Tidak lama setelah Felipe membawa Madeline ke kapal, Madeline bangun.Dia membuka matanya yang lemah dan melihat wajah tampan Felipe yang dipenuhi dengan kepedulian dan kekhawatiran."Eveline. Eveline, kau sudah bangun?" Dia bertanya lembut.Madeline belum sepenuhnya terbangun. Dia memutar matanya dan melihat ke sekeliling seolah-olah dia sedang mencari sesuatu di tengah kebingungannya"Eveline?""Felipe?" Madeline menatap pria yang memeluknya dengan penuh pertanyaan. "Kenapa … kamu?""Gadis bodoh, siapa lagi?" Felipe membelai pipinya. "Aku tahu kamu dibawa pergi oleh Jeremy, jadi aku mencarimu. Ketika aku baru saja membawa kapal ke pantai, aku melihatmu tidak sengaja jatuh ke air."Mendengarkan Felipe, Madeline perlahan mengingat apa yang terjadi sebelum dia pingsan.Dia melihat Jeremy berbalik dan pergi, dan saat pria itu berjalan semakin jauh, entah mengapa, dia menjadi linglung. Pembatas buku yang dia pegang juga terlepas dari tangannya.Dia bertekad mengambil pembatas buku itu, ta
"Dad!" Suara jernih dan manis si kecil memecahkan keheningan.Madeline mengangkat kedua matanya dan melihat ke luar pagar besi.Memang benar Jeremy.Pria itu mengenakan pakaian kasual sederhana dengan kemeja putih gading yang menambahkan sentuhan kehangatan serta keanggunan pada penampilannya yang dingin namun tampan.Jeremy terlihat sedikit terkejut saat melihat Madeline, tapi dia dengan cepat memasang senyum lembut tipis sebelum berjalan menuju pasangan ibu dan anak itu.Tanpa sadar, tatapan Madeline tertuju pada jantung Jeremy.Dia teringat kembali hari ketika Jeremy dengan paksa menikamkan pisau di tangannya ke jantung pria itu.Lukanya seharusnya belum sembuh dengan begitu cepat."Daddy." Dengan kaki-kaki pendeknya Jackson berlari ke arah Jeremy.Jeremy berjongkok dan merentangkan kedua tangannya untuk menyambut si kecil. "Jack."Dia memeluk bocah laki-laki yang hangat dan lembut itu sambil mencium pipi Jack dengan penuh kasih sayang."Besok kau akan tinggal di tempat lain bersama
Dia melihat Jeremy dan Felipe berpapasan. Keduanya sepertinya saling melihat, namun tidak saling menyapa.Felipe berjalan lurus ke arahnya, wajahnya yang anggun, lembut, dan tampan membawa senyuman bagaikan angin musim semi.Sosoknya yang tinggi mendekat dan dengan cepat memblokir punggung Jeremy."Kau menungguku?" Felipe tersenyum lembut. Dia mengulurkan tangannya dan merangkul bahu Madeline sebelum memutar wanita itu.Madeline tersenyum tipis, mengikuti Felipe dan masuk ke dalam rumah. Punggung Jeremy telah mengabur sampai akhirnya menghilang.Di kejauhan, Jeremy berhenti.Dia menoleh ke belakang dan melihat saat Felipe merangkul Madeline. Kedua figur itu terlihat di hadapannya dan seolah-olah ribuan semut telah merayapi jantungnya, menggigitinya dengan liar.Kilauan di matanya perlahan-lahan dilebur oleh tiupan angin sepoi-sepoi.Madeline yang dulu mengejarnya dan pemandangan wanita itu mengaguminya dalam ingatannya sekarang adalah patung pasir abu-abu, perlahan lenyap tertiup angin
Old Master Whitman tidak tahu apa yang ingin Felipe lakukan padanya, tapi dia punya firasat buruk. Namun, beliau yakin Felipe tak akan berani melakukan sesuatu yang ekstrim di siang hari bolong begini.Felipe hanya tersenyum acuh tak acuh sebelum mengeluarkan sebuah foto berukuran empat inci dari saku jasnya.Dia menunjukkan foto itu kepada Old Master, dan sepasang mata foniks hitamnya dipenuhi dengan senyum licik. "Apa kau masih mengenali orang-orang di foto ini? Salah satunya adalah saudara laki-lakimu dan yang lainnya adalah saudari iparmu. Mereka adalah pasangan suami istri yang penuh kasih sayang dengan putra yang berperilaku santun dan penuh pengertian. Mereka adalah sebuah keluarga bahagia dengan karier yang sukses, tapi apa hasilnya?"Felipe berkata dengan nada dingin saat dia menyorongkan foto itu kuat-kuat ke wajah lelaki tua itu. "Mereka hancur karenamu!""Hnghh..."Old Master merintih dengan susah payah, kedua matanya melebar.Felipe menaikkan bibirnya dengan riang. "Ada ap
