Tak terasa, Feliz hampir berumur satu tahun. Sekarang dia pintar mengucapkan kata 'mama'. Mentari tak henti memaksanya memanggilnya 'mama'. Saat Feliz haus, Mentari memintanya untuk memanggil 'mama' dulu baru dia akan menyusuinya. Begitupun saat menyuapinya makan, Mentari akan memintanya memanggil 'mama' dahulu baru disuapi.Mentari begitu gembira, karena kata pertama yang diucapkan anaknya adalah 'mama' bukan 'papa. Dia pernah melihat beberapa video Tiktok di mana para bayi lebih cenderung mengucapkan kata 'papa' terlebih dahulu daripada 'mama'."Ah!" jerit Mentari saat Feliz tak sengaja mencubit paha Mentari kala dia mencoba berdiri. Selain bicara, dia juga sudah pintar merangkak dan berdiri, namun belum bisa melangkah."Om Argan!" teriak Winar yang sedang memainkan mobil-mobilan di lantai dekat pintu. Argan yang baru datang, hampir menginjak salah satu mobil Winar."Om, awas! Nanti mobil polisi Winar rusak." Winar memegangi kaki Argan yang masih berada tepat di samping mobil-mobila
Mentari tak berhenti mondar-mandir dari ruang tamu ke dapur dan ke kamarnya. Para tamu mulai berdatangan, tapi masih saja ada sesuatu yang belum lengkap. Makanan tanpa sendok, bingkisan anak kurang, maupun kue ulang tahun yang tidak memiliki lilin.Hari ini ulang tahun Feliz. Tidak ada pesta seperti yang diselenggarakan para orang tua lainnya. Tidak ada dekorasi penuh balon dan segala pernak-perniknya. Tidak ada pembawa acara, tidak ada badut, tidak ada topi kerucut maupun permainan.Dengan dukungan ibu, kakak dan kakak iparnya, Mentari mengadakan acara syukuran kecil untuk Feliz sore itu. TIdak ada undangan yang disebarkan. Secara lisan dia mengundang beberapa tetangga dekatnya maupun keluarga besarnya, termasuk keluarga Argan.Feliz menggunakan sepasang baju baru yang dihadiahkan Cahya, dipadu sepatu baru hadiah Gempita. Mereka memberikannya terlebih dahulu untuk dipakai di hari ulang tahun Feliz, jadi Mentari tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli pakaian baru bagi Feliz.Tamu
Badan Mentari seperti remuk besok paginya. Dia sangat kelelahan, ingin menempel di ranjang saja. Namun, tidak bisa, perutnya lapar."Tari, ayo makan," ajak ibu sambil meletakkan piring makanan terakhir di atas meja.Makanan sisa dari acara kemarin telah dihangatkan ibu. Karena terlambat bangun, Mentari tidak sempat membantu ibunya pagi ini."Feliz masih tidur?""Iya, Bu. Sepertinya dia juga kelelahan. Semalam dia terbangun sekali, tapi langsung terlelap setelah menyusui."Aroma makanan yang menguar memenuhi dapur sekaligus ruang makan, semakin membangkitkan rasa lapar Mentari. Perutnya bereaksi mengeluarkan bunyi bergejolak keras. Kemarin dia sore hingga malam dia hanya mencicipi sedikit makanan di piring Gempita untuk mengisi perutnya."Sebentar, Bu. Aku ambil Feliz dulu." Mentari hendak berbalik, namun ditahan ibu."Jangan, biar Ibu saja yang menjaganya di sana. Kalau dibangunkan tiba-tiba, nanti dia marah.""TIdak, Bu, Feliz tidak akan marah. Lagipula Argan masih tidur di kamar, ap
'Tari, selamat ya. Akhirnya kamu juga bisa meninggalkan kampus keramat itu.'Pesan masuk Gempita membuat ponsel Mentari yang berada di tasnya bergetar. Hari ini merupakan hari wisudanya. Setelah empat tahun berjuang, ditambah setahun cuti, Mentari pun mengikuti jejak Gempita."Sayang, selamat buatmu." Ibu mendekap Mentari erat, bangga dengan kelulusannya yang bisa dianggap tepat waktu.Cahya dan suaminya pun hadir bersama Winar yang tidak berhenti berlarian mengitari aula kampus yang berdesakan dengan para wisudawan dan keluarganya. Feliz yang bersandar di bahu ibu, tampak lelah. Prosesi wisuda yang panjang dan lama telah menguras tenaganya. Seharusnya ini waktu Feliz tidur siang.Pesan Gempita dibaca Mentari saat dia telah berada di rumah sore harinya. Meskipun Gempita disibukkan oleh pekerjaannya, dia masih ingat dengan hari wisuda Mentari, bahkan memberikan ucapan selamat. Mentari sangat menghargainya.'Terima kasih, sahabatku. Statusku juga akan segera berubah menjadi karyawan se
