Viona sibuk di dapur untuk membuatkan sarapan suaminya. Setelah azan subuh ia sudah sibuk mengurus rumah mereka.
"Kopinya, Mas," kata Viona ketika melihat Damar keluar dari kamarnya.
"O iya, terima kasih." Damar berjalan menuju ke meja makan. Ia mengambil kopi itu dan membawanya ke ruang keluarga. Viona mengikuti Damar sambil membawa kue yang kemarin dibawakan oleh ibunya. Untuk oleh-oleh.
"Ayo duduk sini sekalian," ajak Damar.
"Sebentar, Mas, aku ambil minumanku dulu," kata Viona sambil berjalan menuju dapur.
"Gimana tidurnya? Nyenyak?" tanya Damar ketika Viona sudah duduk di dekatnya.
"Alhamdulillah, Mas."
"Masih teringat mantan?" tanya Damar sambil menatap Viona.
Viona kaget mendengar pertanyaan Damar. Ia pun berusaha untuk tersenyum.
"Kita sama, sama-sama dikhianati. Aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Marcia, kekasihku menikah dengan orang lain. Orang yang menghamilinya."
Viona menatap Damar, terlihat sorot mata yang sedih. Sedih yang dapat ia rasakan karena memang mereka berdua sama. Sama-sama dikhianati.
"Nggak usah mengasihaniku, kalau dirimu saja juga butuh dikasihani," kata Damar sambil tertawa.
Viona pun ikut tertawa.
"Aku nggak bisa menjanjikanmu apa-apa, tapi aku akan berusaha menjagamu dengan sepenuh hatiku." Damar berkata sambil menatap Viona.
"Terima kasih, Mas."
"Jam berapa kita akan ke kostmu?" tanya Damar.
"Jam delapan saja ya? Enak pagi. Lagipula barangku nggak banyak kok."
"Oke."
***
Damar melihat sekeliling kamar kost Viona, ia tampak heran dengan kondisi kamar kost istrinya.
"Kenapa, Mas?" tanya Viona.
"Kamar kostmu tampak sederhana sekali."
"Sesuai dengan dana yang kumiliki, Mas." Viona berkata sambil tersenyum.
"Kenapa nggak minta uang sama orang tuamu, kamu kan anak tunggal, pasti diberi, minta berapapun," kata Damar dengan penuh keheranan.
"Aku tidak mau merepotkan mereka. Aku yang memutuskan untuk pergi dari rumah, jadi aku harus bertanggung jawab atas diriku sendiri." Viona menjawab sibuk tersenyum.
"Kamu termasuk nekat ya? Keluar dari rumah hanya karena patah hati," kekeh Damar. Viona ikut tertawa.
"Sesama orang yang patah hati tidak boleh saling meledek," ucap Viona sambil menyusun barang-barang yang mau dibawa. Sebelum pulang kemarin, ia sudah mengepak barang, jadi sekarang hanya tinggal sisanya.
Damar terkekeh mendengar kata-kata Viona.
"Sudah selesai, Mas," kata Viona.
"Hanya segini barangnya?" tanya Damar dengan heran.
"Iya, Mas. Aku kan baru enam bulan disini, belum sempat beli apa-apa. Lagipula ngapain beli barang banyak, repot kalau mau pindahan," jawab Viona.
Damar pun memasukkan barang-barang ke dalam mobil.
"Mas, pulangnya naik mobil, aku naik motor," kata Viona.
"Memangnya kamu ada motor?" Damar celingukan mencari motor yg dimaksud oleh Viona.
"Ada dong. Hasil dari keringatku sendiri. Motor seken, sih." Viona menunjukkan motornya.
Damar pun melihat motor yang ditunjuk oleh Viona. Kemudian ia mengeluarkan ponselnya dan tampak menelpon seseorang. Terdengar Damar menyebutkan alamat kost Viona.
"Kenapa Mas?" tanya Viona.
"Kita pulang naik mobil. Biar Joni yang bawa motor," sahut Damar.
Tak lama kemudian datang seseorang yang naik ojek.
"Pak Damar," sapa laki-laki itu.
