Sudah hampir satu jam aku terjaga karena menyusui bayiku. Bolak-balik mengganti saluran TV , tak kutemukan juga siaran yang menarik. Bosan hanya mencari tayangan, aku memilih mematikan TV. Seketika suasana malam ini kembali hening.
Suamiku masih belum tampak juga batang hidungnya, padahal aku sangat membutuhkan kehadirannya saat ini. Terdengar seseorang membuka pintu masuk rumahku, ku harap semoga itu Bang Rio yang pulang.
"Anaaa!"
Syukurlah ternyata memang suamiku yang pulang. Bang Rio berteriak lantang, memanggilku dari arah dapur.Crack!
Bang Rio menendang keras pintu kamar kami yang tak terkunci. Kali ini suara pintu yang menghantam diding kamar, berhasil membangunkan ketiga anakku. Bayi yang ada dalam pangkuanku langsung menangis, karena terkejut. Begitu pula dengan Yoga dan Iqbal, mereka terbangun dalam keadaan kaget. Namun, rasa kantuk dan lelah seharian menjagaku, membuat mereka memilih tetap berbaring diam sambil melamun.
"Kenapa nggak ada makanan di rumah? Dasar istri tak becus! Suami capek kerja di luar, pulang kerumah. Eh, gak ada apa-apa. Aku lapar!" Bentak Bang Rio saat masuk ke dalam kamar. "Hei, jawab aku bodoh! Jangan kau lihat saja aku. Sudah berani kau melawanku, yah. Aku ceraikan nanti kau, jadi gembel, kau di jalanan!" ancamnya padaku. Bukannya aku tak mau menjawab. Tapi aku seperti tak memiliki mulut. Entah kenapa setelah mengalami pendarahan tadi pagi, aku terus saja mengalami halusinasi terhadap seluruh anggota tubuhku secara bergantian. Aku yang berusaha mengumpulkan kesadaran, melongo heran. Yoga yang tadinya kulihat hanya terbaring, tiba-tiba berlari ke arahku. Kuikuti kemana arah mata Yoga menatap. Ternyata satu kaki Bang Rio sudah melayang di udara, seakan siap menendangku yang masih memangku bayi.Gedebuk!
Tubuh kecil Yoga terpental saat menghalau tendangan Bang Rio, yang tadinya untukku. Kepala kecil yoga terantuk ke tiang kayu yang ada di kamar. Melihat anak sulungku itu terpental dan terbentur, akhirnya mulutku bisa juga mengeluarkan suara."Astagfirullah Abaang!" jeritku. Kuletakan bayi perempuanku yang makin menangis histeris, akibat nada-nada tinggi suara suamiku. Suasana malam yang tadinya hening, mendadak riuh. Tangisan bayiku dan teriakan Bang Rio yang saling sahut-menyahut dan tak ada yang mau mengalah.
"Makanya, kau jawab kalau aku bertanya! Kenapa kau nggak masak? Aku lapar!" bentaknya lagi.
Masih tak kuhiraukan bentakan suamiku. Aku lebih memilih, menghampiri Yoga yang menangis ketakutan. "Sini Bang," Bujukku pada Yoga."Aku mau masak apa Bang? Uangku saja tak ada lagi. Abang juga belum ada kasih aku uang?" Jawabku pelan. Aku menatapnya dengan penuh emosi. Cukup aku saja yang ia sering pukul. Jangan anakku.
"Menjawab pula kau!" Satu tangan Bang Rio berhasil mencengkram kerah dasterku, sementara tangan yang satu lagi sudah mengepal, seakan hendak meninjuku. Dari mulutnya tercium bau alkohol yang menyengat. Pantas saja dia gila.
"Pak! Jangan pukul ibu, Pak, ibu lagi sakit." ucap Yoga memohon, sambil memeluk Iqbal yang ketakutan.
Tak tega melihat anak-anakku ketakutan, aku memutar otak. Untung saja aku hapal tabiat Bang Rio bila mabuk. Aku hanya perlu sedikit mengalah, untuk membuatnya tertidur.
