"Ana, kamu berdarah? Astagfirullah, lihat itu, teras mesjid juga ada banyak darah. Pasti itu darahmu, yang berceceran!"
Aku yang hendak keluar dari halaman mesjid, sontak kaget mendengar teriakan Bu Halimah memanggilku.
Runguku yang menangkap suara Bu Halimah, memerintah netra ini menatap lantai berkeramik biru tersebut. Benar saja, mulai dari arah toilet mesjid sampai ke teras pintu masuk ke dalam mesjid, ada banyak darah yang berceceran di lantai berwarna biru itu. Siapa lagi sang pemilik darah kalau bukan diriku. Pasalnya, hanya aku satu-satunya orang yang baru saja keluar dari toilet tersebut.
Kini netraku tertuju pada kedua kakiku yang telah berlumuran darah. Bahkan daster lusuh yang kukenakan tak luput terkena nodanya. "Kenapa aku bisa tak merasakannya?" Gumamku.
"Ana, kamu kan baru lahiran. Kenapa kamu yang angkat air? Mana Rio, suamimu? Kamu sepertinya pendarahan ini?" Tanya Bu Halimah. Yang langsung membrondongku dengan beberapa pertanyaan sekaligus.
"Ma-maaf, Bu," ucapku tergagu malu. "Saya bersihkan yah, Bu," ucapku lagi.
Ah ... Aku benci tatapan orang yang mengasihani diriku. Minggu lalu saja, tetanggaku yang keturunan Tionghoa memprotes diriku yang telah berjualan kembali. 'Hei! sial nanti lu. Belum sebulan, sudah kerja!' dan aku hanya menanggapi nya dengan senyuman. Lagian aku kan bukan keturunan Tionghoa seperti dia. Jadi aku tak perlu ambil pusing dengan ucapannya. Yang aku tau, wanita yang baru melahirkan memang tak boleh terlalu lelah. Tapi keadaan perekonomian rumah tangga kami yang serba kekurangan, mengharuskan aku ikut turun tangan juga untuk mencari nafkah apapun keadaanku.
Suara motor terdengar memasuki area parkir yang tak jauh dari tempat aku dan Bu Halimah berdiri. Tentu saja suara motor itu mengalihkan pembicaraan kami.
"Bay! Bayu. Sini sebentar." Bu Halimah setengah berteriak memanggil pria tersebut.
Aku berniat meninggalkan Bu Halimah karena beliau, pasti mempunyai urusan dengan pria tersebut. Namun, sepertinya Bu Halimah menyadari niatku. Dengan cepat tangan gempal Bu Halimah sudah menangkap lengan kananku yang mengunci langkahku." Tunggu sebentar," Ucap Bu Halimah dengan nada setengah berbisik.
Aku mengikuti arah pandangan mata Bu Halimah, yang tengah memperhatikan pria tersebut memarkirkan motornya. Pria itu memakirkan motor maticnya di samping tiga motor yang sudah terparkir disana. Setelah ia berhasil memarkirkan motor matic berwarna biru dan putih itu. Pria bernama Bayu pun gegas menghampiri kami.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Bayu sesampainya di tempat kami berdiri.
" Gini ,Bay. Saya mau minta tolong sama kamu," ucapan Bu Halimah terhenti saat melirikku. "Bantuin Ibu ini, angkat air kerumahnya, yah? Disitu kok rumahnya." Bu Halimah pun menunjuk arah rumahku, yang berada di sebrang kiri mesjid ini. "Kasian Ibu ini lagi pendarahan, gak boleh angkat berat-berat dulu." Aku sontak kaget dengan ucapan Bu Halimah. Aku pikir dia ada urusan lain dengan pria tersebut. Tapi Bu Halimah memanggilnya untuk membantuku.
"Eh, tidak usah, Bu. Saya kan juga harus membersihkan darah-darah itu dulu. Nanti saya angkat sendiri," ujarku menolak saran Bu Halimah. Bukan tampa alasan aku menolaknya. Aku malu di lihat orang lain dalam keadaan berdarah begini. Apalagi di hadapan seorang pria.
