Mentari dan Argan menikmati waktu bersama mereka di pantai. Cuaca cerah, matahari bersinar terik, saat yang tepat untuk menikmati indahnya pantai, hanya mereka berdua. Tidak banyak pengunjung di pantai berpasir putih berjarak dua jam perjalanan dari rumah Mentari. Lokasinya berada di dekat perkampungan kecil, namun tidak banyak yang datang berkunjung ke pantai ini, karena pantai ini belum dikomersilkan.
Argan mendapat rekomendasi dari Gempita. ‘Pantainya cantik, bersih juga. Terlebih lagi sepi. Jarang yang tahu pantai itu. Kalian bisa menikmati waktu romantis berdua. Jangan lupa bawa bekal, di sana tidak ada yang jualan. Beli aja nasi kuning, Mentari suka itu. Ga perlu yang mahal-mahal, Mentari ga pemilih kok.’
Argan mengikuti setiap saran yang dianjurkan Gempita. Kantong plastik yang dibawanya berisi dua nasi kuning yang terbungkus kertas makan, beberapa cemilan dan beberapa minuman kemasan yang dibelinya di minimarket dalam perjalanan ke rumah Mentari tadi. ‘Persiapan yang matang, semuanya ada.’ Batin Argan.
Mereka tiba menjelang siang. Angin yang bertiup membuat panasnya sengat matahari terasa sejuk di kulit. Argan mengajak Mentari duduk di atas pasir putih beratapkan langit.
Mentari memandang pasir putih yang terhampar di depannya dan segera mengikuti Argan yang terlebih dulu melangkah menuju ke tengah pasir putih yang membentang dari ujung timur ke barat, lalu duduk meregangkan kakinya.
Dengan pandangan agak bingung, Mentari melihat pasir di samping Argan duduk. Tak ada apapun di situ, hanya pasir. Tak ada sebatang kayu atau pelepah kelapa ataupun sabut kelapa tempat dia bisa duduk. Mentari memegang rok krem panjang berumbai yang dipakainya hari ini, berusaha terlihat manis dan feminin, namun tidak menyangka akan diajak ke pantai. Sebelum-sebelumnya ia diajak ke restoran, ke mall atau ke taman. Ini pertama kalinya Argan membawanya ke pantai, Mentari tidak menduganya sama sekali.
‘Tidak apalah aku duduk di pasir, lagipula pasirnya bersih, tidak akan mengotori rokku.’
Mentari pun duduk dengan posisi canggung, tidak tahu harus menekuk atau meluruskan kakinya, menjaga sesedikit mungkin roknya terkena pasir.
Belum 15 menit mereka berbincang, Mentari merasa panas kecil di lengan kirinya. Dia melihat ada bentolan merah kecil. Gatal. Ia mengusap bentolan itu dengan telunjuknya. Gatalnya reda. Beberapa detik setelahnya dia merasakan gatal lain di lengan kanan atasnya. Kali ini bentolan lebih besar. Kembali dia mengusapnya dengan telunjuk, tapi gatalnya tidak mereda. Ia menggaruk bentolan itu pelan, berusaha tetap terlihat feminim di depan Argan. Tapi, bentolan-bentolan lain bermunculan di kedua lengannya. Ia pun mulai menggaruk dengan pelan setiap bentolan itu.
Argan yang sedari tadi membahas betapa sulitnya ia lulus dari beberapa mata kuliah saking sibuknya dia di beberapa organisasi kampus, akhirnya melirik Mentari.
“Kenapa?” ia terus memperhatikan Mentari yang hanya tersenyum sambil terus menggaruk bentolan-bentolan di kedua lengannya. Argan melihatnya.
“Ya, ampun. Kamu terlalu manis, makanya digigitin nyamuk.”
Mentari tidak tahu harus tertawa dengan lelucon pujian itu atau harus kesal.
“Kita pindah aja.” Argan melirik sekitarnya. Beberapa meter di belakang, banyak pohon kelapa. “Ayo, ke sana.” Ajaknya ke bawah pepohonan kelapa.
Entah nyamuk-nyamuk itu mengikuti mereka atau ada nyamuk-nyamuk lain di bawah pepohonan, karena bentolan-bentolan baru mulai bermunculan di lengan bahkan di pipinya. Argan pun mulai diserang nyamuk.
