hai, sebelumnya terimakasih yang masih bersedia mampir membaca kisah ini. Maaf saya terlalu lama Hiatus. sebelumnya saya benar-benar stuck dan tidak sanggup melanjutkan kisah ini. karena saya merasa saya tidak sanggup menulis cerita drama rumah tangga dengan baik. Namun, kali ini saya mau mencoba lagi. bagaimana pun saya harus menyelesaikan kisah ini untuk kalian yang sudah terlanjur membaca. Saya juga minta maaf kalau cerita ini sedikit berantakan dan membosankan. namun, ini adalah cerita pertama yang saya buat. jangan lupa meninggalkan komentar yah. kritik dan saran kalian sangat saya butuhkan untuk menjadi cambuk semangat saya.
salam sehat dan bahagia selalu. untuk kalian yang membaca kisah ini."Diana, ayo duduk dulu sini. Kita selesaikan masalah ini baik-baik. Kamu jangan ambil hati perkataan anak saya," bujuk Henny menenangkan Diana yang tampak emosi."Maaf Bu. Apa yang anak Ibu bilang mungkin memang benar. Disini bukan, apa itu, tempat penitipan anak," ujar Diana kesulitan mengulang kata Daycare. "Saya ini hanya karyawan, Bu. Saya pribadi juga tidak akan merasa enak hati, jika saya menitipkan anak saya untuk tidur di kantor, Ibu," ujar Diana berhati-hati."Dan untuk Mbak, saya sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjadikan anak saya untuk mencari uang tambahan. Jujur, saya juga sedih, melihat anak saya di anggap pengemis oleh orang-orang termasuk Mbak Bu Henny. Ini juga pertama kalinya saya membawa anak kemari."Melati yang sudah mendengarkan sedikit cerita tentang Diana, yang diceritakan oleh sang ibu, semakin merasa bersalah."Begini saja Diana, mungkin saat ini kamu sedang emosi. Saya paham keadaanmu saat ini cukup berat. Biasanya mengambil keputusan saat emosi, aka
Lagi saat Diana hendak membuka pintu, ia harus kembali menyingkirkan bungkusan-bungkusan besar yang menghalangi akses keluar masuk rumahnya. Dia begitu ceroboh, tadi malam saat merapikan barang-barang tersebut, sebagian besar sengaja ia letakan di dekat pintu. Awalnya itu hanya sementara karena memang tak ada ruang lagi untuk meletakan barang yang sudah ia pilah. Namun, tubuhnya yang mulai merasa lelah, membuat Diana melupakan barang-barang tersebut dan pergi tidur."Sebentar yah, pintu saya macet." Lagi, Diana berbohong.Tak ada jawaban di balik pintu tersebut, Diana terus menyingkirkan bungkusan plastik tersebut dengan cepat. Akibatnya rumah Diana kembali berantakan tidak jelas. Sedikit Ruang untuk membuka pintu telah siap. Diana membuka pintu dengan sedikit celah."Lama amat sih," ucap sosok yang menunggu di depan sana."Tiara!" Ucap Diana terkejut. Ia tak menyangka Tiara akan kembali datang. "Ana, kamu nggak mau mempersilahkan aku masuk gitu?" tanya Tiara yang kebingungan melihat
Setelah sekuat tenaga Tiara mencoba meredam emosi ibu dua anak tersebut. Diana akhirnya berhenti mengamuk. Kini ia tengah menangis tersedu di pelukan Tiara, seakan menumpahkan semua beban yang selama ini ia simpan dan telan sendiri."Iqbal mau kemana sayang," tegur Tiara melihat Iqbal mengekori abangnya yang hendak pergi sekolah. Sedikit lucu namun sebenarnya penampilan Iqbal membuat Tiara merasa sakit. Baju dan celana Iqbal tampak tak rapi. Bisa Tiara pastikan Iqbal memakai pakaian sendiri atau ia terburu-buru mengenakannya.Iqbal berhenti menatap sahabat ibunya yang ia panggil dengan sebutan Tante. "Iqbal mau ke sekolah bang Yoga, sebentar lagi, Ibu akan bekerja, jadi Iqbal di menunggu di sana," kata Iqbal polos.Benar-benar kehidupan yang Diana dan kedua anaknya sungguh pelik. Sebagai sahabat Tiara merasa kurang peka. "Yoga dan Iqbal sudah sarapan, sayang," tanya Tiara lagi ambil menarik lembut tangan Iqbal mendekat, kemudian merapikan baju dan celana Iqbal yang terlihat sudah keke
