Share

Bab 4 : Mengantar Ibu Ke Peristirahatan Terakhir

Tuan Jack melirik Celia sekilas dengan tatapan aneh. Setelah berkata dia langsung berbalik pergi dengan Eliza bergegas mengikuti di belakangnya.

Celia mengerutkan kening, dan tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya dalam hati, “Ada apa dengan kedua orang itu? Mereka bukan sepasang kekasih gelap, kan?”

Saat Celia masih menatap lorong tempat kedua orang itu pergi, seseorang tiba-tiba menepuk bahunya dan membuyarkan lamunannya. Itu Amy sahabatnya. Karena Amy, Celia mengetahui semua yang Eliza lakukan barusan saat dia masih berada di perjalanan menuju kantor.

“Bagus kamu datang tepat waktu, jika tidak, Eliza pasti sudah bicara lebih banyak hal buruk tentangmu.”

Celia tidak langsung menjawab, dia bergegas duduk karena jika berdiri lebih lama lagi dia takut akan jatuh. Selain efek mabuk semalam belum sepenuhnya hilang, tubuhnya juga terasa lelah. Dan yang penting lagi, perutnya sangat lapar.

Sambil memakan biskuit dan susu yang diberikan Amy, Celia menjawab, “Dia selalu mencari celah untuk menjatuhkanku. Aku belum melakukan sesuatu untuk membalasnya hanya karena ibuku. Tapi jika dia terus menguji kesabaranku, aku tidak akan segan lagi.”

Sambil melirik sekitar untuk memastikan tidak ada orang disana, Lily kemudian bertanya dengan merendahkan suaranya, “Lalu apa yang terjadi semalam?”

“Nanti aku ceritakan, tapi tidak disini.”

Sementara itu di ruang CEO, Eliza berdiri dengan tubuh yang sedikit gemetar. Dengan yakin dia berkata, “Tapi Chief aku sendiri yang mengantarnya masuk ke kamar hotel 1506, tidak mungkin salah.”

Tuan Jack memukul meja dengan keras lalu memelototi Eliza sambil berkata dengan nada tidak sabar, “Tuan Simon sendiri yang mengatakan jika dia telah menunggu semalaman, tapi tidak ada seorang pun yang datang sampai pagi. Jadi maksudmu, Tuan Simon dan aku sedang berbohong?!”

“Tidak, bukan begitu maksud saya. Tapi…”

“Cukup! Sesuai perjanjian, segera serahkan surat pengunduran diri dan cepat pergi dari sini!”

Eliza tidak terima jika harus keluar dari pekerjaannya sedangkan Celia masih bekerja disini. Menjadi bagian dari perusahaan sekelas Whispers adalah salah satu kebanggaannya.

“Chief, tolong beri saya kesempatan lagi. Kali ini pasti tidak akan gagal.” Eliza terjatuh di atas kedua lututnya dengan raut wajah yang menyedihkan dan bertekad apapun yang terjadi dia tidak boleh sampai dipecat.

Saat Tuan Jack melihat Eliza sedang berlutut dan memohon, sebuah rencana licik terlihat di matanya. “Baik, nanti kamu sendiri yang harus menjelaskannya pada Tuan Simon. Kamu mendapat kesempatan atau tidak, tergantung usahamu sendiri.”

Saat berada di dalam bilik toilet, Celia mendengar suara seorang wanita yang sedang berbicara di telepon. Celia mengenali suara itu sebagai sekretaris Tuan Jack, tampaknya dia tidak menyadari jika Celia masih berada di salah satu bilik toilet.

“Apa benar kalau semalam tidak ada orang yang menanyakan kamar 1506?”

“....Baiklah… terima kasih.”

Tidak lama, terdengar suara keran yang dimatikan dan pintu yang ditutup. Saat suara langkah kaki tidak terdengar lagi, barulah Celia keluar dari bilik toilet. Mencuci tangan sambil berpikir,

“Kamar 1506? Kenapa sekretaris CEO repot-repot menanyakan masalah itu?”

***

Karena waktunya jam pulang kantor, jalanan terlihat sangat ramai dan padat. 

Celia berjalan keluar dari gerbang perusahaan, mengeluarkan ponselnya, tapi saat dia baru saja akan membuka aplikasi ride-hailing, tiba-tiba saja sebuah panggilan telepon terlihat di layar. Saat melihatnya Celia merasakan firasat yang buruk. Itu panggilan dari Bibi Mery, dia adalah wanita paruh baya yang tinggal di sebelah rumahnya. 

“Bibi Mery ada apa?”

“Celia sayang kamu harus tenang, begini…ibumu jatuh sakit dan baru saja dibawa oleh ambulan ke rumah sakit Central. Bibi sekarang juga sedang menuju ke sana.”

Berita buruk itu hampir mengambil kesadarannya. Celia segera meraih tiang lampu taman untuk bersandar. Wajahnya menjadi pucat, dan jantungnya berdebar kencang. Perasaan panik, terkejut, takut, sedih semua bercampur menjadi satu. 

Tatapannya nanar saat menatap pemandangan diluar jendela taksi yang dengan cepat membawanya ke rumah sakit Central.

Ibu adalah satu-satunya keluarga yang Celia miliki. Ayahnya sudah lama meninggal sejak dia masih kecil. Sejak itu dia hanya tinggal berdua dengan ibunya.

Bagaimana jika sesuatu terjadi pada ibu? 

Malam itu, Celia sedang tertidur di samping tempat tidur ibunya, saat tiba-tiba dari layar monitor ICU terdengar suara nyaring melengking yang memecah kesunyian, lalu garis kehidupan di monitor menjadi lurus. Berita kematian yang diumumkan oleh dokter menjadi kabar yang sangat menusuk hati, membuat Celia jatuh tidak sadarkan diri.

Dia adalah gadis yang kuat, sejak kecil cerita hidupnya tidak pernah mudah, tapi dia selalu menghadapinya dengan wajah terangkat. Namun kali ini dia terpaksa harus menunduk.

Di sebuah pemakaman umum.

Pada pagi hari di musim panas, matahari bersinar sangat cerah, bagi kebanyakan orang itu adalah hal yang bagus. Tapi untuk Celia justru sebaliknya, dia merasakan hatinya kosong. Tatapannya seperti tak bernyawa.

Celia menundukan kepalanya, menatap pusara sang bunda yang baru saja selesai dimakamkan. Dia memejamkan mata berusaha untuk menahan untuk tidak menangis, karena tidak ingin ibunya di alam sana ikut bersedih.

Angin bertiup sepoi-sepoi, membuat daun, rumput dan ranting pepohonan disekitarnya bergoyang, membawa serta harum kamboja yang menjadi ciri khas tempat pemakaman umum, semakin menambah kesan mistis dan kesunyian yang terasing.

Semalam mereka baru saja bicara, tapi hari ini ibu selamanya tidak akan pernah lagi bicara dengannya. Celia teringat pembicaraan terakhir mereka...

“Celia, ibu sudah semakin tua, umur memang di tangan Tuhan tapi siapa yang bisa memprediksi kematian? Jika ibu sudah tidak ada, lalu bagaimana denganmu? Siapa yang akan menjagamu? Ibu sangat khawatir.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status