Hidup tidak berjalan sesuai rencana dan harapan Mentari. Lamaran yang telah dikirimkannya tidak mendapat balasan.Seminggu kemudian, dia mengirim lamaran lain lagi pada lima perusahaan dengan lingkup yang lebih luas. Namun tetap tidak mendapat respon positif. Beberapa menjawab bahwa mereka sedang tidak membuka lowongan saat ini, sementara sisanya sama sekali tidak memberikan informasi apapun, yang diartikan Mentari sebagai 'ditolak'.Tidak menyerah, dia mengirimkan beberapa lamaran lagi pada perusahaan yang lokasinya semakin jauh dari tempat tinggalnya. Berdasarkan kalkulasinya, dia masih sanggup pulang-pergi dengan jarak perjalanan selama satu jam. Beberapa minggu berlalu tanpa hasil. Kini, sudah dua bulan sejak dia meninggalkan status mahasiswa dan masih berstatus pengangguran. Mimpinya untuk bekerja di perusahaan konsultan keuangan besar perlahan sirna. Dia telah mengirimkan lamaran pada perusahaan-perusahaan kecil yang bisa dijadikannya batu loncatan, namun hasilnya nihil."Sabar
"Tari, bagaimana perkembangan lamaran pekerjaan kamu?" tanya Feri, suami Cahya saat makan malam."Belum ada kabar dari perusahaan-perusahaan yang terakhir aku kirimi lamaran, Kak," jawab Mentari lesu.Feri berhenti menyuap dan bicara menatap Mentari, "Saudara teman kantorku sedang membutuhkan staf administrasi. Memang hanya sebuah toko elektronik kecil, tapi lumayan untuk mengisi waktu sembari kamu menunggu pekerjaan lain.""Admin apa, Kak?" tanya Mentari tidak bersemangat."Admin umum. Tugasnya seputar pengelolaan dokumen dan stok barang toko, termasuk keuangan juga."Mentari menimbang lalu menjawab, "Boleh juga, Kak.""Oke. Besok aku beritahu temanku, nanti aku kabari kamu lagi bagaimana selanjutnya."Imajinasi Mentari melayang pada sebuah toko kecil dengan sebuah meja di pojok toko di mana dia akan bekerja.'Admin. Ini bukan yang aku inginkan,' batinnya."Boleh juga, Tari, daripada kamu seharian di rumah saja ga ada yang dikerjakan," ucap Cahya sambil menambahkan nasi ke piring Fer
Tiga hari. Itulah waktu yang diperlukan Mentari untuk bertahan di toko elektronik Pak Herman.Dalam perjalanan menuju toko pada hari pertama, dia berpikir mungkin itu adalah awal yang baik, meskipun tidak sesuai harapannya. Setidaknya dia tidak lagi menjadi seorang pengangguran.Namun di hari yang sama, dalam perjalanan pulang, dia berpikir itu bukanlah awal yang baik.Cara Bu Herman mengajarkan tugas yang harus dikerjakan Mentari, lebih seperti pada 'Coba kamu kerjakan sendiri."Dia memberikan Mentari sebuah dokumen dan menyuruhnya membuat laporan penjualan berdasarkan isi dokumen itu. Namun, dia tidak memberitahu bagaimana harus melakukannya."Kamu lulusan universitas, tidak perlu lagi saya mengajarkan bagaimana membuat laporan. Kerjakan dan serahkan secepatnya," perintahnya.Setelah Mentari menyelesaikan laporan berdasarkan pemahamannya, Bu Herman akan mencercanya dengan kata-kata yang tidak pernah didengarnya keluar dari mulut ibunya sendiri.Hal seperti itu terus berulang sepanja
"Kak, apa lagi makanan yang pasti laku untuk dijual dari rumah?" tanya Mentari pada Cahya saat sedang menyiapkan makan malam.Cahya menatapnya, "Kenapa? Kamu mau berjualan?""Iya, daripada menunggu pekerjaan yang belum pasti.""Memangnya kamu bisa masak?" cibir Cahya tertawa.Penuh percaya diri, Mentari menjawab, "Kalau tidak dicoba, mana aku tahu.""Masak nasi saja ga bisa, bagaimana yang lainnya?" ledek Cahya lagi."Rujak tidak perlu dimasak."Suara tinggi Cahya memenuhi dapur, "Enak saja! Itu mata pencaharianku. Bagaimana mungkin serumah berjualan menu yang sama?""Bukan begitu maksudku," elak Mentari, "Ada makanan lain yang tidak perlu dimasak, kan? Seperti salad buah."Kepalan tangan Cahya mengetok kepala Mentari lembut, "Kalau mempunyai jawabannya, kenapa harus bertanya pada kakakmu ini?""Aku minta pendapat Kakak. Kira-kira salah bisa laku ga?""Mungkin bisa kalau kamu menjualnya secara online juga. Bisa dipasarkan di Facebook dan Whatsapp. Dicoba saja dulu.""Kalau jus dan es?
