“Celia, jangan menganggapku seperti orang asing. Tentu saja kamu boleh tinggal disini.”
Celia mencoba tersenyum, meskipun hatinya merasa tidak bersemangat. "Terima kasih, Kak. Maaf sudah merepotkan." "Tidak merepotkan sama sekali. Masuklah, buat dirimu nyaman," jawab Erika sambil membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan Celia untuk masuk. Saat mereka melangkah masuk, Celia merasakan suasana hangat yang mengisi rumah itu. Dinding-dindingnya dihiasi dengan foto-foto keluarga dan karya seni sederhana. Aroma kue yang baru dipanggang menguar dari dapur. Erika melihat Celia dengan penuh perhatian. "Kamu pasti lelah setelah perjalanan panjang. Duduklah, aku akan membuatkan teh untukmu." Erika kembali dengan nampan berisi tiga cangkir teh dan sepiring kue. "Kebetulan aku baru saja membuat kue, ayo dicoba dulu, dan secangkir teh hangat ini akan membantumu merasa lebih baik." Celia mengambil cangkir teh dan menghirup aroma jasmine yang membuat rileks. "Terima kasih, Kak. Teh ini sangat enak." Erika duduk di seberang Celia, setelah menyesap teh dia bertanya, "Celia, lalu bagaimana dengan pekerjaanmu?" "Tidak tahu, aku belum memutuskan, tapi mungkin aku akan mengundurkan diri. Tidak mungkin aku bekerja di sana, karena ada Eliza." "Aku tidak menyangka jika Arnold akan bertindak sejauh itu." "Jangan khawatir tentang apapun. Kami akan selalu ada untuk membantumu." Ucap Eric dengan bijaksana. Kemudian mereka mulai berbicara tentang hal-hal ringan, mencoba membuat Celia merasa lebih nyaman dan rileks. Celia menceritakan sedikit tentang kehidupannya di kota, tentang pekerjaannya, dan tentang bagaimana dia merasa kehilangan arah setelah semua hal yang terjadi. Erika mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan nasihat dan dukungan. "Celia, kamu punya semangat dan kekuatan yang luar biasa. Kamu sudah melalui banyak hal, dan kamu masih bisa berdiri tegak. Ashford mungkin bisa menjadi tempat yang kamu butuhkan untuk menenangkan diri dan menemukan kembali dirimu sendiri." Celia mengangguk, merasakan sedikit harapan. "Aku harap begitu, Kak. Aku hanya ingin menemukan kedamaian dan memulai lagi semua dari awal." Eric menepuk bahu Celia. "Dan kami adalah keluargamu sekarang. Kamu harus ingat kalau kamu tidak sendirian." Hari itu, Celia merasa jauh lebih baik. Meskipun masih ada banyak hal yang harus dihadapi, dia merasa diberkati dengan kehadiran teman-teman yang peduli. Di rumah kecil di Ashford ini, dia berharap bisa menemukan kedamaian yang dia cari dan membangun kehidupan baru yang penuh harapan. Setelah bicara banyak hal dengan kedua bersaudara itu, tidak terasa waktu sudah menjelang siang. Celia sudah tidak merasa canggung lagi, benar-benar seperti berada di tengah kehangatan keluarga. Erika mengantar Celia ke kamar tidur yang sudah dirapikan di lantai dua. Kamar itu terlihat nyaman, ada tempat tidur, lemari, kursi dan meja, juga kamar mandi. Jendela yang terbuka dengan pemandangan hijau pedesaan. Sinar matahari yang cerah dan hangat, angin dingin tanpa polusi khas daerah pegunungan bertiup pelan masuk memenuhi ruangan, sprei terlihat rapi dan bersih, harum dari pengharum pakaian membuat Celia tidak sabar untuk segera membaringkan tubuh diatasnya. “Mulai sekarang ini adalah kamarmu, semoga kau kerasan tinggal disini.” Celia tersenyum. Setelah menaruh tasnya di kamar, Celia membantu Erika membuat makan siang. Sementara itu di kediaman Arnold, ayah Eliza. Arnold