Aku benar-benar ceroboh kali ini. Kenapa aku lupa dengan keadaanku yang baru saja melahirkan. Seharusnya tadi aku suruh saja Iqbal, anak keduaku yang mengambil air dengan botol. Hanya karna lapar dan haus, aku tak mampu berfikir jernih.
Saat jam telah menunjukan pukul 10 pagi rasa laparku tak bisa di ajak bekerja sama. Apalagi, saat ini aku memiliki bayi yang sedang ASI. Sementara suamiku tak kunjung juga pulang, setelah ia pamit bekerja kemarin pagi.
Sadar karena tak ada apapun yang bisa aku makan, bahkan tak memiliki uang sepeserpun. Aku berniat menyeduh teh, untuk sekedar menghangatkan perut sambil menunggu Bang Rio pulang. Na'as air bersih di rumah pun habis. Begitu juga air minum yang ada di dalam ceret. Karena itu lah, aku dengan santai menenteng dua ember untuk mengambil air di mesjid ini.
Sudah setahun ini, aku memanfaatkan fasilitas air bersih yang tersedia di toilet mesjid. Karena Sumur di rumahku, sudah setahun belakangan tak layak lagi dipakai untuk memasak.
"Sudah kamu pulang saja sama, Mas ini. Biar lantainya saya bersihkan. Lagian kamu kan baru lahiran, kenapa angkat-angkat berat? Mana Rio? Dia gak ada di rumah atau emang gak mau bantuin kamu? Seandainya tidak ada orang pun di rumah. Kamu kan bisa suruh anak-anakmu ambil pakai botol seperti biasa. Mesjid ini insyaallah masih tetap disini, gak akan pindah." tutur Bu Halimah.
"Jangan, Bu. Itu darah saya. Jadi biarkan saya saja yang bersihkan. Jangan, Ibu," jawabku tegas menolak .
"Sudah kamu nurut saja. Nanti kalau ada apa-apa saya juga yang disalahkan orang-orang. Lagian dengan keadaan kamu yang pendarahan seperti ini, itu lantai bukannya bersih yang ada tambah kotor. Sudah tambah kotor, kamu juga bakal pingsan disitu karena pendarahan. Kamu jangan anggap sepele sama pendarahan buat wanita yang baru melahirkan, Ana! Pasti sekarang badanmu terasa gak enakkan? Kepalamu pusing kan? Kamu pulang lah dulu, istirahat. Nanti sehabis saya bersihkan ini, saya mampir kerumahmu." ujar Bu Halimah menceramahiku panjang.
"Bayu, saya minta tolong, yah. Kasian ibu ini," pinta Bu Halimah mengulang permintaannya, sambil menatap aku dan Bayu bergantian.
"Baik, Bu. Permisi," ucap Pria jangkung tersebut pada Bu Halimah. "Ayo, Bu. Saya antar" ajak pria itu padaku.
Mau tak mau aku menurut saran Bu Halimah. Perkataan beliau membuatku takut. Bagaimana nasib ketiga anakku nanti, bila hal buruk menimpaku. Mana bisa suamiku itu kuandalkan untuk mengurus buah cinta kami.
Aku telah memiliki dua putra dan dua minggu yang lalu aku baru saja melahirkan anak ketiga. Seorang anak perempuan yang cantik. Aku pikir setelah kami memiliki seorang anak perempuan. Rumah tanggaku yang tak sehat ini akan berubah menjadi lebih baik. Ternyata sama saja, tak ada perubahan pada suamiku. Aku tetap menjalani hidupku layaknya seorang janda beranak empat. Dimana suamiku lah yang menjadi anak pertamaku. Karena bertingkah layaknya bayi kolot yang semuanya serba aku yang harus mengurus.
Kebanyakan wanita mungkin takut akan momen melahirkan, tapi tidak denganku. Yang paling kutakutkan adalah momen setelah bayiku lahir. Aku pernah bertingkah aneh saat pertama kali melahirkan. Hal yang paling fatal yang pernah kulakukan adalah menyiram tubuh yoga, anak pertamaku dengan bensin. Entah setan apa yang berbisik di runguku, untuk membakar tubuh kecilnya. Beruntung almarhumah ibu mertuaku datang sebelum korek api tersebut berhasil kunyalakan. Jadi Yoga masih selamat dari kegilaanku. Saat aku sadar dengan perbuatanku, aku hanya bisa menangis sejadinya menyesali kekejamanku terhadapnya. Malang benar Yoga, mendapati ibu yang kejam seperti aku.