“Kamu punya obat nyamuk gosok?” Mentari berharap Argan membawanya, karena Mentari selalu membawanya setiap kali dia ke pantai.
“Ga. Tenang, bentar lagi mereka pasti pergi, lagian mereka udah cukup makan.” tergelak dia menunjuk bentolan-bentolan di lengan dan pipi Mentari.
Bagi Mentari itu tidak lucu. Ia terus menggaruk dengan kedua tangannya.
Prediksi Argan salah, nyamuk-nyamuk itu belum cukup makan, mereka terus menggencarkan serangan.
“Ke mobil aja, yuk.”
Mentari merasa lega di dalam mobil. Meskipun masih terus menggaruk, rasa panasnya agak reda. Panas itu bukan hanya berasal dari bentolan-bentolan di tubuhnya, tapi juga teriknya matahari. Angin dari AC membuatnya merasa sejuk, kejengkelannya pun reda.
“Aku haus. Bisa kita cari minum?” Mentari masih agak sungkan dengan Argan, dia selalu berusaha bicara dengan kata-kata dan nada meminta, bukan memaksa.
“Oh, iya, aku lupa.” Argan merogoh kantong plastik di kursi belakangnya. “Aku bawa kok.” Ia mengeluarkan sebotol minuman bening. “Bukan hanya minuman, tapi makanan dan cemilan juga.” Ditunjukkannya semua yang masih tersimpan di dalam kantong plastik. “Persiapan aku oke, kan?”
Mentari tersenyum ragu. ‘Oke? Tidak ada obat nyamuk dan tikar?’ batinnya agak jengkel.
Argan membukakan penutup botol minuman, berharap Mentari terkesan dengan tindakannya itu. Bagi Mentari itu biasa saja, ia sering melakukannya untuk keponakan-keponakannya tanpa diminta. Mentari meneteskan sedikit di telapak tangannya dan mengusapkannya di setiap bentolan di tubuhnya.
“Hahaha... itu bukan minyak kayu putih. Ga bakalan reda gatalnya.” Argan terbahak melihat tingkah Mentari.
“Memang, tapi bisa membuatnya terasa sejuk.” Itulah yang dirasakannya setelah mengusapkan air itu. “Kalau ada air es lebih baik lagi.” Ucapnya pelan yang disambut Argan dengan, “Apa?”
Mentari hanya menggeleng dan berkata singkat, “Ga.”
Mereka makan nasi kuning di dalam mobil dengan pemandangan pantai lewat kaca depan mobil. Mentari tidak senang dengan itu, tapi tidak ingin merusak hari ini. Dia ingin menikmatinya.
Akhir-akhir ini Mentari merasa jauh lebih tenang dan bahagia. Ia tidak lagi memikirkan Bari. Argan terus merecokinya dengan pesan-pesan dan telepon-telepon masuk, sehingga Mentari hanya berkutat dengan hal itu dan kuliahnya. Ia merasa ini sudah saatnya bagi dia untuk move on. Sudah lebih dari sebulan ia mengenal Argan dan dia merasa nyaman bersamanya, meskipun ada beberapa sifat dan sikap Argan yang kadang membuatnya jengkel. Tak ada yang sempura, pikirnya.
Pantai masih sedang terik-teriknya ketika mereka meninggalkannya menuju sebuah kafe estetik yang sedang viral. Kafe itu bergaya Eropa yang dipenuhi taman-taman berbagai macam bunga, rumah-rumah kayu kecil bahkan danau buatan, di mana disewakan sepeda air. Mereka mengelilingi setiap spot yang dianggap menarik, mengambil beberapa foto dan akhirnya duduk di kafe yang lengang. Hujan kembali mengguyur, sebagian pengunjung telah pulang dikarenakan dinginnya udara di sana.
Argan merasa itu saat yang tepat. Setelah mencicipi beberapa menu di kafe itu, dia mengajak Mentari ke sebuah pondok kecil di bawah kafe. Hujan agak reda, mereka berlarian menuju pondok itu. Di kejauhan, tampak matahari memasuki peraduannya, sehingga warna jingga mendominasi langit di sekitarnya.
‘Sempurna.’ Batin Argan.
