Share

Bab 6 : Melarikan Diri

Tubuh Celia merosot di lantai, tangannya merah dan bengkak karena berulang kali dipukulkan ke pintu kayu yang keras, suaranya pun mulai serak. Dia meringkuk di lantai seperti janin. Kebenaran yang baru saja terungkap di depan matanya secara brutal, membuat dia lupa bagaimana caranya menangis. Dia menjadi sedikit linglung.

Berharap jika semua ini hanya bagian dari mimpi buruk. Dan saat terbangun nanti semua akan kembali seperti semula.

Namun, itu tidak mungkin.

“Ibu, ayah, kenapa kalian bukan orang tua kandungku? Lalu aku siapa?” Suara Celia terdengar lirih, hatinya terasa sakit dan hancur.

Kepada siapa lagi dia harus bercerita? 

Mereka yang selama ini dianggap sebagai keluarga kini mulai menjauh dengan tatapan dingin. Bagi mereka sekarang dia tidak lebih dari orang asing. Seketika di dunia yang besar ini dia hanya sendirian.

Rumah tempatnya tumbuh dalam kehangatan kasih sayang ayah dan ibu, kini terasa seperti penjara besar yang menyesakkan. 

Celia memejamkan mata sambil berusaha mengingat kembali perjalanan hidupnya. Untuk mencari sedikit saja petunjuk dari ibunya di masa lalu tentang asal usulnya, tapi dia tidak berhasil menemukan apapun.

Tapi yang lebih menyakitkan, setiap kali dia mengingat kenangan manis masa lalu bersama ayah dan ibunya, selalu ada pengingat yang seolah berkata, “Mereka bukan ayah dan ibumu, tidak tahu malu.” Membuat Celia merasa sangat terpukul. 

Tidak boleh menyerah!

Dia tidak bisa lebih lama tinggal disini, harus segera keluar. Menyerah pada keadaan bukan menjadi sifatnya. Tapi bagaimana caranya? 

Disaat perasaannya sangat terpuruk dan hampir putus asa, Celia mendengar suara di jendela kamarnya, seperti ada seseorang yang sengaja melemparkan sesuatu. Perlahan dia berjalan menuju balkon dan mengintip keluar, ketika jendela dibuka di luar sedang turun hujan yang sangat deras. 

“Mungkin itu hanya suara angin yang membawa butiran es.” Gumam Celia. 

Saat dia akan menutup jendela, kerikil kembali dilemparkan dari bawah. Celia bergegas melihat kebawah, itu adalah Erick putra dari Bibi Mery sedang berdiri di sana. Setelah melemparkan tali, Erick lalu memberi isyarat agar Celia segera turun dan dia akan berjaga di bawah agar dia tidak perlu takut jatuh. 

Takut jatuh?

Mana mungkin.

Setelah apa yang dia alami, melompat dari balkon pun akan dia lakukan asalkan bisa segera pergi dari sini.

Dengan tubuh yang basah kuyup karena hujan, Celia kembali ke dalam kamar mengambil tas dan dengan cepat mengemas beberapa baju dan barang-barang penting yang diperlukan. 

Bagian samping rumah mereka hanya dipisahkan oleh sebuah halaman kecil dan tembok. 

Saat Celia akan menuruni balkon, tiba-tiba saja kilatan cahaya menerangi bumi dengan aura yang menakutkan. Sedetik kemudian petir menggelegar dengan sangat dahsyatnya hingga membuat lampu di seluruh komplek perumahan itu padam seketika. 

Dulu Celia sangat takut pada petir yang disertai angin kencang. Saat masih ada ibunya, dia akan bersembunyi sambil menangis dan memeluk erat ibunya setiap kali hujan badai datang. Dan ibunya akan membelai lembut kepala Celia sambil berkata kalau semua akan baik-baik saja. Tubuh Celia gemetar. Dalam keadaan gelap gulita, dia bergegas menuruni tali yang sudah terikat kencang. 