"Yah sudah sebentar," Jawabku singkat dan melepaskan diri dari tangannya yang masih mencengkram dasterku.
"Abang istirahatlah sebentar, Ana lihat dulu kebelakang, apa yang ada Ana masak," ucapku berbohong, padahal aku hanya ingin mengulur waktu. Mau masak apa, tadi saja kami makan karena Bu Halimah yang memberikan kami lauk.
Sesuai tebakanku, setelah ku minta Bang Rio untuk berbaring di tempat tidur, suara dengkurannya mulai keluar.
Kuajak Yoga dan Iqbal keluar dari kamar, menjauh dari Bang Rio yang telah terlelap. Aku meminta mereka melanjutkan tidur di ruang tamu bersamaku. Beralaskan ambal tahu berwarna merah, mereka pun kembali melanjutkan tidurnya. Aku yang seharian merasa sangat lemas dan sempoyongan, mendadak sehat penuh tenaga. Naluriku sebagai ibu yang harus melindungi anak-anaknya dari bahaya, membuatku mendapatkan tenaga extra. Biarlah aku mengalah malam ini melawan orang yang sedang tak waras. Tapi lihat saja besok, akan kulawan dia.*** Aku tengah bermimpi. Namun, sayup-sayup terdengar sebuah suara memanggilku dari dalam mimpi. Semakin lama, suara itu semakin jelas terdengar. Saat netra ini terbuka, terlihat Bang Rio tengan membangunkanku."Dek, dek bangun." suara itu lah yang sedari tadi memanggilku di dalam mimpi.
"Ayo makan dulu, Dek. Abang sudah belikan sarapan," ucapnya lagi padaku sambil tersenyum manis. Aroma wangi sabun dan sampo dari tubuh suamiku yang berkulit gelap, menyeruak tajam keIndra penciumanku. Berkat wangi segar itu, aku terbangun dengan bugar . Netraku menyapu seluruh ruang tamu yang menjadi tempatku tidur. Kudapati Yoga dan Iqbal yang ternyata sudah duluan bangun dan tengah menikmati sarapan dengan lahap. Melihat mereka makan sambil bercanda riang, bibir ini reflek melengkung ke atas. Kali ini aku bisa tersenyum saat melihat buah hatiku makan dengan lahap."Eh, tuan putri sudah bangun, cantiknya anak Bapak ini," ucap Bang Rio saat melihat bayi perempuan kami ikut terbangun.
"Cuci muka dulu dek baru makan. Oh, ya. Tolong sekalian bawakan teh yang ada di belakang. Tadi sudah Abang buat, cuman lupa Abang bawa kemari," pintanya lembut padaku.
Bang Rio memang tipikal orang yang kasar dan kurang bertanggung jawab pada keluarga. Tapi tak menutup kemungkinan dia akan memperlakukan kami layaknya kepala rumah tangga yang baik. Namum, sering di belakang sikap baiknya ada kesalahan yang tengah ia tutupi.
Setelah mendapatkan kesadaran penuh. Akupun beranjak meninggalkan ruang tamu yang tadi malam terasa dingin, tapi di pagi ini terasa begitu hangat. Langkahku terus tertuju pada kamar mandi, untuk sekedar mencuci muka.
Selesainya aku membersihkan wajah dan gigi, akupun kembali ke tempat suami dan anak-anakku berkumpul. Aroma manis dari secangkir besar teh yang kubawa tercium sangat manis. Ah ... Manis sekali pagiku ini. Niat hati mengajak Bang Rio perang pagi ini, lenyap sudah. Aku benar-benar terbuai dengan kehangatan rumah tangga kami pagi ini.
"Dek, itu di meja uang buat belanja sama uang yang Abang pinjam kemarin yah," Tunjuk bang Rio ke arah meja kecil.
Awalnya aku tak terlalu memperhatikan apa saja yang ada di atas meja kecil itu. Aku yang sekarang mudah lapar, lebih terfokus pada bungkusan makanan yang ada di meja tersebut. Kesambet hantu apa suamiku pagi ini? karena tiba-tiba dia ingat akan hutangnya padaku.