Tanpa ragu, Argan meraih tangan Mentari yang duduk berhadapan dengannya. Mentari terlonjak dan menatap Argan dengan mata membelalak. Mentari menarik tangannya, tapi Argan menggenggamnya erat.
“Mentari, kamu cantik banget hari ini.” Ucapnya menatap mata Mentari lembut.
Mentari memalingkan tatapannya. Jantungnya berdetak cepat, pipinya terasa terbakar. Sudah lama dia tidak mendengar pujian seperti itu.
Argan menggeser dagu Mentari dengan tangannya kembali menghadap Argan dan menahannya. Kegugupan semakin memenuhi Mentari, dia bisa mendengar degupan jantungnya berpacu.
“Mulai hari ini aku ingin kamu panggil aku Sayang.”
Mentari merasa melihat kelopak-kelopak merah muda bunga sakura berjatuhan di sekitarnya dan pria di depannya terlihat begitu tampan dan mempesona. Dia tahu saat ini akan tiba, tapi dia tidak mampu menghadapinya meskipun ia merasa bahagia.
“Kamu mau, kan?” suara Argan terdengar seperti suara malaikat yang membahana di telinganya, lembut namun tegas di saat yang sama dan begitu mempesona. Meskipun Mentari belum pernah mendengar suara malaikat sebelumnya, mungkin seperti ini?
Tidak ada suara yang terdengar dari mulut Mentari, hanya anggukan pelan dan kedipan lembut serta senyuman di bibir berlipstik merah mudanya.
Dunia Mentari kembali bersinar selama bersama Argan. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di sore hingga malam hari setelah kuliah keduanya selesai. Dan akhir pekan adalah waktu bersama sepanjang hari.
“Nikah aja sekalian, seharian barengan terus.” Kakak Mentari sempat berkomentar sinis. Bukannya dia melarang Mentari pacaran, malahan dia senang karena Mentari tidak lagi mengurung diri di kamar atau bersedih memikirkan Bari. Hanya saja, sejak pacaran dengan Argan, Mentari jarang ada di rumah. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya keluar jalan bersama Argan.
“Aku tidak marah kamu jalan sama Argan. Tapi, bisa ‘kan kalian pacaran di rumah juga, aku, ibu dan yang lainnya ingin kenal Argan juga. Dulu Bari sering di sini. Dia malah suka ikut acara keluarga kita.”
Mentari tidak senang kakaknya membawa-bawa Bari. “Argan beda, dia tidak seperti itu.”
“Aku tidak peduli dia berbeda seperti apa, tapi sebagai keluarga, kami harus mengenalnya juga, jadi kami bisa menilai dia baik buat kamu atau ga. Jangan pakai pikiran sendiri. Ujung-ujungnya kamu nangis, siapa yang repot.” Dalam hati Mentari membenarkan ucapan kakaknya.
Selama ini Argan hanya sampai di pintu depan, tidak pernah masuk ke ruang tamu dan berbincang-bincang dengan keluarganya. Keluarganya berhak mengenalnya juga.
“Iya, besok-besok kalau dia ke sini, aku ajakin masuk.”
“Kenapa besok-besok? Nanti sore juga dia datang, ‘kan?”
Benar kata kakak Mentari, Argan akan datang menjemputnya nanti sore hendak ke acara ulang tahun teman Argan.
Sorenya Argan diajak bicara oleh dua kakak Mentari dan ibunya. Argan tidak merasa risih atau canggung, dengan mudah dia dapat berbaur. Kekuatiran Mentari lenyap. Seharusnya sejak sebelumnya dia memperkenalkan Argan kepada keluarganya.
Jalan masa depannya tampak lurus dan mulus di depan Mentari dengan persetujuan keluarganya.
