Fakta yang disembunyikan Argan selama ini menyebabkan kemarahan dalam hati Mentari. Namun dia tidak akan membiarkan kemarahan itu menghancurkan hidupnya. Biarlah hidup Argan saja yang hancur, Mentari akan bangkit sendiri, tanpa memerlukan bantuan keluarga Argan."Bekerja di perusahaan kenalan Papa Argan? Tidak, terima kasih. Dengan usahaku sendiri, aku bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar," ucap Mentari saat mengoleskan krim penangkal nyamuk di tangan dan kakinya.Akhir-akhir ini nyamuk berkeliaran tanpa henti di rumah Mentari. Sekarang di pertengahan tahun, seharusnya adalah musim kemarau, namun beberapa minggu terakhir, cuaca tidak menentu, hujan lebih mendominasi.Saat akan beranjak tidur, dia memandangi Feliz yang terlelap di sampingnya dengan kedua tangan terangkat. Mentari mencium dahinya dan berjanji dalam hati, bahwa dia akan memberikan hidup yang layak bagi buah hatinya itu.Mentari pun memejamkan mata. Peristiwa tadi siang di kantin kembali berputar di kepalanya. S
Semester baru akhirnya dimulai, semester tujuh, menjelang wisuda. Kesibukan Mentari meningkat. Selain harus mengikuti beberapa mata kuliah terakhir, dia juga harus mulai menyusun skripsi. Hal yang paling dinantikannya sekaligus paling dihindarinya. Mentari menantinya karena itu menunjukkan bahwa sebentar lagi dia akan diwisuda. Dihindarinya sebab menurut para senior, skripsi adalah bagian paling sulit ketika kuliah.Pendapat para senior tidak salah. Mentari mengalaminya sekarang. Banyak waktu yang dia habiskan di perpustakaan kampus, seperti yang sudah diduganya saat mulai berkuliah. Bedanya, sekarang dia sendirian. Namun dia menikmatinya.Dia berusaha fokus pada tujuannya, yaitu memberikan kehidupan yang layak bagi Feliz dengan berhasil wisuda dan bekerja di perusahaan besar.. Tapi, halangan dan godaan untuk menyerah terkadang menghampirinya.Skripsi begitu menguras tenaga dan pikirannya. Dia akan lebih memilih mengurus Feliz sehari semalam penuh daripada mencari materi dan referensi
Malam semakin larut, namun Mentari masih duduk di depan meja di kamarnya. Makalah dan dua buku terbuka lebar di bawah tangan Mentari, sementara jari-jarinya mengetik di laptop. Pencariannya lewat internet tidak membuahkan hasil yang memuaskan, beberapa materi tidak ditemukannya, maka buku-buku dari perpustakaan berpindah sementara ke kamarnya.Rasa kantuk telah menggodanya sejak sejam yang lalu, namun Mentari tidak mengikutinya. Jika dia tidur sekarang, semua yang hinggap di otaknya saat ini akan menguap begitu saja besok pagi.Ponsel Mentari di atas ranjang berbunyi. Dia segera menyambarnya dan mematikannya. Bunyi deringnya bisa membangunkan Feliz yang sudah terlelap. Mentari memeriksa panggilan masuk: Argan. Ponselnya kembali berbunyi. Dia mengangkatnya."Tari, bukakan pintu. Aku di depan," pinta Argan dengan suara parau.Mentari melirik jam di ponselnya, 12.35. Dia keluar dan membukakan pintu bagi Argan.Argan masuk melewati Mentari yang masih berdiri memegangi pintu. Aroma yang ja
Tak terasa, Feliz hampir berumur satu tahun. Sekarang dia pintar mengucapkan kata 'mama'. Mentari tak henti memaksanya memanggilnya 'mama'. Saat Feliz haus, Mentari memintanya untuk memanggil 'mama' dulu baru dia akan menyusuinya. Begitupun saat menyuapinya makan, Mentari akan memintanya memanggil 'mama' dahulu baru disuapi.Mentari begitu gembira, karena kata pertama yang diucapkan anaknya adalah 'mama' bukan 'papa. Dia pernah melihat beberapa video Tiktok di mana para bayi lebih cenderung mengucapkan kata 'papa' terlebih dahulu daripada 'mama'."Ah!" jerit Mentari saat Feliz tak sengaja mencubit paha Mentari kala dia mencoba berdiri. Selain bicara, dia juga sudah pintar merangkak dan berdiri, namun belum bisa melangkah."Om Argan!" teriak Winar yang sedang memainkan mobil-mobilan di lantai dekat pintu. Argan yang baru datang, hampir menginjak salah satu mobil Winar."Om, awas! Nanti mobil polisi Winar rusak." Winar memegangi kaki Argan yang masih berada tepat di samping mobil-mobila