Sepanjang pernikahanku yang telah berjalan tujuh tahun. Tak sekalipun Bang Rio pernah mengganti uang yang telah ia pinjam dariku dan ini untuk pertama kalinya ia bertanggung jawab pada hutangnya. Baik itu uang yang ia beri padaku, maupun uang hasil keringatku sendiri, tak sekalipun pernah ia ingat untuk mengembalikan.
"Alhamdulillah," ucapku penuh syukur. "Abang gajian?" tanyaku penasaran. Namun, Bang Rio tak juga menjawab pertanyaanku. Ia malah asik bermain dengan bayi kami yang jarang ia lihat. "Nanti Abang antar adek Ama Yoga berobat yah," ucapnya tak menjawab pertanyaanku.
Padahal aku sudah sempat lupa dengan kejadian tadi malam, tapi syukurlah Bang Rio mengingatnya. Setidaknya ia bertanggung jawab dengan perbuatannya.
"Abang kenapa bisa minum? Kan sudah Ana bilang. Kalau kita lagi punya bayi Abang jangan minum, apalagi sampai mabuk," tanyaku mencari tau penyebab ia pulang dengan keadaan mabuk.
"Abang semalam, panik lihat kamu pingsan, Dek. Apalagi Abang baru sadar, kalau kaki Adek sudah berlumuran darah. Kata Bu Halimah, Adek pendarahan dan itu bisa membahayakan nyawamu. Sementara Abang semalam pulang, gak bawa uang. Upah kami di larikan sama Pemborong, jadi Abang sama teman-teman Abang nunggu di rumahnya semalaman. Makanya Abang gak pulang kemarin." lain yang ditanya, lain yang dijawab. Ciri-ciri orang yang sedang berbohong bukan? Apalagi menjawab pertanyaanku yang sederhana, Ia jawab dengan panjang kali lebar.
"Bang, yang Ana tanya. Kenapa Abang tadi malam mabuk? Bukan soal Abang kenapa gak pulang?" Tanyaku mengulang pertanyaan.
"Dengeri dulu cerita Abang, Dek," Ucapnya terhenti. "Hmm ..., ah sudahlah. Abang ceritain, Adek juga tidak akan mengerti," keluh Bang Rio yang kesal dengan pertanyaanku.
Sepertinya ia telah kehilangan rangkaian kata kebohongan yang telah ia siapkan. Terlihat dari iris hitamnya yang banyak melirik ke atas kiri, setiap kali menjawab pertanyaanku. Begitu pula hidungnya, yang selalu kembang-kempis setiap berbicara. 100% ciri-ciri orang yang tengah berbohong.
"Jadi ini uang dari mana? Apa pemborongnya sudah ketemu?" Tanyaku menganti Topic pembicaraan.
"Bukan,itu upah Abang hasil benerin kolam ikan dirumah teman SMA Abang. Awalnya Abang ke sana mau pinjam uang sama teman Abang, biar bawa adek berobat, tapi teman Abang keluar yang ada Ibunya. Ibunya malah tanyak-tanyak kerjaan Abang, pas ibunya tau Abang kuli bangunan, beliau minta Abang bagusin Kolam ikannya," terang bang Rio menceritakan. Kali ini aku percaya ucapan suamiku.
"Emang kolamnya sebesar apa bang, sampai sebanyak ini upahnya," "Cantik kali anak, Bapak ini." Rasa percayaku mendadak hilang, saat ia tiba-tiba mengalihkan pembicaraan lagi. "Bang, sebesar apa?" desakku. "Oh, itu bukan seutuhnya uang hasil ngerjain kolam, Dek. Kolamnya gak terlalu besar juga. Sore Abang sudah selesai bagusin kolamnya. Nah, pas Abang mau pulang teman Abang juga pulang. Jadi kami sedikit mengulang masa sekolah. Tiba-tiba Dimas ngajak Abang minum. Abang sudah tolak, Dek sumpah. Abang jelasin kalau Abang lagi gak boleh minum karena punya bayi, tapi dia maksa. Nah, pas Abang pulang Dimas kasi Abang uang lagi.
