“Gimana semalam?”
Kartu mahasiswa di tangan Mentari terjatuh ke ubin putih dekat sepasang sepatu kets hitam saat ia mendengar suara Gempita berbisik tepat di telinganya.
“Dasar kamu, nih. Untung aja bukan gelas yang kupegang.” ucapnyamelangkah hendak mengambil kartu mahasiswa yang terjatuh di lantai. Terdengar suara Gempita berujar, “Kalau gelas yang jatuh, kamu bakal menjadi OB(Office Boy) dadakan.”
Mentari mengulurkan tangannya hendak memungut kartu mahasiswanya, tapi didahului oleh pemilik sepatu kets hitam. Diulurkannya kartu mahasiswa itu pada Mentari tanpa berkata-kata.
“Terima kasih.” Ucap Mentari tulus sambil tersenyum dan kembali ke tempat Gempita berdiri.
“Siapa ‘tuh? Imut juga.” Mata Gempita membesar memperhatikan pria bersepatu kets hitam yang sekarang tengah berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di tangannya.
“Mau aku kenalin?” canda Mentari.
“Kamu juga ga kenal gimana mau kenalin?” ia kembali menatap Mentari. “Ke mana kalian semalam?” kali ini matanya dipicingkan, penasaran sekaligus usil.
“Makan terus pulang.”
“Gitu aja?” Gempita tidak percaya.
“Emangnya kamu pikir kita mau ke mana?”
“Yaaa, ke mana kek, ke tempat yang romantis gitu.”
“Mau romantisan di empang?”
“Kalau kecebur dan basah-basahan bisa jadi romantis lho.”
Mentari hanya tertawa mendengarnya.
“Aku senang kamu udah kembali ke Mentari yang dulu.” Ada kelegaan dan bahagia di wajah Gempita.
Mentari menatap Gempita dengan wajah tak berdosa, “Emang sebelumnya aku gimana?” tanyanya sembari melangkah meninggalkan loket antrian yang telah kosong.
“Kayak orang bego, terus sedih, terus diam, ga mau ngapa-ngapain kalau diajakin. Ga asyik diajak kulineran, makannya dikiiit.” Gempita menekan kata terakhir dan memperagakannya dengan jari telunjuk dan jempol.
“Sekarang?”
“Sekarang kamu udah ketawa lagi, udah bercanda lagi. Aku senang kamu yang gitu.” Dipeluknya Mentari.
Berbagai ocehan keluar dari mulut Gempita tentang betapa tidak menyenangkan sikap Mentari beberapa bulan terakhir setelah putus dari Bari.
“Semalam aku ketemu Bari.”
Berita itu membuat Gempita kaget. “Apa?” hanya itu yang terucap dari mulutnya. “Maksudku....”
“Kami bertemu di restoran saat hendak pulang.”
Cerita Mentari terus berlanjut tentang bagaimana ia terdiam tak sanggup bereaksi apapun ketika pertemuan yang tak terduga dengan Bari terjadi semalam. Mentari dan Argan sedang menuju ke mobil Argan ketika ia melihat Bari bersama seorang wanita baru keluar dari sebuah mobil. Mentari terdiam membeku di tempatnya memandangi sepasang pengantin baru itu. Bari yang awalnya tidak melihat Mentari, sedang bercakap-cakap dengan wanita itu, hingga akhirnya ia melihat Mentari dan ikut terdiam. Namun Bari lebih bisa mengontrol emosinya setelah terdiam sejenak, ia menyapa Mentari, “Hai, Mentari.”
Mentari tidak sanggup berkata-kata, ia berusaha tapi tidak ada suara apapun yang keluar dari mulutnya yang setengah terbuka. Setelah Bari dan wanita itu lebih dekat, Bari memperkenalkan wanita di sampingnya yang adalah istrinya.
Mentari tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Argan tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Mentari dan bertanya, “Temanmu?”
“He-eh.” Itu yang sanggup diucapkan Mentari.
“Kenalin, aku Argan, teman Mentari, teman dekat.” Nada tegas dan percaya diri di dalam suaranya membuat Bari terperangah. Ia tidak menduga Mentari sudah memiliki seseorang yang dekat dengannya setelah Bari.
