Hanya keheningan yang terdengar di kamar tiga kali tiga meter ini. Lilin yang menyala di sudut-sudut ruangan semakin membuat Aaradya gugup. Suasana kamar pengantinnya begitu romantis. Tapi, entah kenapa dia tidak tahan berada satu ruangan dengan Dave.
Pria yang sudah sah menjadi suaminya. Tanpa memboyong sang istri ke hotel, Dave lebih memilih memanfaatkan kamar Aaradya sebelum gadis itu benar-benar akan meninggalkan rumah orangtuanya."Tidurlah. Tidak perlu takut. Aku bukan pembunuh bayaran yang musuh ayahmu kirim," ucap Dave membuyarkan lamunan Aaradya.Entah mengapa gadis itu betah sekali tidak beranjak dari duduknya. Dia diam sesekali mengedarkan pandangan ke segala arah. Masuknya Dave ke kamar ini membuat Aaradya bagai orang bodoh padahal ini adalah tempatnya beristirahat selama bertahun-tahun."Aku akan tidur di sofa kalau kau khawatir terjadi sesuatu," kata Dave lagi mulai mengambil selimut cadangan dari lemari. Wajahnya yang penuh senyuman semakin membuat Aaradya merasa aneh tinggal satu ruangan bersama pria asing.Aaradya masih memperhatikan gerak-gerik Dave. Dia enggan bersuara sebab bingung harus berkata apa. Suasana ini terasa masih asing untuknya."Tidurlah, Aaradya. Besok kau akan pergi meninggalkan keluargamu dan tinggal bersamaku."Setelah mengatakan itu, Dave dengan santainya tertidur. Enggan mempedulikan Aaradya yang sedikit kaget akan pernyataannya."Nasibku benar-benar sudah berubah sembilan puluh derajat," lirih gadis itu masih tidak menyangka akan takdir yang Tuhan gariskan untuknya.Menduduki tepian ranjang, Aaradya tak sedikit pun berminat beranjak dari sana. Dia justru malah membayangkan tentang rumah tangganya ke depan. Apakah akan bahagia atau malah sengsara?Lebih dari itu apakah pria asing yang baru dia temui di pantai ini akan memperlakukannya dengan baik?"Berpikirlah positif Aaradya. Dialah yang menyelamatkanmu dari kematian."Berikutnya Aaradya malah memandangi Dave lamat-lamat. Manik hitam putri Broto Seno itu tertuju ke satu titik dimana bulu mata Dave yang bergerak seirama dengan napasnya.Pemandangan baru ini jujur membuatnya takjub. Aaradya yang tidak pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun selain mantan tunangan, merasa disuguhkan sesuatu yang istimewa. Bahkan, dia tidak pernah melihat pria lain ketika tidur selain kakak serta sang ayah.Kalau boleh jujur, Dave memiliki kharisma yang sangat kuat. Jantungnya sempat berdebar kencang mendengar lamaran kilat yang Dave katakan pada ayahnya. Secuil kenyataan yang Aaradya sangkal sebelumnya.***Aaradya merotasi bola matanya ke segala arah. Sungguh dia takjub memandangi bangunan di hadapannya. Bukan karena rumah ini besar seperti istana melainkan seni yang terlihat di setiap interiornya. Sungguh Aaradya tidak tahu rumah siapa ini.Andreas tidak memberitahunya. Apalagi Dave. Pria itu acuh tak acuh. Terlebih ketika mendengar permohonannya. Berbeda dari Andreas yang kelihatan bingung menyaksikan raut panik Aaradya.Beruntung keinginan wanita muda ini masih didengar. Dave berbaik hati memberinya tempat tinggal sementara waktu. Walau entah sampai berapa lama dia diizinkan tinggal di sini. Hanya Dave dan Andreas yang tahu."Silakan masuk, Nona. Perkenalkan sayaArmaya kepala pelayan di sini. Anda bisa memanggil saya Maya," ucap seseorang mengejutkan Aaradya. Tubuhnya hampir terlonjak kaget melihat seorang wanita seperempat abad berdiri di depannya.Aaradya cuma mengangguk sebagai