Deg!
Tiba-tiba saja detak jantungku berdegup kuat, saat Bang Rio menyebutkan nama seorang yang pernah menguasai hatiku. Tapi Dimas yang dimaksud Bang Rio pasti bukan Dimas yang ada dalam pikiranku. Karena jika Bang Rio berteman dengannya sewaktu SMA, otomatis Bang Rio juga satu sekolah denganku. "Ah ... Diana sadar lah, lagian nama Dimas nama yang pasaran," Bisik batinku.
Gerah dengan banyaknya pertanyaanku, suamiku terlihat hendak menghindar.
"Abang masak air panas buat Beby mandi dulu yah. Siapin lah apa yang mau Adek bawa buat kita pergi berobat."
"Siapa Beby bang?" Aku mengerutkan kening saat Ia menyebutkan sebuah nama yang asing di rumah ini."Nama anak perempuan kita lah Dek, belum ada namanya kan," jawab Bang Rio sambil berlalu meninggalkanku. Manis sekali sikapnya hari ini, seandainya Bang Rio memperlakukanku seperti ini setiap hari. Betapa bahagianya aku menjadi istrinya. "Semoga Beby benar-benar bisa membawa pengaruh baik untuk rumah tanggaku," bisik batinku.
Sesuai perkataan suamiku, Bang Rio menepati janjinya membawa aku dan Yoga berobat. Bang Rio membawa kami berobat di Puskesmas, yang jaraknya bisa kami tempuh lima menit saja dengan menggunakan angkot. Seakan dunia sedang baik padaku, saat sesampainya di puskesmas pun Bang Rio dengan siaga mendampingi aku dan Yoga untuk di periksa secara bergantian. Kurang dari tiga puluh menit, aku dan Yoga sudah selesai dan menerima obat. Mungkin karena kami datang terlalu pagi jadi antrian tak terlalu ramai. Bang Rio juga sempat menawariku untuk melanjutkan berbelanja, tapi dengan tegas aku menolak. Tubuhku yang belum terlalu fit, membuat aku sangat merindukan tempat tidur. Saat asik bercanda dengan dua anak lelakiku di halte yang tak jauh dari puskesmas, tempat kami menunggu angkot pulang.Tampa sengaja aku melihat seorang wanita muda, tengah tersenyum manis me
Sesampainya di rumah, aku menyuruh Yoga membawa Iqbal bermain di luar. Karena aku yakin sebentar lagi Bang Rio akan menyusulku yang sudah pulang duluan dan siap menghajarku. Benar saja, tak lama setelah aku selesai menidurkan anak perempuanku. Bang Rio pulang, dengan wajah seketat celana dalam baru."Dek! Apa kau sudah gila? Tega kau permalukan Abang dan diamuk massa sama orang-orang yang ada di sana!" Bang Rio langsung menyemburku. Sangkin emosinya ia padaku, aku sampai bisa mendengar suara geletukan giginya yang saling beradu."Aku gilak dan tega, Bang? lalu, Abang dan wanita tadi apa?" Bentakku tak kalah emosi."Yah, tapi gak perlu juga kau bilang kami asangan selingkuh disana!""Kalau kalian bukan pasangan selingkuh, jadi kalian itu apa, Bang? Pasangan mesum? Yang bebas bercerita hal yang tak senonoh di depan umum. Aku ini istrimu, Bang! Apa Abang tidak bisa menjaga perasaanku sedikit saja, Bang?
