Tubuh Celia merosot di lantai. Berulang kali dia memukul pintu kayu yang keras dengan kedua tangannya hingga merah dan bengkak, suaranya juga mulai terdengar serak.
Dia meringkuk di lantai seperti janin. Kebenaran yang baru saja terungkap di depan matanya secara brutal, membuat dia lupa bagaimana caranya menangis. Dia menjadi sedikit linglung. Berharap jika semua ini hanya bagian dari mimpi buruk. Dan saat terbangun nanti semua akan kembali seperti semula. Namun, itu tidak mungkin terjadi “Ibu, ayah, kenapa kalian bukan orang tua kandungku? Lalu aku siapa?” Suara Celia terdengar lirih, hatinya terasa sakit dan hancur. Kepada siapa lagi dia harus bercerita? Mereka yang selama ini dianggap sebagai keluarga kini mulai menjauh dengan tatapan dingin. Bagi mereka sekarang dia tidak lebih dari orang asing. Seketika di dunia yang besar ini dia hanya sendirian. Rumah tempatnya tumbuh dalam kehangatan kasih sayang ayah dan ibu, kini terasa seperti penjara besar yang menyesakkan. Celia memejamkan mata sambil berusaha mengingat kembali perjalanan hidupnya. Untuk mencari sedikit saja petunjuk dari ibunya di masa lalu tentang asal usulnya, tapi dia tidak berhasil menemukan apapun. Tapi yang lebih menyakitkan, setiap kali dia mengingat kenangan manis masa lalu bersama ayah dan ibunya, selalu ada pengingat yang seolah berkata, “Mereka bukan ayah dan ibumu, tidak tahu malu.” Membuat Celia merasa sangat terpukul. Tidak boleh menyerah! Dia tidak bisa lebih lama tinggal disini, harus segera keluar. Menyerah pada keadaan bukan menjadi sifatnya. Tapi bagaimana caranya? Dan kemana dia harus pergi? Disaat perasaannya sangat terpuruk dan hampir putus asa, Celia mendengar suara di jendela kamarnya, seperti ada seseorang yang sengaja melemparkan sesuatu. Perlahan dia bangkit dan berjalan menuju balkon, dia mengintip keluar, ketika jendela dibuka di luar sedang turun hujan yang sangat deras. “Mungkin itu hanya suara angin yang membawa butiran es.” Gumam Celia. Dia berbalik dan bermaksud menutup jendela, saat sebuah kerikil kembali dilemparkan dari bawah. Celia bergegas untuk memeriksa, di bawah dia melihat Erick putra dari Bibi Mery sedang berdiri di sana. Setelah melemparkan tali, Erick lalu memberi isyarat agar Celia tidak takut jatuh dan segera turun, karena dia akan berjaga di bawah. Takut jatuh? Mana mungkin. Setelah semua yang dia alami, melompat dari balkon pun akan dia lakukan asalkan bisa segera pergi dari tempat ini. Dengan tubuh yang basah kuyup karena hujan, Celia kembali ke dalam kamar mengambil tas dan dengan cepat mengemas beberapa baju dan barang-barang penting yang diperlukan. Bagian samping rumah mereka hanya dipisahkan oleh sebuah halaman kecil dan tembok. Saat Celia akan menuruni balkon, tiba-tiba saja kilatan cahaya menerangi bumi dengan aura yang menakutkan. Sedetik kemudian petir menggelegar dengan sangat dahsyatnya hingga membuat lampu di seluruh komplek perumahan itu padam seketika. Dulu Celia sangat takut pada petir yang disertai angin kencang. Saat masih ada ibunya, dia akan bersembunyi sambil menangis dan memeluk erat ibunya setiap kali hujan badai datang. Dan ibunya akan membelai lembut kepala Celia sambil berkata kalau semua akan baik-baik saja. Tubuh Celia gemetar. Dalam keadaan gelap gulita, dia berusaha melawan ketakutannya dan bergegas menuruni tali yang sudah terikat kencang. Karena hujan deras, angin, dan petir yang saling bersahutan di tambah