembali. Celia tidak berdaya karena mereka begitu kuat. “Kurung dia di kamarnya. Jangan biarkan keluar sampai hari pernikahannya besok lusa. Jika dia sampai kabur, kalian akan menerima akibatnya.” Arnold menunjuk kearah pria-pria bertubuh besar dan berwajah seram yang memegang tangan Celia. “Tolong lepaskan aku paman Arnold, biarkan aku pergi! Aku tidak mau menikah!” Arnold berjalan mendekat, “Mulai sekarang jangan panggil aku paman, karena aku bukan pamanmu. Kau hanya anak pungut yang tidak memiliki asal usul yang jelas. Bawa dia pergi!” Anak buah Arnold menyeret tubuh Celia yang masih terus meronta, lalu melemparkannya ke dalam kamar. Kemudian menguncinya dari luar. “Tuan Arnold! Tolong buka pintunya! Biarkan saya pergi! Saya tidak mau menikah!”Tubuh Celia merosot di lantai, tangannya merah dan bengkak karena berulang kali dipukulkan ke pintu kayu yang keras, suaranya pun mulai serak. Dia meringkuk di lantai seperti janin. Kebenaran yang baru saja terungkap di depan matanya secara brutal, membuat dia lupa bagaimana caranya menangis. Dia menjadi sedikit linglung.Berharap jika semua ini hanya bagian dari mimpi buruk. Dan saat terbangun nanti semua akan kembali seperti semula.Namun, itu tidak mungkin.“Ibu, ayah, kenapa kalian bukan orang tua kandungku? Lalu aku siapa?” Suara Celia terdengar lirih, hatinya terasa sakit dan hancur.Kepada siapa lagi dia harus bercerita? Mereka yang selama ini dianggap sebagai keluarga kini mulai menjauh dengan tatapan dingin. Bagi mereka sekarang dia tidak lebih dari orang asing. Seketika di dunia yang besar ini dia hanya sendirian.Rumah tempatnya tumbuh dalam kehangatan kasih sayang ayah dan ibu, kini terasa seperti penjara besar yang menyesakkan. Celia memejamkan mata sambil berusaha meng
“Celia, jangan bicara padaku seperti orang asing. Tentu saja kamu boleh tinggal disini.” Celia mencoba tersenyum, meskipun hatinya masih terasa berat. "Terima kasih, Kak Erika. Maaf merepotkan." "Jangan khawatir. Kamu tidak merepotkan sama sekali. Masuklah, buat dirimu nyaman," jawab Erika sambil membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan Celia untuk masuk. Saat mereka melangkah masuk, Celia merasakan suasana hangat yang mengisi rumah itu. Dinding-dindingnya dihiasi dengan foto-foto keluarga dan karya seni sederhana. Aroma kue yang baru dipanggang menguar dari dapur, membuat perut Celia keroncongan. Erika melihat Celia dengan penuh perhatian. "Kamu pasti lelah setelah perjalanan panjang. Duduklah, aku akan membuatkan teh untukmu." Celia mengangguk dan duduk di sofa yang empuk di ruang tamu. Eric meletakkan kopernya di sudut ruangan dan duduk di sebelahnya. "Terima kasih, Kak Eric. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa bantuanmu," kata Celia dengan suara pelan. Er
Di luar rumah, suasana semakin kacau. Para penjaga berlarian, mengendarai mobil patroli, menyebar ke seluruh kota dalam upaya putus asa untuk menemukan Celia. Di tengah kekacauan itu, Arnold berdiri di pintu depan, memandang keluar dengan mata yang penuh kebencian."Aku akan menemukanmu, dasar brengsek!" gumam Arnold pelan. "Dan kali ini, kamu tidak akan bisa lari lagi sebelum aku mendapatkan semua harta warisan kakak dan kakak iparku."Namun, jauh di dalam hatinya, Arnold tahu bahwa meskipun dia penuh dengan tekad untuk menangkap Celia kembali, dia merasa ada sesuatu yang berbeda kali ini. Gadis itu mungkin lebih kuat dan lebih cerdik daripada yang dia bayangkan. Dan mungkin saja seseorang telah membantunya.Sementara itu Eliza, memanfaatkan situasi untuk mencari informasi sekecil apapun di kamar Celia.Eliza menyelinap dengan cepat ke dalam kamar, memastikan tidak ada yang terlewat dari matanya. Dia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tepat untuk menemukan sesuatu yang berharga mi
Matahari sore yang mulai condong ke barat memancarkan cahaya keemasan yang indah, menerangi jalanan umum yang ramai oleh pejalan kaki. Setelah memarkirkan mobil di tempat yang sudah disediakan, Celia, Eric, Erica dan kedua buah hatinya berjalan bersama memasuki pasar tradisional. Suara tawar menawar, percakapan riang dan tawa terdengar seolah menyambut mereka, mengiringi perjalanan yang dipenuhi semangat kebersamaan. Celia mengamati semua toko yang ia lewati, matanya mencari barang yang mungkin nanti dia perlukan. Karena saat pergi meninggalkan rumah kemarin, tidak banyak barang yang bisa ia bawa. Ashford terkenal dengan julukan desa kecil, tapi sebenarnya pasar tradisional ini sangat komplit. Semua hal tersedia, kualitasnya pun tidak kalah dari kota besar. Pasar ramai dengan aktivitas. Penjual dan pembeli berinteraksi, aroma harum makanan lokal menguar di udara. Mereka berlima bergerak melewati kerumunan, menuju konter Tuan Rudi, seorang saudagar kaya raya yang juga kepala des