"Eh Joni! Kenalkan, ini istriku, Viona." Damar memperkenalkan Viona, Viona pun tersenyum.
"Saya Joni, Bu," kata Joni.
"Viona," ucap Viona.
"Jon, bawa motor ini ke rumahku ya? Kalau aku belum pulang, taruh saja di depan rumah, terus kuncinya dilemparkan lewat jendela yang terbuka." Damar memberikan arahan pada orang yg dipanggil Jon tadi.
"Iya, Pak." Jon menerima kunci yang diberikan oleh Viona.
Setelah berpamitan pada penghuni kost, mereka pun pulang. Mampir ke rumah makan untuk makan siang.
"Halo Damar?" sapa seorang perempuan cantik.
"Eh, halo Monica," jawab Damar.
"Kayaknya sudah move on nih," kata Monica sambil melirik ke arah Viona. Viona pun tersenyum.
"Alhamdulillah. Oya kenalin, ini istriku, Viona." Damar memperkenalkan Viona.
"Viona."
"Monica."
"Sudah lama menikahnya?" tanya Monica pada Damar.
"Belum ada satu Minggu." Damar menjawab pertanyaan Monica.
"Wah, berarti masih fresh. Pasti sudah unboxing." Monica berkata sambil tersenyum menggoda.
"Tentu dong." Damar menjawab dengan tegas.
"Selamat ya? Semoga kalian selalu berbahagia," kata Monica.
"Terima kasih."
"Aku duluan ya?" pamit Monica.
Damar dan Viona mengangguk.
"Siapa dia, Mas?" tanya Viona.
"Temannya Marcia."
"Ooo."
"Makan yuk," ajak Damar, karena makanan yang mereka pesan sudah datang.
***
"Vio, mana nomor rekeningmu?" tanya Damar ketika mereka selesai makan malam.
"Untuk apa, Mas?" tanya Viona.
"Mau transfer uang buat kamu?"
Viona mengernyitkan dahi.
"Aku ini suamimu, aku juga harus memberi nafkah padamu. Sudah nggak jamannya ngasih uang cash."
"Sebentar ya Mas, aku menyelesaikan ini dulu," sahut Viona.
Viona pun membereskan sisa mereka makan tadi. Setelah selesai, Viona duduk di sebelah Damar dan kemudian mengirimkan nomor rekening.
"Coba cek di rekening kamu. Ada mbanking, kan?" tanya Damar.
"Ada," jawab Viona. Kemudian mengecek rekeningnya.
"Ini, Mas yang ngirim ya?" tanya Viona.
Damar mengangguk.
"Banyak sekali, Mas."
"Cukup untuk sebulan, kan?"
"Lebih dari cukup. Terima kasih, ya, Mas," kata Viona.
"Sama-sama. Aku mau pergi ya, mau bertemu dengan teman-teman. Aku bawa kunci rumah, kalau ngantuk tidur saja, nggak usah nungguin aku." Damar beranjak dari duduknya.
"Iya, Mas. Pulang jam berapa?" tanya Viona.
"Belum tahu, makanya kamu nggak usah nungguin aku." Damar pun melangkah keluar dari rumah.
Tinggallah Viona sendirian di rumah. Sebenarnya ia takut di rumah sendirian, apalagi ini bukan rumah yang biasa ia tempati. Baru beberapa malam ia tidur di rumah ini. Akhirnya ia masuk ke kamar dan tak lupa mengunci pintu kamarnya.
Ia mencoba untuk memejamkan mata, tapi pikiran-pikiran buruk menghampirinya. Mungkin karena ia takut, ia tidak bisa memejamkan mata.
***
"Tadi malam pulang jam berapa, Mas?" tanya Viona pada pagi harinya. Ia meletakkan segelas kopi untuk suaminya.
"Jam satu, kenapa?" kata Damar sambil menyeruput kopi.
"Nggak apa-apa, hanya nanya aja." Viona menjawab dengan pelan.