Kecanggungan dalam suasana itu membuat perkenalan itu hanya berlangsung sebentar saja.
Pikiran Mentari tidak karuan, apalagi perasaannya. Tak ada satupun ucapan Argan yang didengarkannya lagi dalam perjalanan pulang. Argan mengerti. Gempita telah menceritakan kisah cinta Mentari dan Bari padanya sebelumnya.
”Untung aja ada Argan, kalau ga, kamu udah mati kutu di situ.” kata Gempita setelah Mentari selesai bercerita.
“Iya.” Senyumnya berat. “Semalam aku tidak bisa tidur memikirkan semua itu, tapi sekarang aku merasa lebih baik.”
Gempita menatap temannya iba dan sayang. Ia tahu bagaimana sakitnya Mentari melewati itu semua, Gempita adalah saksinya.
“Aku merasa seperti bebanku terangkat setelah melihat Bari dan ...” ada keheningan, “istrinya.” Mentari membasahi bibirnya dan melanjutkan, “Kalau mungkin aku hadir saat pernikahannya, sakit itu tidak akan terasa perih hingga selama ini, 6 bulan.” Ia tersenyum pahit.
“Mungkin waktu itu kamu belum siap, mungkin kamu memang butuh enam bulan untuk siap.”
Mentari memandang Gempita.
“Aku tahu, aku tahu.” Gempita mengibas-ngibaskan tangannya, “Aku memang bijak, kan?”
Suara tawa Mentari memenuhi ruang kelas yang masih kosong. Mereka telah tiba di ruang kelas besar untuk ikut mata kuliah umum.
“Entah di mana kamu mengutip kata-kata itu. Itu benar-benar bukan Gempita.” Tawanya masih berlanjut.
Dalam beberapa menit, ruang kelas mulai terisi, mereka pun berhenti berbicara dan bersiap mengikuti kuliah. Berharap bisa mendapatkan nilai bagus dengan duduk diam dan memperhatikan dosen di depan kelas sambil sesekali menahan kantuk.
Saat keluar dari ruangan, ponsel Mentari berbunyi pendek, ada pesan masuk, dari Argan.
Ayo jalan nanti malam. Aku jemput jam 6.
Gempita yang berjalan di belakang Mentari, mengintip dari balik bahu.
“Ooh... ada yang mau kencan nih. Cieee....”
Mentari terus diberondong ledekan-ledekan usil Gempita sepanjang jalan menuju kantin yang hanya dibalas dengan candaan oleh Mentari.
Ada perasaan hangat di dada Mentari memikirkan akan keluar dengan Argan malam ini. Malam ini akan menjadi kedua kalinya mereka keluar hanya berdua saja setelah beberapa kali sebelumnya mereka selalu keluar jalan bertiga bersama Gempita. Semalam mereka hanya keluar makan sebentar, karena Argan harus mengurus beberapa hal terkait keluarganya, jadi tidak banyak yang mereka bicarakan. Malam ini bisa menjadi malam mereka semakin mengenal. Mentari memiliki banyak pertanyaan di kepalanya untuk Argan. Dia telah menanyakannya pada Gempita, tapi temannya itu berdalih dengan, “Tanyakan langsung sama orangnya.” disertai senyum jahil di wajahnya.
Sesuai janjinya, Argan menjemput Mentari tepat jam 6. Sebenarnya, ia telah tiba sejak 15 menit sebelumnya, tapi dia pikir lebih baik menunggu dulu di mobil.
Mereka mengunjungi taman kota yang ramai dengan bermacam-macam orang yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sibuk berjualan, ada juga yang sedang berfoto dengan berbagai pose di segala titik yang dianggap estetik, ada juga yang sedang tidur di bangku panjang, bahkan ada bermain kejar-kejaran di antara pohon dan bunga-bunga yang menyebabkan tangkai bunga patah di beberapa bagian.
