Viona sedang memasak untuk makan malam. Ia menyiapkannya dengan senang hati dan penuh cinta. Ia merasakan sudah menjadi istri seutuhnya. Selesai memasak ia pun mandi. Menjelang magrib, Damar belum juga pulang. Ia mulai gelisah menantikan kedatangan Damar. Azan magrib berkumandang, Viona melaksanakan salat magrib. Tak lupa mendoakan suaminya semoga baik-baik saja.Berkali-kali Viona menatap jam di dinding dan di ponselnya. Perasaannya menjadi tak menentu. Penantian Viona sepertinya sia-sia. Ia melihat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Akhirnya ia menyerah dengan penantiannya. Makanan yang sudah siap di meja makan, ia tutup dengan tudung saji. Ia pun melangkah menuju ke kamarnya.Hatinya sangat kecewa. Ia sudah bersemangat memasak untuk Damar, tapi Damar tidak memberi kabar sama sekali. Beberapa pesan Viona hanya centang satu. Tak terasa air matanya menetes di pipi. "Aku memang bodoh, mengharapkan orang yang tidak peduli denganku," kata Viona dalam hati.Jam sepuluh malam, D
Minggu pagi, setelah beberes dan menyiapkan makanan untuk suaminya, Viona pun bersiap diri untuk pergi bersama Hana. Ia memang sudah berjanji dengan Hana, mau pergi ke salon. Ia ingin melakukan make over. "Mas, makanan sudah aku siapkan. Aku mau pergi," kata Viona. "Tapi ini hari Minggu, kamu nggak mau di rumah bersamaku?" tanya Damar. "Nggak usah lebay, Mas. Biasanya juga Mas nggak pernah di rumah kalau hari Minggu. Kalaupun di rumah juga nggak peduli denganku. Sebentar lagi Mas juga akan pergi kan?" Viona berkata sambil tersenyum. Kemudian berjalan keluar rumah dan menuju di depan komplek. Hana menjemput Viona di depan komplek perumahan. Hana memang belum tahu kalau Viona sudah menikah. Waktu Viona menikah dilaksanakan di desa asal Viona. Jadi memang tidak mengundang teman-teman Viona. Hana sudah muncul dengan mobil merahnya. Viona pun masuk ke dalam mobil. Hanya sekitar tiga puluh menit perjalanan, sampailah mereka di sebuah salon khusus perempuan. "Halo Mbak Hana," sapa seor
Viona masih berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk ia dan suaminya. Setelah selesai, Viona pun mandi dan bersiap-siap untuk berangkat. Ternyata Damar belum juga tampak di meja makan. Dengan memberanikan diri, akhirnya Viona mengetuk pintu kamar Damar. Tidak ada jawaban dari dalam. Viona pun mencoba untuk membuka pintu kamar.Ceklek!Viona melihat Damar masih tertidur. Kemudian Viona mendekati Damar dan berusaha membangunkannya. "Mas, bangun. Mau kerja nggak?" kata Viona.Belum ada respon dari Damar. "Mas, bangun Mas." Vio memanggil dan mencoba menyentuh badan Damar, ternyata terasa panas di tangan Viona.Vio segera keluar dari kamar Damar dan mengambil obat demam."Mas, bangun dulu. Minum obat ya?" kata Viona.Damar pun menggeliat dan membuka matanya. "Kok kamu ada di kamarku?" tanya Damar."Mas, kamu demam. Minum obat dulu, ya?" kata Viona.Damar pun berusaha duduk. Viona memberikan obat dan air putih pada Damar. Kemudian Damar berbaring lagi. Viona menyelimuti Damar. "Isti
Sore hari Viona sudah bersiap-siap mau pergi ke rumah mertuanya bersama dengan Damar. Ia sedang menunggu Damar. Tapi Damar tak kunjung keluar dari kamarnya. Viona bingung, ia mondar-mandir di depan pintu kamar Damar.Tok…Tok…Tidak ada jawaban.Tok…Tok…Ceklek! Pintu pun dibuka tampak Damar baru selesai mandi, hanya mengenakan handuk saja."Ada apa? Kamu mau kemana kok sudah rapi seperti ini?" tanya Damar di pintu kamarnya."Jangan bilang kalau Mas lupa dengan rencana kita.""Rencana apa?""Kita mau ke rumah Papa, membicarakan semua tentang kita.""Itu rencanamu bukan rencana kita."Drtt…drtt…ponsel Damar berdering.Viona berdecak kesal. Ia pun berbalik badan dan kembali masuk ke kamarnya. Ia sangat kesal, sudah berdandan rapi tapi nggak jadi pergi. Akhirnya Viona berganti pakaian.Ceklek! Terdengar suara pintu kamar dibuka."Aww," teriak Viona dengan kaget. Tampak Damar masih mengenakan handuk dan bertelanjang dada. Damar terpaku melihat Viona yang hanya memakai pakaian dalam saja.