Entah apa yang membuat Diana tetap menikmati aktivitasnya melayani pelanggan toko roti. Hingga tanpa ia sadari jam sudah menunjukan pukul 11 siang, merasa keadaan sudah tenang Diana pun naik menemui Henny.Sesampainya di depan kantor Henny, terdengar suara tawa Iqbal yang renyah dari dalam sana. Diana menahan langkahnya untuk masuk kedalam.ia sudah lama tak mendengar tawa putra bungsunya itu, jadi ia ingin mendengarnya sedikit lama. Tok tok tok"Permisi Bu," sapa Diana saat ia sudah puas mendengar tawa Iqbal.Henny yang berada di samping Iqbal menoleh. Ada pemandangan yang cukup janggal disana. Dimana Iqbal duduk di kursi kerja Henny sambil menonton sesuatu dari laptop milik Henny. Sementara Henny sedang bergumul dengan beberapa kertas yang ada di hadapannya. "Diana, kemarah," titah Henny.Diana menurut dia mendekat menghampiri Henny."Bu, saya sudah putuskan," ujar Diana tak ingin berbasa-basi. Namun, belum selesai ia berbicara, Henny memotong ucapannya."Diana," panggil Henny. "Apa
Tiara sudah berada di klinik yang tak jauh dari rumah Diana. Sementara wanita yang seharusnya memiliki tiga anak itu, masih mengontrol rasa takutnya. Tubuh Diana terus saja gemetar. Kejadian Tiara hilang kesadaran, bertemu orang asing dan harus berhadapan dengan tenaga medis, membuat Diana mengingat Rina, anak perempuannya yang sudah berpulang. "Na," panggil Tiara yang susah siuman. Diana yang duduk tak jauh dari ranjang Tiara menoleh. "Hey, ini Aku yang pingsan apa kamu. Kenapa kamu yang pucet gini, Na?" tanya Tiara dengan suara yang masih lemah. "Kamu, jangan masuk lagi ke rumahku ya, Ra.""Kenapa?" tanya Tiara bingung. "Rumahku kotor, kamu akan seperti ini lagi nanti," jawab Diana mulai tergugu. Diana mulai menangis, tapi dia bingung sendiri. Apa pemicu yang membuat ia menangis. Apa tentang Tiara yang pingsan, atau karena ingat anak perempuannya."Kita bersihkan yah, Na," kata Tiara lembut. "Iyah, nanti aku saja yang membersihkannya, tapi selama rumahku masih seperti itu kam
"Ana, kamu berdarah? Astagfirullah, lihat itu, teras mesjid juga ada banyak darah. Pasti itu darahmu, yang berceceran!" Aku yang hendak keluar dari halaman mesjid, sontak kaget mendengar teriakan Bu Halimah memanggilku. Runguku yang menangkap suara Bu Halimah, memerintah netra ini menatap lantai berkeramik biru tersebut. Benar saja, mulai dari arah toilet mesjid sampai ke teras pintu masuk ke dalam mesjid, ada banyak darah yang berceceran di lantai berwarna biru itu. Siapa lagi sang pemilik darah kalau bukan diriku. Pasalnya, hanya aku satu-satunya orang yang baru saja keluar dari toilet tersebut. Kini netraku tertuju pada kedua kakiku yang telah berlumuran darah. Bahkan daster lusuh yang kukenakan tak luput terkena nodanya. "Kenapa aku bisa tak merasakannya?" Gumamku. "Ana, kamu kan baru lahiran. Kenapa kamu yang angkat air? Mana Rio, suami