Semua itu tidak mengalihkan fokus Argan dan Mentari. Keduanya asyik berbincang soal kampus maupun film. Malam terasa pendek bagi keduanya. Jam di ponsel Mentari sudah menunjukkan hampir jam sepuluh ketika ada telepon masuk, dari kakaknya.
“Kamu di mana?” suara di ponsel Mentari menggema hingga ke telinga Argan.
“Aku lagi keluar.” Mentari menjawab sekenanya.
“Tahu kamu lagi keluar, tapi di mana? Sudah mau jam sepuluh, kenapa belum pulang?” suara kakak Mentari semakin membahana.
“Memangnya ada apa?” pelan Mentari bertanya agar kakaknya lebih tenang.
“Kamu ga kenapa-napa ‘kan? Kamu udah lama ga keluar sampai selarut ini.”
Tersenyum Mentari menjawab kakaknya yang terdengar kuatir, “Aku baik-baik aja, ini masih sama teman, yang tadi jemput di rumah. Bentar lagi pulang.”
Selama beberapa saat tidak terdengar apapun di seberang, kemudian, “Ya, sudah, jangan terlalu larut pulangnya.” Kakaknya sudah lebih tenang, “Dan hati-hati.” Tambahnya lalu menutup telepon.
“Wah, kakakmu pasti galak. Aku bisa dengar suaranya sampai sini. Untung aja tadi tidak ketemu.” Canda Argan bergidik lucu. “Ayo, pulang. Aku takut nanti dimarahi kakakmu kalau kita pulang lebih larut.”
Jam 10.20 Mentari telah berdiri di depan pintu rumahnya diantarkan Argan yang celingak-celinguk melirik ke bagian dalam rumah Mentari.
“Kenapa?” Mentari bingung.
“Mana kakakmu yang itu?”
“Yang galak tadi?”
“Iya.”
“Mau aku panggilin? Mau kenalan?”
“Eeh, ga deh, lain kali aja. Aku pamit ya.”
Senyum lebar tersungging di bibir Mentari mengiringi kepergian Argan, kali ini tanpa paksaan.
Mentari dan Argan menikmati waktu bersama mereka di pantai. Cuaca cerah, matahari bersinar terik, saat yang tepat untuk menikmati indahnya pantai, hanya mereka berdua. Tidak banyak pengunjung di pantai berpasir putih berjarak dua jam perjalanan dari rumah Mentari. Lokasinya berada di dekat perkampungan kecil, namun tidak banyak yang datang berkunjung ke pantai ini, karena pantai ini belum dikomersilkan.Argan mendapat rekomendasi dari Gempita. ‘Pantainya cantik, bersih juga. Terlebih lagi sepi. Jarang yang tahu pantai itu. Kalian bisa menikmati waktu romantis berdua. Jangan lupa bawa bekal, di sana tidak ada yang jualan. Beli aja nasi kuning, Mentari suka itu. Ga perlu yang mahal-mahal, Mentari ga pemilih kok.’Argan mengikuti setiap saran yang dianjurkan Gempita. Kantong plastik yang dibawanya berisi dua nasi kuning yang terbungkus kertas makan, beberapa cemilan dan beberapa minuman kemasan yang dibelinya di minimarket dalam perjalanan ke rumah Mentari tadi. ‘Persiapan yang matang, s
Kebingungan dan ketakutan memenuhi Mentari dua hari ini. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya mengurung dirinya di dalam kamar dan tidak makan sepulangnya dari kampus. Kakak-kakak dan ibunya berpikir bahwa dia sakit. Mereka mengetok kamarnya, namun tidak dibukakan.Sorenya Gempita datang mencarinya ke rumah.“Pita, kamu baik-baik aja, kan? Kok kamu gak kuliah tadi?” seru Gempita keras dari depan pintu setelah berkali-kali memanggil nama Mentari namun tidak ada jawaban.Kakak perempuan Gempita muncul dengan spatula di tangan, “Apa maksudmu Mentari tidak kuliah tadi?” tampang galak terpampang di wajahnya yang berkeringat.“Iya, Ka, hari ini Mentari ga kelihatan di kampus. Aku berkali-kali nelpon tapi tidak diangkat, pesan-pesanku juga tidak dibalas. Makanya aku kemari.” Penjelasan itu mengubah rona di wajah kakak Mentari.Ia maju dan mengetok pintu kamar Mentari dengan kepalan tangannya, “Buka, cepat buka, Mentari. Kalau tidak aku akan merusak pintu ini.”Kegaduhan itu mengundang