respon. Dia juga bingung harus menjawab seperti apa perkenalan diri super singkat dan datar itu. Sesungguhnya dia susah berbaur dengan orang baru. Ditambah Andreas sama sekali tidak memperkenalkannya.Pemuda itu langsung pergi usai mengantar Aaradya kemari. Kini tersisa kecanggungan saja."Anda bisa menempati kamar ini. Kamarnya sudah saya bersihkan dan perlengkapan mandi serta pakaian ada di lemari," tunjuk Maya saat wanita empat puluh tahunan tersebut menuntun tamunya menaiki lantai atas.Aaradya semakin takjub saja lantaran di lantai satu ini banyak patung dan lukisan bernilai tinggi. Bagaimana dia bisa tahu? Terlihat dari seninya yang cukup unik. Aaradya sampai tidak bisa mengalihkan perhatiannya."Saya pamit undur diri dulu, Nona. Kalau ada yang anda butuhkan bisa menghubungi saya lewat telepon di kamar." Perhatian Aaradya ditarik kembali oleh suara tegas Maya.Kepalanya mengangguk lagi. Tampak tidak berani banyak bertanya atau merepotkan kepala pelayan Dave. Sepeninggalan Maya, Aaradya perlahan memasuki kamar yang sudah Andreas persiapkan untuk tamunya.Reaksi pertama Aaradya saat masuk tentu terkejut lantaran interior bagian kamar pun tidak jauh berbeda. Terdapat beberapa patung dan lukisan seni abstrak. Mata gadis dua puluh empat tahun ini otomatis tersihir.Bahkan kamarnya tidak seindah ini. Furniture yang dipakai pun terbilang klasik. Tampak si pemilik rumah memang seorang pencinta seni.Aaradya menduduki tepian ranjang. Sekarang dia bingung harus melakukan apa di kamar asing ini. Mau berganti baju saja dia masih ragu. Apalagi membasuh tubuh yang sudah tidak mandi selama dua hari."Harusnya aku minta diantar ke hotel saja, tapi uang darimana?" Aaradya menertawakan nasibnya yang malang.Mau langsung tidur pun badannya sudah sangat lengket sekarang. Bisa saja tidurnya tidak akan nyenyak malam ini. Sebisa mungkin Aaradya melawan rasa sungkan tersebut. Dia bangkit menuju kamar mandi yang terletak di ujung ruangan.Setelah masuk ke dalam, Aaradya baru menyadari Dave memang sekaya ini. Kelihatan dari perlengkapan mandi yang berjajar di sana. Lantainya pun tidak licin seperti sering disikat padahal kamar ini diperuntukkan khusus tamu. Entah semewah apa kamar utamanya.Namun, saat mencoba menghidupkan shower, tidak sedikit pun air keluar dari sana. Matanya mulai mencari sebuah ember atau bak air. Siapa tahu shower di kamar ini sedang rusak dan sebagai gantinya emberlah yang dijadikan alternatif.Sayangnya ember atau pun bak air tidak terlihat dimana pun."Bagaimana caranya aku mandi," lirih Aaradya mulai mencari cara.Seperti diingatkan sesuatu, Aaradya sontak keluar kamar. Tidak mungkin dia menunggu shower tersebut mengeluarkan air dengan sendirinya. Setelah tiba di ambang pintu perempuan berwajah khas Indonesia itu terdiam beberapa saat.Apa dia minta bantuan Maya? Aaradya mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan kepala pelayan rumah ini.Aradya sungguh lupa menggunakan telepon kabel yang berdiam diri di kamar. Kakinya tetap melanjutkan langkah, berusaha menemui Maya.Selama berjalan di lorong lantai atas satu per satu kamar dia lewati. Aaradya juga melongokkan kepalanya ke bawah. Tapi, nihil. Maya pun tidak terlihat ada di sana.Ketika melintas terdapat satu ruangan terbuka yang menarik perhatian Aaradya. Apa jangan-jangan Maya sedang berada di ruangan ini? Demi mengobati rasa penasarannya Aaradya bersiap melangkah ke dalam."Sedang apa anda di