Tubuh Celia merosot di lantai, tangannya merah dan bengkak karena berulang kali dipukulkan ke pintu kayu yang keras, suaranya pun mulai serak. Dia meringkuk di lantai seperti janin. Kebenaran yang baru saja terungkap di depan matanya secara brutal, membuat dia lupa bagaimana caranya menangis. Dia menjadi sedikit linglung.
Berharap jika semua ini hanya bagian dari mimpi buruk. Dan saat terbangun nanti semua akan kembali seperti semula. Namun, itu tidak mungkin. “Ibu, ayah, kenapa kalian bukan orang tua kandungku? Lalu aku siapa?” Suara Celia terdengar lirih, hatinya terasa sakit dan hancur. Kepada siapa lagi dia harus bercerita? Mereka yang selama ini dianggap sebagai keluarga kini mulai menjauh dengan tatapan dingin. Bagi mereka sekarang dia tidak lebih dari orang asing. Seketika di dunia yang besar ini dia hanya sendirian. Rumah tempatnya tumbuh dalam kehangatan kasih sayang ayah dan ibu, kini terasa seperti penjara besar yang menyesakkan. Celia memejamkan mata sambil berusaha mengingat kembali perjalanan hidupnya. Untuk mencari sedikit saja petunjuk dari ibunya di masa lalu tentang asal usulnya, tapi dia tidak berhasil menemukan apapun. Tapi yang lebih menyakitkan, setiap kali dia mengingat kenangan manis masa lalu bersama ayah dan ibunya, selalu ada pengingat yang seolah berkata, “Mereka bukan ayah dan ibumu, tidak tahu malu.” Membuat Celia merasa sangat terpukul. Tidak boleh menyerah! Dia tidak bisa lebih lama tinggal disini, harus segera keluar. Menyerah pada keadaan bukan menjadi sifatnya. Tapi bagaimana caranya? Disaat perasaannya sangat terpuruk dan hampir putus asa, Celia mendengar suara di jendela kamarnya, seperti ada seseorang yang sengaja melemparkan sesuatu. Perlahan dia berjalan menuju balkon dan mengintip keluar, ketika jendela dibuka di luar sedang turun hujan yang sangat deras. “Mungkin itu hanya suara angin yang membawa butiran es.” Gumam Celia. Saat dia akan menutup jendela, kerikil kembali dilemparkan dari bawah. Celia bergegas melihat kebawah, itu adalah Erick putra dari Bibi Mery sedang berdiri di sana. Setelah melemparkan tali, Erick lalu memberi isyarat agar Celia segera turun dan dia akan berjaga di bawah agar dia tidak perlu takut jatuh. Takut jatuh? Mana mungkin. Setelah apa yang dia alami, melompat dari balkon pun akan dia lakukan asalkan bisa segera pergi dari sini. Dengan tubuh yang basah kuyup karena hujan, Celia kembali ke dalam kamar mengambil tas dan dengan cepat mengemas beberapa baju dan barang-barang penting yang diperlukan. Bagian samping rumah mereka hanya dipisahkan oleh sebuah halaman kecil dan tembok. Saat Celia akan menuruni balkon, tiba-tiba saja kilatan cahaya menerangi bumi dengan aura yang menakutkan. Sedetik kemudian petir menggelegar dengan sangat dahsyatnya hingga membuat lampu di seluruh komplek perumahan itu padam seketika. Dulu Celia sangat takut pada petir yang disertai angin kencang. Saat masih ada ibunya, dia akan bersembunyi sambil menangis dan memeluk erat ibunya setiap kali hujan badai datang. Dan ibunya akan membelai lembut kepala Celia sambil berkata kalau semua akan baik-baik saja. Tubuh Celia gemetar. Dalam keadaan gelap gulita, dia bergegas menuruni tali yang sudah terikat kencang. Karena hujan deras, angin, dan petir yang saling bersahutan di tambah suasana yang gelap gulita membuat pelarian Celia berjalan mulus. Setelah melewati tembok menggunakan tangga yang sudah disiapkan Erick, Celia berlari ke rumah Bibi Mery, bermaksud bertanya tentang ‘siapa dia’. Tapi Bibi Mery tidak memberinya kesempatan untuk bicara. “Celia, cepat pergilah, jangan menunda lebih lama. Jika Arnold sampai menangkapmu, kamu tidak akan