suasana yang gelap gulita membuat pelarian Celia berjalan mulus. Setelah melewati tembok menggunakan tangga yang sudah disiapkan Erick, Celia berlari ke rumah Bibi Mery, bermaksud bertanya tentang ‘siapa dia’. Tapi Bibi Mery tidak memberinya kesempatan untuk bicara. “Celia, cepat pergilah, jangan menunda lebih lama. Jika Arnold sampai menangkapmu, kamu tidak akan bisa melarikan diri lagi. Masalah yang lain, kita bisa bicarakan nanti.” Bibi Mery menyerahkan kotak makan siang yang masih terasa hangat, lalu melanjutkan bicara, “Makanlah di jalan, kamu pasti belum makan. Nanti tidak perlu berhenti untuk membeli makanan sebelum sampai tujuan.” Celia mengangguk tanpa bicara apapun, karena jika dipaksakan bicara dia pasti akan menangis sejadi-jadinya. Sambil menggigit bibir bawahnya dan mata yang basah, dia menatap Bibi Mery, memeluknya sebentar, sebelum akhirnya berbalik menuju mobil yang sudah bersiap untuk pergi dengan Erick di belakang kemudi. Di bawah guyuran hujan mobil melaju cepat di jalan bebas hambatan. Celia menatap kota tempatnya tumbuh besar untuk terakhir kalinya melalui jendela. Kota SummerField terlihat semakin kecil dan lama-lama menghilang. Entah kapan dia akan kembali lagi ke rumah itu. Setelah menenangkan diri beberapa waktu, Celia mulai memberanikan diri untuk bicara. Dia menoleh ke arah Erick yang sedang fokus mengemudi. Dengan suara yang masih bergetar dia bertanya. “Kak Erick, kita akan pergi kemana?” “Kita menuju rumah kakak perempuanku di luar kota.” Umur Erick dua tahun lebih tua dari Celia. Mereka tumbuh bersama. Tapi semenjak Erick kuliah di luar kota, tidak tahu kenapa, tapi seperti ada jarak diantara mereka. Terasa lebih canggung dari sebelumnya. Bibi Mery mempunyai dua anak, Erick dan Erika mereka kembar identik namun berbeda gender. Erika sudah menikah tapi suaminya yang seorang tentara, baru saja ditugaskan untuk sebuah misi perdamaian di luar negeri. Saat ini dia hanya tinggal bersama dengan kedua anak balitanya. Dulu saat Erika belum menikah, mereka bertiga terlihat seperti saudara.. Di luar hujan masih turun dengan lebatnya. Cuaca yang dingin membuat perut Celia protes minta diisi. Dia menatap kotak makan di pangkuannya. Baunya sangat harum. “Cepat makan, nanti kalau sudah dingin tidak enak.” Erick berkata sambil menurunkan sedikit kecepatan mobilnya. “Kakak mau? Kita makan bersama, ya?” “Aku sudah makan. Untukmu saja.” Celia menghabiskan semua yang ada di kotak makan. Dan karena jarak yang masih sangat jauh, Erick menyuruhnya untuk tidur. Setelah hampir 6 jam di perjalanan, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan menjelang pagi. Saat Celia membuka mata, mobil sudah terparkir di sebuah halaman rumah dengan pemandangan alam pedesaan yang asri di sekitarnya. Erick terlihat sibuk menurunkan barang-barang dari bagasi. Melihat pemandangan yang indah membuat mood Celia menjadi sangat baik. “Kakak, kenapa tidak membangunkanku?” Katanya sambil berjalan menuju Erick. Celia, ayo cepat kemari! Erika berdiri di teras sambil tersenyum ke arahnya, disampingnya dua malaikat kecil berdiri di masing-masing sisi sambil mengintip malu-malu dari belakang ibu mereka. Celia lalu berbalik menghampiri. Setelah berbasa basi sebentar, Celia memberanikan diri untuk bicara. “Kak, bolehkah aku tinggal di tempatmu untuk sementara? Aku akan bayar sewa setiap bulannya, kakak juga boleh menyuruhku untuk melakukan pekerjaan rumah. Aku tidak keberatan.”