"Na, Keleng pulang sama cewek!" ujar kak Yanti dengan wajah terkejut. "Bapak ..., " teriak Iqbal dengan nada girang. "Mana ibu?" Tanya Bang Rio dengan nada ketus. Penasaran dengan wanita yang di bawa pulang suamiku. Aku bergegas keluar kamar untuk menemuinya. "Ada apa Bang?" jawabku. "Sekarang juga, Keluar kau dari rumah ini! Ini rumahku! Kenapa aku pula yang harus terusir dari rumah ini?" Tanpa basa-basi Bang Rio membentak dan mengusirku. Iqbal yang tadinya girang akan kepulangan ayahnya berlari ketakutan memeluk diriku. Tak lama seorang w
"Ana tau Rio sudah menikah?" tanya Pak salim padaku. Ketegangan dalam ruang tamuku saat ini sangatlah terasa. Aku saat ini tak jauh sama seperti mereka. Sama-sama terkejut mendengar pengakuan suamiku yang telah menikah lagi. "Tidak Pak," jawabku singkat. Mendengar jawabanku, Pak Salim Menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menatap suamiku yang duduk mesra dengan Beby. Mungkin bila orang yang tak mengenal kami. Orang-orang akan bilang, mereka adalah sepasang suami istri. Sementara aku orang lain yang tak ada hubungan apapun dengan mereka. "Rio, dalam hukum negara maupun hukum agama kita. Syarat pertama untuk menikah lagi adalah meminta izin atau restu dari istri pertama. It
Hai Reader's. Pertama-tama saat ingin mengucapkan terimakasih untuk kalian yang sudah membaca tulisan saya yang recehan ini. Berhubung ini cerita pertama saya, jadi tulisan saya masih terlalu kaku. Jadi karena itu saya sedikit stuck untuk mengupdate cerita selanjutnya. Sebelum saya lanjut mengupdate cerita, izinkan saya merevisi sedikit beberapa Bab agar lebih santai dan enak untuk dibaca. Jadi saya mohon maaf atas ketidak nyamananya. .•♫•♬•𝙸𝚖𝚊𝚐𝚒𝙽𝚊𝚝𝚒𝚘𝚗 •♬•♫•. Hai Reader's. Pertama-tama saat ingin mengucapkan terimakasih untuk kalian yang sudah membaca tulisan saya yang recehan ini. Berhubung ini cerita pertama saya, jadi tulisan saya masih terlalu kaku. Jadi karena itu saya sedikit stuck untuk mengupdate cerita selanjutnya. Sebelum saya lanjut mengupdate cerita, izinkan saya merevisi sedikit beberapa Bab agar lebih santai dan enak untuk dibaca. Jadi
"Hei pelakor ...! Bisa diem gak sih? " Kami yang berada di ruang tamu, tersentak kaget mendengar bentakan dari Kak Yanti. Ini untuk kedua kalinya Ia keluar dari kamarku dengan posisi sama, marah. sambil menggendong Rina yang tengah menangis. Kak Yanti pun menghampiriku dan menyerahkan Rina padaku untuk ditenangkan. Mungkin Kak Yanti sedikit panik dengan tangis Rina yang susah ia redakan. "Eh, Mbak! Tolong dong, sopan sedikit kalau bicara." ucap kak Yanti sambil berkacak pinggang. "Belum jadi istri sah Si Keleng kan? Masih cuman sebatas pelakor kan? Daerah sini, orangnya pada bar-bar loh, Mbak terhadap pelakor. Mbak mau saya panggil orang-orang sini sama ketua RT, buat ngeramein Mbak? Belum sah aja belagu!" "Pak, Buk. Tegur dong, tuh. Mereka belum sah udah n
Kuhentikan aktivitas Rina yang tengah menikmati ASI--ku. Bahkan tak kupedulikan tangisan Rina yang semakin histeris, karena ia belum juga puas menyusu. Tubuh mungilnya kini kembali kugendong menuju tempat perdebatan terjadi. Biarlah Rina menangis sebentar, yang penting rasa penasaran ku terbayarkan. Hanya itu isi pikiranku-------------------------------------------------------Mendapati aku kembali ke ruang tamu, Bang Rio dengan kasar merampas Rina dari gendonganku."Dimas Lihatlah ini!" ucap Bang Rio sambil menunjukan Rina pada pria itu. "aku tidak berbohong padamu. Istriku memang baru saja melahirkan dan kemarin ia memang pendarahan. Tanya saja pada ibu itu kalau kau tidak percaya pada ceritaku kemarin. Ibu itu yang mengatakan istriku pendarahan," tunjuk Bang Rio dengan wajahnya menghadap ke arah Bu Halimah. "Aku memang benar-benar membutuhkan uang Dimas, saat itu dimas." suara suamiku terdengar lirih saat ia menjelaskan. W