bisa melarikan diri lagi. Masalah yang lain, kita bisa bicarakan nanti.” Bibi Mery menyerahkan kotak makan siang yang masih terasa hangat, lalu melanjutkan bicara, “Makanlah di jalan, kamu pasti belum makan. Nanti tidak perlu berhenti untuk membeli makanan sebelum sampai tujuan.” Celia mengangguk tanpa bicara apapun, karena jika dipaksakan bicara dia pasti akan menangis sejadi-jadinya. Sambil menggigit bibir bawahnya dan mata yang basah, dia menatap Bibi Mery, memeluknya sebentar, sebelum akhirnya berbalik menuju mobil yang sudah bersiap untuk pergi dengan Erick di belakang kemudi. Mobil melaju cepat di jalan bebas hambatan. Celia menatap keluar jendela, kota kecil tempatnya tumbuh besar yang terlihat semakin menjauh untuk terakhir kalinya. Entah kapan dia akan kembali. Setelah menenangkan diri beberapa waktu, Celia mulai memberanikan diri untuk bicara. Dia menoleh ke arah Erick yang sedang fokus mengemudi. Dengan suara yang masih bergetar dia bertanya. “Kak Erick, kita akan pergi kemana?” “Ke rumah Kakak perempuanku di luar kota.” Umur Erick dua tahun lebih tua dari Celia. Mereka tumbuh bersama. Tapi semenjak Erick kuliah di luar kota, tidak tahu kenapa, tapi seperti ada jarak diantara mereka. Terasa lebih canggung dari sebelumnya. Bibi Mery mempunyai dua anak, Erick dan Erika mereka kembar identik namun berbeda gender. Erika sudah menikah tapi suaminya yang seorang tentara, baru saja ditugaskan untuk sebuah misi perdamaian di luar negeri. Jadi saat ini dia hanya tinggal bersama dengan kedua anaknya. Di luar hujan masih turun dengan lebatnya. Cuaca yang dingin membuat perut Celia protes minta diisi. Dia menatap kotak makan di pangkuannya. Baunya sangat harum. “Cepat makan, nanti kalau sudah dingin tidak enak.” Erick berkata sambil menurunkan sedikit kecepatan mobilnya. “Kakak mau? Kita makan bersama, ya?” “Aku sudah makan. Untukmu saja.” Celia menghabiskan semua yang ada di kotak makan. Dan karena jarak yang masih sangat jauh, Erick menyuruhnya untuk tidur. Setelah hampir 6 jam di perjalanan, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan menjelang pagi. Saat Celia membuka mata, mobil sudah terparkir di sebuah halaman rumah dengan pemandangan alam pedesaan yang asri di sekitarnya. Erick terlihat sibuk menurunkan barang dari bagasi. Melihat pemandangan yang indah membuat mood Celia menjadi sangat baik. “Kakak, kenapa tidak membangunkanku?” Katanya sambil berjalan menuju Erick. Celia! Erika berdiri di teras sambil tersenyum ke arahnya, disampingnya dua malaikat kecil berdiri di masing-masing sisi sambil mengintip malu-malu dari belakang ibu mereka. Celia lalu berbalik menghampiri. Setelah berbasa basi sebentar, Celia memberanikan diri untuk bicara. “Kak, bolehkah aku tinggal di tempatmu untuk sementara? Aku akan bayar sewa setiap bulannya, kakak juga boleh menyuruhku untuk melakukan pekerjaan rumah. Aku tidak keberatan.”“Celia, jangan bicara padaku seperti orang asing. Tentu saja kamu boleh tinggal disini.” Celia mencoba tersenyum, meskipun hatinya masih terasa berat. "Terima kasih, Kak Erika. Maaf merepotkan." "Jangan khawatir. Kamu tidak merepotkan sama sekali. Masuklah, buat dirimu nyaman," jawab Erika sambil membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan Celia untuk masuk. Saat mereka melangkah masuk, Celia merasakan suasana hangat yang mengisi rumah itu. Dinding-dindingnya dihiasi dengan foto-foto keluarga dan karya seni sederhana. Aroma kue yang baru dipanggang menguar dari dapur, membuat perut Celia keroncongan. Erika melihat Celia dengan penuh perhatian. "Kamu pasti lelah setelah perjalanan panjang. Duduklah, aku akan membuatkan teh untukmu." Celia mengangguk dan duduk di sofa yang empuk di ruang tamu. Eric meletakkan kopernya di sudut ruangan dan duduk di sebelahnya. "Terima kasih, Kak Eric. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa bantuanmu," kata Celia dengan suara pelan. Er