"Kamu itu memang istriku, tapi kamu nggak berhak melarangku berkumpul dengan teman-temanku. Aku tidak mau dikekang, aku juga nggak akan mengekang kamu. Kamu mau pergi dengan temanmu, aku nggak akan melarang. Yang penting kamu tetap tahu batasannya karena kamu sudah bersuami." Damar berkata dengan menatap Viona.
Viona terdiam, hatinya terasa sakit. Ia hanya bertanya saja untuk menunjukkan kepeduliannya, tapi jawaban Damar sangat menyakitkan hatinya.
"Mungkin aku yang terlalu perasa, baperan," kata Viona dalam hati. Akhirnya ia menyibukkan diri dengan mengerjakan yang lain. Setelah membuatkan sarapan untuk Damar, ia pun menawari Damar untuk makan.
"Mas, sarapan yuk," ajak Viona.
"Nanti saja. Kalau kamu mau sarapan, sarapan duluan saja." Damar menjawab sambil mata tetap menatap ponselnya.
Akhirnya Viona kembali ke kamarnya. Ia bingung mau melakukan apa. Semua pekerjaan rumah sudah ia selesaikan. Ia merebahkan diri sambil membuka ponselnya. Ia hanya browsing, tapi pikirannya tetap mengingat kejadian tadi. Mungkin bagi orang itu hanya masalah sepele dan tidak usah dimasukkan ke dalam hati. Tapi bagi Viona, ini tetap menyakitkan, ketika kepedulian tidak dihargai sama sekali.
"Vio," panggil Damar dari luar. Viona segera beranjak dari tempat tidur. Kemudian membuka pintu.
"Lagi ngapain?" tanya Damar.
"Merapikan isi lemari, Mas." Tentu saja ia berbohong, kalau berkata jujur pasti Damar akan ngomel lagi.
"Oh kirain tidur. Jangan tidur pagi, nggak bagus untuk kesehatan. Aku mau pergi ke rumah teman," pamit Damar.
"Iya, Mas." Ia menjawab ala kadarnya saja. Tidak mau bertanya, takut nanti malah dibilangin kepo atau yang lainnya. Akhirnya ia di rumah sendirian lagi, seperti tadi malam.
***
"Vio, kamu cerita apa dengan Mama?" tanya Damar ketika pulang dari rumah temannya. Damar baru pulang menjelang magrib. Entah apa yang dilakukan bersama temannya. Viona berjanji tidak akan bertanya-tanya tentang kegiatan suaminya.
"Cerita apa, Mas? Aku nggak cerita apa-apa dengan Mama."
Memang tadi siang, mama mertuanya datang ke rumah. Katanya pengen bertemu dengan Viona. Mereka ngobrol-ngobrol, sambil menunggu Damar pulang. Sampai siang Damar nggak pulang-pulang akhirnya mamanya Damar pulang.
"Jangan menceritakan hal buruk tentang rumah tangga kita. Kita masih baru, masih dalam tahap belajar saling mengenal."
"Iya, Mas."
Belum ada seminggu mereka menikah, tapi Viona sudah merasakan bahwa kehidupan rumah tangganya terasa hambar. Hanya dua hari saja, Damar penuh perhatian dengannya, hari-hari berikutnya Damar hanya bicara seperlunya saja.