"Terimakasih yah bang," ucapku pada Bayu. Ia mengangkat dua ember berisi air sampai ke dapur.
"Iya, Bu sama-sama," Balas Bayu sambil memakai sandalnya.
Aku menangkap sosok suamiku yang berjalan pulang. Perasaan senang dan kesal bercampur membuat emosi yang tak dapat kupahami.
"Diana Widuri," teriak suamiku sesampainya di depan rumah "Dasar wanita murahan. Sudah tak sabar rupanya kau untuk mantap-mantap. Ditinggal suami bekerja, kau malah bersenang-senang dengan pria lain di rumahku!"
Plak!
Belum lagi sempat aku berbicara. Sebuah tamparan yang pedas mendarat di pipiku yang cengkung ini. Pria yang bernama Bayu melongo menatap Bang Rio yang tak sungkan menamparku di hadapannya.
Tubuhku yang melawan rasa sakit sedari tadi. Kini tak bisa diajak bersabar lagi akibat tamparan yang di hadiahkan Bang Rio padaku. Tanganku berusaha mengurut keningku yang telah bermahkota bulir peluh. Agar rasa pusing yang menghantam kepala ini, sudi berkurang. Namun, tak ada hasil. Aku malah berhalusinasi. Aku seakan memiliki banyak kepala dan setiap kepala yang kumiliki menangkap satu suara gaduh yang ada di hadapanku. Salah satunya, suara gaduh saat Bang Rio hendak menghajar Bayu. Beruntung Bu Halimah datang tepat pada waktunya. Adanya Bu Halimah di sini menggagalkan niat Bang Rio yang hendak memukul Bayu. Aku ingin melangkah, tapi kaki ini seperti kaki meja yang tak bisa bergerak. Aku semakin tak bisa fokus dengan apa yang terjadi. Disusul dengan penglihatan yang semakin menggelap.
Terdengar sayup suara berisik memasuki setengah alam sadarku yang tengah bermimpi. Bersamaan tubuhku yang terasa berguncang pelan. Saat netra ini terbuka, tertangkap Iqbal, anak keduaku tengah menangis menatapku. Inginku tertawa melihat wajah jeleknya saat ini. Wajah Iqbal basah karena air mata dan keringat yang bercampur. Bahkan di atas bibirnya ada cairan kental berwarna bening yang turun dari hidung mancungnya. Namun, urung kulakukan. Sebab selain tangis Iqbal yang mengusik tidurku, ada bayi perempuan yang ikut menagis. Entah sudah berapa lama, bayi merah yang ada di dekatku ini menangis seperti itu. Suara tangisnya yang biasa melengking, terdengar serak sekarang. Bahkan wajah cantiknya yang biasanya putih kemerah-merahan, kini berwarna biru. Kuraih alas tidur bayiku yang berwana merah muda itu. Sekarang ia sudah berada dalam dekapku. Suara tangisnya pun seketika lenyap. Ketika ia berhasil mengisap sumber makanannya yang ada pada tu
Sudah hampir satu jam aku terjaga karena menyusui bayiku. Bolak-balik mengganti saluran TV , tak kutemukan juga siaran yang menarik. Bosan hanya mencari tayangan, aku memilih mematikan TV. Seketika suasana malam ini kembali hening. Suamiku masih belum tampak juga batang hidungnya, padahal aku sangat membutuhkan kehadirannya saat ini. Terdengar seseorang membuka pintu masuk rumahku, ku harap semoga itu Bang Rio yang pulang. "Anaaa!" Syukurlah ternyata memang suamiku yang pulang. Bang Rio berteriak lantang, memanggilku dari arah dapur. Crack! Bang Rio menendang keras pintu kamar kami yang tak terkunci. Kali ini suara pintu yang menghantam diding kamar, berhasil membangunkan ketiga anakku. Bayi yang ada dalam pangkuanku langsung menangis, karena terkejut. Begitu pula dengan Yoga dan Iqbal, mereka terbangun dalam