sini, Nona?" Suara itu mengejutkan Aaradya kembali. Secepat kilat dia menoleh ke belakang. Untuk pertama kalinya wajah datar Mayalah yang membias di pupil mata gadis muda ini."A-aku membutuhkan bantuanmu, Nyonya. Shower di kamar rusak," jawab Aaradya agak terbata-bata."Sudah saya bilang jika butuh sesuatu gunakan telepon kabel di kamar. Anda tidak perlu keluar mencari saya."Aaradya memejamkan matanya sejenak. Dia merutuk kebodohannya. Astaga, bagaimana pula bisa dia lupa tentang telepon kabel."Anda bisa pakai kamar mandi di kamar tamu lain. Di sana shower-nya menyala. Dan saya harap anda tidak datang kemari lagi. Kalau butuh bantuan katakan saja lewat telepon," tukas Maya sembari mengunci pintu ruangan yang tadinya terbuka.Dave mencengkeram sloki berisi vodka miliknya kuat. Entah kenapa perasaan tidak senang itu memusat di kepalanya kala menyaksikan kemesraan di antara sepasang anak manusia yang tengah berdansa diiringi alunan merdu saksofon. Suasana yang harusnya terdengar romantis malah membuatnya menyunggingkan senyuman sinis. Iri? Tentu saja tidak! Hanya saja matanya sedikit perih disuguhi pemandangan menjijikan di depan sana. Keintiman mereka sungguh tidak layak dipertontonkan kepada siapa pun. Membuat seisi perutnya bergejolak mual. "Memalukan," cibir Dave tatkala kedua sejoli itu kembali berciuman di tengah gemerlapnya ruang dansa. Pemandangan pantai lepas yang kapal pesiar ini suguhkan tidak sedikit pun membuat Dave bisa menikmatinya. Terlebih saat penampakkan sepasang kekasih tidak tahu malu tersebut mengisi tujuh puluh persen retina matanya. Embusan angin laut pun seakan tidak mampu mendinginkan seisi kepala Dave yang terbakar. Daripada memandangi sepasang insan tidak tahu malu itu saling
Suasana laut yang tenang di malam hari jadi saksi bisu dimana Dave menyaksikan percobaan bunuh diri seseorang. Jelas dia shock bukan main. Terlebih tingkah aneh wanita tersebut membungkukkan badannya lebih lama tanpa beranjak sedikit pun. Semburan angin pun ikut menerbangkan helaian rambutnya. Dave melihat semua itu di tengah deru ombak yang menghantam bibir pantai. Kepanikan mulai menyelimuti pikirannya ketika sadar inilah waktu yang tepat bagi wanita asing tersebut melompat. Jelas tubuhnya akan hanyut dibawa arus pantai yang ganas sehingga tidak ada seorang pun sadar telah terjadi aksi bunuh diri di sini. "Aku harus mencegahnya. Dia pikir nyawa adalah mainan." Dave segera bergerak menuju bagian depan boat ini. Menghitung berapa lama lagi kapal yang dia tumpangi tiba di tepi pantai. Namun, sepertinya laju kapal ini terasa semakin melambat. Dave berdecak tidak sabaran. Percuma punya mesin bertenaga tinggi kalau untuk sampai ke pinggir pantai saja memakan waktu kurang lebih dua pul
"Apa kau mempermainkanku?" Garis pandang mereka saling bersinggungan. Tatapan sinis mulai Dave layangkan. "Menggantikan posisi calon suamimu? Jangan konyol! Kau pikir aku akan percaya ucapanmu?" Dave malah meledakkan sedikit tawa kecilnya, terkesan sekali meledek ucapan tidak masuk akal Aaradya barusan."Kenapa kau tidak mempercayaiku? Apa aku terlihat seperti pembohong di matamu?" tekan gadis bermantel katun ini frustasi. "Aku tidak akan mau bunuh diri hanya karena masalah sepele. Hidupku sudah terlalu hancur dan kau seenaknya bersikap seperti itu seolah-olah kaulah Tuhan yang tahu segalanya."Raut putus asa tergambar di wajah cantik Aaradya. Dia begitu tersakiti mendengar perkataan nyelekit dari bibir pria asing ini. Dave terdiam beberapa saat. Helaan napasnya berhembus pelan. "Sekarang ikut aku. Kalau yang kau katakan itu benar maka dengan senang hati aku bersedia menggantikan posisi calon suamimu," balas Dave menatap manik mata itu dalam seolah-olah yang dia katakan barusan buka