sedang duduk di ruang kerjanya, mengamati laporan keuangan keluarga dengan tatapan serius dan tajam. Suasana berubah drastis ketika salah satu anak buahnya masuk dengan tergesa-gesa, dia tampak sangat cemas. "Tuan Arnold," kata anak buahnya dengan suara gemetar. "Kami... kami punya masalah besar." Arnold mendongak dengan alis terangkat. "Apa maksudmu? Masalah besar apa? Cepat katakan!" "Celia, gadis itu dia berhasil melarikan diri," jawab anak buahnya, suaranya hampir tersendat. "Kami tidak tahu bagaimana dia bisa lolos, tapi dia tidak ada di kamarnya dan tas yang selalu dia bawa juga tidak ada." Mata Arnold membelalak marah. "Apa? Dasar bodoh! Apa saja yang kalian lakukan? Menjaga seorang gadis saja tidak becus!" Dia berdiri dengan cepat, hampir menjatuhkan kursinya. "Kalian semua tidak berguna!" Arnold diikuti Eliza bergegas naik ke dalam mobilnya dan segera menuju rumah Celia. Suasana di rumah itu langsung berubah kacau balau. Anak buah Arnold berlarian kesana kemari, mencoba menemukan petunjuk tentang kepergian Celia. Arnold, yang biasanya tampak tenang dan dingin, sekarang tampak sangat marah dan gelisah. Jika Celia hilang, dia akan kehilangan aset berharga yang di tinggalkan mendiang ibu Celia. Eliza terdiam dan tubuhnya menggigil. Dia marah sekaligus takut. Dia mempunyai tugas yang diberikan oleh Bosnya, Jackson, untuk ‘menyerahkan’ Celia kepada Tuan Simon. Sebagai teman tidurnya. Tapi sekarang Celia hilang seperti di telan bumi, lalu apa yang harus dia katakan pada Tuan Simon nanti malam? Eliza panik dan dia tanpa ragu melampiaskannya pada ayahnya. “Ini semua salah ayah! Jika ayah tidak terburu-buru mengatakan semuanya pada anak haram itu, dia tidak akan ketakutan dan melarikan diri!” Arnold menatap putrinya dengan mata menyala-nyala. "Celia melarikan diri! Semua ini adalah akibat kelalaian mereka, kenapa kau menyalahkan ayah? Katanya sambil menunjuk ke arah anak buahnya yang tampak ketakutan. "Rumah ini penuh dengan pria berbadan besar, tapi hanya menjaga seorang gadis lemah saja tapi mereka tidak mampu? Memalukan," kata Eliza menyindir. Arnold mendengus. "Ternyata kita terlalu meremehkan anak itu. Celia, aku pasti akan menemukanmu. Aku tidak akan membiarkan kau lolos begitu saja." Di lantai bawah, salah satu anak buah yang lebih muda tampak bingung dan ketakutan. Dia mendekati rekan yang lebih senior dan bertanya, "Apa yang harus kita lakukan? Tuan Arnold tampak sangat marah." Rekan seniornya menggelengkan kepala. "Kita harus menemukan gadis itu secepat mungkin. Jika tidak, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan Tuan Arnold lakukan pada kita." Sementara itu, Arnold dengan cepat merencanakan langkah pengejaran. Dia berkata dengan nada memerintah, "Kumpulkan semua orang! Kita akan menyebar dan mencari gadis itu di seluruh kota. Jangan biarkan dia keluar dari wilayah Summer Field!" "Baik Tuan!" Eliza mendekat. "Ayah. Celia tidak punya banyak tempat untuk sembunyi, aku tahu semua teman-temannya. Dia tidak akan bisa pergi jauh." Arnold mengangguk, mencoba menenangkan diri. "Kau benar, sayang. Saat anak sial itu berhasil tertangkap, ayah tidak akan membiarkan kesalahan ini terjadi lagi." Arnold menunjuk seorang pria bertubuh besar, "Hei kau, pastikan semua orang tahu apa yang harus mereka lakukan. Kalian harus bisa menemukan Celia." Eliza tersenyum penuh keyakinan. "Tentu, Ayah. Kita pasti akan membawa dia kembali ke sini." Ponsel Eliza