Suara tangisan bayi menggema mengalahkan suara musik yang dimainkan dengan volume kencang lewat ponsel yang terletak di meja ruang tamu. Dengan lembut, Mentari menggendong bayi mungil berbalut piyama bayi berwarna putih kuning. Perlahan suara tangis mereda.“Argan, tolong kecilkan volume musiknya. Feliz ga bisa tidur.” Suara Mentari yang setengah berteriak membuat Feliz kembali menangis. “Cup, cup.”Mentari keluar dari kamar, mengambil ponsel di atas meja dan mematikan lagu yang berdendang dari Spotify dan meletakkan ponsel itu kembali di atas meja.Argan masuk ke ruang tamu memprotes, “Kenapa dimatiin?” Diambilnya ponsel miliknya di atas meja dan mencari aplikasi pemutar lagu tadi.“Argan, Feliz ga bisa tidur kalau berisik," jelas Mentari sambil berbisik.Lagu pop kembali terdengar dari ponsel Argan. “Ga apa-apa dari kecil udah dikasih dengar lagu-lagu, biar gedenya nanti punya selera musik yang bagus.” Argan keluar menuju teras depan, kembali memandikan mobil kesayangannya.Mentari
"Tari, kamu lihat celana jeans hitamku?" teriak Argan dari dalam kamar. Mentari yang berada di dapur buru-buru masuk ke kamarnya dan Argan. Ia langsung menuju Feliz yang berada di ayunan dan memeriksanya. Feliz bergerak-gerak, namun segera tidur kembali. Mentari mengayunkan Feliz perlahan. "Kamu dengar, ga?" tanya Argan lagi menatap Mentari dengan alis berkerut. "Yang kamu pakai ke kampus 3 hari lalu?" tanya Mentari. "Ga tahu berapa hari yang lalu. Seingatku dipakai pas hujan." "Iya, benar 3 hari yang lalu pas hujan deras," terang Mentari masih mengayunkan Feliz. "Iya, iya, itu. Mana celananya?" "Bukannya kamu bawa ke laundry karena kotor terkena cipratan lumpur?" Mentari berusaha memelankan suaranya, namun Argan tidak bisa mengontrol intonasinya. "Kok di laundry sih?" sergah Argan. Mentari melirik Feliz dalam gendongan, masih tertidur. "Kamu belum ambil?" Mentari kembali bertanya dengan suara pelan, berharap Argan juga akan memelankan suaranya. Tapi, tidak. "Kenapa kamu ga
Hari yang dinanti Mentari tiba juga. Dia begitu bersemangat untuk kembali kuliah, bersemangat kembali berkumpul dengan teman-temannya.Sudah lama dia tidak bertemu Gempita, rasa kangen membanjirinya.Saking gembiranya dapat kembali ke kampus, Mentari tiba terlalu pagi hari ini, jam 7 lewat. Hanya tukang bersih-bersih yang terlihat mondar-mandir.Dalam hitungan menit, para mahasiswa mulai berdatangan. Begitu pula para staf tata usaha. Ini awal semester ganjil, banyak yang harus dikerjakan para staf tata usaha. Demikian juga para mahasiswa baru.Beberapa mahasiswa baru berkeliaran di sekitar Mentari. Dia bisa menangkap percakapan mereka yang membahas tentang pengurusan berkas yang belum selesai, mata kuliah pertama maupun mencari ruangan kelas mereka.Mentari teringat hari pertamanya kuliah. Dia hampir saja terlambat mengikuti mata kuliah pertamanya, karena tidak bisa menemukan ruang kelasnya. Bersama Gempita, temannya sejak SMA, ia berlari-larian keluar masuk lorong gedung bertingkat t