Selama dua puluh tiga tahun bernapas Aaradya tidak menyangka takdir secepat kilat mengubah kehidupannya. Itu pun setelah peristiwa konyol itu terjadi lalu dia sesali sampai detik ini. Niat hati ingin bunuh diri karena batal menikah, Aaradya malah dipertemukan dengan pria gila seperti Dave. Bagaimana tidak disebut gila bila pria asing yang baru dia kenal selama kurun waktu dua puluh empat jam tersebut tidak mengada-ngada hendak melamarnya. Apalagi sikapnya begitu berani di hadapan sang ayah. "Apa semua ini sudah cukup untuk meminang putrimu? Tenang saja di dalamnya terdapat beberapa emas batangan juga uang tunai."Sebuah peti besar bak berisi harta karun pun terlihat, menimbulkan tanda tanya besar di benak semua orang. Dave berdiri pongah di tempatnya. Kuluman senyum itu entah mengapa sangat tidak Alan sukai. Pria sialan ini terlalu menyombongkan hartanya yang tidak seberapa itu"Anggap saja semua ini adalah mahar," lanjut Dave masih terlihat tenang seakan-akan tidak terjadi apa-apa
"Sialan, dia curang!" Andreas mengumpat keras. Emosinya mulai naik ke ubun-ubun melihat kecurangan yang Alan lakukan. Jelas kakak Aaradya itu sengaja. Dia sama sekalo tidak membiarkan Dave memberikan perlawanan. Lebih parahnya, Alan malah menyerang titik kelemahan sahabatnya yang belum pulih tatkala menolong Aaradya tempo hari.Tanpa pikir panjang Andreas menyuruh anak buahnya mengeluarkan Dave dari pertarungan curang tersebut. Namun, baru lima langkah maju, anggota tubuh sang bos bergerak. Terlihat dari tangannya yang perlahan mengepal bersama kelopak mata yang mulai terbuka. Tanpa Andreas sadari, helaan napas Dave mulai teratur diikuti kekuatannya untuk berdiri.Alan yang terlalu gembira tidak menyadari situasi ini dan semua itu Dave manfaatkan untuk menyerang titik syaraf sang rival. Kurang dari enam puluh detik sahabatnya itu sukses menumbangkan sang lawan. "Kalahkan dia, Dave. Tunjukkan seberapa kuat dirimu," ucap Andreas mensugesti sahabat karibnya agar bangkit lalu memenangk
Tangan Aaradya begitu erat melingkar di lengan calon suaminya. Dengan didampingi ayahanda serta sang kakak, keduanya berjalan menuju altar pernikahan. Sesosok anak kecil yang merupakan keponakannya turut membawa sebuah baki bunga yang di dalamnya terdapat sekotak cincin berlian. Binar bahagia terpancar jelas di mata sang mempelai pria yang tidak lain dan tidak bukan adalah Dave Bachtra. Pun tatapan hangat yang terus dia layangkan ke semua orang mampu menambah keharuan prosesi sakral ini. Hari bahagia yang dia tunggu akhirnya tiba juga. Seumur hidup Dave tidak pernah berpikir akan berada di situasi seperti ini. "Tersenyumlah. Semua orang menatap ke arah kita," bisik Dave lembut di telinga Aaradya. "Bukankah ini yang kau inginkan?" lanjutnya bertanya bahkan senyum manis itu tidak pernah pudar sama sekali.Sementara Aaradya yang ditatap serta diminta demikian merasa gugup. Walau semula merasa janggal dengan rencana konyol pria di sebelahnya ini, tetap saja rona malu-malu itu terpatri