"Berhenti, jangan lari!" Teriak seseorang tiba-tiba. "Astagfirullahaladzim, Rina! Abang!" Teriakku panik. Suamiku berlari keluar rumah, masih dalam posisi menggendong Rina. Aku yang sempat menyadari gerak-gerik mencurigakan dari suamiku yang terus menggendong Rina, terduduk lemas sesaat. Apa ini alasan Bang Rio enggan menyerahkan Rina padaku. Agar ia tak terlihat mencurigakan jika kabur. Secepatnya aku berusaha menyadarkan diri, untuk mengejar suamiku yang membawa Rina pergi. Anakku dalam bahaya, itu lah yang terlintas dalam pikiranku. Aku menyusul Dimas beserta satu orang polisi yang terlebih dulu mengejar suamiku. Bang Rio berlari menuju jalan yang berada di ujung jalan rumahku ini. Sebuah jalan besar yang bebas di lewati kendaraan besar sekalipun. 
Tiara sudah berada di klinik yang tak jauh dari rumah Diana. Sementara wanita yang seharusnya memiliki tiga anak itu, masih mengontrol rasa takutnya. Tubuh Diana terus saja gemetar. Kejadian Tiara hilang kesadaran, bertemu orang asing dan harus berhadapan dengan tenaga medis, membuat Diana mengingat Rina, anak perempuannya yang sudah berpulang. "Na," panggil Tiara yang susah siuman. Diana yang duduk tak jauh dari ranjang Tiara menoleh. "Hey, ini Aku yang pingsan apa kamu. Kenapa kamu yang pucet gini, Na?" tanya Tiara dengan suara yang masih lemah. "Kamu, jangan masuk lagi ke rumahku ya, Ra.""Kenapa?" tanya Tiara bingung. "Rumahku kotor, kamu akan seperti ini lagi nanti," jawab Diana mulai tergugu. Diana mulai menangis, tapi dia bingung sendiri. Apa pemicu yang membuat ia menangis. Apa tentang Tiara yang pingsan, atau karena ingat anak perempuannya."Kita bersihkan yah, Na," kata Tiara lembut. "Iyah, nanti aku saja yang membersihkannya, tapi selama rumahku masih seperti itu kam
Entah apa yang membuat Diana tetap menikmati aktivitasnya melayani pelanggan toko roti. Hingga tanpa ia sadari jam sudah menunjukan pukul 11 siang, merasa keadaan sudah tenang Diana pun naik menemui Henny.Sesampainya di depan kantor Henny, terdengar suara tawa Iqbal yang renyah dari dalam sana. Diana menahan langkahnya untuk masuk kedalam.ia sudah lama tak mendengar tawa putra bungsunya itu, jadi ia ingin mendengarnya sedikit lama. Tok tok tok"Permisi Bu," sapa Diana saat ia sudah puas mendengar tawa Iqbal.Henny yang berada di samping Iqbal menoleh. Ada pemandangan yang cukup janggal disana. Dimana Iqbal duduk di kursi kerja Henny sambil menonton sesuatu dari laptop milik Henny. Sementara Henny sedang bergumul dengan beberapa kertas yang ada di hadapannya. "Diana, kemarah," titah Henny.Diana menurut dia mendekat menghampiri Henny."Bu, saya sudah putuskan," ujar Diana tak ingin berbasa-basi. Namun, belum selesai ia berbicara, Henny memotong ucapannya."Diana," panggil Henny. "Apa