Viona terbangun dari tidurnya, ia melihat ada yang memeluknya dari belakang. Ia pun mengingat kejadian tadi malam. Setelah belah duren yang mereka lakukan kemarin sore, ternyata berlanjut sampai tadi malam. Viona tersenyum, membayangkan kenikmatan demi kenikmatan yang ia rasakan.Viona ingin beranjak dari tempat tidur, tapi tangan Damar malah semakin erat memeluknya."Mau kemana?" tanya Damar."Bangun, aku sangat haus," ucap Viona."Kamu disini saja, biar aku yang mengambil minum." Damar segera beranjak dari tempat tidur dan memakai celana pendek. Kemudian keluar dari kamar. Viona menutupi tubuhnya dengan menggunakan bed cover.Tak lama kemudian, Damar sudah membawa minum menggunakan gelas Tumbler dan satu botol minuman lagi."Banyak sekali minum yang Mas bawa," ucap Viona ketika melihat kedua tangan Damar membawa minuman."Kamu kan haus karena habis kerja berat. Nanti kamu akan kerja berat lagi, makanya aku bawa minum banyak," sahut Damar dengan senyum simpul. Viona sudah paham apa y
Sepanjang perjalanan pulang, Damar hanya terdiam. Tidak mau menanggapi Viona yang mengoceh. Viona menjadi kesal sendiri dengan kelaku Damar. Padahal tadi Damar tampak mesra.Sampai di rumah, Damar pun masih diam membisu. Ia langsung masuk ke kamarnya. Viona paling tidak suka kalau dicuekin seperti ini. Ia pun berjalan menuju ke kamar Damar.Ceklek! Viona membuka pintu kamar Damar, tampak Damar yang berbaring di tempat tidur, tidak memakai kaos. Ia hanya memakai celana pendek saja. Viona pun berbaring di sebelah Damar. "Kenapa, Mas?" tanya Viona."Nggak apa-apa," jawab Damar."Nggak apa-apa kok dari tadi diam saja. Kalau aku melakukan kesalahan, aku minta maaf. Tapi aku nggak tahu, salahku itu apa," kata Viona. Damar memiringkan tubuhnya dan membelakangi Viona. Viona sangat kesal, ia pun memeluk Damar dari belakang. Kemudian menciumi tengkuk Damar. Damar hanya terdiam saja. Viona semakin intens mencium Damar. Tidak ada respon dari Damar, Viona segera membalikkan badan Damar, sehingg
"Kamu harus hati-hati dengan Mila. Dia itu orangnya nekat, bisa saja ia menjebakmu," kata Irfan mengingatkan Damar."Jangan menakut-nakutiku, aku sudah mulai nyaman bersama Viona. Aku ingin membina rumah tanggaku dengannya." Damar berkata dengan serius."Makanya itu, kamu jangan pernah meladeni Mila lagi. Abaikan dia," kata Irfan.Damar pun mengangguk, dan mereka melanjutkan pekerjaan masing-masing. Sesekali tampak Damar menguap karena mengantuk. Irfan yang melihat temannya itu hanya bisa tersenyum, karena ia dulu pun pernah merasakan hal yang sama.Ceklek! Pintu ruangan terbuka, tampak Sabrina masuk dengan wajah yang sangat serius."Damar, apa yang kamu lakukan pada Mila?" tanya Sabrina tanpa basa-basi.Damar dan Irfan yang sedang asyik dengan kesibukan masing-masing langsung menoleh ke arah Sabrina."Memangnya kenapa?" tanya Damar penasaran."Mila nangis di ruangannya.""Memangnya kenapa dia nangis?" tanya Irfan."Makanya itu aku nanya sama kalian. Soalnya tadi Mila kan dari sini."