Hanya keheningan yang terdengar di kamar tiga kali tiga meter ini. Lilin yang menyala di sudut-sudut ruangan semakin membuat Aaradya gugup. Suasana kamar pengantinnya begitu romantis. Tapi, entah kenapa dia tidak tahan berada satu ruangan dengan Dave. Pria yang sudah sah menjadi suaminya. Tanpa memboyong sang istri ke hotel, Dave lebih memilih memanfaatkan kamar Aaradya sebelum gadis itu benar-benar akan meninggalkan rumah orangtuanya. "Tidurlah. Tidak perlu takut. Aku bukan pembunuh bayaran yang musuh ayahmu kirim," ucap Dave membuyarkan lamunan Aaradya. Entah mengapa gadis itu betah sekali tidak beranjak dari duduknya. Dia diam sesekali mengedarkan pandangan ke segala arah. Masuknya Dave ke kamar ini membuat Aaradya bagai orang bodoh padahal ini adalah tempatnya beristirahat selama bertahun-tahun."Aku akan tidur di sofa kalau kau khawatir terjadi sesuatu," kata Dave lagi mulai mengambil selimut cadangan dari lemari. Wajahnya yang penuh senyuman semakin membuat Aaradya merasa ane
Tangan Aaradya begitu erat melingkar di lengan calon suaminya. Dengan didampingi ayahanda serta sang kakak, keduanya berjalan menuju altar pernikahan. Sesosok anak kecil yang merupakan keponakannya turut membawa sebuah baki bunga yang di dalamnya terdapat sekotak cincin berlian. Binar bahagia terpancar jelas di mata sang mempelai pria yang tidak lain dan tidak bukan adalah Dave Bachtra. Pun tatapan hangat yang terus dia layangkan ke semua orang mampu menambah keharuan prosesi sakral ini. Hari bahagia yang dia tunggu akhirnya tiba juga. Seumur hidup Dave tidak pernah berpikir akan berada di situasi seperti ini. "Tersenyumlah. Semua orang menatap ke arah kita," bisik Dave lembut di telinga Aaradya. "Bukankah ini yang kau inginkan?" lanjutnya bertanya bahkan senyum manis itu tidak pernah pudar sama sekali.Sementara Aaradya yang ditatap serta diminta demikian merasa gugup. Walau semula merasa janggal dengan rencana konyol pria di sebelahnya ini, tetap saja rona malu-malu itu terpatri
"Sialan, dia curang!" Andreas mengumpat keras. Emosinya mulai naik ke ubun-ubun melihat kecurangan yang Alan lakukan. Jelas kakak Aaradya itu sengaja. Dia sama sekalo tidak membiarkan Dave memberikan perlawanan. Lebih parahnya, Alan malah menyerang titik kelemahan sahabatnya yang belum pulih tatkala menolong Aaradya tempo hari.Tanpa pikir panjang Andreas menyuruh anak buahnya mengeluarkan Dave dari pertarungan curang tersebut. Namun, baru lima langkah maju, anggota tubuh sang bos bergerak. Terlihat dari tangannya yang perlahan mengepal bersama kelopak mata yang mulai terbuka. Tanpa Andreas sadari, helaan napas Dave mulai teratur diikuti kekuatannya untuk berdiri.Alan yang terlalu gembira tidak menyadari situasi ini dan semua itu Dave manfaatkan untuk menyerang titik syaraf sang rival. Kurang dari enam puluh detik sahabatnya itu sukses menumbangkan sang lawan. "Kalahkan dia, Dave. Tunjukkan seberapa kuat dirimu," ucap Andreas mensugesti sahabat karibnya agar bangkit lalu memenangk
Selama dua puluh tiga tahun bernapas Aaradya tidak menyangka takdir secepat kilat mengubah kehidupannya. Itu pun setelah peristiwa konyol itu terjadi lalu dia sesali sampai detik ini. Niat hati ingin bunuh diri karena batal menikah, Aaradya malah dipertemukan dengan pria gila seperti Dave. Bagaimana tidak disebut gila bila pria asing yang baru dia kenal selama kurun waktu dua puluh empat jam tersebut tidak mengada-ngada hendak melamarnya. Apalagi sikapnya begitu berani di hadapan sang ayah. "Apa semua ini sudah cukup untuk meminang putrimu? Tenang saja di dalamnya terdapat beberapa emas batangan juga uang tunai."Sebuah peti besar bak berisi harta karun pun terlihat, menimbulkan tanda tanya besar di benak semua orang. Dave berdiri pongah di tempatnya. Kuluman senyum itu entah mengapa sangat tidak Alan sukai. Pria sialan ini terlalu menyombongkan hartanya yang tidak seberapa itu"Anggap saja semua ini adalah mahar," lanjut Dave masih terlihat tenang seakan-akan tidak terjadi apa-apa
