"Mas, hari ini sibuk nggak?" tanya Viona pada Damar. Damar yang sedang menonton televisi, atau tepatnya ditonton oleh televisi, langsung menoleh pada Viona. Damar memang menyalakan televisi, tapi matanya terpaku pada layar ponsel.
"Memangnya kenapa?" tanya Damar.
"Mumpung hari libur, temani aku belanja bulanan ya?" pinta Viona.
"Lho memangnya sudah habis?"
"Tinggal dikit, Mas, kan sudah hampir satu bulan," kata Viona lagi.
"Pergi sendiri, bisa kan? Aku lagi ada kerjaan. Nanti kalau belanja yang banyak sekalian, jadi awet," jawab Damar.
"Biar lebih awet lagi, belanja terus nggak usah digunakan, disimpan saja untuk pajangan. Pasti awet," kata Viona dalam hati.
"Oh, ya sudah." Viona pun berjalan menuju ke kamar, kemudian berganti pakaian. Sebenarnya hatinya sangat kecewa, ia berharap Damar mau menemaninya. Sekalian quality time bersama suaminya, siapa tahu hubungan mereka menjadi hangat. Tapi selalu alasan pekerjaan yang ia kemukakan.
"Hari libur kok masih ngurusin kerjaan. Bilang saja nggak mau menemani aku." Viona hanya menggerundel saja.
Viona keluar dari kamar, dan melihat Damar masih asyik dengan ponselnya.
"Mas, aku pergi dulu," pamit Viona.
"Ya," jawab Damar tanpa menoleh sedikitpun.
Viona hanya bisa menarik nafas panjang, ada kekecewaan di hatinya. Kemudian ia keluar dari rumah dengan mengendarai motornya. Tujuannya hanya belanja di minimarket. Tapi di perjalanan ia berpikir, kalau hanya belanja di minimarket, pasti cepat selesai. Terus nanti di rumah ngapain? Di rumah dicuekin terus.
"Lebih baik aku ke mall saja, refreshing. Sekalian belanja di sana saja," kata Viona dalam hati.
Viona melajukan motornya ke arah mall, jalanan masih agak lengang karena memang masih pagi. Sampai di mall, juga masih belum terlalu ramai. Masih leluasa untuk memilih barang.
Viona menuju ke gerai pakaian. Ia ingin membeli pakaian, kebetulan kemarin habis gajian. Setelah memilih pakaian, akhirnya dapat satu. Kemudian ia antri ke kasir. Selanjutnya Viona hanya berkeliling mall saja.
Viona melangkah ke lantai bawah, untuk berbelanja bulanan di Hypermart. Terakhir ia berbelanja, masih ditemani suaminya. Saat itu Damar tampak perhatian dengannya, membuat Viona merasa menjadi istri yang bahagia. Viona pun yakin jika rumah tangganya nanti akan selalu bahagia. Tapi ternyata semua hanya mimpi.
"Ah, ngapain mikirin dia? Membuat bad mood saja," kata Viona dalam hati. Ia melanjutkan memilih barang-barang. Cukup lama berkeliling, melihat pernak-pernik peralatan dapur. Kemudian ia memilih buah dan menimbangnya. Setelah keranjang belanja penuh, ia segera menuju ke kasir.
Sampai dirumah, mobil Damar masih ada. Berarti ia tidak pergi. Setelah memasukkan motor, Viona segera meletakkan barang belanjaan diatas meja dapur. Ia mau berganti pakaian dulu, baru membereskan belanjaan.
"Kok lama pulangnya? Kemana saja?" tanya Damar yang baru keluar dari kamarnya.
"Aku kan belanja, tadi sudah pamit sama Mas." Viona menjawab pertanyaan Damar.
"Itu kok ada kantong mall, kamu ke mall ya?" selidik Damar.
"Iya, Mas. Belanja sekalian refreshing."
"Biasanya kamu belanja bulanan nggak ke mall, tumben hari ini ke mall."