Viona ke dapur membuatkan minum untuk Damar dan tamunya. Hanya teh saja, karena kebetulan tidak ada roti-roti. Biasanya toples-toples berisi makanan, sekarang semuanya sedang kosong tak berisi. Sementara itu, di ruang tamu terdengar perbincangan Damar dan tamunya."Kok kamu tahu rumahku?" tanya Damar."Kamu nggak perlu tahu. Ternyata kamu memang sudah menikah. Aku pikir kamu masih bertahan sendiri." Perempuan itu berkata seperti mengejek Damar."Hidup terus berjalan, aku masih punya masa depan. Dan ternyata masa depanku itu indah sekali. Kamu pikir aku terpuruk?" "Maaf kalau aku membuatmu kecewa. Hingga membuatmu menerima perjodohan dan terpaksa menikah dengan istrimu itu.""Terpaksa? Haha...Enggak tuh. Alhamdulillah, aku mencintai istriku.""Secepat itu? Jangan bohong kamu." Marcia menatap tajam pada Damar."Yang namanya cinta itu tidak bisa diprediksi kapan datangnya. Alhamdulillah, aku bisa cepat menemukannya. Karena memang aku membuka hati untuk orang lain ""Kamu sudah berubah!
"Eh malah asyik pacaran disini, sampai-sampai lupa sama anaknya sendiri." Mama Laras berkata sambil tersenyum menggoda Damar dan Viona."Mama?" Viona tersipu malu."Apa sih yang kalian bicarakan? Masa depan?" tanya Adel dengan penasaran."Nggak ada apa-apa kok, Mbak. Hanya membuatkan kopi lagi untuk Mas Damar. Soalnya kopi yang aku buat tadi sudah dingin karena Mas Damar ketiduran." Viona menjelaskan. Damar hanya tersenyum."Ayo kita kesana saja, nggak enak ngobrol di dapur," ajak Viona. Mereka pun menuju ke ruang keluarga."Mumpung ada kalian berdua disini. Apakah ada kemungkinan kalian untuk rujuk? Ingat lho, ada Arka yang membutuhkan kalian berdua." Mama Laras mulai berbicara."Sepertinya memang kita yang harus bergerak, Ma. Kalau menunggu mereka berdua, kelamaan. Terus terang kami sangat menginginkan rujuknya kalian berdua. Apalagi ada pengikat di antara kalian yaitu Arka." Tanpa basa basi, Adel langsung bertanya pada Viona. Viona menjadi salah tingkah. "Ini kesempatanku untuk m
"Arka, Arka," gumam Viona. Damar bingung harus berbuat apa."Arka, Arka." Viona mengigau lagi. Damar memegang dahi Viona, ternyata Viona demam.Damar mencari-cari tas Viona. Biasanya Viona selalu membawa obat-obatan di tasnya. Tas Viona ada di bawah tempat tidur Arka. Dengan perlahan ia membuka tas tersebut. Ternyata benar, di dalam tas Viona ada beberapa obat, seperti Paracetamol juga asam mefenamat.Setelah mengambil Paracetamol dan air mineral, Damar pun mengambil mendekati Viona lagi. "Viona," panggil Damar dengan pelan. Perlahan Viona membuka matanya."Mas, jangan ambil Arka dariku. Aku janji akan merawat dia dengan baik." Tiba-tiba Viona langsung berkata seperti itu sambil menangis. Damar hanya bisa bengong mendengar ucapan Viona.*Aku mohon, Mas." Tangis Viona semakin menjadi-jadi."Vio, tidak ada yang mau mengambil Arka darimu. Aku juga tidak, aku percaya kalau kamu merawat Arka dengan baik." Damar berusaha meyakinkan Viona."Tapi tadi Mas memaksaku menyerahkan Arka." Viona m
"Arka kenapa?" Viona mengelus-elus kepala Arka. Arka masih saja menangis."Arka kenapa, Nak? Bilang sama Bunda, apa yang Arka inginkan?" Suara Viona bergetar, menahan sesak di dada. Sebenarnya ia ingin menangis, tapi tetap berusaha untuk tidak menangis. Jangan sampai menangis di depan Arka."Tangan sakit." Suara Arka sangat lemah. Viona melihat ke tangan Arka, tampak agak membengkak. Viona sangat kaget, kemudian ia melihat ke arah botol infus dan mengamatinya. Ternyata infusnya tidak menetes, Viona menjadi semakin ketakutan. Ia segera memencet bel.Tak lama kemudian masuklah seorang perawat."Ada yang bisa dibantu, Bu?" Perawat itu bertanya dengan sopan."Infusnya kok nggak menetes ya?" tanya Viona. Perawat itu segera memeriksa botol infus dan saluran infus yang menempel ke tangan Arka."Apa adik ini banyak bergerak, Bu?""Enggak, tadi habis saya gendong ke kamar mandi karena mau buang air kecil."Perawat itu tersenyum."Lihatlah tangan adik ini, mungkin tadi waktu bergerak jarumnya
