Share

Bab 2: Perkenalan

Mentari duduk memandangi anak-anak yang saling melemparkan bola di trotoar depan. Mereka masih memakai seragam putih merah, lengkap dengan tas di punggung berbeda warna. Tiap anak berteriak meminta bola dioper ke arahnya.

Mobil merah memasuki area parkir restoran cepat saji dan parkir di samping pintu masuk. Seorang pria turun dengan percaya diri. Kepalanya terangkat, dengan kacamata hitam besar, dia melirik kanan-kiri mencari tukang parkir yang tidak bisa ditemukannya.

Pria itu melangkah masuk ke dalam restoran sambil menekan kunci mobil di tangan kanannya. Bunyi mobil terkunci terdengar.

“Argan!” suara panggilan Gempita menarik pandangan pria itu ke arah kiri restoran. Ia melihat dua wanita sedang duduk berdampingan menghadap ke arahnya. Wanita satunya dia kenal tentu saja, itu saudara sepupu jauhnya. Wanita satunya lagi tidak bisa dikatakan dikenalnya, ia hanya melihat fotonya dan mendengar berbagai cerita tentangnya dari Gempita.

Itu pasti Mentari. Hmm....’ batin Argan. ‘Cantik juga.’ Sambil mendekati meja di mana kedua wanita itu duduk, ia terus memperhatikan Mentari yang masih memandangi anak-anak di trotoar jalan.

“Argan, ini Mentari.” Gempita menunjuk Mentari yang pandangannya tidak bergeser. Gempita menepuk pundak Mentari, “Hei!”

Sontak Mentari terkejut ringan dan mengalihkan pandangan. Ia menatap Gempita dengan polosnya, “Kenapa?”

“Ya, ampun, kamu liatin apaan sih dari tadi?” Gempita agak jengkel, “Kenalin nih saudara aku.” Tunjuknya Argan yang masih berdiri. Merasa tidak sopan duduk sebelum mengenal pemilik meja.

Mentari menengadah dan menatap Argan, “Oh, Mentari.” ucapnya singkat sambil bangkit berdiri menyambut tangan Argan yang terulur dengan senyuman manis. Mentari tidak ikut tersenyum, hanya sedikit menarik bibirnya berharap dianggap sedang tersenyum.

“Argan.” balas Argan, “Akhirnya kita bertemu.”

Ucapannya tidak ditanggapi Mentari, dia masih berusaha menarik garis bibirnya. Dia benar-benar sedang tidak ingin mengenal siapa pun saat ini. Bukannya dia tidak suka berteman. Mentari seorang wanita yang supel, mudah bergaul dengan siapa saja, mudah berbasa-basi dengan siapa saja dengan topik apapun. Namun, sekarang bukan waktu yang tepat. Belum.

“Kalian sudah lama?” Argan menatap Gempita.

“Belum, kok. Santai.”

“Maaf, tadi macet banget di jalan. Tahulah gimana jalanan jam-jam segini. Orang-orang pada nyari makan siang.” Argan berusaha menjelaskan keterlambatannya setelah melirik jam tangan bermerknya. Mereka janjian bertemu jam satu siang, tapi Argan tiba hampir jam setengah dua.

“Kalian sudah pesan makan?”

“Belum. Kita nungguin kamu.”

Argan mengangkat tangan kanannya memanggil pelayan yang berdiri dekat pintu masuk. Pelayan itu melangkah ke meja kasir, mengambil buku menu, kertas dan pulpen dan melangkah menuju meja ketiga orang itu duduk.

Gempita dan Argan membolak-balik buku menu lalu memberitahu pesanan mereka kepada pelayan yang langsung mencatatnya di kertas yang dibawanya.

Argan menyodorkan buku menu ke Mentari yang disambutnya dengan tarikan bibir seperti sebelumnya. Argan terus memperhatikan Mentari.

Setelah mereka memesan, percakapan dua arah terus mengalir. Gempita jengkel karena Mentari hanya diam atau sesekali tersenyum.

“Kamu lagi sariawan, ya?” ketus Gempita menatap Mentari yang menatapnya lugu.

“Tari, kamu satu jurusan sama Gempita, kan? Kok bisa milih jurusan itu?” Argan berusaha mengajak Mentari bicara yang diberi anggukan senang oleh Gempita.

“Iya. Suka aja.” Jawaban singkat Mentari membuat Gempita kembali jengkel.

Sebelum Gempita sempat mengajukan protes, Argan kembali bertanya, “Kapan kamu lulus?”

Mentari terkejut dengan pertanyaan itu. Mengapa seorang pria yang baru dikenalnya beberapa menit menanyakan pertanyaan seperti itu? Seperti sok kenal saja. Dia kesal, tapi tidak menunjukkannya, hanya membalas dengan, “Kenapa?”

“Kalau kamu sekarang semester 6, tahun depan sudah bisa lulus dong.”

Mentari memandang Argan dengan penuh pertanyaan. Lalu kenapa kalau aku lulus tahun depan? Itu bukan urusanmu.

“Ga kenapa-kenapa, hanya ingin tahu saja.”

Mentari ingin bertanya perihal itu, tapi pelayan sudah datang membawakan minuman mereka dan diikuti makanan mereka. Mentari merasa sudah melewati waktu yang tepat untuk bertanya.