berdering, terlihat nama Jackson di layar, namun karena takut, dia memutuskan untuk tidak menjawabnya.Di luar rumah, suasana semakin kacau. Para penjaga berlarian, mengendarai mobil patroli, menyebar ke seluruh penjuru kota dalam upaya putus asa untuk menemukan Celia. Di tengah kekacauan itu, Arnold berdiri di pintu depan, memandang keluar dengan mata yang penuh kebencian. "Aku akan menemukanmu, dasar anak brengsek!" gumam Arnold meradang. "Aku harus mendapatkan kembali semua harta warisan yang ditinggalkan oleh kakak dan kakak iparku. Setelah mendapatkan semuanya, kau sama sekali tidak berharga, Celia. Aku akan langsung menyingkirkanmu!” Namun, Arnold juga menyadari jika Celia mungkin lebih cerdas daripada yang dibayangkan sebelumnya. Dan mungkin saja seseorang telah membantunya. Yang membuat gadis itu lebih sulit untuk dikendalikan dan dimanipulasi. Sementara itu Eliza, memanfaatkan situasi yang sedang kacau di luar untuk mencari petunjuk di kamar Celia. Informasi sekecil apapun akan sangat berguna untuk mengetahui kemana tujuan Celia pergi. Eliza menyelinap dengan cepat ke dala
Matahari sore yang mulai condong ke barat memancarkan cahaya keemasan yang indah, menerangi jalanan umum yang ramai oleh pejalan kaki. Setelah memarkirkan mobil di tempat yang sudah disediakan, Celia, Eric, Erica dan kedua buah hatinya berjalan bersama memasuki pasar tradisional. Suara tawar menawar, percakapan riang dan tawa terdengar seolah menyambut mereka, mengiringi perjalanan yang dipenuhi semangat kebersamaan. Celia mengamati semua toko yang ia lewati, matanya mencari barang yang mungkin nanti dia perlukan. Karena saat pergi meninggalkan rumah kemarin, tidak banyak barang yang bisa ia bawa. Ashford terkenal dengan julukan desa kecil, tapi sebenarnya pasar tradisional ini sangat komplit. Semua hal tersedia, kualitasnya pun tidak kalah dari kota besar. Pasar ramai dengan aktivitas. Penjual dan pembeli berinteraksi, aroma harum makanan lokal menguar di udara. Mereka berlima bergerak melewati kerumunan, menuju konter Tuan Rudi, seorang saudagar kaya raya yang juga kepala des
Saat akhirnya dia melihatnya, nafas Celia seolah berhenti, nenek itu berjalan menuju jalur lintasan motor si pencuri. Karena sebuah truk pengangkut sayuran yang terparkir di pinggir jalan, nenek berambut putih tidak bisa melihat motor yang datang dengan cepat. Tidak ada orang yang menyadarinya, karena perhatian semua orang tertuju pada si pencuri.“Nenek!”Celia berteriak tapi karena suasana yang sangat ramai dan kacau, suaranya seperti tenggelam tak berbekas. Dia menjadi panik suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Jika berteriak pun belum tentu akan terdengar oleh nenek itu.Tidak ada waktu lagi!Celia dengan cepat bangkit dari kursinya, mengambil keranjang bambu besar di pinggir jalan yang cukup berat karena penuh berisi sampah, dia lalu melemparkannya ke arah pencuri berharap orang itu akan terjatuh dari motornya. Tapi motor itu hanya oleng dan melambat. Celia segera berlari sekuat tenaga ke arah nenek berambut putih.“Nenek awas!”Nenek berambut putih tertegun di tempatnya sam