Di luar rumah, suasana semakin kacau. Para penjaga berlarian, mengendarai mobil patroli, menyebar ke seluruh kota dalam upaya putus asa untuk menemukan Celia. Di tengah kekacauan itu, Arnold berdiri di pintu depan, memandang keluar dengan mata yang penuh kebencian."Aku akan menemukanmu, dasar brengsek!" gumam Arnold pelan. "Dan kali ini, kamu tidak akan bisa lari lagi sebelum aku mendapatkan semua harta warisan kakak dan kakak iparku."Namun, jauh di dalam hatinya, Arnold tahu bahwa meskipun dia penuh dengan tekad untuk menangkap Celia kembali, dia merasa ada sesuatu yang berbeda kali ini. Gadis itu mungkin lebih kuat dan lebih cerdik daripada yang dia bayangkan. Dan mungkin saja seseorang telah membantunya.Sementara itu Eliza, memanfaatkan situasi untuk mencari informasi sekecil apapun di kamar Celia.Eliza menyelinap dengan cepat ke dalam kamar, memastikan tidak ada yang terlewat dari matanya. Dia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tepat untuk menemukan sesuatu yang berharga mi
Matahari sore yang mulai condong ke barat memancarkan cahaya keemasan yang indah, menerangi jalanan umum yang ramai oleh pejalan kaki. Setelah memarkirkan mobil di tempat yang sudah disediakan, Celia, Eric, Erica dan kedua buah hatinya berjalan bersama memasuki pasar tradisional. Suara tawar menawar, percakapan riang dan tawa terdengar seolah menyambut mereka, mengiringi perjalanan yang dipenuhi semangat kebersamaan. Celia mengamati semua toko yang ia lewati, matanya mencari barang yang mungkin nanti dia perlukan. Karena saat pergi meninggalkan rumah kemarin, tidak banyak barang yang bisa ia bawa. Ashford terkenal dengan julukan desa kecil, tapi sebenarnya pasar tradisional ini sangat komplit. Semua hal tersedia, kualitasnya pun tidak kalah dari kota besar. Pasar ramai dengan aktivitas. Penjual dan pembeli berinteraksi, aroma harum makanan lokal menguar di udara. Mereka berlima bergerak melewati kerumunan, menuju konter Tuan Rudi, seorang saudagar kaya raya yang juga kepala des
Saat akhirnya dia melihatnya, nafas Celia seolah berhenti, nenek itu berjalan menuju jalur lintasan motor si pencuri. Karena sebuah truk pengangkut sayuran yang terparkir di pinggir jalan, nenek berambut putih tidak bisa melihat motor yang datang dengan cepat. Tidak ada orang yang menyadarinya, karena perhatian semua orang tertuju pada si pencuri.“Nenek!”Celia berteriak tapi karena suasana yang sangat ramai dan kacau, suaranya seperti tenggelam tak berbekas. Dia menjadi panik suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Jika berteriak pun belum tentu akan terdengar oleh nenek itu.Tidak ada waktu lagi!Celia dengan cepat bangkit dari kursinya, mengambil keranjang bambu besar di pinggir jalan yang cukup berat karena penuh berisi sampah, dia lalu melemparkannya ke arah pencuri berharap orang itu akan terjatuh dari motornya. Tapi motor itu hanya oleng dan melambat. Celia segera berlari sekuat tenaga ke arah nenek berambut putih.“Nenek awas!”Nenek berambut putih tertegun di tempatnya sam