"Tadinya aku mau ke minimarket saja, tapi setelah aku pikir-pikir, lebih baik ke mall. Kalau ke minimarket kan hanya sebentar saja. Nanti di rumah juga ngapain. Makanya ke mall untuk refreshing."
"Memangnya kamu di rumah stress ya, kok perlu refreshing juga." Damar mencecarnya dengan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dipertanyakan.
"Sekali-kali kan nggak apa-apa, Mas."
"Tapi kamu bohong sama aku? Katanya ke minimarket malah ke mall."
"Aku minta maaf." Viona mengalah, ia tidak mau berdebat. Takut nanti akan keluar kata-kata yang menyakitkan.
Viona pun melangkah masuk ke kamar.
"Mau kemana kamu?" seru Damar.
"Ke kamar, Mas. Ganti pakaian. Apa Mas mau lihat?" ledek Viona.
"Kayak kurang kerjaan saja," gumam Damar.
Viona tersenyum mendengar jawaban dari Damar. Ia segera masuk ke kamar dengan membawa kantong belanja tadi yang berisi pakaian. Selanjutnya berganti pakaian dan kemudian keluar kamar lagi. Ia melangkah ke dapur untuk membereskan belanjaannya.
"Kamu ke mall sama siapa?" tanya Damar, ternyata Damar masih ada di ruang keluarga.
"Sendirian." Viona menjawab dengan singkat.
"Nggak sama teman atau siapa, gitu?" selidik Damar.
Viona mengernyitkan dahinya.
"Mas kenapa sih, kok nanyanya seperti itu? Aku hanya sendirian, tadi Mas diajak nggak mau." Viona mulai kesal, seperti diinterogasi.
"Aku ada banyak kerjaan," kilah Damar.
"Ya sudah, lagipula tadi Mas ngizinin aku pergi. Kok ribet amat sih Mas," kata Viona dengan emosi.
"Ribet katamu? Kamu itu sudah berbohong sama aku." Damar juga kesal.
"Aku kan sudah jujur, tapi Mas sepertinya nggak percaya sama aku, suudzon saja. Kalau memang Mas curiga aku pergi dengan orang lain, seharusnya Mas nggak ngizinin aku pergi. Atau Mas yang menemani aku pergi jadi nggak cemburu kayak gini."
"Siapa juga yang cemburu sama kamu." Damar memalingkan wajahnya.
"Kalau nggak cemburu, ngapain Mas mengintrogasi aku seperti itu? Bilang cemburu saja kok gengsi, Mas."
"Aku nggak cemburu." Damar mulai merah mukanya.
Viona tersenyum melihat ekspresi Damar.
"Cemburu juga nggak apa-apa kok, Mas. Manusiawi," ledek Viona.
Damar tampak kesal karena diledek Viona.
"Kamu itu istriku, aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu padamu," kilah Damar.
Viona sudah selesai menyusun belanjaan. Kemudian ia berjalan mendekati Damar.
"Mas, aku memang istrimu. Tapi perlakuan Mas padaku nggak menunjukkan kalau Mas punya istri dan peduli dengan istrinya."
"Apa maksudmu?" tanya Damar dengan gelagapan.
"Aku disini hanya sebagai pajangan, bukan istri. Istilah lainnya istri diatas kertas, sekedar status saja. Boro-boro diajak jalan atau menemani belanja. Di rumah saja aku nggak pernah dianggap." Viona berkata sambil menatap Damar.
"Aku kan pernah bilang, kita saling mengenal satu sama lain dulu. Nanti seiring berjalannya waktu, kita akan semakin dekat." Damar berusaha menjelaskan.
"O ya? Mengenal satu sama lain? Mas terlalu sibuk dengan diri Mas sendiri. Aku merasakan indahnya pernikahan nggak sampai satu Minggu. Semakin kesini, Mas semakin cuek dan tidak peduli. Ditanya sedikit, jawabannya panjang lebar, nyelekit lagi. Bagaimana mau mengenal kalau Mas sendiri menjauh. Mas itu bukan mencoba membuka hati untukku, tapi sengaja menutup pintu hati Mas untukku."