“Celia, jangan menganggapku seperti orang asing. Tentu saja kamu boleh tinggal disini.” Celia mencoba tersenyum, meskipun hatinya merasa tidak bersemangat. "Terima kasih, Kak. Maaf sudah merepotkan." "Tidak merepotkan sama sekali. Masuklah, buat dirimu nyaman," jawab Erika sambil membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan Celia untuk masuk. Saat mereka melangkah masuk, Celia merasakan suasana hangat yang mengisi rumah itu. Dinding-dindingnya dihiasi dengan foto-foto keluarga dan karya seni sederhana. Aroma kue yang baru dipanggang menguar dari dapur. Erika melihat Celia dengan penuh perhatian. "Kamu pasti lelah setelah perjalanan panjang. Duduklah, aku akan membuatkan teh untukmu." Erika kembali dengan nampan berisi tiga cangkir teh dan sepiring kue. "Kebetulan aku baru saja membuat kue, ayo dicoba dulu, dan secangkir teh hangat ini akan membantumu merasa lebih baik." Celia mengambil cangkir teh dan menghirup aroma jasmine yang membuat rileks. "Terima kasih, Kak. Teh ini sangat en
Di luar rumah, suasana semakin kacau. Para penjaga berlarian, mengendarai mobil patroli, menyebar ke seluruh penjuru kota dalam upaya putus asa untuk menemukan Celia. Di tengah kekacauan itu, Arnold berdiri di pintu depan, memandang keluar dengan mata yang penuh kebencian. "Aku akan menemukanmu, dasar anak brengsek!" gumam Arnold meradang. "Aku harus mendapatkan kembali semua harta warisan yang ditinggalkan oleh kakak dan kakak iparku. Setelah mendapatkan semuanya, kau sama sekali tidak berharga, Celia. Aku akan langsung menyingkirkanmu!” Namun, Arnold juga menyadari jika Celia mungkin lebih cerdas daripada yang dibayangkan sebelumnya. Dan mungkin saja seseorang telah membantunya. Yang membuat gadis itu lebih sulit untuk dikendalikan dan dimanipulasi. Sementara itu Eliza, memanfaatkan situasi yang sedang kacau di luar untuk mencari petunjuk di kamar Celia. Informasi sekecil apapun akan sangat berguna untuk mengetahui kemana tujuan Celia pergi. Eliza menyelinap dengan cepat ke dala
Matahari sore yang mulai condong ke barat memancarkan cahaya keemasan yang indah, menerangi jalanan umum yang ramai oleh pejalan kaki. Setelah memarkirkan mobil di tempat yang sudah disediakan, Celia, Eric, Erica dan kedua buah hatinya berjalan bersama memasuki pasar tradisional. Suara tawar menawar, percakapan riang dan tawa terdengar seolah menyambut mereka, mengiringi perjalanan yang dipenuhi semangat kebersamaan. Celia mengamati semua toko yang ia lewati, matanya mencari barang yang mungkin nanti dia perlukan. Karena saat pergi meninggalkan rumah kemarin, tidak banyak barang yang bisa ia bawa. Ashford terkenal dengan julukan desa kecil, tapi sebenarnya pasar tradisional ini sangat komplit. Semua hal tersedia, kualitasnya pun tidak kalah dari kota besar. Pasar ramai dengan aktivitas. Penjual dan pembeli berinteraksi, aroma harum makanan lokal menguar di udara. Mereka berlima bergerak melewati kerumunan, menuju konter Tuan Rudi, seorang saudagar kaya raya yang juga kepala des