Karena hujan deras, angin, dan petir yang saling bersahutan di tambah suasana yang gelap gulita membuat pelarian Celia berjalan mulus.

Setelah melewati tembok menggunakan tangga yang sudah disiapkan Erick, Celia berlari ke rumah Bibi Mery, bermaksud bertanya tentang ‘siapa dia’. Tapi Bibi Mery tidak memberinya kesempatan untuk bicara.

“Celia, cepat pergilah, jangan menunda lebih lama. Jika Arnold sampai menangkapmu, kamu tidak akan bisa melarikan diri lagi. Masalah yang lain, kita bisa bicarakan nanti.” Bibi Mery menyerahkan kotak makan siang yang masih terasa hangat, lalu melanjutkan bicara, “Makanlah di jalan, kamu pasti belum makan. Nanti tidak perlu berhenti untuk membeli makanan sebelum sampai tujuan.”

Celia mengangguk tanpa bicara apapun, karena jika dipaksakan bicara dia pasti akan menangis sejadi-jadinya. Sambil menggigit bibir bawahnya dan mata yang basah, dia menatap Bibi Mery, memeluknya sebentar, sebelum akhirnya berbalik menuju mobil yang sudah bersiap untuk pergi dengan Erick di belakang kemudi.

Mobil melaju cepat di jalan bebas hambatan. Celia menatap keluar jendela, kota kecil tempatnya tumbuh besar yang terlihat semakin menjauh untuk terakhir kalinya. Entah kapan dia akan kembali.

Setelah menenangkan diri beberapa waktu, Celia mulai memberanikan diri untuk bicara. Dia menoleh ke arah Erick yang sedang fokus mengemudi. 

Dengan suara yang masih bergetar dia bertanya. “Kak Erick, kita akan pergi kemana?”

“Ke rumah Kakak perempuanku di luar kota.” 

Umur Erick dua tahun lebih tua dari Celia. Mereka tumbuh bersama. Tapi semenjak Erick kuliah di luar kota, tidak tahu kenapa, tapi seperti ada jarak diantara mereka. Terasa lebih canggung dari sebelumnya.

Bibi Mery mempunyai dua anak, Erick dan Erika mereka kembar identik namun berbeda gender. Erika sudah menikah tapi suaminya yang seorang tentara, baru saja ditugaskan untuk sebuah misi perdamaian di luar negeri. Jadi saat ini dia hanya tinggal bersama dengan kedua anaknya.

Di luar hujan masih turun dengan lebatnya. Cuaca yang dingin membuat perut Celia protes minta diisi. Dia menatap kotak makan di pangkuannya. Baunya sangat harum. 

“Cepat makan, nanti kalau sudah dingin tidak enak.” Erick berkata sambil menurunkan sedikit kecepatan mobilnya.

“Kakak mau? Kita makan bersama, ya?”

“Aku sudah makan. Untukmu saja.”

Celia menghabiskan semua yang ada di kotak makan. Dan karena jarak yang masih sangat jauh, Erick menyuruhnya untuk tidur. Setelah hampir 6 jam di perjalanan, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan menjelang pagi.

Saat Celia membuka mata, mobil sudah terparkir di sebuah halaman rumah dengan pemandangan alam pedesaan yang asri di sekitarnya. Erick terlihat sibuk menurunkan barang dari bagasi.

Melihat pemandangan yang indah membuat mood Celia menjadi sangat baik. “Kakak, kenapa tidak membangunkanku?” Katanya sambil berjalan menuju Erick.

Celia!

Erika berdiri di teras sambil tersenyum ke arahnya, disampingnya dua malaikat kecil berdiri di masing-masing sisi sambil mengintip malu-malu dari belakang ibu mereka. Celia lalu berbalik menghampiri. Setelah berbasa basi sebentar, Celia memberanikan diri untuk bicara.

“Kak, bolehkah aku tinggal di tempatmu untuk sementara? Aku akan bayar sewa setiap bulannya, kakak juga boleh menyuruhku untuk melakukan pekerjaan rumah. Aku tidak keberatan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status