"Tari!" panggil Gempita menghampiri Mentari dengan langkah panjang. Kedua tangannya memegang sejumlah buku dan makalah. "Kamu sudah mau ke kelas?" tanya Gempita sesampainya di depan Mentari. "Iya." Mentari melirik buku-buku di tangannya, "Kamu sibuk sekali." "Mauku tidak begini, tapi kalau aku tidak mengumpulkan data untuk skripsi, aku tidak bisa lulus." Gempita memperlihatkan beberapa buku di tangannya. "Kamu tahu aku, kan? Sejak kapan aku senang belajar?" Mentari tersenyum nakal, "Ooh, benarkah ini Gempita?" Gempita tersipu, "Apa, sih." Dia berusaha memukul Mentari seperti yang sering dilakukannya ketika mereka bercanda, tapi hanya menyebabkan beberapa buku jatuh ke lantai. Keduanya terbahak dan hampir bersamaan menunduk memunguti buku-buku yang jatuh. "Aku kangen banget sama kamu. Kangen kita bercanda seperti ini." Gempita menatapi Mentari lembut, tersirat kerinduan yang di sana. Mentari merupakan teman terdekatnya selama di kampus, sejak ia cuti kuliah setahun yang lalu, ia
Hujan deras mengguyur membasahi Mentari dari ujung rambutnya. Dia tidak membawa payung ataupun jaket untuk menutupi kepalanya. Setengah berlari hati-hati dia menyeberangi jalan menuju angkot yang parkir di seberang jalan."Neng, tidak mandi tadi pagi ya?" gurau Abang pengemudi angkot memperhatikan air menetes dari kaos Mentari."Iya, Bang. Mumpung ada air gratis, bisa mandi sekarang," balas Mentari berkelakar.Abang angkot tertawa namun menasehati, "Sampai di rumah langsung minum jahe hangat, biar tidak sakit.""Ga ada jahe, Bang. Habis dipakai ibu masak," canda Mentari berlanjut."Ya Eneng. Tolak angin aja diminum.""Angin udah terlanjur masuk nih, Bang." Mentari tertawa. Dia memang merasakan angin telah bersarang di dalam tubuhnya, karena dia mulai menggigil kedinginan.Abang angkot menemani perjalanan pulang Mentari dengan gurauan dan nasehat berbumbu curahan hati seorang suami yang sering dimarahi istri. Dalam kedinginannya, Mentari menimpali ucapan-ucapan abang hingga dia turun d
Argan masuk ke dalam kamar pagi itu dan melihat Mentari berbaring tertutup selimut hingga ke pundak."Tari, kamu ga kuliah? Ini sudah jam 7 lewat." Argan menggoncang bahu Mentari.Mentari berputar, dengan mata sayu dan wajah pucat dia menjawab, "Aku ga enak badan, mau istirahat."Sebelum Argan merespon, Ibu muncul dari balik tirai, berdiri di pintu. "Kamu sudah bangun, Tari?"Melihat Argan, ibu menyapanya, "Pagi, Argan, baru datang?""Iya, Bu. Hari ini kuliah siang, kemari mau ambil barang yang kelupaan."Ibu hanya mengangguk, melewati Argan dan duduk di tepi ranjang, lalu meraba dahi Mentari. "Demam kamu sudah turun. Ibu bawakan makanan lalu minum obat, ya?"Mentari menghentikan ibu yang beranjak menuju pintu, "Ga usah, Bu. Aku makan di dapur saja." Oleng, Mentari duduk di pinggir ranjang. Dia menunggu hingga kepala dan pandangannya stabil, kemudian berdiri."Kalau sakit, di kamar aja, tuh kamu oleng," sergah Argan."Kalau terus berbaring, rasanya semakin sakit. Aku juga mau hirup ud
