Tuan Jack melirik Celia sekilas dengan tatapan aneh. Setelah berkata dia langsung berbalik pergi dengan Eliza bergegas mengikuti di belakangnya.
Celia mengerutkan kening, dan tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya dalam hati, “Ada apa dengan kedua orang itu? Mereka bukan sepasang kekasih gelap, kan?” Saat Celia masih menatap lorong tempat kedua orang itu pergi, seseorang tiba-tiba menepuk bahunya dan membuyarkan lamunannya. Itu Amy sahabatnya. Karena Amy, Celia mengetahui semua yang Eliza lakukan barusan saat dia masih berada di perjalanan menuju kantor. “Bagus kamu datang tepat waktu, jika tidak, Eliza pasti sudah bicara lebih banyak hal buruk tentangmu.” Celia tidak langsung menjawab, dia bergegas duduk karena jika berdiri lebih lama lagi dia takut akan jatuh. Selain efek mabuk semalam belum sepenuhnya hilang, tubuhnya juga terasa lelah. Dan yang penting lagi, perutnya sangat lapar. Sambil memakan biskuit dan susu yang diberikan Amy, Celia menjawab, “Dia selalu mencari celah untuk menjatuhkanku. Aku belum melakukan sesuatu untuk membalasnya hanya karena ibuku. Tapi jika dia terus menguji kesabaranku, aku tidak akan segan lagi.” Sambil melirik sekitar untuk memastikan tidak ada orang disana, Lily kemudian bertanya dengan merendahkan suaranya, “Lalu apa yang terjadi semalam?” “Nanti aku ceritakan, tapi tidak disini.” Sementara itu di ruang CEO, Eliza berdiri dengan tubuh yang sedikit gemetar. Dengan yakin dia berkata, “Tapi Chief aku sendiri yang mengantarnya masuk ke kamar hotel 1506, tidak mungkin salah.” Tuan Jack memukul meja dengan keras lalu memelototi Eliza sambil berkata dengan nada tidak sabar, “Tuan Simon sendiri yang mengatakan jika dia telah menunggu semalaman, tapi tidak ada seorang pun yang datang sampai pagi. Jadi maksudmu, Tuan Simon dan aku sedang berbohong?!” “Tidak, bukan begitu maksud saya. Tapi…” “Cukup! Sesuai perjanjian, segera serahkan surat pengunduran diri dan cepat pergi dari sini!” Eliza tidak terima jika harus keluar dari pekerjaannya sedangkan Celia masih bekerja disini. Menjadi bagian dari perusahaan sekelas Whispers adalah salah satu kebanggaannya. “Chief, tolong beri saya kesempatan lagi. Kali ini pasti tidak akan gagal.” Eliza terjatuh di atas kedua lututnya dengan raut wajah yang menyedihkan dan bertekad apapun yang terjadi dia tidak boleh sampai dipecat. Saat Tuan Jack melihat Eliza sedang berlutut dan memohon, sebuah rencana licik terlihat di matanya. “Baik, nanti kamu sendiri yang harus menjelaskannya pada Tuan Simon. Kamu mendapat kesempatan atau tidak, tergantung usahamu sendiri.” Saat berada di dalam bilik toilet, Celia mendengar suara seorang wanita yang sedang berbicara di telepon. Celia mengenali suara itu sebagai sekretaris Tuan Jack, tampaknya dia tidak menyadari jika Celia masih berada di salah satu bilik toilet. “Apa benar kalau semalam tidak ada orang yang menanyakan kamar 1506?” “....Baiklah… terima kasih.” Tidak lama, terdengar suara keran yang dimatikan dan pintu yang ditutup. Saat suara langkah kaki tidak terdengar lagi, barulah Celia keluar dari bilik toilet. Mencuci tangan sambil berpikir, “Kamar 1506? Kenapa sekretaris CEO repot-repot menanyakan masalah itu?” *** Karena waktunya jam pulang kantor, jalanan terlihat sangat ramai dan padat. Celia berjalan keluar dari gerbang perusahaan, mengeluarkan ponselnya, tapi saat dia baru saja akan membuka aplikasi ride-hailing, tiba-tiba saja sebuah panggilan telepon terlihat di layar. Saat melihatnya Celia