"Arka sangat dekat dengan ayahnya, apa nggak sebaiknya kalian rujuk saja. Kalau misalnya Damar mengajakmu rujuk, apa kamu mau?" Deg! Jantung Viona berdebar-debar. Pipinya merona tersipu malu."Nggak tahu, Mbak. Lagipula nggak mungkin Mas Damar mengajakku rujuk. Dia kan sudah mau menikah?" sahut Viona, ia pun menyibukkan diri dengan kegiatan menggoreng nugget tadi. Malu kalau sampai ketahuan ia merona.Viona memang masih mencintai Damar, walaupun ia tahu kalau Damar tidak mencintainya. Susah untuk menghilangkan rasa itu, tapi untuk berharap kembali bersama, sepertinya jauh panggang dari api."Siapa bilang? Hubungan Damar dan Jihan sudah selesai.""Bukankah mereka sudah tunangan?" tanya Viona untuk meyakinkan berita itu."Iya, tapi nyatanya nggak bisa dilanjutkan lagi.""Kasihan Mas Damar, pasti sangat kecewa berpisah dengan orang yang dicintainya." Ada rasa perih di hati ketika mengucapkan itu."Kamu tahu, mereka putus gara-gara kamu." Ucapan Adel tak khayal membuat Viona tampak sanga
Semua menjadi panik karena tidak menemukan sosok Arka. Mereka tadi asyik membahas tentang ide rujuknya Damar dan Viona. Damar beranjak dari duduknya dan berjalan ke depan, takutnya Arka keluar. Mama Laras mencari ke dapur, siapa tahu Arkq sedang bermain bersama Lina. Tapi ternyata Lina tidak ada. Mama Laras pun menuju ke ruang keluarga, tempat mereka berkumpul dan bermain bersama Arka tadi."Ketemu nggak?" tanya Damar dengan panik. Tentu saja ia sangat panik melihat Arka menghilang dari pandangan mereka berempat.Semua menggelengkan kepalanya masing-masing. "Papa, bagaimana ini? Aku nggak tahu harus ngomong apa sama Viona." Damar sangat kebingungan. "Tenang, pasti Arka ketemu." Pak Yuda berusaha menenangkan Damar."Lina, kamu melihat Arka?" tanya Damar ketika melihat Lina berjalan menuju ke arah mereka"Arka? Ada kok." Lina menjawab dengan tenang tampak santai."Dimana?" tanya Damar, wajahnya langsung ceria."Saya bawa ke kamar Mas Damar. Arka sedang tidur.""Kok bisa?" Damar masih
"Ayah!" Terdengar teriakan bahagia dari seorang anak kecil yang bernama Arka. Tampak Viona berdiri di samping Arka. Arka langsung memeluk ayahnya, kemudian menarik tangan ayahnya untuk masuk ke dalam.Damar tampak ragu, ia pun melirik ke arah Viona. Viona mengangguk kecil, menandakan kalau ia menyetujui tindakan Arka. Damar dan Arka masuk ke dalam, disusul Viona yang selesai menutup pintu. Dari saat mengetuk pintu tadi sampai sekarang, jantung Damar masih berdetak dengan kencang, ia tampak canggung berhadapan dengan Viona. "Maafkan aku, Mas. Seharusnya aku tidak merepotkan Mas pagi-pagi seperti ini," kata Viona dengan pelan ketika mereka bertiga duduk di sofa."Nggak apa-apa. Aku akan selalu melakukan apapun permintaan Arka. Ini aku bawakan sarapan untukmu." Damar menyerahkan bungkusan yang tadi ia bawa. Ia masih berusaha untuk menetralisir suasana hatinya. Entah kenapa, melihat Viona hari ini membuat Damar merasa sangat bahagia. Mungkin karena ia diizinkan mengajak Arka jalan-jalan.