"Apa kau mempermainkanku?" Garis pandang mereka saling bersinggungan. Tatapan sinis mulai Dave layangkan. "Menggantikan posisi calon suamimu? Jangan konyol! Kau pikir aku akan percaya ucapanmu?" Dave malah meledakkan sedikit tawa kecilnya, terkesan sekali meledek ucapan tidak masuk akal Aaradya barusan."Kenapa kau tidak mempercayaiku? Apa aku terlihat seperti pembohong di matamu?" tekan gadis bermantel katun ini frustasi. "Aku tidak akan mau bunuh diri hanya karena masalah sepele. Hidupku sudah terlalu hancur dan kau seenaknya bersikap seperti itu seolah-olah kaulah Tuhan yang tahu segalanya."Raut putus asa tergambar di wajah cantik Aaradya. Dia begitu tersakiti mendengar perkataan nyelekit dari bibir pria asing ini. Dave terdiam beberapa saat. Helaan napasnya berhembus pelan. "Sekarang ikut aku. Kalau yang kau katakan itu benar maka dengan senang hati aku bersedia menggantikan posisi calon suamimu," balas Dave menatap manik mata itu dalam seolah-olah yang dia katakan barusan buka
Suasana laut yang tenang di malam hari jadi saksi bisu dimana Dave menyaksikan percobaan bunuh diri seseorang. Jelas dia shock bukan main. Terlebih tingkah aneh wanita tersebut membungkukkan badannya lebih lama tanpa beranjak sedikit pun. Semburan angin pun ikut menerbangkan helaian rambutnya. Dave melihat semua itu di tengah deru ombak yang menghantam bibir pantai. Kepanikan mulai menyelimuti pikirannya ketika sadar inilah waktu yang tepat bagi wanita asing tersebut melompat. Jelas tubuhnya akan hanyut dibawa arus pantai yang ganas sehingga tidak ada seorang pun sadar telah terjadi aksi bunuh diri di sini. "Aku harus mencegahnya. Dia pikir nyawa adalah mainan." Dave segera bergerak menuju bagian depan boat ini. Menghitung berapa lama lagi kapal yang dia tumpangi tiba di tepi pantai. Namun, sepertinya laju kapal ini terasa semakin melambat. Dave berdecak tidak sabaran. Percuma punya mesin bertenaga tinggi kalau untuk sampai ke pinggir pantai saja memakan waktu kurang lebih dua pul
Dave mencengkeram sloki berisi vodka miliknya kuat. Entah kenapa perasaan tidak senang itu memusat di kepalanya kala menyaksikan kemesraan di antara sepasang anak manusia yang tengah berdansa diiringi alunan merdu saksofon. Suasana yang harusnya terdengar romantis malah membuatnya menyunggingkan senyuman sinis. Iri? Tentu saja tidak! Hanya saja matanya sedikit perih disuguhi pemandangan menjijikan di depan sana. Keintiman mereka sungguh tidak layak dipertontonkan kepada siapa pun. Membuat seisi perutnya bergejolak mual. "Memalukan," cibir Dave tatkala kedua sejoli itu kembali berciuman di tengah gemerlapnya ruang dansa. Pemandangan pantai lepas yang kapal pesiar ini suguhkan tidak sedikit pun membuat Dave bisa menikmatinya. Terlebih saat penampakkan sepasang kekasih tidak tahu malu tersebut mengisi tujuh puluh persen retina matanya. Embusan angin laut pun seakan tidak mampu mendinginkan seisi kepala Dave yang terbakar. Daripada memandangi sepasang insan tidak tahu malu itu saling