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq
Waktu berlalu begitu cepat. Hal itu disyukuri Mentari. Begitu inginnya dia agar waktu melompat ke minggu depan pada hari kembalinya orang tua Argan. Namun, sebelumnya ada hari senin yang terlebih dahulu harus dilewatinya.Di hari minggu ini, Cahya mengajak seluruh anggota keluarga untuk mengunjungi sebuah arena rekreasi yang letaknya tidak begitu jauh. Suaminya telah melarangnya karena ini akhir bulan, keuangan mereka telah menipis.“Tempat itu tidak mahal. Kita tidak perlu membeli makanan di sana, kita bisa membawa bekal. Hanya perlu membayar ongkos masuk saja,” bantah Cahya saat ditolak Feri. “Aku memiliki uang, kamu tidak perlu mengeluarkan uangmu.”Bisnis penjualan makanan Cahya memang masih berjalan, walaupun keuntungannya semakin berkurang akhir-akhir ini. Dari hari ke hari, pelanggannya semakin sedikit.“Bukankah itu uang tabunganmu untuk keadaan darurat? Kenapa kamu mau menggunakannya sekarang?”Seperti k
Aroma kecanggungan terhirup pekat di tiap tarikan nafas setiap anggota keluarga pagi itu. Sarapan dalam keheningan bukanlah kebiasaan keluarga itu. Mereka hanya saling menyapa saat duduk di kursi masing-masing kemudian meja makan hening.Sebagai seorang pria dewasa yang menggunakan lebih banyak logika, Feri memecah keheningan, “Kamu harus memeriksakan kakimu lagi, Argan?”“Iya, Kak, senin minggu depan,” sahut Argan setelah memasukkan sepotong ikan dan nasi ke mulutnya. “Menurut dokter, aku harus menjalani terapi kalau tidak ada kemajuan setelah pemeriksaan nanti.”“Di rumah sakit mana?” sambung Feri.“Rumah Sakit Daerah,” jawab Argan singkat lalu menenggak seteguk air. Makanannya tersendat di tempat yang tidak seharusnya.“Lumayan jauh dari sini. Kamu bisa ke sana sendirian?”Pertanyaan itu mengundang lirikan tajam Cahya dan menarik perhatian ibu. Sementara Mentari berlagak seperti tidak mendengar apapun.“Bisa, Kak. Aku bisa naik taksi online,” jawab Argan penuh percaya diri. “Tapi b
“Selamat sore, Bu, Kak Cahya. Apa kabar?”Sekian lama suara itu tidak terdengar di rumah itu, terasa asing dan canggung. Cahya tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya. Dia berpaling, mengarahkan pandangannya pada pintu menuju dapur.Seolah kejadian-kejadian buruk di antara dia dan Mentari tidak pernah terjadi, Argan segera duduk di sofa terdekat sambil tersenyum dan berujar, “Senang rasanya kembali ke sini.”Hampir saja semburan Cahya terlontar dari mulutnya jika ibu tidak segera berdiri dan menahan tubuhnya yang berpaling menghadap Argan yang masih terus tersenyum memandangi sekeliling ruang tamu sekaligus mengikuti gerakan ibu yang meninggalkan ruang tamu.Pandangan jijik seolah berkata ‘Tidak tahu malu’ dilemparkan Cahya pada Argan. Argan yang melihat Cahya memandanginya dengan gaya sok lugu berujar, “Kak, makin cantik aja.”Sebelum Cahya sempat menanggapi, bunyi dering ponsel Argan yang maksimal menyelanya.“Halo, Ma.... Iya, baru aja tiba .... Iya, Ma, iya. Ga usah kuatir ....