Mentari tak berhenti mondar-mandir dari ruang tamu ke dapur dan ke kamarnya. Para tamu mulai berdatangan, tapi masih saja ada sesuatu yang belum lengkap. Makanan tanpa sendok, bingkisan anak kurang, maupun kue ulang tahun yang tidak memiliki lilin.Hari ini ulang tahun Feliz. Tidak ada pesta seperti yang diselenggarakan para orang tua lainnya. Tidak ada dekorasi penuh balon dan segala pernak-perniknya. Tidak ada pembawa acara, tidak ada badut, tidak ada topi kerucut maupun permainan.Dengan dukungan ibu, kakak dan kakak iparnya, Mentari mengadakan acara syukuran kecil untuk Feliz sore itu. TIdak ada undangan yang disebarkan. Secara lisan dia mengundang beberapa tetangga dekatnya maupun keluarga besarnya, termasuk keluarga Argan.Feliz menggunakan sepasang baju baru yang dihadiahkan Cahya, dipadu sepatu baru hadiah Gempita. Mereka memberikannya terlebih dahulu untuk dipakai di hari ulang tahun Feliz, jadi Mentari tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli pakaian baru bagi Feliz.Tamu
Badan Mentari seperti remuk besok paginya. Dia sangat kelelahan, ingin menempel di ranjang saja. Namun, tidak bisa, perutnya lapar."Tari, ayo makan," ajak ibu sambil meletakkan piring makanan terakhir di atas meja.Makanan sisa dari acara kemarin telah dihangatkan ibu. Karena terlambat bangun, Mentari tidak sempat membantu ibunya pagi ini."Feliz masih tidur?""Iya, Bu. Sepertinya dia juga kelelahan. Semalam dia terbangun sekali, tapi langsung terlelap setelah menyusui."Aroma makanan yang menguar memenuhi dapur sekaligus ruang makan, semakin membangkitkan rasa lapar Mentari. Perutnya bereaksi mengeluarkan bunyi bergejolak keras. Kemarin dia sore hingga malam dia hanya mencicipi sedikit makanan di piring Gempita untuk mengisi perutnya."Sebentar, Bu. Aku ambil Feliz dulu." Mentari hendak berbalik, namun ditahan ibu."Jangan, biar Ibu saja yang menjaganya di sana. Kalau dibangunkan tiba-tiba, nanti dia marah.""TIdak, Bu, Feliz tidak akan marah. Lagipula Argan masih tidur di kamar, ap
'Tari, selamat ya. Akhirnya kamu juga bisa meninggalkan kampus keramat itu.'Pesan masuk Gempita membuat ponsel Mentari yang berada di tasnya bergetar. Hari ini merupakan hari wisudanya. Setelah empat tahun berjuang, ditambah setahun cuti, Mentari pun mengikuti jejak Gempita."Sayang, selamat buatmu." Ibu mendekap Mentari erat, bangga dengan kelulusannya yang bisa dianggap tepat waktu.Cahya dan suaminya pun hadir bersama Winar yang tidak berhenti berlarian mengitari aula kampus yang berdesakan dengan para wisudawan dan keluarganya. Feliz yang bersandar di bahu ibu, tampak lelah. Prosesi wisuda yang panjang dan lama telah menguras tenaganya. Seharusnya ini waktu Feliz tidur siang.Pesan Gempita dibaca Mentari saat dia telah berada di rumah sore harinya. Meskipun Gempita disibukkan oleh pekerjaannya, dia masih ingat dengan hari wisuda Mentari, bahkan memberikan ucapan selamat. Mentari sangat menghargainya.'Terima kasih, sahabatku. Statusku juga akan segera berubah menjadi karyawan se