Terdengar sayup suara berisik memasuki setengah alam sadarku yang tengah bermimpi. Bersamaan tubuhku yang terasa berguncang pelan. Saat netra ini terbuka, tertangkap Iqbal, anak keduaku tengah menangis menatapku. Inginku tertawa melihat wajah jeleknya saat ini. Wajah Iqbal basah karena air mata dan keringat yang bercampur. Bahkan di atas bibirnya ada cairan kental berwarna bening yang turun dari hidung mancungnya. Namun, urung kulakukan. Sebab selain tangis Iqbal yang mengusik tidurku, ada bayi perempuan yang ikut menagis. Entah sudah berapa lama, bayi merah yang ada di dekatku ini menangis seperti itu. Suara tangisnya yang biasa melengking, terdengar serak sekarang. Bahkan wajah cantiknya yang biasanya putih kemerah-merahan, kini berwarna biru. Kuraih alas tidur bayiku yang berwana merah muda itu. Sekarang ia sudah berada dalam dekapku. Suara tangisnya pun seketika lenyap. Ketika ia berhasil mengisap sumber makanannya yang ada pada tu
Sudah hampir satu jam aku terjaga karena menyusui bayiku. Bolak-balik mengganti saluran TV , tak kutemukan juga siaran yang menarik. Bosan hanya mencari tayangan, aku memilih mematikan TV. Seketika suasana malam ini kembali hening. Suamiku masih belum tampak juga batang hidungnya, padahal aku sangat membutuhkan kehadirannya saat ini. Terdengar seseorang membuka pintu masuk rumahku, ku harap semoga itu Bang Rio yang pulang. "Anaaa!" Syukurlah ternyata memang suamiku yang pulang. Bang Rio berteriak lantang, memanggilku dari arah dapur. Crack! Bang Rio menendang keras pintu kamar kami yang tak terkunci. Kali ini suara pintu yang menghantam diding kamar, berhasil membangunkan ketiga anakku. Bayi yang ada dalam pangkuanku langsung menangis, karena terkejut. Begitu pula dengan Yoga dan Iqbal, mereka terbangun dalam
Tiara sudah berada di klinik yang tak jauh dari rumah Diana. Sementara wanita yang seharusnya memiliki tiga anak itu, masih mengontrol rasa takutnya. Tubuh Diana terus saja gemetar. Kejadian Tiara hilang kesadaran, bertemu orang asing dan harus berhadapan dengan tenaga medis, membuat Diana mengingat Rina, anak perempuannya yang sudah berpulang. "Na," panggil Tiara yang susah siuman. Diana yang duduk tak jauh dari ranjang Tiara menoleh. "Hey, ini Aku yang pingsan apa kamu. Kenapa kamu yang pucet gini, Na?" tanya Tiara dengan suara yang masih lemah. "Kamu, jangan masuk lagi ke rumahku ya, Ra.""Kenapa?" tanya Tiara bingung. "Rumahku kotor, kamu akan seperti ini lagi nanti," jawab Diana mulai tergugu. Diana mulai menangis, tapi dia bingung sendiri. Apa pemicu yang membuat ia menangis. Apa tentang Tiara yang pingsan, atau karena ingat anak perempuannya."Kita bersihkan yah, Na," kata Tiara lembut. "Iyah, nanti aku saja yang membersihkannya, tapi selama rumahku masih seperti itu kam
Entah apa yang membuat Diana tetap menikmati aktivitasnya melayani pelanggan toko roti. Hingga tanpa ia sadari jam sudah menunjukan pukul 11 siang, merasa keadaan sudah tenang Diana pun naik menemui Henny.Sesampainya di depan kantor Henny, terdengar suara tawa Iqbal yang renyah dari dalam sana. Diana menahan langkahnya untuk masuk kedalam.ia sudah lama tak mendengar tawa putra bungsunya itu, jadi ia ingin mendengarnya sedikit lama. Tok tok tok"Permisi Bu," sapa Diana saat ia sudah puas mendengar tawa Iqbal.Henny yang berada di samping Iqbal menoleh. Ada pemandangan yang cukup janggal disana. Dimana Iqbal duduk di kursi kerja Henny sambil menonton sesuatu dari laptop milik Henny. Sementara Henny sedang bergumul dengan beberapa kertas yang ada di hadapannya. "Diana, kemarah," titah Henny.Diana menurut dia mendekat menghampiri Henny."Bu, saya sudah putuskan," ujar Diana tak ingin berbasa-basi. Namun, belum selesai ia berbicara, Henny memotong ucapannya."Diana," panggil Henny. "Apa