Setelah sekuat tenaga Tiara mencoba meredam emosi ibu dua anak tersebut. Diana akhirnya berhenti mengamuk. Kini ia tengah menangis tersedu di pelukan Tiara, seakan menumpahkan semua beban yang selama ini ia simpan dan telan sendiri."Iqbal mau kemana sayang," tegur Tiara melihat Iqbal mengekori abangnya yang hendak pergi sekolah. Sedikit lucu namun sebenarnya penampilan Iqbal membuat Tiara merasa sakit. Baju dan celana Iqbal tampak tak rapi. Bisa Tiara pastikan Iqbal memakai pakaian sendiri atau ia terburu-buru mengenakannya.Iqbal berhenti menatap sahabat ibunya yang ia panggil dengan sebutan Tante. "Iqbal mau ke sekolah bang Yoga, sebentar lagi, Ibu akan bekerja, jadi Iqbal di menunggu di sana," kata Iqbal polos.Benar-benar kehidupan yang Diana dan kedua anaknya sungguh pelik. Sebagai sahabat Tiara merasa kurang peka. "Yoga dan Iqbal sudah sarapan, sayang," tanya Tiara lagi ambil menarik lembut tangan Iqbal mendekat, kemudian merapikan baju dan celana Iqbal yang terlihat sudah keke
Lagi saat Diana hendak membuka pintu, ia harus kembali menyingkirkan bungkusan-bungkusan besar yang menghalangi akses keluar masuk rumahnya. Dia begitu ceroboh, tadi malam saat merapikan barang-barang tersebut, sebagian besar sengaja ia letakan di dekat pintu. Awalnya itu hanya sementara karena memang tak ada ruang lagi untuk meletakan barang yang sudah ia pilah. Namun, tubuhnya yang mulai merasa lelah, membuat Diana melupakan barang-barang tersebut dan pergi tidur."Sebentar yah, pintu saya macet." Lagi, Diana berbohong.Tak ada jawaban di balik pintu tersebut, Diana terus menyingkirkan bungkusan plastik tersebut dengan cepat. Akibatnya rumah Diana kembali berantakan tidak jelas. Sedikit Ruang untuk membuka pintu telah siap. Diana membuka pintu dengan sedikit celah."Lama amat sih," ucap sosok yang menunggu di depan sana."Tiara!" Ucap Diana terkejut. Ia tak menyangka Tiara akan kembali datang. "Ana, kamu nggak mau mempersilahkan aku masuk gitu?" tanya Tiara yang kebingungan melihat
"Diana, ayo duduk dulu sini. Kita selesaikan masalah ini baik-baik. Kamu jangan ambil hati perkataan anak saya," bujuk Henny menenangkan Diana yang tampak emosi."Maaf Bu. Apa yang anak Ibu bilang mungkin memang benar. Disini bukan, apa itu, tempat penitipan anak," ujar Diana kesulitan mengulang kata Daycare. "Saya ini hanya karyawan, Bu. Saya pribadi juga tidak akan merasa enak hati, jika saya menitipkan anak saya untuk tidur di kantor, Ibu," ujar Diana berhati-hati."Dan untuk Mbak, saya sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjadikan anak saya untuk mencari uang tambahan. Jujur, saya juga sedih, melihat anak saya di anggap pengemis oleh orang-orang termasuk Mbak Bu Henny. Ini juga pertama kalinya saya membawa anak kemari."Melati yang sudah mendengarkan sedikit cerita tentang Diana, yang diceritakan oleh sang ibu, semakin merasa bersalah."Begini saja Diana, mungkin saat ini kamu sedang emosi. Saya paham keadaanmu saat ini cukup berat. Biasanya mengambil keputusan saat emosi, aka
hai, sebelumnya terimakasih yang masih bersedia mampir membaca kisah ini. Maaf saya terlalu lama Hiatus. sebelumnya saya benar-benar stuck dan tidak sanggup melanjutkan kisah ini. karena saya merasa saya tidak sanggup menulis cerita drama rumah tangga dengan baik. Namun, kali ini saya mau mencoba lagi. bagaimana pun saya harus menyelesaikan kisah ini untuk kalian yang sudah terlanjur membaca. Saya juga minta maaf kalau cerita ini sedikit berantakan dan membosankan. namun, ini adalah cerita pertama yang saya buat. jangan lupa meninggalkan komentar yah. kritik dan saran kalian sangat saya butuhkan untuk menjadi cambuk semangat saya. salam sehat dan bahagia selalu. untuk kalian yang membaca kisah ini.