Saat akhirnya dia melihatnya, nafas Celia seolah berhenti, nenek itu berjalan menuju jalur lintasan motor si pencuri. Karena sebuah truk pengangkut sayuran yang terparkir di pinggir jalan, nenek berambut putih tidak bisa melihat motor yang datang dengan cepat. Tidak ada orang yang menyadarinya, karena perhatian semua orang tertuju pada si pencuri.“Nenek!”Celia berteriak tapi karena suasana yang sangat ramai dan kacau, suaranya seperti tenggelam tak berbekas. Dia menjadi panik suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Jika berteriak pun belum tentu akan terdengar oleh nenek itu.Tidak ada waktu lagi!Celia dengan cepat bangkit dari kursinya, mengambil keranjang bambu besar di pinggir jalan yang cukup berat karena penuh berisi sampah, dia lalu melemparkannya ke arah pencuri berharap orang itu akan terjatuh dari motornya. Tapi motor itu hanya oleng dan melambat. Celia segera berlari sekuat tenaga ke arah nenek berambut putih.“Nenek awas!”Nenek berambut putih tertegun di tempatnya sam
Semantara itu di sebuah penthouse mewah yang terletak di lantai teratas gedung milik salah satu perusahaan teknologi ternama di dunia bernama Future One. Luxian, setelah meeting ia menghabiskan waktu makan siangnya di penthouse pribadi miliknya. Saat ini dia hanya ingin menyendiri dan berpikir. Duduk di sofa, dia memperhatikan gelang perak bertahta safir biru di tangannya, wajahnya tampak serius seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.Barusan dia sudah bertanya pada Shane dan semua teman-temannya yang hadir pada malam itu, tapi tidak ada satupun dari mereka yang merasa memanggil jasa wanita panggilan atau membawa seorang gadis ke kamar hotel miliknya.Luxian hanya sekedar bertanya tidak menceritakan secara rinci tentang apa yang terjadi sebenarnya di dalam kamar. Karena jika mereka tahu dia sudah menghabiskan malam dengan seorang gadis, maka berdasarkan sifat teman-temannya, tidak diragukan lagi dia pasti akan menjadi bahan lelucon mereka semua. Lalu siapa gadis yang bersamanya mala
Celia merasa gugup saat pertama kali menginjakkan kaki di halaman rumah Nenek Iris. Rumah itu terletak di desa yang tenang, dikelilingi pepohonan dan kebun yang hijau. Ia datang dengan perasaan gugup, tetapi rasa ingin tahunya lebih besar. Ketika Celia memasuki halaman, ia melihat nenek Iris, seorang wanita tua dengan rambut perak yang disanggul rapi. Dia berjongkok di kebun, sedang memetik beberapa sayuran segar. "Nenek Iris," sapa Celia dengan suara lembut namun jelas, dia turun dari sepeda dan mendorongnya ke sisi jalan setapak. Nenek Iris mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar saat melihat Celia. "Oh, Celia! Senang sekali kamu datang. Ayo, kemarilah," katanya dengan suara ramah, bangkit perlahan dari posisi jongkoknya. Dia segera mencuci tangannya yang kotor dan menyekanya di celemek yang dipakainya. “Baik…” Celia tersenyum dan berjalan mendekat, sambutan nenek Iris begitu hangat membuatnya tidak lagi merasa gugup. "...Aku senang sekali bisa berkunjung. Kebun yang indah, n
Saat Celia menghadap ke arah nenek Iris, dia melihat seorang pria berdiri dengan anggun di dekat pintu dapur. Dari kejauhan, sinar matahari sore yang masuk melalui pintu yang terbuka lebar membingkai sosoknya dengan sempurna. Pria itu terlihat seperti versi dewasa dari anak yang ada di dalam foto yang sedang dia pegang. “Nenek, umur berapa cucu Anda sekarang?” “Sekitar 28 tahun. Ada apa Celia?” Celia memegang erat bingkai foto di tangannya, dan matanya terpaku pada pria itu. Tinggi, berpostur tegap, dan mengenakan setelan casual namun elegan. Rambutnya hitam pekat, tertata rapi, dengan mata tajam yang memancarkan aura dominasi dan kharisma yang luar biasa. "Siapa dia? Kenapa aku merasa tidak asing," pikir Celia, jantungnya berdegup kencang. Seolah tersihir, Celia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Sudut bibir pria itu melengkung. Dalam sekejap, dunia di sekitar Celia seakan berhenti. Detak jantungnya semakin cepat, dan nafasnya tertahan. “Ya Tuhan, dia tersenyum padaku… tampa