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq
Waktu berlalu begitu cepat. Hal itu disyukuri Mentari. Begitu inginnya dia agar waktu melompat ke minggu depan pada hari kembalinya orang tua Argan. Namun, sebelumnya ada hari senin yang terlebih dahulu harus dilewatinya.Di hari minggu ini, Cahya mengajak seluruh anggota keluarga untuk mengunjungi sebuah arena rekreasi yang letaknya tidak begitu jauh. Suaminya telah melarangnya karena ini akhir bulan, keuangan mereka telah menipis.“Tempat itu tidak mahal. Kita tidak perlu membeli makanan di sana, kita bisa membawa bekal. Hanya perlu membayar ongkos masuk saja,” bantah Cahya saat ditolak Feri. “Aku memiliki uang, kamu tidak perlu mengeluarkan uangmu.”Bisnis penjualan makanan Cahya memang masih berjalan, walaupun keuntungannya semakin berkurang akhir-akhir ini. Dari hari ke hari, pelanggannya semakin sedikit.“Bukankah itu uang tabunganmu untuk keadaan darurat? Kenapa kamu mau menggunakannya sekarang?”Seperti k
Aroma kecanggungan terhirup pekat di tiap tarikan nafas setiap anggota keluarga pagi itu. Sarapan dalam keheningan bukanlah kebiasaan keluarga itu. Mereka hanya saling menyapa saat duduk di kursi masing-masing kemudian meja makan hening.Sebagai seorang pria dewasa yang menggunakan lebih banyak logika, Feri memecah keheningan, “Kamu harus memeriksakan kakimu lagi, Argan?”“Iya, Kak, senin minggu depan,” sahut Argan setelah memasukkan sepotong ikan dan nasi ke mulutnya. “Menurut dokter, aku harus menjalani terapi kalau tidak ada kemajuan setelah pemeriksaan nanti.”“Di rumah sakit mana?” sambung Feri.“Rumah Sakit Daerah,” jawab Argan singkat lalu menenggak seteguk air. Makanannya tersendat di tempat yang tidak seharusnya.“Lumayan jauh dari sini. Kamu bisa ke sana sendirian?”Pertanyaan itu mengundang lirikan tajam Cahya dan menarik perhatian ibu. Sementara Mentari berlagak seperti tidak mendengar apapun.“Bisa, Kak. Aku bisa naik taksi online,” jawab Argan penuh percaya diri. “Tapi b
“Selamat sore, Bu, Kak Cahya. Apa kabar?”Sekian lama suara itu tidak terdengar di rumah itu, terasa asing dan canggung. Cahya tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya. Dia berpaling, mengarahkan pandangannya pada pintu menuju dapur.Seolah kejadian-kejadian buruk di antara dia dan Mentari tidak pernah terjadi, Argan segera duduk di sofa terdekat sambil tersenyum dan berujar, “Senang rasanya kembali ke sini.”Hampir saja semburan Cahya terlontar dari mulutnya jika ibu tidak segera berdiri dan menahan tubuhnya yang berpaling menghadap Argan yang masih terus tersenyum memandangi sekeliling ruang tamu sekaligus mengikuti gerakan ibu yang meninggalkan ruang tamu.Pandangan jijik seolah berkata ‘Tidak tahu malu’ dilemparkan Cahya pada Argan. Argan yang melihat Cahya memandanginya dengan gaya sok lugu berujar, “Kak, makin cantik aja.”Sebelum Cahya sempat menanggapi, bunyi dering ponsel Argan yang maksimal menyelanya.“Halo, Ma.... Iya, baru aja tiba .... Iya, Ma, iya. Ga usah kuatir ....