Setelah sekuat tenaga Tiara mencoba meredam emosi ibu dua anak tersebut. Diana akhirnya berhenti mengamuk. Kini ia tengah menangis tersedu di pelukan Tiara, seakan menumpahkan semua beban yang selama ini ia simpan dan telan sendiri."Iqbal mau kemana sayang," tegur Tiara melihat Iqbal mengekori abangnya yang hendak pergi sekolah. Sedikit lucu namun sebenarnya penampilan Iqbal membuat Tiara merasa sakit. Baju dan celana Iqbal tampak tak rapi. Bisa Tiara pastikan Iqbal memakai pakaian sendiri atau ia terburu-buru mengenakannya.Iqbal berhenti menatap sahabat ibunya yang ia panggil dengan sebutan Tante. "Iqbal mau ke sekolah bang Yoga, sebentar lagi, Ibu akan bekerja, jadi Iqbal di menunggu di sana," kata Iqbal polos.Benar-benar kehidupan yang Diana dan kedua anaknya sungguh pelik. Sebagai sahabat Tiara merasa kurang peka. "Yoga dan Iqbal sudah sarapan, sayang," tanya Tiara lagi ambil menarik lembut tangan Iqbal mendekat, kemudian merapikan baju dan celana Iqbal yang terlihat sudah keke
Lagi saat Diana hendak membuka pintu, ia harus kembali menyingkirkan bungkusan-bungkusan besar yang menghalangi akses keluar masuk rumahnya. Dia begitu ceroboh, tadi malam saat merapikan barang-barang tersebut, sebagian besar sengaja ia letakan di dekat pintu. Awalnya itu hanya sementara karena memang tak ada ruang lagi untuk meletakan barang yang sudah ia pilah. Namun, tubuhnya yang mulai merasa lelah, membuat Diana melupakan barang-barang tersebut dan pergi tidur."Sebentar yah, pintu saya macet." Lagi, Diana berbohong.Tak ada jawaban di balik pintu tersebut, Diana terus menyingkirkan bungkusan plastik tersebut dengan cepat. Akibatnya rumah Diana kembali berantakan tidak jelas. Sedikit Ruang untuk membuka pintu telah siap. Diana membuka pintu dengan sedikit celah."Lama amat sih," ucap sosok yang menunggu di depan sana."Tiara!" Ucap Diana terkejut. Ia tak menyangka Tiara akan kembali datang. "Ana, kamu nggak mau mempersilahkan aku masuk gitu?" tanya Tiara yang kebingungan melihat
"Diana, ayo duduk dulu sini. Kita selesaikan masalah ini baik-baik. Kamu jangan ambil hati perkataan anak saya," bujuk Henny menenangkan Diana yang tampak emosi."Maaf Bu. Apa yang anak Ibu bilang mungkin memang benar. Disini bukan, apa itu, tempat penitipan anak," ujar Diana kesulitan mengulang kata Daycare. "Saya ini hanya karyawan, Bu. Saya pribadi juga tidak akan merasa enak hati, jika saya menitipkan anak saya untuk tidur di kantor, Ibu," ujar Diana berhati-hati."Dan untuk Mbak, saya sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjadikan anak saya untuk mencari uang tambahan. Jujur, saya juga sedih, melihat anak saya di anggap pengemis oleh orang-orang termasuk Mbak Bu Henny. Ini juga pertama kalinya saya membawa anak kemari."Melati yang sudah mendengarkan sedikit cerita tentang Diana, yang diceritakan oleh sang ibu, semakin merasa bersalah."Begini saja Diana, mungkin saat ini kamu sedang emosi. Saya paham keadaanmu saat ini cukup berat. Biasanya mengambil keputusan saat emosi, aka
hai, sebelumnya terimakasih yang masih bersedia mampir membaca kisah ini. Maaf saya terlalu lama Hiatus. sebelumnya saya benar-benar stuck dan tidak sanggup melanjutkan kisah ini. karena saya merasa saya tidak sanggup menulis cerita drama rumah tangga dengan baik. Namun, kali ini saya mau mencoba lagi. bagaimana pun saya harus menyelesaikan kisah ini untuk kalian yang sudah terlanjur membaca. Saya juga minta maaf kalau cerita ini sedikit berantakan dan membosankan. namun, ini adalah cerita pertama yang saya buat. jangan lupa meninggalkan komentar yah. kritik dan saran kalian sangat saya butuhkan untuk menjadi cambuk semangat saya. salam sehat dan bahagia selalu. untuk kalian yang membaca kisah ini.
Dengan hati berdebar, Diana masuk kedalam ruangan Heny. "Permisi Bu. Ibu panggil saya?" tanya Diana saat memasuki ruang kerja pemilik toko roti tersebut. Wanita keturunan Tionghoa itu lantas menoleh ke arah Diana."Diana, kamu kenal anak yang ada di depan toko?"Diana mengangguk pelan, tak menjawab tapi pikirannya sudah berlari jauh entah kemana. "Tolong kamu bangunkan dia dan minta dia pulang. Tak enak kalau di lihat pelanggan," titah Henny dengan wajah prihatin.Henny kemudian mengambil uang 10.000 dari dompetnya, kemudian mengulurkan uang tersebut ke arah Diana. "Kasih ini sama dia yah, biar mau dia pulang," bujuk Henny lagi.Lagi, untuk kesekian kalinya. Diana kembali tertampar. Anaknya benar-benar dianggap pengemis oleh setiap orang."Ma-maaf, Bu," ucap Diana ragu-ragu. "Anak yang di depan toko, sebenarnya anak saya?"Mendengar perkataan Diana,Henny dan putrinya Saling bertatapan. kemudian menatap Diana bersamaan."Di sini toko, bukan Daycare!" Bahu Diana tersentak kaget, s
Aku sudah berada di toko roti bersama Iqbal. Namun, aku dan Iqbal tak bersama. Kami terpisah oleh pintu dan dinding kaca, yang membatasi. Aku berada di dalam sedang bekerja, sementara Iqbal duduk diluar menonton kendaraan yang lewat bersama seekor kucing. "Ibu dimana?" seorang wanita muda, bertanya padaku. "Ibu, ada di atas kak" jawab Delia, yang merupakan rekan kerjaku. "Itu, Bu Melati. Dia anaknya Bu Heny." Sambung Delia padaku. Bukannya, mendengarkan pemberitahuan Delia. Pandanganku malah tertuju pada lolipop gratis yang ada di samping mesin uang. "Del, aku boleh minta permen gratismu?" tanyaku mendekati meja kasir Delia. "Kakak mau, kebetulan tadi beberapa yang beli gak mau ambil," ujar Delia menyodorkan dua tangkai lolipop warna-warni padaku. "Buat anak kecil yang di depan itu, ya, Kak?" tanya Delia menunjuk Iqbal. Sepertinya Delia menyadari, jika aku terus memperhatikan Iqbal dari sini. "Iya, dia anakku." aku tertunduk malu menjawabnya. "Anak,
Beberapa bungkusan, mengganjal pintu masuk rumah. Aku sendiri tak tau apa isi dalam bungkusan itu. Semenjak bang Rio masuk penjara, aku kini memilih bekerja di luar. Bekerja di toko roti yang tak terlalu jauh dari rumahku. Aku yang sudah lelah bekerja di luar, enggan melakukan pekerjaan rumah karena terlalu lelah. "Siapa ya?" tanyaku pada wanita yang berdiri di depan rumahku sambil menenteng dua bungkusan plastik yang ada di kedua tangannya. "Saya asistennya Ci Fely, Bu. Ini ada baju-baju bekas Ci fely minta di kasih ke Ibu Rina. Ini rumah bu Rina kan?" tanya wanita itu mencari jawaban dari wajahku. Ternyata wanita itu adalah asisten Ci Fely, salah satu pelangganku, sewaktu aku berjualan jajanan gorengan di depan rumah. "Oh … letakan saja disitu. Nanti saya ambil. Pintu saya lagi macet. Susah di buka," ujarku berbohong. Selain aku trauma menerima orang asing datang kerumah, aku juga malu dengan keadaan rumah yang berantakan. Wanita itu hanya mengangguk. Ia menatapku dengan tatapa