Sementara itu jauh di Summer Field. Di sebuah gedung tinggi tempat perusahaan Whisper beroperasi, suasana tegang terasa di sebuah ruangan kantor, ketika Jack, CEO perusahaan, menemukan surat pengunduran diri Celia di mejanya. Surat itu tergeletak di antara tumpukan dokumen penting, tetapi kata-kata yang tertulis di atas surat itu langsung menarik perhatiannya, ‘Resign’. Wajah Jack seketika berubah merah padam, ekspresi marah dan frustasi terlihat jelas. Atas instruksi Celia, Amy datang pagi-pagi sekali lalu menyelinap masuk ke ruangan Jack dan menaruh surat itu di mejanya tanpa diketahui siapapun. Surat itu dibuat sendiri oleh Celia, tanda tangannya juga miliknya. Amy hanya bertugas mencetak, dan meletakkannya di meja. Jack meremas surat itu dengan tangan gemetar, kemudian membantingnya ke meja. Pikirannya berputar cepat, membayangkan dampak buruk yang akan terjadi dari kehilangan Celia. Celia adalah karyawan berharga, bukan hanya karena kemampuan dan profesionalismenya dalam be
Jantung Celia berdegup semakin kencang, perasaannya tidak menentu.Mereka sampai di sudut jalan yang lebih sepi, tapi pria itu sudah tidak terlihat lagi. Celia berhenti dan menatap sekeliling dengan nafas yang tidak beraturan. "Dia... dia ada di sini tadi," ucapnya.Luxian mendekat, meletakkan tangan lembut di bahu Celia. "Celia, mungkin ini hanya perasaanmu. Kau mungkin melihat seseorang yang mirip, tapi Sergio... dia sudah tidak ada." Suaranya lembut, mencoba menenangkan.“Kau benar, itu mungkin hanya imajinasiku saja, Luxian maaf,” jawab Celia.***Celia melihat berita mengejutkan di ponselnya. Sebuah laporan menayangkan rekaman yang diambil oleh warga di jalan.Di layar, terlihat seorang wanita dengan pakaian lusuh dan rambut acak-acakan, tampak berusaha dipegang oleh beberapa petugas medis dan polisi. Wajah wanita itu tampak penuh dengan kebingungan dan ketakutan, sementara di pelukannya, dia memeluk bantal kecil. Wanita itu berteriak dan meronta, menolak dimasukkan ke dalam mob
Setelah berhari-hari menunggu dengan penuh harapan, keluarga Lannister akhirnya harus menerima kenyataan yang pahit. Pihak berwenang mengonfirmasi bahwa tidak ada korban selamat dari kecelakaan pesawat yang menewaskan banyak penumpang. Jenazah sebagian besar penumpang tidak ditemukan karena pesawat jatuh di laut lepas, membuat pencarian semakin sulit dan perlahan dihentikan. Keluarga Lannister, yang awalnya begitu berharap akan keajaiban, kini tak punya pilihan selain menyerah.Di tengah duka yang mendalam, orang tua Sergio, duduk bersama Celia di rumah mereka. Mereka tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Dalam percakapan yang penuh dengan emosi, mereka akhirnya memutuskan untuk memberikan Celia kebebasan."Celia, sayang," ujar Mrs. Lannister dengan suara lembut. "Kami tahu ini tidak mudah, dan Sergio akan selalu ada di hati kita semua. Tapi... kamu masih muda, dan kami ingin kamu bahagia. Kamu bebas untuk menikah lagi, jika kamu menemukan seseorang yang membuatmu bahagia."Celia me