Semantara itu di sebuah penthouse mewah yang terletak di lantai teratas gedung milik salah satu perusahaan teknologi ternama di dunia bernama Future One. Luxian, setelah meeting ia menghabiskan waktu makan siangnya di penthouse pribadi miliknya. Saat ini dia hanya ingin menyendiri dan berpikir. Duduk di sofa, dia memperhatikan gelang perak bertahta safir biru di tangannya, wajahnya tampak serius seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.Barusan dia sudah bertanya pada Shane dan semua teman-temannya yang hadir pada malam itu, tapi tidak ada satupun dari mereka yang merasa memanggil jasa wanita panggilan atau membawa seorang gadis ke kamar hotel miliknya.Luxian hanya sekedar bertanya tidak menceritakan secara rinci tentang apa yang terjadi sebenarnya di dalam kamar. Karena jika mereka tahu dia sudah menghabiskan malam dengan seorang gadis, maka berdasarkan sifat teman-temannya, tidak diragukan lagi dia pasti akan menjadi bahan lelucon mereka semua. Lalu siapa gadis yang bersamanya mala
Celia merasa gugup saat pertama kali menginjakkan kaki di halaman rumah Nenek Iris. Rumah itu terletak di desa yang tenang, dikelilingi pepohonan dan kebun yang hijau. Ia datang dengan perasaan gugup, tetapi rasa ingin tahunya lebih besar. Ketika Celia memasuki halaman, ia melihat nenek Iris, seorang wanita tua dengan rambut perak yang disanggul rapi. Dia berjongkok di kebun, sedang memetik beberapa sayuran segar. "Nenek Iris," sapa Celia dengan suara lembut namun jelas, dia turun dari sepeda dan mendorongnya ke sisi jalan setapak. Nenek Iris mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar saat melihat Celia. "Oh, Celia! Senang sekali kamu datang. Ayo, kemarilah," katanya dengan suara ramah, bangkit perlahan dari posisi jongkoknya. Dia segera mencuci tangannya yang kotor dan menyekanya di celemek yang dipakainya. “Baik…” Celia tersenyum dan berjalan mendekat, sambutan nenek Iris begitu hangat membuatnya tidak lagi merasa gugup. "...Aku senang sekali bisa berkunjung. Kebun yang indah, n
Saat Celia menghadap ke arah nenek Iris, dia melihat seorang pria berdiri dengan anggun di dekat pintu dapur. Dari kejauhan, sinar matahari sore yang masuk melalui pintu yang terbuka lebar membingkai sosoknya dengan sempurna. Pria itu terlihat seperti versi dewasa dari anak yang ada di dalam foto yang sedang dia pegang. “Nenek, umur berapa cucu Anda sekarang?” “Sekitar 28 tahun. Ada apa Celia?” Celia memegang erat bingkai foto di tangannya, dan matanya terpaku pada pria itu. Tinggi, berpostur tegap, dan mengenakan setelan casual namun elegan. Rambutnya hitam pekat, tertata rapi, dengan mata tajam yang memancarkan aura dominasi dan kharisma yang luar biasa. "Siapa dia? Kenapa aku merasa tidak asing," pikir Celia, jantungnya berdegup kencang. Seolah tersihir, Celia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Sudut bibir pria itu melengkung. Dalam sekejap, dunia di sekitar Celia seakan berhenti. Detak jantungnya semakin cepat, dan nafasnya tertahan. “Ya Tuhan, dia tersenyum padaku… tampa
Sementara itu jauh di Summer Field. Di sebuah gedung tinggi tempat perusahaan Whisper beroperasi, suasana tegang terasa di sebuah ruangan kantor, ketika Jack, CEO perusahaan, menemukan surat pengunduran diri Celia di mejanya. Surat itu tergeletak di antara tumpukan dokumen penting, tetapi kata-kata yang tertulis di atas surat itu langsung menarik perhatiannya, ‘Resign’. Wajah Jack seketika berubah merah padam, ekspresi marah dan frustasi terlihat jelas. Atas instruksi Celia, Amy datang pagi-pagi sekali lalu menyelinap masuk ke ruangan Jack dan menaruh surat itu di mejanya tanpa diketahui siapapun. Surat itu dibuat sendiri oleh Celia, tanda tangannya juga miliknya. Amy hanya bertugas mencetak, dan meletakkannya di meja. Jack meremas surat itu dengan tangan gemetar, kemudian membantingnya ke meja. Pikirannya berputar cepat, membayangkan dampak buruk yang akan terjadi dari kehilangan Celia. Celia adalah karyawan berharga, bukan hanya karena kemampuan dan profesionalismenya dalam be