Damar terdiam, mencoba mencerna apa yang diucapkan oleh Viona. Viona pun masuk ke dalam kamar, meninggalkan Damar yang masih terbengong-bengong mendengarkan kata-kata Viona. Di dalam kamar, Viona masih tampak kesal. Ia pun membaringkan tubuhnya. Ia tersadar kalau tasnya masih ada di meja makan. Ia pun keluar lagi. Damar sudah tidak ada disana. Segera ia mengambil tasnya yang berisi dompet dan ponsel.
Ceklek! Pintu kamar Damar terbuka. Tampak ia sudah berpakaian rapi seperti mau pergi. Viona cuek saja, ia segera membuka pintu kamarnya.
"Vio," panggil Damar. Viona menghentikan langkah kakinya.
"Aku mau pergi," kata Damar.
"Ya," jawab Viona kemudian masuk ke kamarnya.
"Vio!" panggil Damar.
"Ya Mas? Ada apa?" tanya Viona sambil membalikkan badannya.
"Aku mau pergi."
"Iya, silahkan."
"Kamu nggak nanya kemana aku mau pergi?" tanya Damar.
Viona menggelengkan kepalanya.
"Kalau aku pergi dengan perempuan lain, gimana?" goda Damar.
"Terserah, itu urusan Mas. Mas sendiri yang bilang sama aku, kalau aku tidak boleh mengekang, Mas. Mas mau pergi kemana, sama siapa, terserah."
"Kamu nggak peduli sama aku?"
"Memangnya Mas peduli sama aku, sama perasaanku? Enggak kan? Buat apa aku peduli, kalau kepedulianku nggak dihargai, malah bikin kecewa dan sakit hati." Viona melanjutkan langkah kakinya.
Damar menarik tangan Viona, mau tidak mau tubuh Viona pun mendekat ke arah Damar dan jatuh dalam pelukan Damar. Damar memeluk pinggang Viona.
"Aku mau mengajakmu keluar." Damar berkata sambil menatap Viona.
Viona menggelengkan kepala.
"Kenapa?" tanya Damar.
"Mas terpaksa kan mengajakku keluar? Berarti Mas nggak ikhlas. Lagipula aku sedang bad mood malas mau keluar lagi."
"Aku tahu cara untuk menaikan mood. Kamu butuh mood booster." Damar berkata sambil tersenyum simpul. Viona keheranan menatap senyuman Damar.
Damar segera mencium bibir Viona, Viona kaget, ia tidak siap dengan tindakan Damar.
"Mau lagi?" tanya Damar.
Belum sempat Viona menjawab, Damar mencium bibir Viona dengan lembut, menggigit bibir bawah Viona. Mau tidak mau mulut Viona pun terbuka. Damar langsung melumat bibir Viona. Akhirnya Viona mengimbangi permainan Damar.