Sesuai perkataan suamiku, Bang Rio menepati janjinya membawa aku dan Yoga berobat. Bang Rio membawa kami berobat di Puskesmas, yang jaraknya bisa kami tempuh lima menit saja dengan menggunakan angkot. Seakan dunia sedang baik padaku, saat sesampainya di puskesmas pun Bang Rio dengan siaga mendampingi aku dan Yoga untuk di periksa secara bergantian. Kurang dari tiga puluh menit, aku dan Yoga sudah selesai dan menerima obat. Mungkin karena kami datang terlalu pagi jadi antrian tak terlalu ramai. Bang Rio juga sempat menawariku untuk melanjutkan berbelanja, tapi dengan tegas aku menolak. Tubuhku yang belum terlalu fit, membuat aku sangat merindukan tempat tidur. Saat asik bercanda dengan dua anak lelakiku di halte yang tak jauh dari puskesmas, tempat kami menunggu angkot pulang.Tampa sengaja aku melihat seorang wanita muda, tengah tersenyum manis me
Sesampainya di rumah, aku menyuruh Yoga membawa Iqbal bermain di luar. Karena aku yakin sebentar lagi Bang Rio akan menyusulku yang sudah pulang duluan dan siap menghajarku. Benar saja, tak lama setelah aku selesai menidurkan anak perempuanku. Bang Rio pulang, dengan wajah seketat celana dalam baru."Dek! Apa kau sudah gila? Tega kau permalukan Abang dan diamuk massa sama orang-orang yang ada di sana!" Bang Rio langsung menyemburku. Sangkin emosinya ia padaku, aku sampai bisa mendengar suara geletukan giginya yang saling beradu."Aku gilak dan tega, Bang? lalu, Abang dan wanita tadi apa?" Bentakku tak kalah emosi."Yah, tapi gak perlu juga kau bilang kami asangan selingkuh disana!""Kalau kalian bukan pasangan selingkuh, jadi kalian itu apa, Bang? Pasangan mesum? Yang bebas bercerita hal yang tak senonoh di depan umum. Aku ini istrimu, Bang! Apa Abang tidak bisa menjaga perasaanku sedikit saja, Bang?
"Na, Keleng pulang sama cewek!" ujar kak Yanti dengan wajah terkejut. "Bapak ..., " teriak Iqbal dengan nada girang. "Mana ibu?" Tanya Bang Rio dengan nada ketus. Penasaran dengan wanita yang di bawa pulang suamiku. Aku bergegas keluar kamar untuk menemuinya. "Ada apa Bang?" jawabku. "Sekarang juga, Keluar kau dari rumah ini! Ini rumahku! Kenapa aku pula yang harus terusir dari rumah ini?" Tanpa basa-basi Bang Rio membentak dan mengusirku. Iqbal yang tadinya girang akan kepulangan ayahnya berlari ketakutan memeluk diriku. Tak lama seorang w
"Ana tau Rio sudah menikah?" tanya Pak salim padaku. Ketegangan dalam ruang tamuku saat ini sangatlah terasa. Aku saat ini tak jauh sama seperti mereka. Sama-sama terkejut mendengar pengakuan suamiku yang telah menikah lagi. "Tidak Pak," jawabku singkat. Mendengar jawabanku, Pak Salim Menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menatap suamiku yang duduk mesra dengan Beby. Mungkin bila orang yang tak mengenal kami. Orang-orang akan bilang, mereka adalah sepasang suami istri. Sementara aku orang lain yang tak ada hubungan apapun dengan mereka. "Rio, dalam hukum negara maupun hukum agama kita. Syarat pertama untuk menikah lagi adalah meminta izin atau restu dari istri pertama. It
Hai Reader's. Pertama-tama saat ingin mengucapkan terimakasih untuk kalian yang sudah membaca tulisan saya yang recehan ini. Berhubung ini cerita pertama saya, jadi tulisan saya masih terlalu kaku. Jadi karena itu saya sedikit stuck untuk mengupdate cerita selanjutnya. Sebelum saya lanjut mengupdate cerita, izinkan saya merevisi sedikit beberapa Bab agar lebih santai dan enak untuk dibaca. Jadi saya mohon maaf atas ketidak nyamananya. .•♫•♬•𝙸𝚖𝚊𝚐𝚒𝙽𝚊𝚝𝚒𝚘𝚗 •♬•♫•. Hai Reader's. Pertama-tama saat ingin mengucapkan terimakasih untuk kalian yang sudah membaca tulisan saya yang recehan ini. Berhubung ini cerita pertama saya, jadi tulisan saya masih terlalu kaku. Jadi karena itu saya sedikit stuck untuk mengupdate cerita selanjutnya. Sebelum saya lanjut mengupdate cerita, izinkan saya merevisi sedikit beberapa Bab agar lebih santai dan enak untuk dibaca. Jadi