Saat Eliza baru saja melangkah, seorang karyawan hotel mencegahnya. “Maaf, apa Anda Nona Eliza?” “Ya benar, ada apa?” “Mr. Simon menyuruh saya untuk mengantar Anda ke roomnya di lantai 10, begitu Anda tiba. Silahkan ikuti saya.” Karyawan wanita itu segera berbalik dan memimpin jalan. “Lantai 10 adalah kamar hotel, kenapa Mr. Simon mau bertemu denganku di sana? Apa mungkin… tidak itu tidak mungkin, yang dia sukai adalah Celia, bukan aku.” Keringat dingin mulai membasahi tubuh Eliza. Kedua kakinya terpaksa terus melangkah walau dengan enggan, mengikuti pegawai hotel di depannya. Sedangkan benaknya berpikir liar tentang segala kemungkinan yang akan terjadi. Kemungkinan jika malam ini dia harus melayani Simon di tempat tidur dan resmi menjadi wanita simpanannya. Eliza segera teringat semua skandal yang melekat pada pria itu dan wanita-wanita yang selama ini digosipkan mempunyai hubungan romantis dengannya, mereka semua hidup penuh dengan kemewahan dan memiliki segalanya. Simon adal
Jantung Celia berdegup semakin kencang, perasaannya tidak menentu.Mereka sampai di sudut jalan yang lebih sepi, tapi pria itu sudah tidak terlihat lagi. Celia berhenti dan menatap sekeliling dengan nafas yang tidak beraturan. "Dia... dia ada di sini tadi," ucapnya.Luxian mendekat, meletakkan tangan lembut di bahu Celia. "Celia, mungkin ini hanya perasaanmu. Kau mungkin melihat seseorang yang mirip, tapi Sergio... dia sudah tidak ada." Suaranya lembut, mencoba menenangkan.“Kau benar, itu mungkin hanya imajinasiku saja, Luxian maaf,” jawab Celia.***Celia melihat berita mengejutkan di ponselnya. Sebuah laporan menayangkan rekaman yang diambil oleh warga di jalan.Di layar, terlihat seorang wanita dengan pakaian lusuh dan rambut acak-acakan, tampak berusaha dipegang oleh beberapa petugas medis dan polisi. Wajah wanita itu tampak penuh dengan kebingungan dan ketakutan, sementara di pelukannya, dia memeluk bantal kecil. Wanita itu berteriak dan meronta, menolak dimasukkan ke dalam mob
Setelah berhari-hari menunggu dengan penuh harapan, keluarga Lannister akhirnya harus menerima kenyataan yang pahit. Pihak berwenang mengonfirmasi bahwa tidak ada korban selamat dari kecelakaan pesawat yang menewaskan banyak penumpang. Jenazah sebagian besar penumpang tidak ditemukan karena pesawat jatuh di laut lepas, membuat pencarian semakin sulit dan perlahan dihentikan. Keluarga Lannister, yang awalnya begitu berharap akan keajaiban, kini tak punya pilihan selain menyerah.Di tengah duka yang mendalam, orang tua Sergio, duduk bersama Celia di rumah mereka. Mereka tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Dalam percakapan yang penuh dengan emosi, mereka akhirnya memutuskan untuk memberikan Celia kebebasan."Celia, sayang," ujar Mrs. Lannister dengan suara lembut. "Kami tahu ini tidak mudah, dan Sergio akan selalu ada di hati kita semua. Tapi... kamu masih muda, dan kami ingin kamu bahagia. Kamu bebas untuk menikah lagi, jika kamu menemukan seseorang yang membuatmu bahagia."Celia me