Semantara itu di sebuah penthouse mewah yang terletak di lantai teratas gedung milik salah satu perusahaan teknologi ternama di dunia bernama Future One. Luxian, setelah meeting ia menghabiskan waktu makan siangnya di penthouse pribadi miliknya. Saat ini dia hanya ingin menyendiri dan berpikir. Duduk di sofa, dia memperhatikan gelang perak bertahta safir biru di tangannya, wajahnya tampak serius seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.Barusan dia sudah bertanya pada Shane dan semua teman-temannya yang hadir pada malam itu, tapi tidak ada satupun dari mereka yang merasa memanggil jasa wanita panggilan atau membawa seorang gadis ke kamar hotel miliknya.Luxian hanya sekedar bertanya tidak menceritakan secara rinci tentang apa yang terjadi sebenarnya di dalam kamar. Karena jika mereka tahu dia sudah menghabiskan malam dengan seorang gadis, maka berdasarkan sifat teman-temannya, tidak diragukan lagi dia pasti akan menjadi bahan lelucon mereka semua. Lalu siapa gadis yang bersamanya mala
Setelah memasuki halaman, Celia melihat nenek Iris, seorang wanita tua dengan rambut perak yang disanggul rapi. Dia sedang berjongkok di kebun, memetik beberapa sayuran segar. Nenek Iris tampak damai dan bahagia, begitu menyatu dengan alam sekitarnya."Nenek Iris," sapa Celia dengan suara lembut namun jelas, dia turun dari sepeda dan mendorongnya ke sisi jalan setapak.Nenek Iris mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar saat melihat Celia. "Oh, Celia! Senang sekali kamu datang. Ayo, kemarilah," katanya dengan suara ramah, bangkit perlahan dari posisi jongkoknya. Dia segera mencuci tangannya yang kotor dan menyekanya di celemek yang dipakainya.“Baik…” Celia tersenyum dan berjalan mendekat, Nenek Iris menyambut dengan begitu hangat hingga membuatnya tidak lagi merasa gugup. "...Aku senang bisa berkunjung. Apa yang sedang nenek lakukan?"Nenek Iris terkekeh pelan. "Aku sedang memetik beberapa sayuran untuk nanti kita masak. Tadinya aku berniat membuat menu kejutan untukmu, tapi aku tidak
Saat Celia menghadap ke arah nenek Iris, dia melihat seorang pria berdiri dengan anggun di dekat pintu dapur. Dari kejauhan, sinar matahari sore yang masuk melalui pintu yang terbuka lebar membingkai sosoknya dengan sempurna. Pria itu terlihat seperti versi dewasa dari anak yang ada di dalam foto yang sedang dia pegang.“Nenek, umur berapa cucu Anda sekarang?”“Sekitar 28 tahun. Ada apa Celia?”Celia memegang erat bingkai foto di tangannya, dan matanya terpaku pada pria itu. Tinggi, berpostur tegap, dan mengenakan setelan casual namun elegan yang tampak mahal. Rambutnya hitam pekat, tertata rapi, dengan mata tajam yang memancarkan aura dominasi dan kharisma yang luar biasa."Siapa dia? Kenapa aku merasa tidak asing," pikir Celia, jantungnya berdegup kencang.Seolah tersihir, Celia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Sudut bibir pria itu melengkung. Dalam sekejap, dunia di sekitar Celia seakan berhenti. Detak jantungnya semakin cepat, dan nafasnya tertahan.“Dia tersenyum padaku… lua
Sementara itu jauh di Summer Field.Di sebuah gedung tinggi dan megah tempat Whisper beroperasi, suasana tegang memenuhi udara kantor ketika Jack, CEO perusahaan, menemukan surat pengunduran diri Celia di mejanya. Surat itu tergeletak di antara tumpukan dokumen, tetapi kata-kata yang tertulis di atasnya langsung menarik perhatiannya, ‘Resign’. Wajah Jack berubah merah padam seketika, ekspresi marah dan frustasi terpancar jelas.Atas instruksi Celia, Amy datang pagi-pagi sekali lalu menyelinap masuk ke ruangan Jack dan menaruh surat itu di mejanya tanpa diketahui siapapun. Surat itu dibuat sendiri oleh Celia, tanda tangannya juga miliknya. Amy hanya bertugas mencetak, dan meletakkannya di meja..Jack meremas surat itu dengan tangan gemetar, kemudian membantingnya ke meja. Pikirannya berputar cepat, membayangkan dampak dari kehilangan Celia. Celia adalah karyawan berharga, bukan hanya karena kemampuan dan etos kerjanya, tetapi karena semua rencananya untuk menyerahkan Celia kepada Simon