"Mas, hari ini sibuk nggak?" tanya Viona pada Damar. Damar yang sedang menonton televisi, atau tepatnya ditonton oleh televisi, langsung menoleh pada Viona. Damar memang menyalakan televisi, tapi matanya terpaku pada layar ponsel."Memangnya kenapa?" tanya Damar."Mumpung hari libur, temani aku belanja bulanan ya?" pinta Viona."Lho memangnya sudah habis?""Tinggal dikit, Mas, kan sudah hampir satu bulan," kata Viona lagi."Pergi sendiri, bisa kan? Aku lagi ada kerjaan. Nanti kalau belanja yang banyak sekalian, jadi awet," jawab Damar."Biar lebih awet lagi, belanja terus nggak usah digunakan, disimpan saja untuk pajangan. Pasti awet," kata Viona dalam hati."Oh, ya sudah." Viona pun berjalan menuju ke kamar, kemudian berganti pakaian. Sebenarnya hatinya sangat kecewa, ia berharap Damar mau menemaninya. Sekalian quality time bersama suaminya, siapa tahu hubungan mereka menjadi hangat. Tapi selalu alasan pekerjaan yang ia kemukakan."Hari libur kok masih ngurusin kerjaan. Bilang saja n
Pulang dari kantor, Viona mampir ke sebuah rumah makan. Hari ini, ia terlalu lelah untuk memasak, akhirnya ia membeli makanan matang. Ketika sedang memesan makanan, ia melihat ada mobil Damar disana. Ia hafal betul dengan mobil Damar. "Dengan siapa ya ia kesini?" kata Viona dalam hati. "Sudah, Mbak," kata pegawai rumah makan sambil menyerahkan bungkusan berisi makanan.Viona tampak kaget."Eh, iya," kata Viona sambil menyerahkan uang. Kemudian Viona bersiap untuk pulang. Dari kejauhan, ia melihat Damar sedang makan berdua dengan seorang perempuan. Mereka tampak sangat akrab. Viona tampak lemas, melihat suaminya makan berdua dengan perempuan lain. Ia pun keluar dari rumah makan itu, kemudian menghentikan motornya tidak jauh dari rumah makan. Ia mencari posisi yang tepat, agar ia bisa melihat Damar.Sambil menunggu Damar, ia mengeluarkan ponselnya, siapa tahu nanti ada kegunaannya. Pengintaian Viona tidak sia-sia, tak berapa lama Damar keluar bersama perempuan itu. Mereka bergandenga
Pagi hari Viona menghangatkan makanan yang ia beli kemarin untuk sarapan pagi ini. Sepertinya makanan itu tidak tersentuh. Tadi malam ia tidak sempat makan, ketiduran menunggu Damar pulang. Teringat tadi malam, Viona senyum-senyum sendiri. Ia berharap yang tadi malam itu berlanjut, ternyata tamunya nggak pulang-pulang."Sarapan, Mas," kata Viona ketika melihat suaminya sudah rapi dengan pakaian kerjanya.Damar pun duduk di kursi makan."Maaf, ini makanan tadi malam yang aku hangatkan lagi. Sayang kalau nggak dimakan. Atau Mas ingin sarapan yang lain?" tanya Viona."Nggak usah, ini saja." Damar pun sarapan apa yang disediakan Viona. Mereka berdua menikmati sarapan. Selesai sarapan, Viona membereskan meja makan. Mereka pun bersiap untuk berangkat."Kamu nggak mau ganti motor? Yang terbaru," kata Damar."Nggak usah, Mas. Ini juga masih bisa dipakai kok.""Atau mau beli mobil?" tanya Damar.Viona menggelengkan kepala."Kenapa?" Damar heran, ada perempuan yang tidak mau dibelikan mobil."
Hubungan Damar dan Viona naik turun. Kadang-kadang Damar baik dan menunjukkan perhatiannya. Seolah-olah ia adalah suami yang baik. Tapi terkadang juga Damar cuek bahkan cenderung pemarah. Viona manis berusaha untuk bersabar.Tapi Viona tetap bertekad untuk meluluhkan hati Damar. Ia tidak mau berpisah dengan Damar. Bagi Viona pernikahan itu sangat sakral karena itu ia akan berusaha untuk mempertahankan pernikahan ini. Kecuali nanti kalau ia"Mas, baru pulang, ya? Apa banyak kerjaan?" tanya Viona menyambut kepulangan suaminya dari kerja."Kamu nggak lihat apa, kalau aku baru pulang. Pakai nanya segala," jawab Damar dengan ketus. Viona hanya terdiam, kemudian ia membuatkan kopi untuk suaminya. Ia berusaha untuk tidak menyerah menaklukkan hati suaminya.Damar segera masuk ke kamar dan bersiap untuk mandi. Tak berapa lama Damar sudah selesai mandi dan menuju ke ruang keluarga. "Ini Mas kopinya," tawar Viona."Hmm." Hanya itu jawaban dari Damar, tapi matanya masih terpaku pada layar ponsel
