Badan Mentari seperti remuk besok paginya. Dia sangat kelelahan, ingin menempel di ranjang saja. Namun, tidak bisa, perutnya lapar."Tari, ayo makan," ajak ibu sambil meletakkan piring makanan terakhir di atas meja.Makanan sisa dari acara kemarin telah dihangatkan ibu. Karena terlambat bangun, Mentari tidak sempat membantu ibunya pagi ini."Feliz masih tidur?""Iya, Bu. Sepertinya dia juga kelelahan. Semalam dia terbangun sekali, tapi langsung terlelap setelah menyusui."Aroma makanan yang menguar memenuhi dapur sekaligus ruang makan, semakin membangkitkan rasa lapar Mentari. Perutnya bereaksi mengeluarkan bunyi bergejolak keras. Kemarin dia sore hingga malam dia hanya mencicipi sedikit makanan di piring Gempita untuk mengisi perutnya."Sebentar, Bu. Aku ambil Feliz dulu." Mentari hendak berbalik, namun ditahan ibu."Jangan, biar Ibu saja yang menjaganya di sana. Kalau dibangunkan tiba-tiba, nanti dia marah.""TIdak, Bu, Feliz tidak akan marah. Lagipula Argan masih tidur di kamar, ap
'Tari, selamat ya. Akhirnya kamu juga bisa meninggalkan kampus keramat itu.'Pesan masuk Gempita membuat ponsel Mentari yang berada di tasnya bergetar. Hari ini merupakan hari wisudanya. Setelah empat tahun berjuang, ditambah setahun cuti, Mentari pun mengikuti jejak Gempita."Sayang, selamat buatmu." Ibu mendekap Mentari erat, bangga dengan kelulusannya yang bisa dianggap tepat waktu.Cahya dan suaminya pun hadir bersama Winar yang tidak berhenti berlarian mengitari aula kampus yang berdesakan dengan para wisudawan dan keluarganya. Feliz yang bersandar di bahu ibu, tampak lelah. Prosesi wisuda yang panjang dan lama telah menguras tenaganya. Seharusnya ini waktu Feliz tidur siang.Pesan Gempita dibaca Mentari saat dia telah berada di rumah sore harinya. Meskipun Gempita disibukkan oleh pekerjaannya, dia masih ingat dengan hari wisuda Mentari, bahkan memberikan ucapan selamat. Mentari sangat menghargainya.'Terima kasih, sahabatku. Statusku juga akan segera berubah menjadi karyawan se
Hidup tidak berjalan sesuai rencana dan harapan Mentari. Lamaran yang telah dikirimkannya tidak mendapat balasan.Seminggu kemudian, dia mengirim lamaran lain lagi pada lima perusahaan dengan lingkup yang lebih luas. Namun tetap tidak mendapat respon positif. Beberapa menjawab bahwa mereka sedang tidak membuka lowongan saat ini, sementara sisanya sama sekali tidak memberikan informasi apapun, yang diartikan Mentari sebagai 'ditolak'.Tidak menyerah, dia mengirimkan beberapa lamaran lagi pada perusahaan yang lokasinya semakin jauh dari tempat tinggalnya. Berdasarkan kalkulasinya, dia masih sanggup pulang-pergi dengan jarak perjalanan selama satu jam. Beberapa minggu berlalu tanpa hasil. Kini, sudah dua bulan sejak dia meninggalkan status mahasiswa dan masih berstatus pengangguran. Mimpinya untuk bekerja di perusahaan konsultan keuangan besar perlahan sirna. Dia telah mengirimkan lamaran pada perusahaan-perusahaan kecil yang bisa dijadikannya batu loncatan, namun hasilnya nihil."Sabar
"Tari, bagaimana perkembangan lamaran pekerjaan kamu?" tanya Feri, suami Cahya saat makan malam."Belum ada kabar dari perusahaan-perusahaan yang terakhir aku kirimi lamaran, Kak," jawab Mentari lesu.Feri berhenti menyuap dan bicara menatap Mentari, "Saudara teman kantorku sedang membutuhkan staf administrasi. Memang hanya sebuah toko elektronik kecil, tapi lumayan untuk mengisi waktu sembari kamu menunggu pekerjaan lain.""Admin apa, Kak?" tanya Mentari tidak bersemangat."Admin umum. Tugasnya seputar pengelolaan dokumen dan stok barang toko, termasuk keuangan juga."Mentari menimbang lalu menjawab, "Boleh juga, Kak.""Oke. Besok aku beritahu temanku, nanti aku kabari kamu lagi bagaimana selanjutnya."Imajinasi Mentari melayang pada sebuah toko kecil dengan sebuah meja di pojok toko di mana dia akan bekerja.'Admin. Ini bukan yang aku inginkan,' batinnya."Boleh juga, Tari, daripada kamu seharian di rumah saja ga ada yang dikerjakan," ucap Cahya sambil menambahkan nasi ke piring Fer
Tiga hari. Itulah waktu yang diperlukan Mentari untuk bertahan di toko elektronik Pak Herman.Dalam perjalanan menuju toko pada hari pertama, dia berpikir mungkin itu adalah awal yang baik, meskipun tidak sesuai harapannya. Setidaknya dia tidak lagi menjadi seorang pengangguran.Namun di hari yang sama, dalam perjalanan pulang, dia berpikir itu bukanlah awal yang baik.Cara Bu Herman mengajarkan tugas yang harus dikerjakan Mentari, lebih seperti pada 'Coba kamu kerjakan sendiri."Dia memberikan Mentari sebuah dokumen dan menyuruhnya membuat laporan penjualan berdasarkan isi dokumen itu. Namun, dia tidak memberitahu bagaimana harus melakukannya."Kamu lulusan universitas, tidak perlu lagi saya mengajarkan bagaimana membuat laporan. Kerjakan dan serahkan secepatnya," perintahnya.Setelah Mentari menyelesaikan laporan berdasarkan pemahamannya, Bu Herman akan mencercanya dengan kata-kata yang tidak pernah didengarnya keluar dari mulut ibunya sendiri.Hal seperti itu terus berulang sepanja
"Kak, apa lagi makanan yang pasti laku untuk dijual dari rumah?" tanya Mentari pada Cahya saat sedang menyiapkan makan malam.Cahya menatapnya, "Kenapa? Kamu mau berjualan?""Iya, daripada menunggu pekerjaan yang belum pasti.""Memangnya kamu bisa masak?" cibir Cahya tertawa.Penuh percaya diri, Mentari menjawab, "Kalau tidak dicoba, mana aku tahu.""Masak nasi saja ga bisa, bagaimana yang lainnya?" ledek Cahya lagi."Rujak tidak perlu dimasak."Suara tinggi Cahya memenuhi dapur, "Enak saja! Itu mata pencaharianku. Bagaimana mungkin serumah berjualan menu yang sama?""Bukan begitu maksudku," elak Mentari, "Ada makanan lain yang tidak perlu dimasak, kan? Seperti salad buah."Kepalan tangan Cahya mengetok kepala Mentari lembut, "Kalau mempunyai jawabannya, kenapa harus bertanya pada kakakmu ini?""Aku minta pendapat Kakak. Kira-kira salah bisa laku ga?""Mungkin bisa kalau kamu menjualnya secara online juga. Bisa dipasarkan di Facebook dan Whatsapp. Dicoba saja dulu.""Kalau jus dan es?
Mentari tidak menyerah, dia kembali mencoba berjualan besok harinya. Sejak pagi, dia telah mengunggah foto jualannya di Facebook dan status Whatsapp.Setelah memandikan Feliz dan memberinya makan, Mentari kembali sibuk dengan jualannya."Bu, siapa kira-kira yang bisa mengantarkan dagangan Tari?" tanya Mentari sambil meletakkan Feliz di lantai. Feliz segera berjalan berkeliling ruang tamu."Mobil..."Sebelum ibu menyelesaikan ucapannya, Mentari telah memotongnya, "Bukan mobil Argan, Bu. Aku hanya perlu ojek saja.""Hmm..." Ibu berpikir, "Anaknya Bu Diah. Kalau tidak salah dia bekerja sebagai ojek online.""Yang ojek biasa siapa aja, Bu? Aku memerlukan yang siap mengantar saat ada pesanan masuk dadakan, yang siap sepanjang hari."Ibu menyebutkan beberapa nama yang ditolak Mentari dengan berbagai alasan."Tidak ada lagi. Mereka saja yang memiliki motor.""Pasang iklan saja di Facebook atau Whatsapp, Tari. Siapa tahu ada yang melihat dan tertarik. Atau mungkin kenalannya ada yang bisa."U
Buku catatan yang terbuka di atas meja kamar Mentari dipenuhi daftar panjang usaha yang bisa dikerjakan dari rumah. Semalam saat Feliz telah terlelap, Mentari mencari referensi dari internet, usaha modal kecil berpenghasilan besar.Setelah sarapan, Mentari membawa buku itu keluar dan membacakannya pada ibu dan Cahya, meminta pendapat mereka. Ibu dan Cahya menanggapi setiap jenis usaha yang diucapkan Mentari."Tari, carilah usaha yang sanggup kamu kerjakan, jangan memaksakan diri untuk menekuni usaha yang ditekuni orang lain," saran ibu."Jangan termakan apa yang kamu baca dari internet. Pikirkan matang-matang dahulu," imbuh Cahya."Dari semua yang aku sebutkan, tidak ada yang sanggup aku kerjakan?" tanya Mentari tidak mengerti. Baginya dia mampu memulai semua bisnis itu, makanya dia mencatatnya dan meminta saran keluarganya mana yang lebih tepat dia tekuni."Semua yang kamu sebutkan adalah usaha menengah dengan modal cukup besar. Modal darimana?"Mentari tertunduk lesu. Menurutnya, bi