"Hei pelakor ...! Bisa diem gak sih? " Kami yang berada di ruang tamu, tersentak kaget mendengar bentakan dari Kak Yanti. Ini untuk kedua kalinya Ia keluar dari kamarku dengan posisi sama, marah. sambil menggendong Rina yang tengah menangis. Kak Yanti pun menghampiriku dan menyerahkan Rina padaku untuk ditenangkan. Mungkin Kak Yanti sedikit panik dengan tangis Rina yang susah ia redakan. "Eh, Mbak! Tolong dong, sopan sedikit kalau bicara." ucap kak Yanti sambil berkacak pinggang. "Belum jadi istri sah Si Keleng kan? Masih cuman sebatas pelakor kan? Daerah sini, orangnya pada bar-bar loh, Mbak terhadap pelakor. Mbak mau saya panggil orang-orang sini sama ketua RT, buat ngeramein Mbak? Belum sah aja belagu!" "Pak, Buk. Tegur dong, tuh. Mereka belum sah udah n
Tiara sudah berada di klinik yang tak jauh dari rumah Diana. Sementara wanita yang seharusnya memiliki tiga anak itu, masih mengontrol rasa takutnya. Tubuh Diana terus saja gemetar. Kejadian Tiara hilang kesadaran, bertemu orang asing dan harus berhadapan dengan tenaga medis, membuat Diana mengingat Rina, anak perempuannya yang sudah berpulang. "Na," panggil Tiara yang susah siuman. Diana yang duduk tak jauh dari ranjang Tiara menoleh. "Hey, ini Aku yang pingsan apa kamu. Kenapa kamu yang pucet gini, Na?" tanya Tiara dengan suara yang masih lemah. "Kamu, jangan masuk lagi ke rumahku ya, Ra.""Kenapa?" tanya Tiara bingung. "Rumahku kotor, kamu akan seperti ini lagi nanti," jawab Diana mulai tergugu. Diana mulai menangis, tapi dia bingung sendiri. Apa pemicu yang membuat ia menangis. Apa tentang Tiara yang pingsan, atau karena ingat anak perempuannya."Kita bersihkan yah, Na," kata Tiara lembut. "Iyah, nanti aku saja yang membersihkannya, tapi selama rumahku masih seperti itu kam
Entah apa yang membuat Diana tetap menikmati aktivitasnya melayani pelanggan toko roti. Hingga tanpa ia sadari jam sudah menunjukan pukul 11 siang, merasa keadaan sudah tenang Diana pun naik menemui Henny.Sesampainya di depan kantor Henny, terdengar suara tawa Iqbal yang renyah dari dalam sana. Diana menahan langkahnya untuk masuk kedalam.ia sudah lama tak mendengar tawa putra bungsunya itu, jadi ia ingin mendengarnya sedikit lama. Tok tok tok"Permisi Bu," sapa Diana saat ia sudah puas mendengar tawa Iqbal.Henny yang berada di samping Iqbal menoleh. Ada pemandangan yang cukup janggal disana. Dimana Iqbal duduk di kursi kerja Henny sambil menonton sesuatu dari laptop milik Henny. Sementara Henny sedang bergumul dengan beberapa kertas yang ada di hadapannya. "Diana, kemarah," titah Henny.Diana menurut dia mendekat menghampiri Henny."Bu, saya sudah putuskan," ujar Diana tak ingin berbasa-basi. Namun, belum selesai ia berbicara, Henny memotong ucapannya."Diana," panggil Henny. "Apa