Damar dan Viona akan menghadiri acara pernikahan teman Damar. Viona masih berada di dalam kamar, ia sedang berdandan. Selesai berdandan, Viona keluar dari kamar. Tampak Damar masih asyik bermain ponsel."Ayo, berangkat, Mas," ajak Viona. Damar terpaku menatap Viona yang tampak lain dari biasanya."Kenapa? Nggak suka dengan dandananku ya? Kalau nggak suka, aku akan ganti," kata Viona."Nggak apa-apa," jawab Damar. "Komentar saja, jangan bikin aku penasaran.""Cantik." Singkat, padat dan jelas jawaban yang diucapkan Damar. Viona hanya tersenyum. Ia tahu yang dikatakan Damar itu hanya untuk menyenangkan hatinya saja. Akhirnya mereka berangkat ke pesta yang dilaksanakan pada malam hari, di sebuah gedung.Memasuki gedung, suasana sudah tampak meriah. Berbagai dekorasi indah mewarnai lokasi. "Hai, Bro," sapa Irfan, temannya Damar."Halo juga, kenalin. Ini Viona, istriku," kata Damar."Viona." Viona mengulurkan tangannya."Irfan, ini istriku, Kiara."Viona dan Kiara tampak bersalaman."S
Azan subuh berkumandang, Viona segera beranjak dari tempat tidur untuk melaksanakan salat subuh. Kemudian ia bergegas menuju ke dapur untuk membuat sarapan. Setelah beres ia pun bersiap-siap untuk berangkat ke kantor."Mas, sarapan dulu," kata Viona ketika melihat Damar sudah bersiap-siap mau berangkat ke kantor."Nggak usah. Aku sarapan di kantor saja." Damar pun bergegas berangkat ke kantor. Viona hanya mengelus dada saja mendengar ucapan Damar. Ia segera memasukkan makanan yang tadi ia buat ke dalam tempat makan. Nanti akan dibagikan untuk teman-temannya. Setelah semuanya beres, akhirnya Viona pun berangkat kerja. Ia berangkat menggunakan motor yang ia beli dengan hasil keringatnya sendiri. Ketika melewati sebuah tempat sarapan yang cukup ramai, ia melihat mobil Damar ada disitu. Sebenarnya ia tidak berniat untuk mampir. Tapi hati kecilnya ingin mampir, ingin melihat reaksi Damar. Akhirnya ia pun memutuskan untuk mampir dan membeli jajanan."Bismillah," ucap Viona dengan pelan. I
"Apa maksud kamu mendatangi Vio? Aku kan bilang, sabar dulu. Aku masih memikirkan rencana." Damar benar-benar marah pada Mila. Ia takut jika Viona mengadukan semua ini pada orang tuanya. Pasti akan terjadi perang.Mereka bertemu di parkir kantor mereka, Damar sengaja menunggu kedatangan Mila. Mila yang tampak mengenakan pakaian yang cukup ketat dan memperlihatkan lekuk tubuhnya itu, hanya tersenyum sinis pada Damar. Dengan lipstik yang merah merekah, ia pun mulai berbicara."Aku hanya ingin melihat istrimu itu seperti apa. Ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku. Pantas saja kamu tidak tertarik dengannya. Dia itu tidak pantas bersanding denganmu," cibir Mila.Damar mengusap kasar wajahnya, ia benar-benar tidak habis pikir dengan cara berpikir Mila. "Kamu tahu akibatnya jika ia mengadu pada orang tuaku? Pasti kamu yang akan disalahkan." Damar berdecak kesal, akhirnya ia meninggalkan Mila dan berjalan menuju ke ruangannya."Hai Bro, kok wajahmu kusut? Nggak dikasih jatah sa