Dan kemudian, tanpa peringatan, Celia mulai menangis terisak. Tangisnya begitu dalam dan penuh dengan kesedihan yang dia tahan selama bertahun-tahun. Bahunya bergetar, nafasnya tersengal-sengal, dan dia merasa seluruh dunia runtuh di sekitarnya. Tanpa berpikir panjang, Celia meraih tubuh Luxian, memeluknya erat seolah-olah dia takut kehilangan lagi. Tangannya yang gemetar melingkari pinggang Luxian, memegang erat seolah-olah dia menemukan satu-satunya pijakan di tengah badai yang menerjang hidupnya."Aku nggak tahu harus bertanya kemana lagi tentang Abigail dan semua yang terjadi." Celia terisak di dadanya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku nggak tahu apa yang terjadi padamu. Kau menghilang. Dan sekarang aku pikir kamu sudah pergi selamanya."Luxian, yang merasakan tubuh Celia gemetar dalam pelukannya, dengan lembut membalas pelukan itu. Tangannya yang kuat namun lembut melingkari bahu Celia, menariknya lebih dekat. Dia membelai rambut Celia dengan lembut, memberikan rasa tenang d
Luxius menceritakan apa yang terjadi dan Luxian sangat terkejut. Karena saat kejadian dan berita kecelakaan di umumkan, dia sudah berada di dalam pesawat.“Sebenarnya apa yang terjadi?” Tanya Luxius.Hari itu, Luxian sedang bersiap-siap untuk kembali pulang setelah menjalani perawatan panjang di luar negeri. Kesehatannya berangsur membaik, dan akhirnya dia merasa cukup kuat untuk kembali ke keluarganya di Summerfield. Semua barangnya sudah dikemas, dan tiket penerbangan di tangannya menunjukkan bahwa dia akan pulang pada malam hari itu. Ada perasaan lega yang perlahan mengisi dadanya, karena setelah berbulan-bulan jauh dari rumah, dia akhirnya bisa bertemu dengan orang-orang yang dia cintai. Tapi di tengah persiapannya, sebuah peristiwa kecil mengubah segalanya.Di rumah sakit tempat dia terakhir kali melakukan pemeriksaan, Luxian bertemu dengan seorang pria yang tampak sangat panik. Pria itu duduk di bangku ruang tunggu, tampak gelisah dengan ponsel di tangannya, mengusap wajahnya b
Di ruang tunggu bandara yang penuh dengan keheningan dan kesedihan, Celia hampir tenggelam dalam kelelahan. Tubuhnya terasa begitu berat setelah berjam-jam menunggu kabar yang belum pasti. Matanya yang sembab oleh air mata hampir tertutup, dan dia mulai terjebak di antara keadaan sadar dan tidak. Kepalanya yang bersandar di pundak ibunya perlahan mulai terjatuh, seolah-olah rasa kantuk dan kelelahan telah menguasai dirinya.Namun, di tengah kondisi antara tidur dan terjaga itu, matanya yang setengah terbuka tiba-tiba menangkap sesuatu yang tak terduga. Di pintu kedatangan yang berada agak jauh dari tempat dia duduk, dia melihat sosok yang sangat dikenalnya. Pria itu berjalan dengan tenang, mengenakan pakaian kasual, rambutnya yang hitam agak kusut. Di sebelahnya, ada Bryan, yang juga terlihat familiar untuk Celia.“Luxian...?” Bisik Celia pelan, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Matanya tiba-tiba melebar, dan kesadarannya mulai kembali. Dia mengerjapkan mata beberapa k
"Celia, semuanya sudah siap. Kita akan merayakan kepulangan Sergio dengan penuh suka cita," kata Eleanor, sambil tersenyum hangat di ruang tamu kediaman Montague. Meja makan sudah dihiasi dengan bunga-bunga segar dan hidangan terbaik, sementara semua orang bersemangat menunggu kedatangan Sergio.Di tempat lain, suasana serupa juga menyelimuti kediaman Davies. Mereka menerima kabar dari Luxian bahwa dia juga sedang dalam perjalanan pulang setelah menjalani perawatan di luar negeri selama berbulan-bulan. Keluarga Davies yang telah lama menanti kabar baik ini merasa lega. "Akhirnya, Luxian pulang. Aku tak sabar melihatnya," ujar Paula dengan mata berbinar. Di rumah itu, suasana dipenuhi harapan, dan Luxius tampak tersenyum lega mendengar kabar baik dari kakaknya. Setelah semua drama dan ketegangan, keluarga Davies merasa hari itu akan menjadi awal yang baru bagi mereka.Namun, ketika waktu mendekati siang, suasana yang penuh kebahagiaan itu berubah dalam sekejap.Tiba-tiba, televisi m