Saat akhirnya dia melihatnya, nafas Celia seolah berhenti, nenek itu berjalan menuju jalur lintasan motor si pencuri. Karena sebuah truk pengangkut sayuran yang terparkir di pinggir jalan, nenek berambut putih tidak bisa melihat motor yang datang dengan cepat. Tidak ada orang yang menyadarinya, karena perhatian semua orang tertuju pada si pencuri.“Nenek!”Celia berteriak tapi karena suasana yang sangat ramai dan kacau, suaranya seperti tenggelam tak berbekas. Dia menjadi panik suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Jika berteriak pun belum tentu akan terdengar oleh nenek itu.Tidak ada waktu lagi!Celia dengan cepat bangkit dari kursinya, mengambil keranjang bambu besar di pinggir jalan yang cukup berat karena penuh berisi sampah, dia lalu melemparkannya ke arah pencuri berharap orang itu akan terjatuh dari motornya. Tapi motor itu hanya oleng dan melambat. Celia segera berlari sekuat tenaga ke arah nenek berambut putih.“Nenek awas!”Nenek berambut putih tertegun di tempatnya sam
Semantara itu di sebuah penthouse mewah yang terletak di lantai teratas gedung milik salah satu perusahaan teknologi ternama di dunia bernama Future One. Luxian, setelah meeting ia menghabiskan waktu makan siangnya di penthouse pribadi miliknya. Saat ini dia hanya ingin menyendiri dan berpikir. Duduk di sofa, dia memperhatikan gelang perak bertahta safir biru di tangannya, wajahnya tampak serius seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.Barusan dia sudah bertanya pada Shane dan semua teman-temannya yang hadir pada malam itu, tapi tidak ada satupun dari mereka yang merasa memanggil jasa wanita panggilan atau membawa seorang gadis ke kamar hotel miliknya.Luxian hanya sekedar bertanya tidak menceritakan secara rinci tentang apa yang terjadi sebenarnya di dalam kamar. Karena jika mereka tahu dia sudah menghabiskan malam dengan seorang gadis, maka berdasarkan sifat teman-temannya, tidak diragukan lagi dia pasti akan menjadi bahan lelucon mereka semua. Lalu siapa gadis yang bersamanya mala
Setelah memasuki halaman, Celia melihat nenek Iris, seorang wanita tua dengan rambut perak yang disanggul rapi. Dia sedang berjongkok di kebun, memetik beberapa sayuran segar. Nenek Iris tampak damai dan bahagia, begitu menyatu dengan alam sekitarnya."Nenek Iris," sapa Celia dengan suara lembut namun jelas, dia turun dari sepeda dan mendorongnya ke sisi jalan setapak.Nenek Iris mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar saat melihat Celia. "Oh, Celia! Senang sekali kamu datang. Ayo, kemarilah," katanya dengan suara ramah, bangkit perlahan dari posisi jongkoknya. Dia segera mencuci tangannya yang kotor dan menyekanya di celemek yang dipakainya.“Baik…” Celia tersenyum dan berjalan mendekat, Nenek Iris menyambut dengan begitu hangat hingga membuatnya tidak lagi merasa gugup. "...Aku senang bisa berkunjung. Apa yang sedang nenek lakukan?"Nenek Iris terkekeh pelan. "Aku sedang memetik beberapa sayuran untuk nanti kita masak. Tadinya aku berniat membuat menu kejutan untukmu, tapi aku tidak
Saat Celia menghadap ke arah nenek Iris, dia melihat seorang pria berdiri dengan anggun di dekat pintu dapur. Dari kejauhan, sinar matahari sore yang masuk melalui pintu yang terbuka lebar membingkai sosoknya dengan sempurna. Pria itu terlihat seperti versi dewasa dari anak yang ada di dalam foto yang sedang dia pegang.“Nenek, umur berapa cucu Anda sekarang?”“Sekitar 28 tahun. Ada apa Celia?”Celia memegang erat bingkai foto di tangannya, dan matanya terpaku pada pria itu. Tinggi, berpostur tegap, dan mengenakan setelan casual namun elegan yang tampak mahal. Rambutnya hitam pekat, tertata rapi, dengan mata tajam yang memancarkan aura dominasi dan kharisma yang luar biasa."Siapa dia? Kenapa aku merasa tidak asing," pikir Celia, jantungnya berdegup kencang.Seolah tersihir, Celia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Sudut bibir pria itu melengkung. Dalam sekejap, dunia di sekitar Celia seakan berhenti. Detak jantungnya semakin cepat, dan nafasnya tertahan.“Dia tersenyum padaku… lua