Pulang dari kantor, Viona mampir ke sebuah rumah makan. Hari ini, ia terlalu lelah untuk memasak, akhirnya ia membeli makanan matang. Ketika sedang memesan makanan, ia melihat ada mobil Damar disana. Ia hafal betul dengan mobil Damar. "Dengan siapa ya ia kesini?" kata Viona dalam hati. "Sudah, Mbak," kata pegawai rumah makan sambil menyerahkan bungkusan berisi makanan.Viona tampak kaget."Eh, iya," kata Viona sambil menyerahkan uang. Kemudian Viona bersiap untuk pulang. Dari kejauhan, ia melihat Damar sedang makan berdua dengan seorang perempuan. Mereka tampak sangat akrab. Viona tampak lemas, melihat suaminya makan berdua dengan perempuan lain. Ia pun keluar dari rumah makan itu, kemudian menghentikan motornya tidak jauh dari rumah makan. Ia mencari posisi yang tepat, agar ia bisa melihat Damar.Sambil menunggu Damar, ia mengeluarkan ponselnya, siapa tahu nanti ada kegunaannya. Pengintaian Viona tidak sia-sia, tak berapa lama Damar keluar bersama perempuan itu. Mereka bergandenga
Pagi hari Viona menghangatkan makanan yang ia beli kemarin untuk sarapan pagi ini. Sepertinya makanan itu tidak tersentuh. Tadi malam ia tidak sempat makan, ketiduran menunggu Damar pulang. Teringat tadi malam, Viona senyum-senyum sendiri. Ia berharap yang tadi malam itu berlanjut, ternyata tamunya nggak pulang-pulang."Sarapan, Mas," kata Viona ketika melihat suaminya sudah rapi dengan pakaian kerjanya.Damar pun duduk di kursi makan."Maaf, ini makanan tadi malam yang aku hangatkan lagi. Sayang kalau nggak dimakan. Atau Mas ingin sarapan yang lain?" tanya Viona."Nggak usah, ini saja." Damar pun sarapan apa yang disediakan Viona. Mereka berdua menikmati sarapan. Selesai sarapan, Viona membereskan meja makan. Mereka pun bersiap untuk berangkat."Kamu nggak mau ganti motor? Yang terbaru," kata Damar."Nggak usah, Mas. Ini juga masih bisa dipakai kok.""Atau mau beli mobil?" tanya Damar.Viona menggelengkan kepala."Kenapa?" Damar heran, ada perempuan yang tidak mau dibelikan mobil."
Hubungan Damar dan Viona naik turun. Kadang-kadang Damar baik dan menunjukkan perhatiannya. Seolah-olah ia adalah suami yang baik. Tapi terkadang juga Damar cuek bahkan cenderung pemarah. Viona manis berusaha untuk bersabar.Tapi Viona tetap bertekad untuk meluluhkan hati Damar. Ia tidak mau berpisah dengan Damar. Bagi Viona pernikahan itu sangat sakral karena itu ia akan berusaha untuk mempertahankan pernikahan ini. Kecuali nanti kalau ia"Mas, baru pulang, ya? Apa banyak kerjaan?" tanya Viona menyambut kepulangan suaminya dari kerja."Kamu nggak lihat apa, kalau aku baru pulang. Pakai nanya segala," jawab Damar dengan ketus. Viona hanya terdiam, kemudian ia membuatkan kopi untuk suaminya. Ia berusaha untuk tidak menyerah menaklukkan hati suaminya.Damar segera masuk ke kamar dan bersiap untuk mandi. Tak berapa lama Damar sudah selesai mandi dan menuju ke ruang keluarga. "Ini Mas kopinya," tawar Viona."Hmm." Hanya itu jawaban dari Damar, tapi matanya masih terpaku pada layar ponsel
Damar dan Viona akan menghadiri acara pernikahan teman Damar. Viona masih berada di dalam kamar, ia sedang berdandan. Selesai berdandan, Viona keluar dari kamar. Tampak Damar masih asyik bermain ponsel."Ayo, berangkat, Mas," ajak Viona. Damar terpaku menatap Viona yang tampak lain dari biasanya."Kenapa? Nggak suka dengan dandananku ya? Kalau nggak suka, aku akan ganti," kata Viona."Nggak apa-apa," jawab Damar. "Komentar saja, jangan bikin aku penasaran.""Cantik." Singkat, padat dan jelas jawaban yang diucapkan Damar. Viona hanya tersenyum. Ia tahu yang dikatakan Damar itu hanya untuk menyenangkan hatinya saja. Akhirnya mereka berangkat ke pesta yang dilaksanakan pada malam hari, di sebuah gedung.Memasuki gedung, suasana sudah tampak meriah. Berbagai dekorasi indah mewarnai lokasi. "Hai, Bro," sapa Irfan, temannya Damar."Halo juga, kenalin. Ini Viona, istriku," kata Damar."Viona." Viona mengulurkan tangannya."Irfan, ini istriku, Kiara."Viona dan Kiara tampak bersalaman."S