Dan kemudian, tanpa peringatan, Celia mulai menangis terisak. Tangisnya begitu dalam dan penuh dengan kesedihan yang dia tahan selama bertahun-tahun. Bahunya bergetar, nafasnya tersengal-sengal, dan dia merasa seluruh dunia runtuh di sekitarnya. Tanpa berpikir panjang, Celia meraih tubuh Luxian, memeluknya erat seolah-olah dia takut kehilangan lagi. Tangannya yang gemetar melingkari pinggang Luxian, memegang erat seolah-olah dia menemukan satu-satunya pijakan di tengah badai yang menerjang hidupnya."Aku nggak tahu harus bertanya kemana lagi tentang Abigail dan semua yang terjadi." Celia terisak di dadanya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku nggak tahu apa yang terjadi padamu. Kau menghilang. Dan sekarang aku pikir kamu sudah pergi selamanya."Luxian, yang merasakan tubuh Celia gemetar dalam pelukannya, dengan lembut membalas pelukan itu. Tangannya yang kuat namun lembut melingkari bahu Celia, menariknya lebih dekat. Dia membelai rambut Celia dengan lembut, memberikan rasa tenang d
Luxius menceritakan apa yang terjadi dan Luxian sangat terkejut. Karena saat kejadian dan berita kecelakaan di umumkan, dia sudah berada di dalam pesawat.“Sebenarnya apa yang terjadi?” Tanya Luxius.Hari itu, Luxian sedang bersiap-siap untuk kembali pulang setelah menjalani perawatan panjang di luar negeri. Kesehatannya berangsur membaik, dan akhirnya dia merasa cukup kuat untuk kembali ke keluarganya di Summerfield. Semua barangnya sudah dikemas, dan tiket penerbangan di tangannya menunjukkan bahwa dia akan pulang pada malam hari itu. Ada perasaan lega yang perlahan mengisi dadanya, karena setelah berbulan-bulan jauh dari rumah, dia akhirnya bisa bertemu dengan orang-orang yang dia cintai. Tapi di tengah persiapannya, sebuah peristiwa kecil mengubah segalanya.Di rumah sakit tempat dia terakhir kali melakukan pemeriksaan, Luxian bertemu dengan seorang pria yang tampak sangat panik. Pria itu duduk di bangku ruang tunggu, tampak gelisah dengan ponsel di tangannya, mengusap wajahnya b
Di ruang tunggu bandara yang penuh dengan keheningan dan kesedihan, Celia hampir tenggelam dalam kelelahan. Tubuhnya terasa begitu berat setelah berjam-jam menunggu kabar yang belum pasti. Matanya yang sembab oleh air mata hampir tertutup, dan dia mulai terjebak di antara keadaan sadar dan tidak. Kepalanya yang bersandar di pundak ibunya perlahan mulai terjatuh, seolah-olah rasa kantuk dan kelelahan telah menguasai dirinya.Namun, di tengah kondisi antara tidur dan terjaga itu, matanya yang setengah terbuka tiba-tiba menangkap sesuatu yang tak terduga. Di pintu kedatangan yang berada agak jauh dari tempat dia duduk, dia melihat sosok yang sangat dikenalnya. Pria itu berjalan dengan tenang, mengenakan pakaian kasual, rambutnya yang hitam agak kusut. Di sebelahnya, ada Bryan, yang juga terlihat familiar untuk Celia.“Luxian...?” Bisik Celia pelan, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Matanya tiba-tiba melebar, dan kesadarannya mulai kembali. Dia mengerjapkan mata beberapa k
"Celia, semuanya sudah siap. Kita akan merayakan kepulangan Sergio dengan penuh suka cita," kata Eleanor, sambil tersenyum hangat di ruang tamu kediaman Montague. Meja makan sudah dihiasi dengan bunga-bunga segar dan hidangan terbaik, sementara semua orang bersemangat menunggu kedatangan Sergio.Di tempat lain, suasana serupa juga menyelimuti kediaman Davies. Mereka menerima kabar dari Luxian bahwa dia juga sedang dalam perjalanan pulang setelah menjalani perawatan di luar negeri selama berbulan-bulan. Keluarga Davies yang telah lama menanti kabar baik ini merasa lega. "Akhirnya, Luxian pulang. Aku tak sabar melihatnya," ujar Paula dengan mata berbinar. Di rumah itu, suasana dipenuhi harapan, dan Luxius tampak tersenyum lega mendengar kabar baik dari kakaknya. Setelah semua drama dan ketegangan, keluarga Davies merasa hari itu akan menjadi awal yang baru bagi mereka.Namun, ketika waktu mendekati siang, suasana yang penuh kebahagiaan itu berubah dalam sekejap.Tiba-tiba, televisi m