merasakan firasat yang buruk. Itu panggilan dari Bibi Mery, dia adalah wanita paruh baya yang tinggal di sebelah rumahnya. “Bibi Mery ada apa?” “Celia sayang kamu harus tenang, begini…ibumu jatuh sakit dan baru saja dibawa oleh ambulan ke rumah sakit Central. Bibi sekarang juga sedang menuju ke sana.” Berita buruk itu hampir mengambil kesadarannya. Celia segera meraih tiang lampu taman untuk bersandar. Wajahnya menjadi pucat, dan jantungnya berdebar kencang. Perasaan panik, terkejut, takut, sedih semua bercampur menjadi satu. Tatapannya nanar saat menatap pemandangan diluar jendela taksi yang dengan cepat membawanya ke rumah sakit Central. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang Celia miliki. Ayahnya sudah lama meninggal sejak dia masih kecil. Sejak itu dia hanya tinggal berdua dengan ibunya. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada ibu? Malam itu, Celia sedang tertidur di samping tempat tidur ibunya, saat tiba-tiba dari layar monitor ICU terdengar suara nyaring melengking yang memecah kesunyian, lalu garis kehidupan di monitor menjadi lurus. Berita kematian yang diumumkan oleh dokter menjadi kabar yang sangat menusuk hati, membuat Celia jatuh tidak sadarkan diri. Dia adalah gadis yang kuat, sejak kecil cerita hidupnya tidak pernah mudah, tapi dia selalu menghadapinya dengan wajah terangkat. Namun kali ini dia terpaksa harus menunduk. Di sebuah pemakaman umum. Pada pagi hari di musim panas, matahari bersinar sangat cerah, bagi kebanyakan orang itu adalah hal yang bagus. Tapi untuk Celia justru sebaliknya, dia merasakan hatinya kosong. Tatapannya seperti tak bernyawa. Celia menundukan kepalanya, menatap pusara sang bunda yang baru saja selesai dimakamkan. Dia memejamkan mata berusaha untuk menahan untuk tidak menangis, karena tidak ingin ibunya di alam sana ikut bersedih. Angin bertiup sepoi-sepoi, membuat daun, rumput dan ranting pepohonan disekitarnya bergoyang, membawa serta harum kamboja yang menjadi ciri khas tempat pemakaman umum, semakin menambah kesan mistis dan kesunyian yang terasing. Semalam mereka baru saja bicara, tapi hari ini ibu selamanya tidak akan pernah lagi bicara dengannya. Celia teringat pembicaraan terakhir mereka... “Celia, ibu sudah semakin tua, umur memang di tangan Tuhan tapi siapa yang bisa memprediksi kematian? Jika ibu sudah tidak ada, lalu bagaimana denganmu? Siapa yang akan menjagamu? Ibu sangat khawatir.”Saat itu Celia menjawab dengan ekspresi wajah yang riang, hanya untuk menyenangkan ibunya, dia pun mulai berbicara omong kosong, “Ibu tenang saja, Celia pasti akan segera membawakan ibu seorang menantu yang sangat tampan dan juga sangat kaya.” “Itu bukan syarat utama untuk menjadi menantu ibu, yang penting dia harus menyayangimu dengan tulus.” “Tentu saja, tidak hanya menyayangiku, dia juga sangat bucin.” Celia tersenyum lalu mencium tangan ibunya, “Dan yang penting, Celia yakin dia juga sangat menyayangi ibu.” “Ibu tidak penting.” “Siapa bilang, jika mau menikahiku maka dia juga harus menyayangi ibuku.” “Jadi kamu sudah bertemu seseorang? “Tentu saja. Tapi yang terpenting sekarang, ibu harus sembuh dulu, baru setelah itu Celia akan membawa dia untuk bertemu dengan ibu.” “Aamiin. Tapi ngomong-ngomong apa itu bucin?” “Itu artinya di matanya tidak akan ada wanita lain selain putrimu yang cantik ini. Dia sangat tergila-gila padaku.” Setelah itu mereka tertawa bersama. Celia inga