Ceklek! Terdengar suara pintu dibuka."Damar, kamu sengaja menghindariku ya? Kenapa? Apa salahku?" tanya Mila pada Damar. Tanpa basa basi langsung nyerocos.Damar yang ada di ruangan bersama dengan Irfan kaget mendengar ucapan Mila. Irfan pura-pura tidak tahu, ia menyibukkan diri dengan pekerjaannya."Aku banyak kerjaan," kata Damar, kemudian ia mengalihkan matanya pada berkas-berkas yang ada di mejanya."Dari tadi malam aku telpon kamu nggak diangkat. Apa malam hari juga banyak kerjaan?" selidik Mila."Iya," jawab Damar."Bohong! Tadi malam kamu malah ke mall dengan perempuan udik itu kan?" tanya Mila."Iya. Apa aku salah kalau aku pergi dengan istriku?" Damar balik bertanya pada Mila. Mila yang tidak siap dengan pertanyaan Damar langsung gelagapan."Enggak salah, sih. Tapi kamu seharian nyuekin aku. Aku sedih," kata Mila dengan nada merajuk."Kembali ke ruanganmu, nggak enak kalau ada yang melihat." Damar mengusir Mila."Itu Irfan melihat," kata Mila sambil melirik Irfan.Irfan yang
"Eh malah asyik pacaran disini, sampai-sampai lupa sama anaknya sendiri." Mama Laras berkata sambil tersenyum menggoda Damar dan Viona."Mama?" Viona tersipu malu."Apa sih yang kalian bicarakan? Masa depan?" tanya Adel dengan penasaran."Nggak ada apa-apa kok, Mbak. Hanya membuatkan kopi lagi untuk Mas Damar. Soalnya kopi yang aku buat tadi sudah dingin karena Mas Damar ketiduran." Viona menjelaskan. Damar hanya tersenyum."Ayo kita kesana saja, nggak enak ngobrol di dapur," ajak Viona. Mereka pun menuju ke ruang keluarga."Mumpung ada kalian berdua disini. Apakah ada kemungkinan kalian untuk rujuk? Ingat lho, ada Arka yang membutuhkan kalian berdua." Mama Laras mulai berbicara."Sepertinya memang kita yang harus bergerak, Ma. Kalau menunggu mereka berdua, kelamaan. Terus terang kami sangat menginginkan rujuknya kalian berdua. Apalagi ada pengikat di antara kalian yaitu Arka." Tanpa basa basi, Adel langsung bertanya pada Viona. Viona menjadi salah tingkah. "Ini kesempatanku untuk m
"Arka, Arka," gumam Viona. Damar bingung harus berbuat apa."Arka, Arka." Viona mengigau lagi. Damar memegang dahi Viona, ternyata Viona demam.Damar mencari-cari tas Viona. Biasanya Viona selalu membawa obat-obatan di tasnya. Tas Viona ada di bawah tempat tidur Arka. Dengan perlahan ia membuka tas tersebut. Ternyata benar, di dalam tas Viona ada beberapa obat, seperti Paracetamol juga asam mefenamat.Setelah mengambil Paracetamol dan air mineral, Damar pun mengambil mendekati Viona lagi. "Viona," panggil Damar dengan pelan. Perlahan Viona membuka matanya."Mas, jangan ambil Arka dariku. Aku janji akan merawat dia dengan baik." Tiba-tiba Viona langsung berkata seperti itu sambil menangis. Damar hanya bisa bengong mendengar ucapan Viona.*Aku mohon, Mas." Tangis Viona semakin menjadi-jadi."Vio, tidak ada yang mau mengambil Arka darimu. Aku juga tidak, aku percaya kalau kamu merawat Arka dengan baik." Damar berusaha meyakinkan Viona."Tapi tadi Mas memaksaku menyerahkan Arka." Viona m
"Arka kenapa?" Viona mengelus-elus kepala Arka. Arka masih saja menangis."Arka kenapa, Nak? Bilang sama Bunda, apa yang Arka inginkan?" Suara Viona bergetar, menahan sesak di dada. Sebenarnya ia ingin menangis, tapi tetap berusaha untuk tidak menangis. Jangan sampai menangis di depan Arka."Tangan sakit." Suara Arka sangat lemah. Viona melihat ke tangan Arka, tampak agak membengkak. Viona sangat kaget, kemudian ia melihat ke arah botol infus dan mengamatinya. Ternyata infusnya tidak menetes, Viona menjadi semakin ketakutan. Ia segera memencet bel.Tak lama kemudian masuklah seorang perawat."Ada yang bisa dibantu, Bu?" Perawat itu bertanya dengan sopan."Infusnya kok nggak menetes ya?" tanya Viona. Perawat itu segera memeriksa botol infus dan saluran infus yang menempel ke tangan Arka."Apa adik ini banyak bergerak, Bu?""Enggak, tadi habis saya gendong ke kamar mandi karena mau buang air kecil."Perawat itu tersenyum."Lihatlah tangan adik ini, mungkin tadi waktu bergerak jarumnya
