Dexter masih ingat dengan jelas apa saja yang diucapkan Eve saat mereka makan siang bersama, sebelum menelpon ayah mertuanya.
Eve melihat Dexter masuk ke ruangannya saat jam makan siang, jam 1 siang lebih sedikit. Seakan sudah mengetahui apa yang akan Eve sediakan, Dexter duduk di sofa dan menunggu Eve membuka makan siang untuk mereka berdua. Mereka duduk di sofa dan makan bersama.
“Renovasinya lancar?”
“Belum mulai. Tidak bisa mulai. Bahan tidak ada. Senin baru mulai.”
“Besok lusa?”
“Iya. Tukang tidak mau bekerja di hari Minggu.”
“Sudah lapor ke Papa?”
“Belum, nanti aku lapor sendiri. Lalu kita bisa membeli bahan, itu tidak akan memakan waktu lama.”
Eve mengambilkan sayur pare dan menyuapkannya ke mulut Dexter yang sengaja langsung mengunci rapat mulutnya. Pria itu benci makanan pahit, makanya itu adalah satu-satunya lauk yang tidak disentuhnya. Rupanya in
Dexter mengakhiri acara makan siang bersama Eve saat ada panggilan dari pengawas proyek mall. Tidak ada masalah yang begitu penting tetapi ada yang harus ditandatangi Dexter secara langsung setelah mengecek barang yang baru dikirim. Jadi 30 menit setelah panggilan itu, Dexter sudah bersiap-siap pergi.“Aku pergi ke mall dulu,” katanya berpamitan pada Eve. Dexter dan Eve menyebut proyek Asterix Grand Mall dengan sebutan mall saja, mereka sepakat dengan nama itu agar diucapkan lebih singkat saja. Eve mengangguk sekilas.Renovasi tembok belakang selesai setelah makan siang mereka tadi. Mereka sudah selesai mengukur dan menuliskan apa saja yang perlu dibeli. Tidak ada yang bisa dikerjakan jika bahannya tidak ada, jadi Khan dan anak-anak buahnya pergi membeli bahan dahulu dan memulai renovasinya Senin pagi.Eve sudah selesai mengurus semua administrasi dan masalah finansial untuk renovasi itu setelah bahan-bahan sudah lengkap dibeli. Dan Dexter dengan teg
Eve bersiap meninggalkan kantornya saat jam menunjukkan pukul 4 lebih 23 menit. Dia terlalu lama berkutat dengan laporan mingguan yang memecahkan rekor pemasukan jenis barang baru terbanyak dalam bulan ini. Jika ada barang baru, pasti ada barang lama yang tereliminasi, bukan karena kebijakan di pasar itu melainkan itulah kebiasaan pada pemasoknya. Mungkin barang lama itu sudah tidak diproduksi lagi atau kualitasnya kalah dengan produk baru itu.Eve membereskan meja kerjanya dan menyesal sudah lupa dengan rencananya pergi ke Helix Bridge. Tapi tidak apa, yang penting tidak perlu memasak, dia bisa pulang tepat sebelum makan malam. Semoga MRT tidak terlalu ramai hari ini, meskipun di akhir pekan sepertinya itu tidak mungkin.Mungkin dia tidak bisa menikmatinya dengan santai, tetapi semenit saja suasana berbeda pasti akan membuat hatinya senang. Lampu warna-warni bisa membuat hati berwarna juga, pikir Eve sambil tersenyum.Eve segera berangkat ke stasiun MRT dan nai
Mungkin hanya perasaannya saja atau memang itulah yang terlihat di hadapannya, kilauan lampu yang bermain di Double Helix Bridge terlihat terlalu terang untuk mata Eve. Sinar lampunya malah terlihat menari dan melayang di atas bentangan air yang luas.“Jembatan ini dibangun tahun 2010. Sudah begitu lama berdiri dan aku belum pernah melewatinya, do you believe that?!”Dexter tidak pernah melihat wajah Eve begitu antusias seperti saat ini. Tidak juga saat mereka pertama kali bertemu, tidak di hari pertunangan mereka, apalagi pada hari pernikahan mereka. Ternyata memandangi jembatan ini lebih menyenangkan daripada menjalani takdir hidupnya dengan Dexter.“Double helix ini bentuk DNA kita, unik ya. Pasti membangunnya sangat rumit. Pantas saja manusia begitu sulit untuk dimengerti karena DNA kita begitu rumit seperti itu,” kata Eve sambil menunjuk atap-atap jembatan yang tengah dilewatinya.Beberapa pejalan kaki dan pengunjung yang naik