Tubuh Celia merosot di lantai, tangannya merah dan bengkak karena berulang kali dipukulkan ke pintu kayu yang keras, suaranya pun mulai serak. Dia meringkuk di lantai seperti janin. Kebenaran yang baru saja terungkap di depan matanya secara brutal, membuat dia lupa bagaimana caranya menangis. Dia menjadi sedikit linglung.Berharap jika semua ini hanya bagian dari mimpi buruk. Dan saat terbangun nanti semua akan kembali seperti semula.Namun, itu tidak mungkin.“Ibu, ayah, kenapa kalian bukan orang tua kandungku? Lalu aku siapa?” Suara Celia terdengar lirih, hatinya terasa sakit dan hancur.Kepada siapa lagi dia harus bercerita? Mereka yang selama ini dianggap sebagai keluarga kini mulai menjauh dengan tatapan dingin. Bagi mereka sekarang dia tidak lebih dari orang asing. Seketika di dunia yang besar ini dia hanya sendirian.Rumah tempatnya tumbuh dalam kehangatan kasih sayang ayah dan ibu, kini terasa seperti penjara besar yang menyesakkan. Celia memejamkan mata sambil berusaha meng
“Celia, jangan bicara padaku seperti orang asing. Tentu saja kamu boleh tinggal disini.” Celia mencoba tersenyum, meskipun hatinya masih terasa berat. "Terima kasih, Kak Erika. Maaf merepotkan." "Jangan khawatir. Kamu tidak merepotkan sama sekali. Masuklah, buat dirimu nyaman," jawab Erika sambil membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan Celia untuk masuk. Saat mereka melangkah masuk, Celia merasakan suasana hangat yang mengisi rumah itu. Dinding-dindingnya dihiasi dengan foto-foto keluarga dan karya seni sederhana. Aroma kue yang baru dipanggang menguar dari dapur, membuat perut Celia keroncongan. Erika melihat Celia dengan penuh perhatian. "Kamu pasti lelah setelah perjalanan panjang. Duduklah, aku akan membuatkan teh untukmu." Celia mengangguk dan duduk di sofa yang empuk di ruang tamu. Eric meletakkan kopernya di sudut ruangan dan duduk di sebelahnya. "Terima kasih, Kak Eric. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa bantuanmu," kata Celia dengan suara pelan. Er
Di luar rumah, suasana semakin kacau. Para penjaga berlarian, mengendarai mobil patroli, menyebar ke seluruh kota dalam upaya putus asa untuk menemukan Celia. Di tengah kekacauan itu, Arnold berdiri di pintu depan, memandang keluar dengan mata yang penuh kebencian."Aku akan menemukanmu, dasar brengsek!" gumam Arnold pelan. "Dan kali ini, kamu tidak akan bisa lari lagi sebelum aku mendapatkan semua harta warisan kakak dan kakak iparku."Namun, jauh di dalam hatinya, Arnold tahu bahwa meskipun dia penuh dengan tekad untuk menangkap Celia kembali, dia merasa ada sesuatu yang berbeda kali ini. Gadis itu mungkin lebih kuat dan lebih cerdik daripada yang dia bayangkan. Dan mungkin saja seseorang telah membantunya.Sementara itu Eliza, memanfaatkan situasi untuk mencari informasi sekecil apapun di kamar Celia.Eliza menyelinap dengan cepat ke dalam kamar, memastikan tidak ada yang terlewat dari matanya. Dia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tepat untuk menemukan sesuatu yang berharga mi
Matahari sore yang mulai condong ke barat memancarkan cahaya keemasan yang indah, menerangi jalanan umum yang ramai oleh pejalan kaki. Setelah memarkirkan mobil di tempat yang sudah disediakan, Celia, Eric, Erica dan kedua buah hatinya berjalan bersama memasuki pasar tradisional. Suara tawar menawar, percakapan riang dan tawa terdengar seolah menyambut mereka, mengiringi perjalanan yang dipenuhi semangat kebersamaan. Celia mengamati semua toko yang ia lewati, matanya mencari barang yang mungkin nanti dia perlukan. Karena saat pergi meninggalkan rumah kemarin, tidak banyak barang yang bisa ia bawa. Ashford terkenal dengan julukan desa kecil, tapi sebenarnya pasar tradisional ini sangat komplit. Semua hal tersedia, kualitasnya pun tidak kalah dari kota besar. Pasar ramai dengan aktivitas. Penjual dan pembeli berinteraksi, aroma harum makanan lokal menguar di udara. Mereka berlima bergerak melewati kerumunan, menuju konter Tuan Rudi, seorang saudagar kaya raya yang juga kepala des