Azan subuh berkumandang, Viona segera beranjak dari tempat tidur untuk melaksanakan salat subuh. Kemudian ia bergegas menuju ke dapur untuk membuat sarapan. Setelah beres ia pun bersiap-siap untuk berangkat ke kantor."Mas, sarapan dulu," kata Viona ketika melihat Damar sudah bersiap-siap mau berangkat ke kantor."Nggak usah. Aku sarapan di kantor saja." Damar pun bergegas berangkat ke kantor. Viona hanya mengelus dada saja mendengar ucapan Damar. Ia segera memasukkan makanan yang tadi ia buat ke dalam tempat makan. Nanti akan dibagikan untuk teman-temannya. Setelah semuanya beres, akhirnya Viona pun berangkat kerja. Ia berangkat menggunakan motor yang ia beli dengan hasil keringatnya sendiri. Ketika melewati sebuah tempat sarapan yang cukup ramai, ia melihat mobil Damar ada disitu. Sebenarnya ia tidak berniat untuk mampir. Tapi hati kecilnya ingin mampir, ingin melihat reaksi Damar. Akhirnya ia pun memutuskan untuk mampir dan membeli jajanan."Bismillah," ucap Viona dengan pelan. I
"Apa maksud kamu mendatangi Vio? Aku kan bilang, sabar dulu. Aku masih memikirkan rencana." Damar benar-benar marah pada Mila. Ia takut jika Viona mengadukan semua ini pada orang tuanya. Pasti akan terjadi perang.Mereka bertemu di parkir kantor mereka, Damar sengaja menunggu kedatangan Mila. Mila yang tampak mengenakan pakaian yang cukup ketat dan memperlihatkan lekuk tubuhnya itu, hanya tersenyum sinis pada Damar. Dengan lipstik yang merah merekah, ia pun mulai berbicara."Aku hanya ingin melihat istrimu itu seperti apa. Ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku. Pantas saja kamu tidak tertarik dengannya. Dia itu tidak pantas bersanding denganmu," cibir Mila.Damar mengusap kasar wajahnya, ia benar-benar tidak habis pikir dengan cara berpikir Mila. "Kamu tahu akibatnya jika ia mengadu pada orang tuaku? Pasti kamu yang akan disalahkan." Damar berdecak kesal, akhirnya ia meninggalkan Mila dan berjalan menuju ke ruangannya."Hai Bro, kok wajahmu kusut? Nggak dikasih jatah sa
Ceklek! Terdengar suara pintu dibuka."Damar, kamu sengaja menghindariku ya? Kenapa? Apa salahku?" tanya Mila pada Damar. Tanpa basa basi langsung nyerocos.Damar yang ada di ruangan bersama dengan Irfan kaget mendengar ucapan Mila. Irfan pura-pura tidak tahu, ia menyibukkan diri dengan pekerjaannya."Aku banyak kerjaan," kata Damar, kemudian ia mengalihkan matanya pada berkas-berkas yang ada di mejanya."Dari tadi malam aku telpon kamu nggak diangkat. Apa malam hari juga banyak kerjaan?" selidik Mila."Iya," jawab Damar."Bohong! Tadi malam kamu malah ke mall dengan perempuan udik itu kan?" tanya Mila."Iya. Apa aku salah kalau aku pergi dengan istriku?" Damar balik bertanya pada Mila. Mila yang tidak siap dengan pertanyaan Damar langsung gelagapan."Enggak salah, sih. Tapi kamu seharian nyuekin aku. Aku sedih," kata Mila dengan nada merajuk."Kembali ke ruanganmu, nggak enak kalau ada yang melihat." Damar mengusir Mila."Itu Irfan melihat," kata Mila sambil melirik Irfan.Irfan yang