Hidup tidak berjalan sesuai rencana dan harapan Mentari. Lamaran yang telah dikirimkannya tidak mendapat balasan.Seminggu kemudian, dia mengirim lamaran lain lagi pada lima perusahaan dengan lingkup yang lebih luas. Namun tetap tidak mendapat respon positif. Beberapa menjawab bahwa mereka sedang tidak membuka lowongan saat ini, sementara sisanya sama sekali tidak memberikan informasi apapun, yang diartikan Mentari sebagai 'ditolak'.Tidak menyerah, dia mengirimkan beberapa lamaran lagi pada perusahaan yang lokasinya semakin jauh dari tempat tinggalnya. Berdasarkan kalkulasinya, dia masih sanggup pulang-pergi dengan jarak perjalanan selama satu jam. Beberapa minggu berlalu tanpa hasil. Kini, sudah dua bulan sejak dia meninggalkan status mahasiswa dan masih berstatus pengangguran. Mimpinya untuk bekerja di perusahaan konsultan keuangan besar perlahan sirna. Dia telah mengirimkan lamaran pada perusahaan-perusahaan kecil yang bisa dijadikannya batu loncatan, namun hasilnya nihil."Sabar
Keheranan Mentari masih berlanjut. Dua hari kemudian Argan menyatakan bahwa dia akan kembali ke rumahnya, rumah orang tuanya. "Di sini juga rumahmu, Argan. Keluargamu juga di sini," kata ibu menyahuti pernyataan Argan. "Istri dan anakmu di sini." Ibu menekankan kata-kata itu. "Aku mendapatkan pekerjaan penting, terlalu jauh dan beresiko kalau harus bolak-balik ke sini." Dengusan Cahya terdengar pelan, seperti hendak disembunyikan. "Proyek jalan tol?" tanya ibu. "Iya, Bu. Ini proyek besar yang memerlukan banyak waktu dan fokusku. Jadi, aku benar-benar harus dalam kondisi terbaikku dan berada dalam lingkungan yang sepenuhnya mendukungku," sahut Argan penuh percaya diri sambil melirik Mentari sebelum memasukkan sesendok ayam bumbu ke dalam mulutnya. Mentari tersindir, namun dia tidak ingin menanggapi. Hanya tersirat keheranan di wajahnya. Apakah mertuanya sudah kembali? "Papa dan Mama sudah pulang?" kalimat itu meluncur begitu saja, padahal dia tidak ingin bicara dengan Ar
Wajah Mentari sepucat kertas putih. Tangkapan matanya seolah tidak dapat diproses otaknya. Matanya mencari-cari ke arah pekarangan rumah. Diapun berjalan maju dengan cepat, berharap motornya ada di pekarangan depan.Kosong.Dia berbalik memandangi kakaknya yang sedang mendekatinya dengan ekspresi bingung."Bu?""Motormu dipinjam Argan, Tari. Ada hal penting yang harus dikerjakannya."Pernyataan ibu menyambar Mentari seperti sebuah petir. Tidak yakin, dia kembali memastikan, "Apa, Bu?""Argan harus menghadiri rapat untuk membahas pelaksanaan proyek jalan tol yang diceritakannya pada kita. Rapat itu mulai jam delapan pagi. Dia hendak meminta izin padamu tadi pagi untuk memakai motormu, tapi kamu masih terlelap, jadi Ibu memberikan kunci motornya."Di telinga Mentari, penjelasan ibu terdengar tidak masuk akal. Setelah yang dilakukan Argan padanya dan motornya seminggu yang lalu, bagaimana mungkin ibu masih meminjamkan motor itu pada Argan?Mulut Mentari menganga, hendak melontarkan keber
"Dia memang harus ke dokter. Dokter jiwa," seloroh Cahya saat dia mencuci piring. "Kepalanya terbentur, pasti pikirannya terganggu, semakin parah dari sebelumnya."Sindiran Cahya mengundang tatapan tajam ibu. Namun tatapan itu segera teralihkan oleh bayangan Mentari yang muncul dari balik pintu."Ayo, duduk. Ibu ambilkan nasi."Dengan patuh, Mentari duduk sambil berusaha menekan perutnya yang mulai menimbulkan bunyi."Ini rumahmu, Tari. Jangan bodoh dengan membiarkan dirimu kelaparan di rumahmu sendiri."Sigap, Cahya mengeluarkan kembali lauk yang telah dimasukkannya ke lemari. Bahkan dia menuangkan segelas air dan meletakkannya di meja depan Mentari. Dari samping kiri, ibu meletakkan sepiring nasi beserta sendok.Mata Mentari menerawangi makanan di depannya. Rasa laparnya membuncah, namun otakknya tidak mengarahkan tangannya untuk meraih sendok.Kembali, Cahya dengan sigap mengambil tangan kanan Mentari lalu menggenggamkannya pada sendok di hadapannya.Seolah tersadar dari lamunan, M