Saat akhirnya dia melihatnya, nafas Celia seolah berhenti, nenek itu berjalan menuju jalur lintasan motor si pencuri. Karena sebuah truk pengangkut sayuran yang terparkir di pinggir jalan, nenek berambut putih tidak bisa melihat motor yang datang dengan cepat. Tidak ada orang yang menyadarinya, karena perhatian semua orang tertuju pada si pencuri.“Nenek!”Celia berteriak tapi karena suasana yang sangat ramai dan kacau, suaranya seperti tenggelam tak berbekas. Dia menjadi panik suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Jika berteriak pun belum tentu akan terdengar oleh nenek itu.Tidak ada waktu lagi!Celia dengan cepat bangkit dari kursinya, mengambil keranjang bambu besar di pinggir jalan yang cukup berat karena penuh berisi sampah, dia lalu melemparkannya ke arah pencuri berharap orang itu akan terjatuh dari motornya. Tapi motor itu hanya oleng dan melambat. Celia segera berlari sekuat tenaga ke arah nenek berambut putih.“Nenek awas!”Nenek berambut putih tertegun di tempatnya sam
Semantara itu di sebuah penthouse mewah yang terletak di lantai teratas gedung milik salah satu perusahaan teknologi ternama di dunia bernama Future One. Luxian, setelah meeting ia menghabiskan waktu makan siangnya di penthouse pribadi miliknya. Saat ini dia hanya ingin menyendiri dan berpikir. Duduk di sofa, dia memperhatikan gelang perak bertahta safir biru di tangannya, wajahnya tampak serius seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.Barusan dia sudah bertanya pada Shane dan semua teman-temannya yang hadir pada malam itu, tapi tidak ada satupun dari mereka yang merasa memanggil jasa wanita panggilan atau membawa seorang gadis ke kamar hotel miliknya.Luxian hanya sekedar bertanya tidak menceritakan secara rinci tentang apa yang terjadi sebenarnya di dalam kamar. Karena jika mereka tahu dia sudah menghabiskan malam dengan seorang gadis, maka berdasarkan sifat teman-temannya, tidak diragukan lagi dia pasti akan menjadi bahan lelucon mereka semua. Lalu siapa gadis yang bersamanya mala
Setelah memasuki halaman, Celia melihat nenek Iris, seorang wanita tua dengan rambut perak yang disanggul rapi. Dia sedang berjongkok di kebun, memetik beberapa sayuran segar. Nenek Iris tampak damai dan bahagia, begitu menyatu dengan alam sekitarnya."Nenek Iris," sapa Celia dengan suara lembut namun jelas, dia turun dari sepeda dan mendorongnya ke sisi jalan setapak.Nenek Iris mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar saat melihat Celia. "Oh, Celia! Senang sekali kamu datang. Ayo, kemarilah," katanya dengan suara ramah, bangkit perlahan dari posisi jongkoknya. Dia segera mencuci tangannya yang kotor dan menyekanya di celemek yang dipakainya.“Baik…” Celia tersenyum dan berjalan mendekat, Nenek Iris menyambut dengan begitu hangat hingga membuatnya tidak lagi merasa gugup. "...Aku senang bisa berkunjung. Apa yang sedang nenek lakukan?"Nenek Iris terkekeh pelan. "Aku sedang memetik beberapa sayuran untuk nanti kita masak. Tadinya aku berniat membuat menu kejutan untukmu, tapi aku tidak