Dengan wajah yang perpaduan sempurna antara Celia dan Luxian, anak itu menjadi simbol dari hubungan masa lalu yang rumit, tapi juga penuh cinta.Sergio sangat mencintai anak itu dan menganggapnya seperti darah dagingnya sendiri.***Suatu hari, di sebuah taman kota yang tenang dan indah, Celia sedang berjalan-jalan dengan putranya. Anak kecil itu tampak riang, berlari-lari kecil di sekitar taman, mengejar burung-burung dan tertawa ceria. Celia mengawasinya dengan senyum hangat di wajahnya, menikmati momen damai bersama anaknya. Hari itu cuaca sangat cerah, dengan sinar matahari yang lembut menyinari taman, membuat suasana semakin nyaman.Sementara Celia duduk di bangku taman, tiba-tiba dia melihat sebuah keluarga yang dikenalnya sedang berjalan di sepanjang trotoar taman. Itu adalah keluarga Davies. Nyonya Paula sepertinya sedang mengajak Nenek Iris jalan-jalan menikmati suasana sore hari.Celia merasa dadanya berdegup sedikit lebih cepat. Dia tidak pernah benar-benar memutuskan kont
Beberapa hari sebelum hari pernikahannya, Celia memutuskan untuk mengunjungi Hacienda, rumah keluarga besar keluarga Davies di Ashford.Di sana, ia berharap bisa bertemu dengan Nenek Iris, Celia berpikir, jika ada orang yang bisa memberinya petunjuk tentang keberadaan Luxian atau tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya, mungkin itu adalah Nenek Iris.Saat Celia tiba di Hacienda, suasana terasa hening dan damai. Angin sepoi-sepoi meniup lembut dedaunan pohon di halaman, dan langit sore berwarna keemasan memberikan perasaan tenang. Namun, hati Celia tidak tenang. Langkah kakinya sedikit gugup ketika dia mendekati pintu rumah tua itu.Nenek Iris menyambutnya dengan senyuman ramah seperti biasanya, tetapi senyuman itu terasa penuh arti, seolah-olah ada sesuatu yang disimpan di baliknya. "Celia, sayang, apa yang membawamu ke sini?" Tanyanya lembut, suaranya tenang dan menenangkan.Celia, yang awalnya mencoba tersenyum, kini menunjukkan keraguannya. Matanya menatap langsung ke wajah Nen
Di rumah sakit, suasana terasa tegang saat Abigail berbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit, kondisinya kritis akibat pendarahan hebat setelah pengejaran dramatis bersama Simon. Tim medis bergerak cepat, mempersiapkan operasi darurat. Dokter memberitahu bahwa kondisi Abigail dan bayinya sangat kritis. Kemungkinan besar, bayinya sudah meninggal dalam kandungan dan harus segera dikeluarkan, akibat trauma dan stres fisik yang dialaminya.Di kediaman keluarga Davies suasana menjadi sangat tegang. Mereka tampak khawatir dan frustasi dengan semua situasi yang kacau ini. Abigail telah menjadi pusat masalah bagi keluarga mereka. Awalnya mereka berpikir bahwa bayi yang dikandung Abigail adalah anak Luxian, tapi dengan berita bahwa Abigail terlibat dengan Simon, segalanya menjadi tidak jelas. Mereka tidak mau mengambil risiko dan memutuskan untuk meminta dokter melakukan tes DNA pada bayi Abigail. Dengan kekuasaan dan pengaruh yang mereka miliki, keluarga Davies berhasil memaksa pihak ruma