Setelah sekuat tenaga Tiara mencoba meredam emosi ibu dua anak tersebut. Diana akhirnya berhenti mengamuk. Kini ia tengah menangis tersedu di pelukan Tiara, seakan menumpahkan semua beban yang selama ini ia simpan dan telan sendiri."Iqbal mau kemana sayang," tegur Tiara melihat Iqbal mengekori abangnya yang hendak pergi sekolah. Sedikit lucu namun sebenarnya penampilan Iqbal membuat Tiara merasa sakit. Baju dan celana Iqbal tampak tak rapi. Bisa Tiara pastikan Iqbal memakai pakaian sendiri atau ia terburu-buru mengenakannya.Iqbal berhenti menatap sahabat ibunya yang ia panggil dengan sebutan Tante. "Iqbal mau ke sekolah bang Yoga, sebentar lagi, Ibu akan bekerja, jadi Iqbal di menunggu di sana," kata Iqbal polos.Benar-benar kehidupan yang Diana dan kedua anaknya sungguh pelik. Sebagai sahabat Tiara merasa kurang peka. "Yoga dan Iqbal sudah sarapan, sayang," tanya Tiara lagi ambil menarik lembut tangan Iqbal mendekat, kemudian merapikan baju dan celana Iqbal yang terlihat sudah keke
Lagi saat Diana hendak membuka pintu, ia harus kembali menyingkirkan bungkusan-bungkusan besar yang menghalangi akses keluar masuk rumahnya. Dia begitu ceroboh, tadi malam saat merapikan barang-barang tersebut, sebagian besar sengaja ia letakan di dekat pintu. Awalnya itu hanya sementara karena memang tak ada ruang lagi untuk meletakan barang yang sudah ia pilah. Namun, tubuhnya yang mulai merasa lelah, membuat Diana melupakan barang-barang tersebut dan pergi tidur."Sebentar yah, pintu saya macet." Lagi, Diana berbohong.Tak ada jawaban di balik pintu tersebut, Diana terus menyingkirkan bungkusan plastik tersebut dengan cepat. Akibatnya rumah Diana kembali berantakan tidak jelas. Sedikit Ruang untuk membuka pintu telah siap. Diana membuka pintu dengan sedikit celah."Lama amat sih," ucap sosok yang menunggu di depan sana."Tiara!" Ucap Diana terkejut. Ia tak menyangka Tiara akan kembali datang. "Ana, kamu nggak mau mempersilahkan aku masuk gitu?" tanya Tiara yang kebingungan melihat
"Diana, ayo duduk dulu sini. Kita selesaikan masalah ini baik-baik. Kamu jangan ambil hati perkataan anak saya," bujuk Henny menenangkan Diana yang tampak emosi."Maaf Bu. Apa yang anak Ibu bilang mungkin memang benar. Disini bukan, apa itu, tempat penitipan anak," ujar Diana kesulitan mengulang kata Daycare. "Saya ini hanya karyawan, Bu. Saya pribadi juga tidak akan merasa enak hati, jika saya menitipkan anak saya untuk tidur di kantor, Ibu," ujar Diana berhati-hati."Dan untuk Mbak, saya sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjadikan anak saya untuk mencari uang tambahan. Jujur, saya juga sedih, melihat anak saya di anggap pengemis oleh orang-orang termasuk Mbak Bu Henny. Ini juga pertama kalinya saya membawa anak kemari."Melati yang sudah mendengarkan sedikit cerita tentang Diana, yang diceritakan oleh sang ibu, semakin merasa bersalah."Begini saja Diana, mungkin saat ini kamu sedang emosi. Saya paham keadaanmu saat ini cukup berat. Biasanya mengambil keputusan saat emosi, aka
hai, sebelumnya terimakasih yang masih bersedia mampir membaca kisah ini. Maaf saya terlalu lama Hiatus. sebelumnya saya benar-benar stuck dan tidak sanggup melanjutkan kisah ini. karena saya merasa saya tidak sanggup menulis cerita drama rumah tangga dengan baik. Namun, kali ini saya mau mencoba lagi. bagaimana pun saya harus menyelesaikan kisah ini untuk kalian yang sudah terlanjur membaca. Saya juga minta maaf kalau cerita ini sedikit berantakan dan membosankan. namun, ini adalah cerita pertama yang saya buat. jangan lupa meninggalkan komentar yah. kritik dan saran kalian sangat saya butuhkan untuk menjadi cambuk semangat saya. salam sehat dan bahagia selalu. untuk kalian yang membaca kisah ini.
Dengan hati berdebar, Diana masuk kedalam ruangan Heny. "Permisi Bu. Ibu panggil saya?" tanya Diana saat memasuki ruang kerja pemilik toko roti tersebut. Wanita keturunan Tionghoa itu lantas menoleh ke arah Diana."Diana, kamu kenal anak yang ada di depan toko?"Diana mengangguk pelan, tak menjawab tapi pikirannya sudah berlari jauh entah kemana. "Tolong kamu bangunkan dia dan minta dia pulang. Tak enak kalau di lihat pelanggan," titah Henny dengan wajah prihatin.Henny kemudian mengambil uang 10.000 dari dompetnya, kemudian mengulurkan uang tersebut ke arah Diana. "Kasih ini sama dia yah, biar mau dia pulang," bujuk Henny lagi.Lagi, untuk kesekian kalinya. Diana kembali tertampar. Anaknya benar-benar dianggap pengemis oleh setiap orang."Ma-maaf, Bu," ucap Diana ragu-ragu. "Anak yang di depan toko, sebenarnya anak saya?"Mendengar perkataan Diana,Henny dan putrinya Saling bertatapan. kemudian menatap Diana bersamaan."Di sini toko, bukan Daycare!" Bahu Diana tersentak kaget, s
Aku sudah berada di toko roti bersama Iqbal. Namun, aku dan Iqbal tak bersama. Kami terpisah oleh pintu dan dinding kaca, yang membatasi. Aku berada di dalam sedang bekerja, sementara Iqbal duduk diluar menonton kendaraan yang lewat bersama seekor kucing. "Ibu dimana?" seorang wanita muda, bertanya padaku. "Ibu, ada di atas kak" jawab Delia, yang merupakan rekan kerjaku. "Itu, Bu Melati. Dia anaknya Bu Heny." Sambung Delia padaku. Bukannya, mendengarkan pemberitahuan Delia. Pandanganku malah tertuju pada lolipop gratis yang ada di samping mesin uang. "Del, aku boleh minta permen gratismu?" tanyaku mendekati meja kasir Delia. "Kakak mau, kebetulan tadi beberapa yang beli gak mau ambil," ujar Delia menyodorkan dua tangkai lolipop warna-warni padaku. "Buat anak kecil yang di depan itu, ya, Kak?" tanya Delia menunjuk Iqbal. Sepertinya Delia menyadari, jika aku terus memperhatikan Iqbal dari sini. "Iya, dia anakku." aku tertunduk malu menjawabnya. "Anak,
Beberapa bungkusan, mengganjal pintu masuk rumah. Aku sendiri tak tau apa isi dalam bungkusan itu. Semenjak bang Rio masuk penjara, aku kini memilih bekerja di luar. Bekerja di toko roti yang tak terlalu jauh dari rumahku. Aku yang sudah lelah bekerja di luar, enggan melakukan pekerjaan rumah karena terlalu lelah. "Siapa ya?" tanyaku pada wanita yang berdiri di depan rumahku sambil menenteng dua bungkusan plastik yang ada di kedua tangannya. "Saya asistennya Ci Fely, Bu. Ini ada baju-baju bekas Ci fely minta di kasih ke Ibu Rina. Ini rumah bu Rina kan?" tanya wanita itu mencari jawaban dari wajahku. Ternyata wanita itu adalah asisten Ci Fely, salah satu pelangganku, sewaktu aku berjualan jajanan gorengan di depan rumah. "Oh … letakan saja disitu. Nanti saya ambil. Pintu saya lagi macet. Susah di buka," ujarku berbohong. Selain aku trauma menerima orang asing datang kerumah, aku juga malu dengan keadaan rumah yang berantakan. Wanita itu hanya mengangguk. Ia menatapku dengan tatapa