Dia pergi ke bangsal kakeknya untuk menemani beliau dalam keheningan. Lewat jendela dia menyaksikan langit menjadi gelap saat hatinya tetap tumpul dan hampa cahaya. Bagaimana tidak ketika putranya dan wanita yang paling dia cintai besok akan pergi dengan lelaki lain? Tak ada yang bisa dia lakukan untuk menghentikan itu, karena dia sudah bersumpah pada dirinya sendiri untuk tidak akan memaksa wanita itu di luar keinginannya. Dia akan merelakan wanita itu pergi jika itu berarti wanita itu akan menemukan kebahagiaan sejati. Tetap saja, emosi campur aduk saling bertentangan dengan kuat di dalam dirinya mengetahui fakta bahwa dari semua pria, Madeline akan pergi dengan Felipe. “Mad…” Di tengah keheningan, Jeremy mendengar suara serak. Dia mendongak dan senang sekali mendapati kakeknya berbicara lagi! “Mad, Mad…” “Grandpa.” Jeremy bergegas meraih tangan sedingin es kakeknya. “Kau sudah bisa berbicara, Grandpa?” Old Master Whitman menatap Jeremy saat tangannya yang gemetar mencengk
Bandara Glendale. Dengan menggandeng Jackson, Madeline melangkah ke ruang tunggu VIP. Eloise dan Sean mengikuti mereka. Seorang penerima tamu telah membawakan sarapan yang lezat untuk mereka, tapi Madeline tampaknya tidak terlalu berselera. Kegelisahan menggerogoti dirinya, meskipun tak diketahui apa penyebabnya.Eloise bangkit dan pindah duduk di sebelah Madeline sebelum akhirnya menggenggam tangan Madeline setelah beberapa saat merenung. “Eveline.” Dia memanggil putrinya, kedua sudut matanya bertambah panas. “Jaga dirimu baik-baik, Eveline. Dan datanglah ke Glendale kapan pun kau ada waktu…” Dia berhenti sejenak saat matanya bertukar pandang dengan Sean. “Tengoklah Mom dan Dad.” Madeline menyerahkan selembar tisu untuk menyeka air mata Eloise. “Oke.” Eloise merasakan hidungnya terbakar saat memeluk Madeline erat-erat. “Mom benar-benar menyesal, Eveline… Kuharap dirimu tak akan menderita lagi.”Madeline menepuk-nepuk pundak Eloise sambil tersenyum tipis, namun dia merasakan ha
Felipe melingkarkan tangannya ke bahu Madeline. “Ayo pergi, Eveline. Sudah waktunya naik ke pesawat.” “Oke.” Madeline mengangguk dan menggandeng tangan Jackson. “Ayo naik ke pesawat, Jack.” “Tapi Daddy belum sampai di sini.” Jackson cemberut, enggan untuk pergi. “Kita tunggu Daddy sebentar lagi ya, Mom?” Madeline melepaskan diri dari rangkulan Felipe dan menghibur Jack sambil tersenyum kecil. "Kita tidak menunggu Daddy lagi, Jack. Ayahmu terlalu sibuk dengan pekerjaannya.” “Jeremy tidak sibuk dengan pekerjaannya. Dia di rumah sakit menjaga Old Master!" Winston mengatakan yang sebenarnya. Sepasang mata Felipe menggelap melihat Madeline menoleh ke arah Winston dengan kebingungan, mendesak pria itu untuk melanjutkan. “Old Master sedang dirawat di rumah sakit. Dokter memberi tahu kami untuk bersiap menghadapi yang terburuk karena beliau mungkin tidak punya banyak waktu tersisa. Namun, Old Master baru saja terbangun dari koma dan beliau terus memanggil namamu. Jeremy menyuruhku untuk
Madeline berbalik lalu berjalan keluar, meninggalkan Jeremy yang bingung di belakangnya. Itu terasa tidak nyata. “Kenapa kau masih berdiri di situ?” Winston menasihati, berkata, "Kalau kau tak mau dia pergi, ya jangan lepaskan.” Kata-kata itu terdengar familiar. Dia juga pernah bersumpah untuk tidak akan pernah melepaskan wanita itu. Namun sekarang, sepertinya tak ada lagi yang bisa dia lakukan untuk Madeline kecuali melepaskannya.Angin awal musim panas menyapu pipinya dengan dingin saat Jeremy dengan diam mengikuti Madeline ke jalan yang ramai, sepasang matanya menelusuri punggung sosok itu dengan penuh kerinduan. Madeline berhenti berjalan sebelum dia bisa lebih lama lagi memenuhi dirinya dengan kecantikan wanita itu. Langkah kaki Jeremy juga terhenti. Dia melihat Madeline berbalik, dan dia menyaksikan matahari menyinari fitur-fitur lembut wanita itu, menyelimuti wanita itu dalam selembar cahaya hangat. “Apa yang ingin kau katakan padaku, Linnie?”’ “Aku telah memutuskan kala