Aze melihat dua kursi kosong, satu kursi di sampingnya dan satu kursi lagi di seberang kursi kosong itu. Malam itu meja makan terasa sangat sepi, hanya ada Aze dan neneknya. Mie pangsit kesukaan Aze, dibeli di restoran yang direkomendasikan oleh Eve dulu, sudah ada di hadapannya. Kakaknya itu memiliki selera yang bagus dalam memilih makanan, meskipun tidak rewel memilih makanan untuk dirinya sendiri.Aze tidak mengetahui selera kakaknya dalam memilih pria, apakah sama bagusnya seperti seleranya pada makanan. Dan Aze tidak yakin apakah pria seperti Dexter masuk dalam kategori kesukaan Eve atau tidak. Dia tidak pernah memperhatikan.Setahunya Eve tidak pernah kesulitan mendapatkan kekasih kalau dia mau. Banyak laki-laki yang mendekati Eve dengan terang-terangan atau memandanginya dengan penuh kekaguman. Aze menganggap Eve sebagai perempuan dingin yang tidak menanggapi semua pria itu, tetap sopan dan ramah, bahkan terkesan dekat, tetapi hanya sebatas itu.Aze tidak
Eve dan Dexter sampai di rumah saat jarum jam dinding di ruang depan mendekati jam 12 malam. Waktu berlalu begitu cepat saat orang bisa menikmati suasana sekitarnya, seperti mereka tadi. Mereka seakan sepakat tanpa kata hanya dengan saling memandang untuk masuk ke kamar masing-masing dengan langkah pelan. Sepelan mungkin agar tidak membangunkan orang lain. Dexter tidak bisa menampik bahwa dia memang capek. Sudah lama sejak di Singapura, dia tidak lagi berolahraga atau jogging di pagi hari. Pikirannya terlalu lelah untuk itu, meskipun dia bingung dengan apa saja yang dipikirkannya, masalah yang dipikirkan itu tidak pernah menemui penyelesaian. Belum lagi pekerjaan yang diberikan oleh ayahnya benar-benar menghabiskan waktunya. Tetapi Dexter heran dengan kemampuan Eve yang berjalan tanpa henti dengan wajah gembira. Padahal Eve akan memasang wajah lelahnya setiap kali pulang mengantar Aze berjalan ke mall. Wanita itu memang unik, Dexter tersenyum sendiri. Membuat
Dexter bangun lebih awal, tiba-tiba saja dia terbangun seperti orang yang dikejutkan. Dengan posisi tubuh telentang, matanya langsung mengarah pada jam dinding yang menunjukkan pukul 04.35. Masih terlalu pagi, dia dan Eve sudah saling berjanji untuk pergi jogging pagi ini, jam 05.30 pagi. Hari Minggu ini mereka tidak ada kegiatan lain dan Eve akan mengajaknya ke taman kota tidak jauh dari rumah neneknya. Saat Dexter ingin menutup mata lagi, dia merasa sesuatu menindih perutnya. Tidak berat, hanya terasa aneh. Betul, itulah yang membuatnya terbangun tiba-tiba. Dia meraba perutnya, merasakan tangan yang melingkari perutnya. Matanya melihat tangan itu dan menyusurinya sampai ke pemilik tangan itu. Eve! Benar, kamarnya tidak memiliki jam dinding berbentuk kelinci seperti itu. Dan kamarnya juga tidak memiliki jendela besar yang sedang tertutup gorden. Saat gordennya dibuka, pemandangan taman belakang yang indah itu akan terlihat. Ini pasti kamar Eve.
Hari-hari berlalu dengan begitu cepat. Dua minggu dipenuhi dengan kesibukan kerja dan rengekan Aze di rumah, membuat Eve merasa ingin berjalan-jalan lagi. Aze memang tidak lagi terlihat kesal pada Dexter, lebih tenang dan menjaga jarak. Tetapi Aze tetap saja suka merengek pada Eve. Tidak peduli neneknya sering memberikan tatapan tajam pada Aze jika sedang sangat manja.Eve terus saja mengurungkan niatnya untuk jalan-jalan, karena mungkin Dexter akan ikut. Eve tidak memiliki cara mencegah pria itu ikut dengannya mengingat hubungan mereka sudah akrab seperti teman. Dua tahun sebagai teman dalam pernikahan, terdengar seperti ide yang baik. Dia tidak ingin merusaknya.Tetapi jika Dexter ikut, bisa-bisa Aze sedih lagi seperti setelah Eve menghabiskan malam dengan Dexter di Helix Bridge. Dia masih ingat Aze berwajah muram pagi itu. Meskipun sepertinya Aze sudah bersiap melepaskan Dexter, tetap saja adiknya itu memiliki rasa cemburu yang mungkin meledak. Aze harus diberi wakt
Restoran Baba Kong terletak di Orchard Road, agak ke ujung jalan, agak jauh dari stasiun MRT tempat Eve turun. Suasananya masih ramai, ini sudah biasa pada jam makan malam. Meja-meja hampir terisi penuh, untung teman-teman Eve sudah tiba duluan.Eve melambaikan tangan pada sepasang pria dan wanita yang duduk berdampingan itu.“Reveline Daveno! Beib, tambah cantik aja!” seru wanita itu kegirangan.“Kamu juga, Ana!” balas Eve. Mereka berpelukan.“Aku juga mau dipeluk!” sahut pria itu.“Gabung, Ari!” seru Eve. Mereka bertiga jadi berpelukan.“Berhenti ah, berasa jadi teletubbies,” sahut Eve tertawa.“Minus antenna, beib.”“Wah, gawat, sinyalnya terhambat gara-gara antenanya ketinggalan!”Mereka tertawa. Masa-masa sekolah itu memang menyenangkan, membawa kegilaan itu kembali.“Lama amat! Bosen nungguin kamu!” protes Ana.