"Arka sangat dekat dengan ayahnya, apa nggak sebaiknya kalian rujuk saja. Kalau misalnya Damar mengajakmu rujuk, apa kamu mau?" Deg! Jantung Viona berdebar-debar. Pipinya merona tersipu malu."Nggak tahu, Mbak. Lagipula nggak mungkin Mas Damar mengajakku rujuk. Dia kan sudah mau menikah?" sahut Viona, ia pun menyibukkan diri dengan kegiatan menggoreng nugget tadi. Malu kalau sampai ketahuan ia merona.Viona memang masih mencintai Damar, walaupun ia tahu kalau Damar tidak mencintainya. Susah untuk menghilangkan rasa itu, tapi untuk berharap kembali bersama, sepertinya jauh panggang dari api."Siapa bilang? Hubungan Damar dan Jihan sudah selesai.""Bukankah mereka sudah tunangan?" tanya Viona untuk meyakinkan berita itu."Iya, tapi nyatanya nggak bisa dilanjutkan lagi.""Kasihan Mas Damar, pasti sangat kecewa berpisah dengan orang yang dicintainya." Ada rasa perih di hati ketika mengucapkan itu."Kamu tahu, mereka putus gara-gara kamu." Ucapan Adel tak khayal membuat Viona tampak sanga
Semua menjadi panik karena tidak menemukan sosok Arka. Mereka tadi asyik membahas tentang ide rujuknya Damar dan Viona. Damar beranjak dari duduknya dan berjalan ke depan, takutnya Arka keluar. Mama Laras mencari ke dapur, siapa tahu Arkq sedang bermain bersama Lina. Tapi ternyata Lina tidak ada. Mama Laras pun menuju ke ruang keluarga, tempat mereka berkumpul dan bermain bersama Arka tadi."Ketemu nggak?" tanya Damar dengan panik. Tentu saja ia sangat panik melihat Arka menghilang dari pandangan mereka berempat.Semua menggelengkan kepalanya masing-masing. "Papa, bagaimana ini? Aku nggak tahu harus ngomong apa sama Viona." Damar sangat kebingungan. "Tenang, pasti Arka ketemu." Pak Yuda berusaha menenangkan Damar."Lina, kamu melihat Arka?" tanya Damar ketika melihat Lina berjalan menuju ke arah mereka"Arka? Ada kok." Lina menjawab dengan tenang tampak santai."Dimana?" tanya Damar, wajahnya langsung ceria."Saya bawa ke kamar Mas Damar. Arka sedang tidur.""Kok bisa?" Damar masih
"Ayah!" Terdengar teriakan bahagia dari seorang anak kecil yang bernama Arka. Tampak Viona berdiri di samping Arka. Arka langsung memeluk ayahnya, kemudian menarik tangan ayahnya untuk masuk ke dalam.Damar tampak ragu, ia pun melirik ke arah Viona. Viona mengangguk kecil, menandakan kalau ia menyetujui tindakan Arka. Damar dan Arka masuk ke dalam, disusul Viona yang selesai menutup pintu. Dari saat mengetuk pintu tadi sampai sekarang, jantung Damar masih berdetak dengan kencang, ia tampak canggung berhadapan dengan Viona. "Maafkan aku, Mas. Seharusnya aku tidak merepotkan Mas pagi-pagi seperti ini," kata Viona dengan pelan ketika mereka bertiga duduk di sofa."Nggak apa-apa. Aku akan selalu melakukan apapun permintaan Arka. Ini aku bawakan sarapan untukmu." Damar menyerahkan bungkusan yang tadi ia bawa. Ia masih berusaha untuk menetralisir suasana hatinya. Entah kenapa, melihat Viona hari ini membuat Damar merasa sangat bahagia. Mungkin karena ia diizinkan mengajak Arka jalan-jalan.