Dengan wajah yang perpaduan sempurna antara Celia dan Luxian, anak itu menjadi simbol dari hubungan masa lalu yang rumit, tapi juga penuh cinta.Sergio sangat mencintai anak itu dan menganggapnya seperti darah dagingnya sendiri.***Suatu hari, di sebuah taman kota yang tenang dan indah, Celia sedang berjalan-jalan dengan putranya. Anak kecil itu tampak riang, berlari-lari kecil di sekitar taman, mengejar burung-burung dan tertawa ceria. Celia mengawasinya dengan senyum hangat di wajahnya, menikmati momen damai bersama anaknya. Hari itu cuaca sangat cerah, dengan sinar matahari yang lembut menyinari taman, membuat suasana semakin nyaman.Sementara Celia duduk di bangku taman, tiba-tiba dia melihat sebuah keluarga yang dikenalnya sedang berjalan di sepanjang trotoar taman. Itu adalah keluarga Davies. Nyonya Paula sepertinya sedang mengajak Nenek Iris jalan-jalan menikmati suasana sore hari.Celia merasa dadanya berdegup sedikit lebih cepat. Dia tidak pernah benar-benar memutuskan kont
Beberapa hari sebelum hari pernikahannya, Celia memutuskan untuk mengunjungi Hacienda, rumah keluarga besar keluarga Davies di Ashford.Di sana, ia berharap bisa bertemu dengan Nenek Iris, Celia berpikir, jika ada orang yang bisa memberinya petunjuk tentang keberadaan Luxian atau tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya, mungkin itu adalah Nenek Iris.Saat Celia tiba di Hacienda, suasana terasa hening dan damai. Angin sepoi-sepoi meniup lembut dedaunan pohon di halaman, dan langit sore berwarna keemasan memberikan perasaan tenang. Namun, hati Celia tidak tenang. Langkah kakinya sedikit gugup ketika dia mendekati pintu rumah tua itu.Nenek Iris menyambutnya dengan senyuman ramah seperti biasanya, tetapi senyuman itu terasa penuh arti, seolah-olah ada sesuatu yang disimpan di baliknya. "Celia, sayang, apa yang membawamu ke sini?" Tanyanya lembut, suaranya tenang dan menenangkan.Celia, yang awalnya mencoba tersenyum, kini menunjukkan keraguannya. Matanya menatap langsung ke wajah Nen
Di rumah sakit, suasana terasa tegang saat Abigail berbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit, kondisinya kritis akibat pendarahan hebat setelah pengejaran dramatis bersama Simon. Tim medis bergerak cepat, mempersiapkan operasi darurat. Dokter memberitahu bahwa kondisi Abigail dan bayinya sangat kritis. Kemungkinan besar, bayinya sudah meninggal dalam kandungan dan harus segera dikeluarkan, akibat trauma dan stres fisik yang dialaminya.Di kediaman keluarga Davies suasana menjadi sangat tegang. Mereka tampak khawatir dan frustasi dengan semua situasi yang kacau ini. Abigail telah menjadi pusat masalah bagi keluarga mereka. Awalnya mereka berpikir bahwa bayi yang dikandung Abigail adalah anak Luxian, tapi dengan berita bahwa Abigail terlibat dengan Simon, segalanya menjadi tidak jelas. Mereka tidak mau mengambil risiko dan memutuskan untuk meminta dokter melakukan tes DNA pada bayi Abigail. Dengan kekuasaan dan pengaruh yang mereka miliki, keluarga Davies berhasil memaksa pihak ruma