Makan siang itu berlalu dengan lambat bagi Mentari. Dia hanya ingin pulang dan rebahan di kamarnya. Atau mungkin bermain dengan anak-anak tetangga. Membuat pikirannya lebih tenang dan teralih dari bayangan-bayangan Bira.

“Ada rencana setelah ini?” tanya Argan ketika mereka sudah keluar dari restoran dan berdiri di jalan masuk.

“Ga ada. Kamu mau ke mana?” Gempita seperti memberikan kode pada Argan.

“Gue juga ga ada rencana lain. Usul dong.” jawab Argan dengan gaya anak metropolitan.

“Biasa aja dong, ga usah pake gue-gue segala.” Gempita tertawa renyah mendengar logat Argan.

“Belum terbiasa.” tawa Argan, “Di Jakarta biasanya gue-loe, di sini pake aku-kamu.”

“Lama-lama juga biasa. Makanya sering-sering jalan sama kita.” usul Gempita masih memberikan kode.

“Oke. Aku mau aja. Sekarang kita ke mana?”

“Gimana kalau nonton? Aku sama Mentari udah lama ga ke bioskop. Akhir-akhir ini banyak tugas di kampus. Nonton asyik juga kali, ya.”

“Aduh, aku udah nonton semua film di bioskop. Maklumlah anak Jakarta mainnya ke mall. Kalau gak shopping, nongkrong di kafe atau nonton. Gitu aja tiap hari sampe security mall hafal.” Dengan bangganya Argan menceritakan semua kegiatannya.

“Iya juga ya.” sahut Gempita agak kecewa. “Kita ke mana dong? Tari, ada usul?”

“Ga apa-apa, sih, yuk nonton aja. Aku penasaran mall  di sini kayak apa. Aku belum sempat main ke mall sejak tiba di sini. Sibuk, ngurusin pindah kampus.” Dipencetnya kunci mobil lalu masuk ke kursi sopir.

Gempita tersenyum lebar. Dengan semangat, ditariknya lengan Mentari, “Ayo! Kamu duduk di depan, ya.”

Di bioskop, Mentari duduk di antara Gempita dan Argan. Argan tidak memperhatikan film yang sedang tayang di layar besar di depannya, dia terus-menerus melirik  Mentari di sampingnya. Bahkan tidak berhenti menatapnya ketika Mentari bereaksi terkejut menonton film horor di depan mereka.

Hari yang membahagiakan bagi Argan. Dengan mudah dia merasa jatuh cinta kepada Mentari. Jatuh cinta dengan senyumnya, jatuh cinta dengan cara Mentari berjalan yang kadang berjingkat-jingkat lucu, jatuh cinta dengan cara dia makan pasta seperti makan mie, bahkan jatuh cinta dengan selera tas Mentari yang berumbai-rumbai.

Bagi Mentari hari itu biasa saja. Dia merasa seperti keluar jalan bersama teman-temannya yang biasa. Tapi, dia mengakui kalau dia tidak memikirkan Bira sepanjang bersama Gempita dan Argan.

***

“Tari, Argan ngajakin kita ke pasar malam besok. Tapi, sebelumnya kita makan dulu biar bisa puas main di sana. Jam 5 Argan jemput, ya.” bisik Gempita di sela-sela kuliah.

Mentari yang duduk di depan Gempita tidak bereaksi. Gempita menyodokkan pulpennya ke punggung Mentari yang membuatnya berteriak, “Aduh!”

Dosen wanita berkacamata bulat berhenti berceramah dan menatap ke arah mereka. Mereka berdua membeku di kursi. Bukan dosen yang bisa diajak bercanda, mereka tidak ingin mendapat nilai D di mata kuliah ini.

“Dandan yang cantik nanti sore, oke?” pamit Gempita melompat naik angkot pulang setelah semua mata kuliah mereka berakhir.

Jam 5 kurang Gempita sudah berdiri di ruang tamu rumah Mentari.

“Kepagian!” seru Mentari yang berjalan memasuki ruang tamu

Gempita memandanginya dari ujung kepala hingga kaki. “Hmmm...” ia menimbang-nimbang, “Okelah, oke.” Dia mengangkat jari telunjuknya menilai setiap senti penampilan Mentari yang menurutnya tidak sesuai seperti harapannya. Ia berharap Mentari akan mengenakan baju yang lebih modis dari penampilannya yang hanya mengenakan kaos ketat dipadu celana kulot dan kets. Di bahunya pun hanya terselempang tote bag cokelat yang biasa dipakainya ke kampus. Rambutnya pun hanya dikuncir satu seperti penampilan sehari-harinya.

“Ada yang salah?” tanya Mentari melihat ekspresi di wajah temannya.

“Ga, ga ada yang salah. Sempurna. Aku hanya berharap kamu akan memakai dress putih kamu dengan sedikit aksesoris di kepala, telinga dan tangan.” ujarnya menunjuk setiap bagian tubuh Mentari yang diucapkannya.

“Kita ke pasar malam atau ke pesta?” pertanyaan Mentari membuat Gempita tertawa, Mentari pun tersenyum.

Selama berkeliling pasar malam, Argan terus menempel di samping Mentari. Dia bahkan menabrak seorang Bapak yang sibuk menjejeri anaknya yang terus berlarian, tidak mau terlepas dari Mentari. Dia juga hampir menabrak meja dagangan mainan karena terus berusaha mengimbangi langkah Mentari.

Bagi Argan, Mentari adalah dunianya saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status