Keputusan Mentari untuk menelepon Argan dianggap sebagai sebuah kekalahan bagi Cahya.“Mereka yang membutuhkan kamu, mereka yang harus menghubungi kamu. Kenapa kamu berinisiatif bodoh seperti itu?” cerca Cahya setelah Mentari memberitahunya dan ibu.Kata-kata Cahya itu juga telah berputar di benak Mentari berulang kali sebelum dia memutuskan.“Bagaimana pun dia masih suamiku, Kak.”“Bukan alasan tepat!” bantah Cahya. “Seenaknya saja keluarganya keluar masuk dari kehidupan kamu. Kalau kamu tidak dibutuhkan mereka menelantarkan kamu seperti orang pinggiran. Tapi, saat mereka membutuhkanmu, mereka mencarimu dan memperlakukan kamu seperti pelayan mereka.”“Cahya,” tegur ibu keras.Cahya hendak menanggapi teguran ibu, namun dia mengurungkan niatnya.“Apa kata Argan?” Cahya hendak mengatakan ‘pria tidak tahu diri’ sebagai ganti nama Argan, namun lirikan matanya pada ibu yang tampak serius membuatnya menelan kata-kata itu.“Hmm... dia mengatakan kalau dia ditabrak dari belakang oleh sebuah m
Sekali lagi Mentari membaca pesan masuk yang muncul di layar depan ponselnya. Dia membuka aplikasi pesan itu dan membaca sekali lagi. Tidak ada yang salah dengan penglihatannya, tulisannya tetap sama seperti yang dibacanya pertama kali.Mentari terdiam, matanya menatap layar ponselnya, namun pikirannya melayang-layang.Setelah beberapa lama memandangi Mentari yang terdiam, Cahya pun mendekati adiknya dan menggoyang tubuhnya, “Ada apa, Tari?”Tersentak, Mentari menatap kakaknya lalu menyodorkan ponselnya yang menyala pada Cahya. Cahya membaca lalu memandang Mentari.“Tanyakan kejelasannya pada Gempita.”Seperti robot, Mentari mengikuti perintah Cahya. Dia segera menelepon Gempita.‘Tari, Argan kecelakaan,’ ucap Gempita mengulangi isi pesannya.Belum sempat Mentari bertanya, Gempita telah mulai menjelaskan, “Tante baru saja meneleponku dan mengabari kalau Argan kecelakaan kemarin. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun hari ini sudah pulang karena Argan tidak ingin berlama-lama di r
Berita bahwa Mentari memiliki sepeda motor baru menyebar bagai virus di lingkungan tempat tinggalnya. Tetangga Mentari yang tidak pernah menyapanya sebelumnya, berbasa-basi dengannya sambil memperhatikan motor yang sementara didorongnya keluar dari halaman rumah. Dia masih belum mahir mengendarainya di area sempit, begitu pula dengan hal memarkirkan motor.Motor itu seperti mendukung tetangganya, tersangkut di sebuah batu yang menonjol di pinggiran jalan keluar. Mentari mendorongnya sekuat tenaga untuk melewati batu itu.Melihatnya terdiam, tetangganya mendekatinya dan memandangi motor yang sedang didorong Mentari.“Mentari, kamu kerja di mana sampai bisa membeli motor baru?”Wanita yang diajak bicara sedang berjibaku dengan motornya, kembali bertanya, “Kenapa?”Setelah beberapa kali usaha kerasnya tidak membuahkan hasil, dia pun memundurkan motornya dan mengambil jalan yang rata di sebelah batu itu. Dia merasa bodoh dalam hatinya, seharusnya sejak tadi dia melakukannya.“Permisi, Pak
“Ada apa ini? Ramai sekali,” serbu Feri dengan nada bicara bersemangat memasuki ruang tamu yang berisik.“Tante Mentari sedang curhat, Pak,” sahut Winar yang bersandar di sofa mendengarkan cerita Mentari.“Itu, Kak, di toko. Bagaimana mungkin ada pelanggan yang sangat pelit seperti si bapak-bapak itu? Dia meminta diskon terus-menerus sampai meminta aku yang membayari biaya pengirimannya barangnya. Belum lagi dia memanggilku dengan kata ‘sayang’.” Amarah Mentari meluap-luap.Cahya yang duduk mengangkat kaki tergelak mendengarnya.“Hari ini adalah hari sial kamu, Tari.”“Ada lagi selain itu?” Feri penasaran.“Hari ini dia mendapatkan ojek online mantan pembalap MotoGP.” Tawa Cahya kembali pecah.Dengan antusias, Mentari kembali mengulang kisahnya pada kakak iparnya, “Waduh, Kak, kecepatannya 200 km/jam. Dia tidak mengenal lampu merah, lubang dan trotoar, semua diterjangnya tanpa rem. Beberapa kali aku hampir terlempar dari motornya. Sudah aku beritahu, tapi tidak digubrisnya. Bintang sa