Keputusan Mentari untuk menelepon Argan dianggap sebagai sebuah kekalahan bagi Cahya.“Mereka yang membutuhkan kamu, mereka yang harus menghubungi kamu. Kenapa kamu berinisiatif bodoh seperti itu?” cerca Cahya setelah Mentari memberitahunya dan ibu.Kata-kata Cahya itu juga telah berputar di benak Mentari berulang kali sebelum dia memutuskan.“Bagaimana pun dia masih suamiku, Kak.”“Bukan alasan tepat!” bantah Cahya. “Seenaknya saja keluarganya keluar masuk dari kehidupan kamu. Kalau kamu tidak dibutuhkan mereka menelantarkan kamu seperti orang pinggiran. Tapi, saat mereka membutuhkanmu, mereka mencarimu dan memperlakukan kamu seperti pelayan mereka.”“Cahya,” tegur ibu keras.Cahya hendak menanggapi teguran ibu, namun dia mengurungkan niatnya.“Apa kata Argan?” Cahya hendak mengatakan ‘pria tidak tahu diri’ sebagai ganti nama Argan, namun lirikan matanya pada ibu yang tampak serius membuatnya menelan kata-kata itu.“Hmm... dia mengatakan kalau dia ditabrak dari belakang oleh sebuah m
Sekali lagi Mentari membaca pesan masuk yang muncul di layar depan ponselnya. Dia membuka aplikasi pesan itu dan membaca sekali lagi. Tidak ada yang salah dengan penglihatannya, tulisannya tetap sama seperti yang dibacanya pertama kali.Mentari terdiam, matanya menatap layar ponselnya, namun pikirannya melayang-layang.Setelah beberapa lama memandangi Mentari yang terdiam, Cahya pun mendekati adiknya dan menggoyang tubuhnya, “Ada apa, Tari?”Tersentak, Mentari menatap kakaknya lalu menyodorkan ponselnya yang menyala pada Cahya. Cahya membaca lalu memandang Mentari.“Tanyakan kejelasannya pada Gempita.”Seperti robot, Mentari mengikuti perintah Cahya. Dia segera menelepon Gempita.‘Tari, Argan kecelakaan,’ ucap Gempita mengulangi isi pesannya.Belum sempat Mentari bertanya, Gempita telah mulai menjelaskan, “Tante baru saja meneleponku dan mengabari kalau Argan kecelakaan kemarin. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun hari ini sudah pulang karena Argan tidak ingin berlama-lama di r
Berita bahwa Mentari memiliki sepeda motor baru menyebar bagai virus di lingkungan tempat tinggalnya. Tetangga Mentari yang tidak pernah menyapanya sebelumnya, berbasa-basi dengannya sambil memperhatikan motor yang sementara didorongnya keluar dari halaman rumah. Dia masih belum mahir mengendarainya di area sempit, begitu pula dengan hal memarkirkan motor.Motor itu seperti mendukung tetangganya, tersangkut di sebuah batu yang menonjol di pinggiran jalan keluar. Mentari mendorongnya sekuat tenaga untuk melewati batu itu.Melihatnya terdiam, tetangganya mendekatinya dan memandangi motor yang sedang didorong Mentari.“Mentari, kamu kerja di mana sampai bisa membeli motor baru?”Wanita yang diajak bicara sedang berjibaku dengan motornya, kembali bertanya, “Kenapa?”Setelah beberapa kali usaha kerasnya tidak membuahkan hasil, dia pun memundurkan motornya dan mengambil jalan yang rata di sebelah batu itu. Dia merasa bodoh dalam hatinya, seharusnya sejak tadi dia melakukannya.“Permisi, Pak
“Ada apa ini? Ramai sekali,” serbu Feri dengan nada bicara bersemangat memasuki ruang tamu yang berisik.“Tante Mentari sedang curhat, Pak,” sahut Winar yang bersandar di sofa mendengarkan cerita Mentari.“Itu, Kak, di toko. Bagaimana mungkin ada pelanggan yang sangat pelit seperti si bapak-bapak itu? Dia meminta diskon terus-menerus sampai meminta aku yang membayari biaya pengirimannya barangnya. Belum lagi dia memanggilku dengan kata ‘sayang’.” Amarah Mentari meluap-luap.Cahya yang duduk mengangkat kaki tergelak mendengarnya.“Hari ini adalah hari sial kamu, Tari.”“Ada lagi selain itu?” Feri penasaran.“Hari ini dia mendapatkan ojek online mantan pembalap MotoGP.” Tawa Cahya kembali pecah.Dengan antusias, Mentari kembali mengulang kisahnya pada kakak iparnya, “Waduh, Kak, kecepatannya 200 km/jam. Dia tidak mengenal lampu merah, lubang dan trotoar, semua diterjangnya tanpa rem. Beberapa kali aku hampir terlempar dari motornya. Sudah aku beritahu, tapi tidak digubrisnya. Bintang sa