Teriakan Mentari membahana hingga ke kamar ibu dan Cahya yang segera keluar, diiringi Feliz dan Winar sambil menenteng mobil-mobilan yang sedang mereka mainkan."Tari, ada apa?" suara panik ibu menyita perhatian Mentari."Di mana Argan?""Ada apa, Tari?" Ada dugaan pada intonasi suara Cahya saat mendengar pertanyaan Mentari.Seperti seorang anak kecil yang ditarik ibunya, Cahya terseret mengikuti tarikan tangan adiknya."Ka, lihat ini," tunjuk Mentari ke arah motornya.Mata Cahya menangkap beberapa garis di badan motor Mentari. Garis-garis itu tidak beraturan seolah memberikan motif baru pada motor Mentari. Cahya berkeliling dan mendapat garis-garis yang sama di bagian motor lainnya.Tak sanggup berkata-kata, Cahya mendongakkan kepalanya memandang Mentari yang dadanya naik-turun.Ibu yang kini juga memandangi motor Mentari pun terdiam."Apa yang dilakukan Argan dengan motorku?"Tanpa menunggu balasan dari ibu dan
Hasil dari pemeriksaan dokter pada kaki Argan adalah dia sudah sembuh total. Begitulah penuturan ibu berdasarkan ucapan dokter. Itulah inti yang ingin didengar Mentari, bukan kronologi pemeriksaan Argan yang disertai bumbu-bumbu pemanis yang berkesan sombong. Argan hanya keseleo, itulah yang tersimpan di benak Mentari sejak mendengar berita Argan kecelakaan.Tak ada lagi bangun tengah malam untuk mengantarkan Argan ke toilet dan tidak ada lagi peran asisten rumah tangga yang harus selalu siap melayani tuan besarnya.Begitulah sangka Mentari."Tari, besok aku ke rumah temanku, ada bisnis yang harus kami diskusikan. Kamu tahu 'kan Dani?"Setengah hati Mentari mendengarkan. Dia baru saja selesai mengoleskan pelembab di wajahnya dan hendak bersiap untuk makan malam.Ketika Mentari dengan acuhnya melangkah ke arah pintu, Argan menghentikannya dengan sebuah berkata, "Kamu harus mengantarkanku."Mentari melirik Argan."Kamu tahu sendiri mobilku tidak di sini, jadi kamu yang harus mengantarka
"Maaf mendadak, Pak. Iya, benar. Iya, Pak. Iya." Mentari meletakkan ponselnya di meja dapur setelah dengan patuh menerima ceramah penuh konsekuensi dari kepala toko akan ketidakhadirannya hari ini. Kepala Cahya menyembul dari balik pintu dapur. Tangannya ditarik Winar hendak menuju kamar "Kamu dimarahi?" Hanya anggukan sebagai jawaban dari Mentari. "Apa kata kepala toko?" Sebenarnya Mentari tidak ingin membahasnya, tapi dia mengerti benar kalau pertanyaan kakaknya menuntut jawaban. "Gajiku dipotong," kata-kata itu berat mengalir dari mulut Mentari. "Berapa?" Dahi Cahya mengernyit. "Ibu, ayo cepat, nanti kita terlambat." Kali ini tarikan keras dari Winar melenyapkan wajah Cahya dari balik pintu. Ada kelegaan hinggap di wajah Mentari. Namun, dalam hati dia meringis. Dua ratus ribu. Tatapan jengkel Mentari melepas kepergian Argan bersama ibu. Tak henti-hentinya dia menyalahkan Argan akan keputusan sembrono kepala toko. 'Keputusan apa itu? Bagaimana mungkin gajinya dipotong du
"Antarkan aku ke dokter besok." Bukan permintaan, tapi sebuah perintah yang keluar dari mulut Argan membuat darah mengalir deras ke kepala Mentari. Mentari hendak beranjak keluar kamar untuk berangkat kerja, namun langkah kakinya terhenti ketika telinganya menangkap kata-kata Argan. Setelah menghela napas, Mentari berbalik menghadap Argan yang sedang duduk di tepi ranjang berusaha mengeluarkan bungkusan rokok dari dalam kantong celananya. "Aku tidak bisa." Jawaban singkat Mentari disambut amarah oleh Argan. "Pikirmu aku bisa sendirian ke dokter?" Suara bungkus rokok menyentuh kasur terdengar cukup keras. "Aku harus kerja." Mentari menambahkan. "Pekerjaan terus yang kamu urusi, suamimu tidak kamu urusi." Argan kini berdiri menghadap Mentari. Seolah telah menunggu saat Argan mengucapkan kalimat ini, Mentari menyahut menyeringai, "Kalau aku tidak bekerja, siapa yang akan membiayai kebutuhan Feliz?" Sebelum menyambung, Mentari melirik rokok yang tergeletak di atas ranjang, "Dan itu,
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq