“Gimana semalam?”
Kartu mahasiswa di tangan Mentari terjatuh ke ubin putih dekat sepasang sepatu kets hitam saat ia mendengar suara Gempita berbisik tepat di telinganya.
“Dasar kamu, nih. Untung aja bukan gelas yang kupegang.” ucapnyamelangkah hendak mengambil kartu mahasiswa yang terjatuh di lantai. Terdengar suara Gempita berujar, “Kalau gelas yang jatuh, kamu bakal menjadi OB(Office Boy) dadakan.”
Mentari mengulurkan tangannya hendak memungut kartu mahasiswanya, tapi didahului oleh pemilik sepatu kets hitam. Diulurkannya kartu mahasiswa itu pada Mentari tanpa berkata-kata.
“Terima kasih.” Ucap Mentari tulus sambil tersenyum dan kembali ke tempat Gempita berdiri.
“Siapa ‘tuh? Imut juga.” Mata Gempita membesar memperhatikan pria bersepatu kets hitam yang sekarang tengah berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di tangannya.
“Mau aku kenalin?” canda Mentari.
“Kamu juga ga kenal gimana mau kenalin?” ia kembali menatap Mentari. “Ke mana kalian semalam?” kali ini matanya dipicingkan, penasaran sekaligus usil.
“Makan terus pulang.”
“Gitu aja?” Gempita tidak percaya.
“Emangnya kamu pikir kita mau ke mana?”
“Yaaa, ke mana kek, ke tempat yang romantis gitu.”
“Mau romantisan di empang?”
“Kalau kecebur dan basah-basahan bisa jadi romantis lho.”
Mentari hanya tertawa mendengarnya.
“Aku senang kamu udah kembali ke Mentari yang dulu.” Ada kelegaan dan bahagia di wajah Gempita.
Mentari menatap Gempita dengan wajah tak berdosa, “Emang sebelumnya aku gimana?” tanyanya sembari melangkah meninggalkan loket antrian yang telah kosong.
“Kayak orang bego, terus sedih, terus diam, ga mau ngapa-ngapain kalau diajakin. Ga asyik diajak kulineran, makannya dikiiit.” Gempita menekan kata terakhir dan memperagakannya dengan jari telunjuk dan jempol.
“Sekarang?”
“Sekarang kamu udah ketawa lagi, udah bercanda lagi. Aku senang kamu yang gitu.” Dipeluknya Mentari.
Berbagai ocehan keluar dari mulut Gempita tentang betapa tidak menyenangkan sikap Mentari beberapa bulan terakhir setelah putus dari Bari.
“Semalam aku ketemu Bari.”
Berita itu membuat Gempita kaget. “Apa?” hanya itu yang terucap dari mulutnya. “Maksudku....”
“Kami bertemu di restoran saat hendak pulang.”
Cerita Mentari terus berlanjut tentang bagaimana ia terdiam tak sanggup bereaksi apapun ketika pertemuan yang tak terduga dengan Bari terjadi semalam. Mentari dan Argan sedang menuju ke mobil Argan ketika ia melihat Bari bersama seorang wanita baru keluar dari sebuah mobil. Mentari terdiam membeku di tempatnya memandangi sepasang pengantin baru itu. Bari yang awalnya tidak melihat Mentari, sedang bercakap-cakap dengan wanita itu, hingga akhirnya ia melihat Mentari dan ikut terdiam. Namun Bari lebih bisa mengontrol emosinya setelah terdiam sejenak, ia menyapa Mentari, “Hai, Mentari.”
Mentari tidak sanggup berkata-kata, ia berusaha tapi tidak ada suara apapun yang keluar dari mulutnya yang setengah terbuka. Setelah Bari dan wanita itu lebih dekat, Bari memperkenalkan wanita di sampingnya yang adalah istrinya.
Mentari tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Argan tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Mentari dan bertanya, “Temanmu?”
“He-eh.” Itu yang sanggup diucapkan Mentari.
“Kenalin, aku Argan, teman Mentari, teman dekat.” Nada tegas dan percaya diri di dalam suaranya membuat Bari terperangah. Ia tidak menduga Mentari sudah memiliki seseorang yang dekat dengannya setelah Bari.
Kecanggungan dalam suasana itu membuat perkenalan itu hanya berlangsung sebentar saja.
Pikiran Mentari tidak karuan, apalagi perasaannya. Tak ada satupun ucapan Argan yang didengarkannya lagi dalam perjalanan pulang. Argan mengerti. Gempita telah menceritakan kisah cinta Mentari dan Bari padanya sebelumnya.
”Untung aja ada Argan, kalau ga, kamu udah mati kutu di situ.” kata Gempita setelah Mentari selesai bercerita.
“Iya.” Senyumnya berat. “Semalam aku tidak bisa tidur memikirkan semua itu, tapi sekarang aku merasa lebih baik.”
Gempita menatap temannya iba dan sayang. Ia tahu bagaimana sakitnya Mentari melewati itu semua, Gempita adalah saksinya.
“Aku merasa seperti bebanku terangkat setelah melihat Bari dan ...” ada keheningan, “istrinya.” Mentari membasahi bibirnya dan melanjutkan, “Kalau mungkin aku hadir saat pernikahannya, sakit itu tidak akan terasa perih hingga selama ini, 6 bulan.” Ia tersenyum pahit.
“Mungkin waktu itu kamu belum siap, mungkin kamu memang butuh enam bulan untuk siap.”
Mentari memandang Gempita.
“Aku tahu, aku tahu.” Gempita mengibas-ngibaskan tangannya, “Aku memang bijak, kan?”
Suara tawa Mentari memenuhi ruang kelas yang masih kosong. Mereka telah tiba di ruang kelas besar untuk ikut mata kuliah umum.
“Entah di mana kamu mengutip kata-kata itu. Itu benar-benar bukan Gempita.” Tawanya masih berlanjut.
Dalam beberapa menit, ruang kelas mulai terisi, mereka pun berhenti berbicara dan bersiap mengikuti kuliah. Berharap bisa mendapatkan nilai bagus dengan duduk diam dan memperhatikan dosen di depan kelas sambil sesekali menahan kantuk.
Saat keluar dari ruangan, ponsel Mentari berbunyi pendek, ada pesan masuk, dari Argan.
Ayo jalan nanti malam. Aku jemput jam 6.
Gempita yang berjalan di belakang Mentari, mengintip dari balik bahu.
“Ooh... ada yang mau kencan nih. Cieee....”
Mentari terus diberondong ledekan-ledekan usil Gempita sepanjang jalan menuju kantin yang hanya dibalas dengan candaan oleh Mentari.
Ada perasaan hangat di dada Mentari memikirkan akan keluar dengan Argan malam ini. Malam ini akan menjadi kedua kalinya mereka keluar hanya berdua saja setelah beberapa kali sebelumnya mereka selalu keluar jalan bertiga bersama Gempita. Semalam mereka hanya keluar makan sebentar, karena Argan harus mengurus beberapa hal terkait keluarganya, jadi tidak banyak yang mereka bicarakan. Malam ini bisa menjadi malam mereka semakin mengenal. Mentari memiliki banyak pertanyaan di kepalanya untuk Argan. Dia telah menanyakannya pada Gempita, tapi temannya itu berdalih dengan, “Tanyakan langsung sama orangnya.” disertai senyum jahil di wajahnya.
Sesuai janjinya, Argan menjemput Mentari tepat jam 6. Sebenarnya, ia telah tiba sejak 15 menit sebelumnya, tapi dia pikir lebih baik menunggu dulu di mobil.
Mereka mengunjungi taman kota yang ramai dengan bermacam-macam orang yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sibuk berjualan, ada juga yang sedang berfoto dengan berbagai pose di segala titik yang dianggap estetik, ada juga yang sedang tidur di bangku panjang, bahkan ada bermain kejar-kejaran di antara pohon dan bunga-bunga yang menyebabkan tangkai bunga patah di beberapa bagian.
Semua itu tidak mengalihkan fokus Argan dan Mentari. Keduanya asyik berbincang soal kampus maupun film. Malam terasa pendek bagi keduanya. Jam di ponsel Mentari sudah menunjukkan hampir jam sepuluh ketika ada telepon masuk, dari kakaknya.
“Kamu di mana?” suara di ponsel Mentari menggema hingga ke telinga Argan.
“Aku lagi keluar.” Mentari menjawab sekenanya.
“Tahu kamu lagi keluar, tapi di mana? Sudah mau jam sepuluh, kenapa belum pulang?” suara kakak Mentari semakin membahana.
“Memangnya ada apa?” pelan Mentari bertanya agar kakaknya lebih tenang.
“Kamu ga kenapa-napa ‘kan? Kamu udah lama ga keluar sampai selarut ini.”
Tersenyum Mentari menjawab kakaknya yang terdengar kuatir, “Aku baik-baik aja, ini masih sama teman, yang tadi jemput di rumah. Bentar lagi pulang.”
Selama beberapa saat tidak terdengar apapun di seberang, kemudian, “Ya, sudah, jangan terlalu larut pulangnya.” Kakaknya sudah lebih tenang, “Dan hati-hati.” Tambahnya lalu menutup telepon.
“Wah, kakakmu pasti galak. Aku bisa dengar suaranya sampai sini. Untung aja tadi tidak ketemu.” Canda Argan bergidik lucu. “Ayo, pulang. Aku takut nanti dimarahi kakakmu kalau kita pulang lebih larut.”
Jam 10.20 Mentari telah berdiri di depan pintu rumahnya diantarkan Argan yang celingak-celinguk melirik ke bagian dalam rumah Mentari.
“Kenapa?” Mentari bingung.
“Mana kakakmu yang itu?”
“Yang galak tadi?”
“Iya.”
“Mau aku panggilin? Mau kenalan?”
“Eeh, ga deh, lain kali aja. Aku pamit ya.”
Senyum lebar tersungging di bibir Mentari mengiringi kepergian Argan, kali ini tanpa paksaan.
Mentari dan Argan menikmati waktu bersama mereka di pantai. Cuaca cerah, matahari bersinar terik, saat yang tepat untuk menikmati indahnya pantai, hanya mereka berdua. Tidak banyak pengunjung di pantai berpasir putih berjarak dua jam perjalanan dari rumah Mentari. Lokasinya berada di dekat perkampungan kecil, namun tidak banyak yang datang berkunjung ke pantai ini, karena pantai ini belum dikomersilkan.Argan mendapat rekomendasi dari Gempita. ‘Pantainya cantik, bersih juga. Terlebih lagi sepi. Jarang yang tahu pantai itu. Kalian bisa menikmati waktu romantis berdua. Jangan lupa bawa bekal, di sana tidak ada yang jualan. Beli aja nasi kuning, Mentari suka itu. Ga perlu yang mahal-mahal, Mentari ga pemilih kok.’Argan mengikuti setiap saran yang dianjurkan Gempita. Kantong plastik yang dibawanya berisi dua nasi kuning yang terbungkus kertas makan, beberapa cemilan dan beberapa minuman kemasan yang dibelinya di minimarket dalam perjalanan ke rumah Mentari tadi. ‘Persiapan yang matang, s
Kebingungan dan ketakutan memenuhi Mentari dua hari ini. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya mengurung dirinya di dalam kamar dan tidak makan sepulangnya dari kampus. Kakak-kakak dan ibunya berpikir bahwa dia sakit. Mereka mengetok kamarnya, namun tidak dibukakan.Sorenya Gempita datang mencarinya ke rumah.“Pita, kamu baik-baik aja, kan? Kok kamu gak kuliah tadi?” seru Gempita keras dari depan pintu setelah berkali-kali memanggil nama Mentari namun tidak ada jawaban.Kakak perempuan Gempita muncul dengan spatula di tangan, “Apa maksudmu Mentari tidak kuliah tadi?” tampang galak terpampang di wajahnya yang berkeringat.“Iya, Ka, hari ini Mentari ga kelihatan di kampus. Aku berkali-kali nelpon tapi tidak diangkat, pesan-pesanku juga tidak dibalas. Makanya aku kemari.” Penjelasan itu mengubah rona di wajah kakak Mentari.Ia maju dan mengetok pintu kamar Mentari dengan kepalan tangannya, “Buka, cepat buka, Mentari. Kalau tidak aku akan merusak pintu ini.”Kegaduhan itu mengundang
Suara tangisan bayi menggema mengalahkan suara musik yang dimainkan dengan volume kencang lewat ponsel yang terletak di meja ruang tamu. Dengan lembut, Mentari menggendong bayi mungil berbalut piyama bayi berwarna putih kuning. Perlahan suara tangis mereda.“Argan, tolong kecilkan volume musiknya. Feliz ga bisa tidur.” Suara Mentari yang setengah berteriak membuat Feliz kembali menangis. “Cup, cup.”Mentari keluar dari kamar, mengambil ponsel di atas meja dan mematikan lagu yang berdendang dari Spotify dan meletakkan ponsel itu kembali di atas meja.Argan masuk ke ruang tamu memprotes, “Kenapa dimatiin?” Diambilnya ponsel miliknya di atas meja dan mencari aplikasi pemutar lagu tadi.“Argan, Feliz ga bisa tidur kalau berisik," jelas Mentari sambil berbisik.Lagu pop kembali terdengar dari ponsel Argan. “Ga apa-apa dari kecil udah dikasih dengar lagu-lagu, biar gedenya nanti punya selera musik yang bagus.” Argan keluar menuju teras depan, kembali memandikan mobil kesayangannya.Mentari
"Tari, kamu lihat celana jeans hitamku?" teriak Argan dari dalam kamar. Mentari yang berada di dapur buru-buru masuk ke kamarnya dan Argan. Ia langsung menuju Feliz yang berada di ayunan dan memeriksanya. Feliz bergerak-gerak, namun segera tidur kembali. Mentari mengayunkan Feliz perlahan. "Kamu dengar, ga?" tanya Argan lagi menatap Mentari dengan alis berkerut. "Yang kamu pakai ke kampus 3 hari lalu?" tanya Mentari. "Ga tahu berapa hari yang lalu. Seingatku dipakai pas hujan." "Iya, benar 3 hari yang lalu pas hujan deras," terang Mentari masih mengayunkan Feliz. "Iya, iya, itu. Mana celananya?" "Bukannya kamu bawa ke laundry karena kotor terkena cipratan lumpur?" Mentari berusaha memelankan suaranya, namun Argan tidak bisa mengontrol intonasinya. "Kok di laundry sih?" sergah Argan. Mentari melirik Feliz dalam gendongan, masih tertidur. "Kamu belum ambil?" Mentari kembali bertanya dengan suara pelan, berharap Argan juga akan memelankan suaranya. Tapi, tidak. "Kenapa kamu ga
Hari yang dinanti Mentari tiba juga. Dia begitu bersemangat untuk kembali kuliah, bersemangat kembali berkumpul dengan teman-temannya.Sudah lama dia tidak bertemu Gempita, rasa kangen membanjirinya.Saking gembiranya dapat kembali ke kampus, Mentari tiba terlalu pagi hari ini, jam 7 lewat. Hanya tukang bersih-bersih yang terlihat mondar-mandir.Dalam hitungan menit, para mahasiswa mulai berdatangan. Begitu pula para staf tata usaha. Ini awal semester ganjil, banyak yang harus dikerjakan para staf tata usaha. Demikian juga para mahasiswa baru.Beberapa mahasiswa baru berkeliaran di sekitar Mentari. Dia bisa menangkap percakapan mereka yang membahas tentang pengurusan berkas yang belum selesai, mata kuliah pertama maupun mencari ruangan kelas mereka.Mentari teringat hari pertamanya kuliah. Dia hampir saja terlambat mengikuti mata kuliah pertamanya, karena tidak bisa menemukan ruang kelasnya. Bersama Gempita, temannya sejak SMA, ia berlari-larian keluar masuk lorong gedung bertingkat t
"Tari!" panggil Gempita menghampiri Mentari dengan langkah panjang. Kedua tangannya memegang sejumlah buku dan makalah. "Kamu sudah mau ke kelas?" tanya Gempita sesampainya di depan Mentari. "Iya." Mentari melirik buku-buku di tangannya, "Kamu sibuk sekali." "Mauku tidak begini, tapi kalau aku tidak mengumpulkan data untuk skripsi, aku tidak bisa lulus." Gempita memperlihatkan beberapa buku di tangannya. "Kamu tahu aku, kan? Sejak kapan aku senang belajar?" Mentari tersenyum nakal, "Ooh, benarkah ini Gempita?" Gempita tersipu, "Apa, sih." Dia berusaha memukul Mentari seperti yang sering dilakukannya ketika mereka bercanda, tapi hanya menyebabkan beberapa buku jatuh ke lantai. Keduanya terbahak dan hampir bersamaan menunduk memunguti buku-buku yang jatuh. "Aku kangen banget sama kamu. Kangen kita bercanda seperti ini." Gempita menatapi Mentari lembut, tersirat kerinduan yang di sana. Mentari merupakan teman terdekatnya selama di kampus, sejak ia cuti kuliah setahun yang lalu, ia
Hujan deras mengguyur membasahi Mentari dari ujung rambutnya. Dia tidak membawa payung ataupun jaket untuk menutupi kepalanya. Setengah berlari hati-hati dia menyeberangi jalan menuju angkot yang parkir di seberang jalan."Neng, tidak mandi tadi pagi ya?" gurau Abang pengemudi angkot memperhatikan air menetes dari kaos Mentari."Iya, Bang. Mumpung ada air gratis, bisa mandi sekarang," balas Mentari berkelakar.Abang angkot tertawa namun menasehati, "Sampai di rumah langsung minum jahe hangat, biar tidak sakit.""Ga ada jahe, Bang. Habis dipakai ibu masak," canda Mentari berlanjut."Ya Eneng. Tolak angin aja diminum.""Angin udah terlanjur masuk nih, Bang." Mentari tertawa. Dia memang merasakan angin telah bersarang di dalam tubuhnya, karena dia mulai menggigil kedinginan.Abang angkot menemani perjalanan pulang Mentari dengan gurauan dan nasehat berbumbu curahan hati seorang suami yang sering dimarahi istri. Dalam kedinginannya, Mentari menimpali ucapan-ucapan abang hingga dia turun d
Argan masuk ke dalam kamar pagi itu dan melihat Mentari berbaring tertutup selimut hingga ke pundak."Tari, kamu ga kuliah? Ini sudah jam 7 lewat." Argan menggoncang bahu Mentari.Mentari berputar, dengan mata sayu dan wajah pucat dia menjawab, "Aku ga enak badan, mau istirahat."Sebelum Argan merespon, Ibu muncul dari balik tirai, berdiri di pintu. "Kamu sudah bangun, Tari?"Melihat Argan, ibu menyapanya, "Pagi, Argan, baru datang?""Iya, Bu. Hari ini kuliah siang, kemari mau ambil barang yang kelupaan."Ibu hanya mengangguk, melewati Argan dan duduk di tepi ranjang, lalu meraba dahi Mentari. "Demam kamu sudah turun. Ibu bawakan makanan lalu minum obat, ya?"Mentari menghentikan ibu yang beranjak menuju pintu, "Ga usah, Bu. Aku makan di dapur saja." Oleng, Mentari duduk di pinggir ranjang. Dia menunggu hingga kepala dan pandangannya stabil, kemudian berdiri."Kalau sakit, di kamar aja, tuh kamu oleng," sergah Argan."Kalau terus berbaring, rasanya semakin sakit. Aku juga mau hirup ud
Wajah Mentari sepucat kertas putih. Tangkapan matanya seolah tidak dapat diproses otaknya. Matanya mencari-cari ke arah pekarangan rumah. Diapun berjalan maju dengan cepat, berharap motornya ada di pekarangan depan.Kosong.Dia berbalik memandangi kakaknya yang sedang mendekatinya dengan ekspresi bingung."Bu?""Motormu dipinjam Argan, Tari. Ada hal penting yang harus dikerjakannya."Pernyataan ibu menyambar Mentari seperti sebuah petir. Tidak yakin, dia kembali memastikan, "Apa, Bu?""Argan harus menghadiri rapat untuk membahas pelaksanaan proyek jalan tol yang diceritakannya pada kita. Rapat itu mulai jam delapan pagi. Dia hendak meminta izin padamu tadi pagi untuk memakai motormu, tapi kamu masih terlelap, jadi Ibu memberikan kunci motornya."Di telinga Mentari, penjelasan ibu terdengar tidak masuk akal. Setelah yang dilakukan Argan padanya dan motornya seminggu yang lalu, bagaimana mungkin ibu masih meminjamkan motor itu pada Argan?Mulut Mentari menganga, hendak melontarkan keber
"Dia memang harus ke dokter. Dokter jiwa," seloroh Cahya saat dia mencuci piring. "Kepalanya terbentur, pasti pikirannya terganggu, semakin parah dari sebelumnya."Sindiran Cahya mengundang tatapan tajam ibu. Namun tatapan itu segera teralihkan oleh bayangan Mentari yang muncul dari balik pintu."Ayo, duduk. Ibu ambilkan nasi."Dengan patuh, Mentari duduk sambil berusaha menekan perutnya yang mulai menimbulkan bunyi."Ini rumahmu, Tari. Jangan bodoh dengan membiarkan dirimu kelaparan di rumahmu sendiri."Sigap, Cahya mengeluarkan kembali lauk yang telah dimasukkannya ke lemari. Bahkan dia menuangkan segelas air dan meletakkannya di meja depan Mentari. Dari samping kiri, ibu meletakkan sepiring nasi beserta sendok.Mata Mentari menerawangi makanan di depannya. Rasa laparnya membuncah, namun otakknya tidak mengarahkan tangannya untuk meraih sendok.Kembali, Cahya dengan sigap mengambil tangan kanan Mentari lalu menggenggamkannya pada sendok di hadapannya.Seolah tersadar dari lamunan, M
Teriakan Mentari membahana hingga ke kamar ibu dan Cahya yang segera keluar, diiringi Feliz dan Winar sambil menenteng mobil-mobilan yang sedang mereka mainkan."Tari, ada apa?" suara panik ibu menyita perhatian Mentari."Di mana Argan?""Ada apa, Tari?" Ada dugaan pada intonasi suara Cahya saat mendengar pertanyaan Mentari.Seperti seorang anak kecil yang ditarik ibunya, Cahya terseret mengikuti tarikan tangan adiknya."Ka, lihat ini," tunjuk Mentari ke arah motornya.Mata Cahya menangkap beberapa garis di badan motor Mentari. Garis-garis itu tidak beraturan seolah memberikan motif baru pada motor Mentari. Cahya berkeliling dan mendapat garis-garis yang sama di bagian motor lainnya.Tak sanggup berkata-kata, Cahya mendongakkan kepalanya memandang Mentari yang dadanya naik-turun.Ibu yang kini juga memandangi motor Mentari pun terdiam."Apa yang dilakukan Argan dengan motorku?"Tanpa menunggu balasan dari ibu dan
Hasil dari pemeriksaan dokter pada kaki Argan adalah dia sudah sembuh total. Begitulah penuturan ibu berdasarkan ucapan dokter. Itulah inti yang ingin didengar Mentari, bukan kronologi pemeriksaan Argan yang disertai bumbu-bumbu pemanis yang berkesan sombong. Argan hanya keseleo, itulah yang tersimpan di benak Mentari sejak mendengar berita Argan kecelakaan.Tak ada lagi bangun tengah malam untuk mengantarkan Argan ke toilet dan tidak ada lagi peran asisten rumah tangga yang harus selalu siap melayani tuan besarnya.Begitulah sangka Mentari."Tari, besok aku ke rumah temanku, ada bisnis yang harus kami diskusikan. Kamu tahu 'kan Dani?"Setengah hati Mentari mendengarkan. Dia baru saja selesai mengoleskan pelembab di wajahnya dan hendak bersiap untuk makan malam.Ketika Mentari dengan acuhnya melangkah ke arah pintu, Argan menghentikannya dengan sebuah berkata, "Kamu harus mengantarkanku."Mentari melirik Argan."Kamu tahu sendiri mobilku tidak di sini, jadi kamu yang harus mengantarka
"Maaf mendadak, Pak. Iya, benar. Iya, Pak. Iya." Mentari meletakkan ponselnya di meja dapur setelah dengan patuh menerima ceramah penuh konsekuensi dari kepala toko akan ketidakhadirannya hari ini. Kepala Cahya menyembul dari balik pintu dapur. Tangannya ditarik Winar hendak menuju kamar "Kamu dimarahi?" Hanya anggukan sebagai jawaban dari Mentari. "Apa kata kepala toko?" Sebenarnya Mentari tidak ingin membahasnya, tapi dia mengerti benar kalau pertanyaan kakaknya menuntut jawaban. "Gajiku dipotong," kata-kata itu berat mengalir dari mulut Mentari. "Berapa?" Dahi Cahya mengernyit. "Ibu, ayo cepat, nanti kita terlambat." Kali ini tarikan keras dari Winar melenyapkan wajah Cahya dari balik pintu. Ada kelegaan hinggap di wajah Mentari. Namun, dalam hati dia meringis. Dua ratus ribu. Tatapan jengkel Mentari melepas kepergian Argan bersama ibu. Tak henti-hentinya dia menyalahkan Argan akan keputusan sembrono kepala toko. 'Keputusan apa itu? Bagaimana mungkin gajinya dipotong du
"Antarkan aku ke dokter besok." Bukan permintaan, tapi sebuah perintah yang keluar dari mulut Argan membuat darah mengalir deras ke kepala Mentari. Mentari hendak beranjak keluar kamar untuk berangkat kerja, namun langkah kakinya terhenti ketika telinganya menangkap kata-kata Argan. Setelah menghela napas, Mentari berbalik menghadap Argan yang sedang duduk di tepi ranjang berusaha mengeluarkan bungkusan rokok dari dalam kantong celananya. "Aku tidak bisa." Jawaban singkat Mentari disambut amarah oleh Argan. "Pikirmu aku bisa sendirian ke dokter?" Suara bungkus rokok menyentuh kasur terdengar cukup keras. "Aku harus kerja." Mentari menambahkan. "Pekerjaan terus yang kamu urusi, suamimu tidak kamu urusi." Argan kini berdiri menghadap Mentari. Seolah telah menunggu saat Argan mengucapkan kalimat ini, Mentari menyahut menyeringai, "Kalau aku tidak bekerja, siapa yang akan membiayai kebutuhan Feliz?" Sebelum menyambung, Mentari melirik rokok yang tergeletak di atas ranjang, "Dan itu,
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq
Waktu berlalu begitu cepat. Hal itu disyukuri Mentari. Begitu inginnya dia agar waktu melompat ke minggu depan pada hari kembalinya orang tua Argan. Namun, sebelumnya ada hari senin yang terlebih dahulu harus dilewatinya.Di hari minggu ini, Cahya mengajak seluruh anggota keluarga untuk mengunjungi sebuah arena rekreasi yang letaknya tidak begitu jauh. Suaminya telah melarangnya karena ini akhir bulan, keuangan mereka telah menipis.“Tempat itu tidak mahal. Kita tidak perlu membeli makanan di sana, kita bisa membawa bekal. Hanya perlu membayar ongkos masuk saja,” bantah Cahya saat ditolak Feri. “Aku memiliki uang, kamu tidak perlu mengeluarkan uangmu.”Bisnis penjualan makanan Cahya memang masih berjalan, walaupun keuntungannya semakin berkurang akhir-akhir ini. Dari hari ke hari, pelanggannya semakin sedikit.“Bukankah itu uang tabunganmu untuk keadaan darurat? Kenapa kamu mau menggunakannya sekarang?”Seperti k