Dengan hati berdebar, Diana masuk kedalam ruangan Heny. "Permisi Bu. Ibu panggil saya?" tanya Diana saat memasuki ruang kerja pemilik toko roti tersebut. Wanita keturunan Tionghoa itu lantas menoleh ke arah Diana."Diana, kamu kenal anak yang ada di depan toko?"Diana mengangguk pelan, tak menjawab tapi pikirannya sudah berlari jauh entah kemana. "Tolong kamu bangunkan dia dan minta dia pulang. Tak enak kalau di lihat pelanggan," titah Henny dengan wajah prihatin.Henny kemudian mengambil uang 10.000 dari dompetnya, kemudian mengulurkan uang tersebut ke arah Diana. "Kasih ini sama dia yah, biar mau dia pulang," bujuk Henny lagi.Lagi, untuk kesekian kalinya. Diana kembali tertampar. Anaknya benar-benar dianggap pengemis oleh setiap orang."Ma-maaf, Bu," ucap Diana ragu-ragu. "Anak yang di depan toko, sebenarnya anak saya?"Mendengar perkataan Diana,Henny dan putrinya Saling bertatapan. kemudian menatap Diana bersamaan."Di sini toko, bukan Daycare!" Bahu Diana tersentak kaget, s
Aku sudah berada di toko roti bersama Iqbal. Namun, aku dan Iqbal tak bersama. Kami terpisah oleh pintu dan dinding kaca, yang membatasi. Aku berada di dalam sedang bekerja, sementara Iqbal duduk diluar menonton kendaraan yang lewat bersama seekor kucing. "Ibu dimana?" seorang wanita muda, bertanya padaku. "Ibu, ada di atas kak" jawab Delia, yang merupakan rekan kerjaku. "Itu, Bu Melati. Dia anaknya Bu Heny." Sambung Delia padaku. Bukannya, mendengarkan pemberitahuan Delia. Pandanganku malah tertuju pada lolipop gratis yang ada di samping mesin uang. "Del, aku boleh minta permen gratismu?" tanyaku mendekati meja kasir Delia. "Kakak mau, kebetulan tadi beberapa yang beli gak mau ambil," ujar Delia menyodorkan dua tangkai lolipop warna-warni padaku. "Buat anak kecil yang di depan itu, ya, Kak?" tanya Delia menunjuk Iqbal. Sepertinya Delia menyadari, jika aku terus memperhatikan Iqbal dari sini. "Iya, dia anakku." aku tertunduk malu menjawabnya. "Anak,
Beberapa bungkusan, mengganjal pintu masuk rumah. Aku sendiri tak tau apa isi dalam bungkusan itu. Semenjak bang Rio masuk penjara, aku kini memilih bekerja di luar. Bekerja di toko roti yang tak terlalu jauh dari rumahku. Aku yang sudah lelah bekerja di luar, enggan melakukan pekerjaan rumah karena terlalu lelah. "Siapa ya?" tanyaku pada wanita yang berdiri di depan rumahku sambil menenteng dua bungkusan plastik yang ada di kedua tangannya. "Saya asistennya Ci Fely, Bu. Ini ada baju-baju bekas Ci fely minta di kasih ke Ibu Rina. Ini rumah bu Rina kan?" tanya wanita itu mencari jawaban dari wajahku. Ternyata wanita itu adalah asisten Ci Fely, salah satu pelangganku, sewaktu aku berjualan jajanan gorengan di depan rumah. "Oh … letakan saja disitu. Nanti saya ambil. Pintu saya lagi macet. Susah di buka," ujarku berbohong. Selain aku trauma menerima orang asing datang kerumah, aku juga malu dengan keadaan rumah yang berantakan. Wanita itu hanya mengangguk. Ia menatapku dengan tatapa