Viona sedang memasak untuk makan malam. Ia menyiapkannya dengan senang hati dan penuh cinta. Ia merasakan sudah menjadi istri seutuhnya. Selesai memasak ia pun mandi. Menjelang magrib, Damar belum juga pulang. Ia mulai gelisah menantikan kedatangan Damar. Azan magrib berkumandang, Viona melaksanakan salat magrib. Tak lupa mendoakan suaminya semoga baik-baik saja.Berkali-kali Viona menatap jam di dinding dan di ponselnya. Perasaannya menjadi tak menentu. Penantian Viona sepertinya sia-sia. Ia melihat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Akhirnya ia menyerah dengan penantiannya. Makanan yang sudah siap di meja makan, ia tutup dengan tudung saji. Ia pun melangkah menuju ke kamarnya.Hatinya sangat kecewa. Ia sudah bersemangat memasak untuk Damar, tapi Damar tidak memberi kabar sama sekali. Beberapa pesan Viona hanya centang satu. Tak terasa air matanya menetes di pipi. "Aku memang bodoh, mengharapkan orang yang tidak peduli denganku," kata Viona dalam hati.Jam sepuluh malam, D
"Eh malah asyik pacaran disini, sampai-sampai lupa sama anaknya sendiri." Mama Laras berkata sambil tersenyum menggoda Damar dan Viona."Mama?" Viona tersipu malu."Apa sih yang kalian bicarakan? Masa depan?" tanya Adel dengan penasaran."Nggak ada apa-apa kok, Mbak. Hanya membuatkan kopi lagi untuk Mas Damar. Soalnya kopi yang aku buat tadi sudah dingin karena Mas Damar ketiduran." Viona menjelaskan. Damar hanya tersenyum."Ayo kita kesana saja, nggak enak ngobrol di dapur," ajak Viona. Mereka pun menuju ke ruang keluarga."Mumpung ada kalian berdua disini. Apakah ada kemungkinan kalian untuk rujuk? Ingat lho, ada Arka yang membutuhkan kalian berdua." Mama Laras mulai berbicara."Sepertinya memang kita yang harus bergerak, Ma. Kalau menunggu mereka berdua, kelamaan. Terus terang kami sangat menginginkan rujuknya kalian berdua. Apalagi ada pengikat di antara kalian yaitu Arka." Tanpa basa basi, Adel langsung bertanya pada Viona. Viona menjadi salah tingkah. "Ini kesempatanku untuk m
"Arka, Arka," gumam Viona. Damar bingung harus berbuat apa."Arka, Arka." Viona mengigau lagi. Damar memegang dahi Viona, ternyata Viona demam.Damar mencari-cari tas Viona. Biasanya Viona selalu membawa obat-obatan di tasnya. Tas Viona ada di bawah tempat tidur Arka. Dengan perlahan ia membuka tas tersebut. Ternyata benar, di dalam tas Viona ada beberapa obat, seperti Paracetamol juga asam mefenamat.Setelah mengambil Paracetamol dan air mineral, Damar pun mengambil mendekati Viona lagi. "Viona," panggil Damar dengan pelan. Perlahan Viona membuka matanya."Mas, jangan ambil Arka dariku. Aku janji akan merawat dia dengan baik." Tiba-tiba Viona langsung berkata seperti itu sambil menangis. Damar hanya bisa bengong mendengar ucapan Viona.*Aku mohon, Mas." Tangis Viona semakin menjadi-jadi."Vio, tidak ada yang mau mengambil Arka darimu. Aku juga tidak, aku percaya kalau kamu merawat Arka dengan baik." Damar berusaha meyakinkan Viona."Tapi tadi Mas memaksaku menyerahkan Arka." Viona m
"Arka kenapa?" Viona mengelus-elus kepala Arka. Arka masih saja menangis."Arka kenapa, Nak? Bilang sama Bunda, apa yang Arka inginkan?" Suara Viona bergetar, menahan sesak di dada. Sebenarnya ia ingin menangis, tapi tetap berusaha untuk tidak menangis. Jangan sampai menangis di depan Arka."Tangan sakit." Suara Arka sangat lemah. Viona melihat ke tangan Arka, tampak agak membengkak. Viona sangat kaget, kemudian ia melihat ke arah botol infus dan mengamatinya. Ternyata infusnya tidak menetes, Viona menjadi semakin ketakutan. Ia segera memencet bel.Tak lama kemudian masuklah seorang perawat."Ada yang bisa dibantu, Bu?" Perawat itu bertanya dengan sopan."Infusnya kok nggak menetes ya?" tanya Viona. Perawat itu segera memeriksa botol infus dan saluran infus yang menempel ke tangan Arka."Apa adik ini banyak bergerak, Bu?""Enggak, tadi habis saya gendong ke kamar mandi karena mau buang air kecil."Perawat itu tersenyum."Lihatlah tangan adik ini, mungkin tadi waktu bergerak jarumnya
"Arka sangat dekat dengan ayahnya, apa nggak sebaiknya kalian rujuk saja. Kalau misalnya Damar mengajakmu rujuk, apa kamu mau?" Deg! Jantung Viona berdebar-debar. Pipinya merona tersipu malu."Nggak tahu, Mbak. Lagipula nggak mungkin Mas Damar mengajakku rujuk. Dia kan sudah mau menikah?" sahut Viona, ia pun menyibukkan diri dengan kegiatan menggoreng nugget tadi. Malu kalau sampai ketahuan ia merona.Viona memang masih mencintai Damar, walaupun ia tahu kalau Damar tidak mencintainya. Susah untuk menghilangkan rasa itu, tapi untuk berharap kembali bersama, sepertinya jauh panggang dari api."Siapa bilang? Hubungan Damar dan Jihan sudah selesai.""Bukankah mereka sudah tunangan?" tanya Viona untuk meyakinkan berita itu."Iya, tapi nyatanya nggak bisa dilanjutkan lagi.""Kasihan Mas Damar, pasti sangat kecewa berpisah dengan orang yang dicintainya." Ada rasa perih di hati ketika mengucapkan itu."Kamu tahu, mereka putus gara-gara kamu." Ucapan Adel tak khayal membuat Viona tampak sanga
Semua menjadi panik karena tidak menemukan sosok Arka. Mereka tadi asyik membahas tentang ide rujuknya Damar dan Viona. Damar beranjak dari duduknya dan berjalan ke depan, takutnya Arka keluar. Mama Laras mencari ke dapur, siapa tahu Arkq sedang bermain bersama Lina. Tapi ternyata Lina tidak ada. Mama Laras pun menuju ke ruang keluarga, tempat mereka berkumpul dan bermain bersama Arka tadi."Ketemu nggak?" tanya Damar dengan panik. Tentu saja ia sangat panik melihat Arka menghilang dari pandangan mereka berempat.Semua menggelengkan kepalanya masing-masing. "Papa, bagaimana ini? Aku nggak tahu harus ngomong apa sama Viona." Damar sangat kebingungan. "Tenang, pasti Arka ketemu." Pak Yuda berusaha menenangkan Damar."Lina, kamu melihat Arka?" tanya Damar ketika melihat Lina berjalan menuju ke arah mereka"Arka? Ada kok." Lina menjawab dengan tenang tampak santai."Dimana?" tanya Damar, wajahnya langsung ceria."Saya bawa ke kamar Mas Damar. Arka sedang tidur.""Kok bisa?" Damar masih
"Ayah!" Terdengar teriakan bahagia dari seorang anak kecil yang bernama Arka. Tampak Viona berdiri di samping Arka. Arka langsung memeluk ayahnya, kemudian menarik tangan ayahnya untuk masuk ke dalam.Damar tampak ragu, ia pun melirik ke arah Viona. Viona mengangguk kecil, menandakan kalau ia menyetujui tindakan Arka. Damar dan Arka masuk ke dalam, disusul Viona yang selesai menutup pintu. Dari saat mengetuk pintu tadi sampai sekarang, jantung Damar masih berdetak dengan kencang, ia tampak canggung berhadapan dengan Viona. "Maafkan aku, Mas. Seharusnya aku tidak merepotkan Mas pagi-pagi seperti ini," kata Viona dengan pelan ketika mereka bertiga duduk di sofa."Nggak apa-apa. Aku akan selalu melakukan apapun permintaan Arka. Ini aku bawakan sarapan untukmu." Damar menyerahkan bungkusan yang tadi ia bawa. Ia masih berusaha untuk menetralisir suasana hatinya. Entah kenapa, melihat Viona hari ini membuat Damar merasa sangat bahagia. Mungkin karena ia diizinkan mengajak Arka jalan-jalan.
"Ayah nanti pulang kelja bobok sama Alka ya?" kata Arka dengan penuh harap. Suara cadelnya membuat yang mendengarkan menjadi gemas. Tak khayal, ucapan Arak membuat Damar dan Viona tampak sangat kaget. Mereka tidak menyangka jika Arka akan berkata seperti itu."Iya, sayang. Sekarang Arka sama Bunda dulu ya?" bujuk Damar. Arka mengangguk, kemudian memeluk ayahnya. "Ayo Nak, kita pulang," ajak Mama Laras. Arka pun jalan bersama bunda dan omanya. Dengan berat hati, Arka mengikuti Oma dan bundanya. Ia pun melambaikan tangan pada ayahnya.Dama tampak terharu dengan perlakuan Arka kepadanya. Ia tidak menyangka jika Arka sangat dekat dengannya. Padahal selama ini ia tidak mendampingi keseharian Arka. Mungkin inilah yang namanya ikatan batin antara anak dan ayah. Walau terpisah, tapi tetap merasa dekat."Bundamu hebat, Nak. Tidak mengajarimu untuk membenci Ayah," kata Damar dalam hati."Ayo ke kantor lagi! Suara Irfan membuyarkan lamunan Damar. Damar dan Irfan berjalan menuju ke tempat parkir
"Boleh saya bertemu dengan Jihan?" pinta Damar."Untuk apa?" Mega masih saja menanggapi dengan ketus. Ia belum bisa menerima kalau hubungan Jihan dan Damar selesai. Ia masih membayangkan bagaimana komentar saudara, teman dan tetangga tentang putusnya hubungan Damar dan Jihan. Mereka pasti akan mencibir dan membicarakannya, bakal jadi trending topik di komplek ini. Mega mengkea nafas panjang."Ingin berbicara sebentar, Bu.""Saya rasa nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semua sudah selesai. Silahkan pulang." Mega mengusir Damar."Bu, Damar kesini sebagai tamu, tidak baik seperti itu. Apa salahnya kalau ia bertemu dengan Jihan sebentar saja." Dedi berusaha menenangkan istrinya."Tamu tapi membuat tuan rumah sakit hati. Aku nggak mau melihat Jihan bersedih lagi. Silahkan pergi sebelum saya berteriak." Mega tetap bersikeras."Sebentar saja, Bu." Damar masih memohon pada Mega."Pergi! Pergi!" Mega berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah Damar."Maaf, Pak. Saya permisi pulang," pamit Dama
"Viona." Mama Laras menutup mulutnya, ia seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Iya, Ma. Ini Viona." Viona mendekati Mama Laras kemudian mencium tangan dan memeluknya.Mama Laras meneteskan air mata karena terharu melihat siapa yang datang. "Mama jangan nangis," kata Viona ketika melepaskan pelukannya."Mama bahagia melihat kamu datang." Mama Laras segera menghapus air matanya."Arka, kasih salam sama Oma." Viona berkat pada Arka."Ini Oma, Sayang. Sudah lupa, ya?" Mama Laras menggendong Arka. Arka hanya terdiam, ia masih bingung dengan situasi ini."Arka sudah besar ya, sudah berat." Mama Laras mencium Arka."Ayo ke dalam," ajak Mama Laras pada Viona."Iya, Ma."Viona mengikuti langkah kaki Mama Laras menuju ke ruang keluarga."Opa, lihat siapa yang datang," kata Maam Laras pada suaminya yang sedang asyik menonton berita di televisi. Pak Yuda menoleh ke arah istrinya."Viona? Arka." Pak Yuda tak kalah terkejutnya dengan kehadiran Viona dan Arka. Viona segera mendekati Pak