"Ayah nanti pulang kelja bobok sama Alka ya?" kata Arka dengan penuh harap. Suara cadelnya membuat yang mendengarkan menjadi gemas. Tak khayal, ucapan Arak membuat Damar dan Viona tampak sangat kaget. Mereka tidak menyangka jika Arka akan berkata seperti itu."Iya, sayang. Sekarang Arka sama Bunda dulu ya?" bujuk Damar. Arka mengangguk, kemudian memeluk ayahnya. "Ayo Nak, kita pulang," ajak Mama Laras. Arka pun jalan bersama bunda dan omanya. Dengan berat hati, Arka mengikuti Oma dan bundanya. Ia pun melambaikan tangan pada ayahnya.Dama tampak terharu dengan perlakuan Arka kepadanya. Ia tidak menyangka jika Arka sangat dekat dengannya. Padahal selama ini ia tidak mendampingi keseharian Arka. Mungkin inilah yang namanya ikatan batin antara anak dan ayah. Walau terpisah, tapi tetap merasa dekat."Bundamu hebat, Nak. Tidak mengajarimu untuk membenci Ayah," kata Damar dalam hati."Ayo ke kantor lagi! Suara Irfan membuyarkan lamunan Damar. Damar dan Irfan berjalan menuju ke tempat parkir
"Boleh saya bertemu dengan Jihan?" pinta Damar."Untuk apa?" Mega masih saja menanggapi dengan ketus. Ia belum bisa menerima kalau hubungan Jihan dan Damar selesai. Ia masih membayangkan bagaimana komentar saudara, teman dan tetangga tentang putusnya hubungan Damar dan Jihan. Mereka pasti akan mencibir dan membicarakannya, bakal jadi trending topik di komplek ini. Mega mengkea nafas panjang."Ingin berbicara sebentar, Bu.""Saya rasa nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semua sudah selesai. Silahkan pulang." Mega mengusir Damar."Bu, Damar kesini sebagai tamu, tidak baik seperti itu. Apa salahnya kalau ia bertemu dengan Jihan sebentar saja." Dedi berusaha menenangkan istrinya."Tamu tapi membuat tuan rumah sakit hati. Aku nggak mau melihat Jihan bersedih lagi. Silahkan pergi sebelum saya berteriak." Mega tetap bersikeras."Sebentar saja, Bu." Damar masih memohon pada Mega."Pergi! Pergi!" Mega berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah Damar."Maaf, Pak. Saya permisi pulang," pamit Dama
"Viona." Mama Laras menutup mulutnya, ia seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Iya, Ma. Ini Viona." Viona mendekati Mama Laras kemudian mencium tangan dan memeluknya.Mama Laras meneteskan air mata karena terharu melihat siapa yang datang. "Mama jangan nangis," kata Viona ketika melepaskan pelukannya."Mama bahagia melihat kamu datang." Mama Laras segera menghapus air matanya."Arka, kasih salam sama Oma." Viona berkat pada Arka."Ini Oma, Sayang. Sudah lupa, ya?" Mama Laras menggendong Arka. Arka hanya terdiam, ia masih bingung dengan situasi ini."Arka sudah besar ya, sudah berat." Mama Laras mencium Arka."Ayo ke dalam," ajak Mama Laras pada Viona."Iya, Ma."Viona mengikuti langkah kaki Mama Laras menuju ke ruang keluarga."Opa, lihat siapa yang datang," kata Maam Laras pada suaminya yang sedang asyik menonton berita di televisi. Pak Yuda menoleh ke arah istrinya."Viona? Arka." Pak Yuda tak kalah terkejutnya dengan kehadiran Viona dan Arka. Viona segera mendekati Pak