"Ayah nanti pulang kelja bobok sama Alka ya?" kata Arka dengan penuh harap. Suara cadelnya membuat yang mendengarkan menjadi gemas. Tak khayal, ucapan Arak membuat Damar dan Viona tampak sangat kaget. Mereka tidak menyangka jika Arka akan berkata seperti itu."Iya, sayang. Sekarang Arka sama Bunda dulu ya?" bujuk Damar. Arka mengangguk, kemudian memeluk ayahnya. "Ayo Nak, kita pulang," ajak Mama Laras. Arka pun jalan bersama bunda dan omanya. Dengan berat hati, Arka mengikuti Oma dan bundanya. Ia pun melambaikan tangan pada ayahnya.Dama tampak terharu dengan perlakuan Arka kepadanya. Ia tidak menyangka jika Arka sangat dekat dengannya. Padahal selama ini ia tidak mendampingi keseharian Arka. Mungkin inilah yang namanya ikatan batin antara anak dan ayah. Walau terpisah, tapi tetap merasa dekat."Bundamu hebat, Nak. Tidak mengajarimu untuk membenci Ayah," kata Damar dalam hati."Ayo ke kantor lagi! Suara Irfan membuyarkan lamunan Damar. Damar dan Irfan berjalan menuju ke tempat parkir
"Boleh saya bertemu dengan Jihan?" pinta Damar."Untuk apa?" Mega masih saja menanggapi dengan ketus. Ia belum bisa menerima kalau hubungan Jihan dan Damar selesai. Ia masih membayangkan bagaimana komentar saudara, teman dan tetangga tentang putusnya hubungan Damar dan Jihan. Mereka pasti akan mencibir dan membicarakannya, bakal jadi trending topik di komplek ini. Mega mengkea nafas panjang."Ingin berbicara sebentar, Bu.""Saya rasa nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semua sudah selesai. Silahkan pulang." Mega mengusir Damar."Bu, Damar kesini sebagai tamu, tidak baik seperti itu. Apa salahnya kalau ia bertemu dengan Jihan sebentar saja." Dedi berusaha menenangkan istrinya."Tamu tapi membuat tuan rumah sakit hati. Aku nggak mau melihat Jihan bersedih lagi. Silahkan pergi sebelum saya berteriak." Mega tetap bersikeras."Sebentar saja, Bu." Damar masih memohon pada Mega."Pergi! Pergi!" Mega berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah Damar."Maaf, Pak. Saya permisi pulang," pamit Dama
"Viona." Mama Laras menutup mulutnya, ia seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Iya, Ma. Ini Viona." Viona mendekati Mama Laras kemudian mencium tangan dan memeluknya.Mama Laras meneteskan air mata karena terharu melihat siapa yang datang. "Mama jangan nangis," kata Viona ketika melepaskan pelukannya."Mama bahagia melihat kamu datang." Mama Laras segera menghapus air matanya."Arka, kasih salam sama Oma." Viona berkat pada Arka."Ini Oma, Sayang. Sudah lupa, ya?" Mama Laras menggendong Arka. Arka hanya terdiam, ia masih bingung dengan situasi ini."Arka sudah besar ya, sudah berat." Mama Laras mencium Arka."Ayo ke dalam," ajak Mama Laras pada Viona."Iya, Ma."Viona mengikuti langkah kaki Mama Laras menuju ke ruang keluarga."Opa, lihat siapa yang datang," kata Maam Laras pada suaminya yang sedang asyik menonton berita di televisi. Pak Yuda menoleh ke arah istrinya."Viona? Arka." Pak Yuda tak kalah terkejutnya dengan kehadiran Viona dan Arka. Viona segera mendekati Pak