Kebingungan dan ketakutan memenuhi Mentari dua hari ini. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya mengurung dirinya di dalam kamar dan tidak makan sepulangnya dari kampus. Kakak-kakak dan ibunya berpikir bahwa dia sakit. Mereka mengetok kamarnya, namun tidak dibukakan.Sorenya Gempita datang mencarinya ke rumah.“Pita, kamu baik-baik aja, kan? Kok kamu gak kuliah tadi?” seru Gempita keras dari depan pintu setelah berkali-kali memanggil nama Mentari namun tidak ada jawaban.Kakak perempuan Gempita muncul dengan spatula di tangan, “Apa maksudmu Mentari tidak kuliah tadi?” tampang galak terpampang di wajahnya yang berkeringat.“Iya, Ka, hari ini Mentari ga kelihatan di kampus. Aku berkali-kali nelpon tapi tidak diangkat, pesan-pesanku juga tidak dibalas. Makanya aku kemari.” Penjelasan itu mengubah rona di wajah kakak Mentari.Ia maju dan mengetok pintu kamar Mentari dengan kepalan tangannya, “Buka, cepat buka, Mentari. Kalau tidak aku akan merusak pintu ini.”Kegaduhan itu mengundang
Suara tangisan bayi menggema mengalahkan suara musik yang dimainkan dengan volume kencang lewat ponsel yang terletak di meja ruang tamu. Dengan lembut, Mentari menggendong bayi mungil berbalut piyama bayi berwarna putih kuning. Perlahan suara tangis mereda.“Argan, tolong kecilkan volume musiknya. Feliz ga bisa tidur.” Suara Mentari yang setengah berteriak membuat Feliz kembali menangis. “Cup, cup.”Mentari keluar dari kamar, mengambil ponsel di atas meja dan mematikan lagu yang berdendang dari Spotify dan meletakkan ponsel itu kembali di atas meja.Argan masuk ke ruang tamu memprotes, “Kenapa dimatiin?” Diambilnya ponsel miliknya di atas meja dan mencari aplikasi pemutar lagu tadi.“Argan, Feliz ga bisa tidur kalau berisik," jelas Mentari sambil berbisik.Lagu pop kembali terdengar dari ponsel Argan. “Ga apa-apa dari kecil udah dikasih dengar lagu-lagu, biar gedenya nanti punya selera musik yang bagus.” Argan keluar menuju teras depan, kembali memandikan mobil kesayangannya.Mentari
"Tari, kamu lihat celana jeans hitamku?" teriak Argan dari dalam kamar. Mentari yang berada di dapur buru-buru masuk ke kamarnya dan Argan. Ia langsung menuju Feliz yang berada di ayunan dan memeriksanya. Feliz bergerak-gerak, namun segera tidur kembali. Mentari mengayunkan Feliz perlahan. "Kamu dengar, ga?" tanya Argan lagi menatap Mentari dengan alis berkerut. "Yang kamu pakai ke kampus 3 hari lalu?" tanya Mentari. "Ga tahu berapa hari yang lalu. Seingatku dipakai pas hujan." "Iya, benar 3 hari yang lalu pas hujan deras," terang Mentari masih mengayunkan Feliz. "Iya, iya, itu. Mana celananya?" "Bukannya kamu bawa ke laundry karena kotor terkena cipratan lumpur?" Mentari berusaha memelankan suaranya, namun Argan tidak bisa mengontrol intonasinya. "Kok di laundry sih?" sergah Argan. Mentari melirik Feliz dalam gendongan, masih tertidur. "Kamu belum ambil?" Mentari kembali bertanya dengan suara pelan, berharap Argan juga akan memelankan suaranya. Tapi, tidak. "Kenapa kamu ga
Hari yang dinanti Mentari tiba juga. Dia begitu bersemangat untuk kembali kuliah, bersemangat kembali berkumpul dengan teman-temannya.Sudah lama dia tidak bertemu Gempita, rasa kangen membanjirinya.Saking gembiranya dapat kembali ke kampus, Mentari tiba terlalu pagi hari ini, jam 7 lewat. Hanya tukang bersih-bersih yang terlihat mondar-mandir.Dalam hitungan menit, para mahasiswa mulai berdatangan. Begitu pula para staf tata usaha. Ini awal semester ganjil, banyak yang harus dikerjakan para staf tata usaha. Demikian juga para mahasiswa baru.Beberapa mahasiswa baru berkeliaran di sekitar Mentari. Dia bisa menangkap percakapan mereka yang membahas tentang pengurusan berkas yang belum selesai, mata kuliah pertama maupun mencari ruangan kelas mereka.Mentari teringat hari pertamanya kuliah. Dia hampir saja terlambat mengikuti mata kuliah pertamanya, karena tidak bisa menemukan ruang kelasnya. Bersama Gempita, temannya sejak SMA, ia berlari-larian keluar masuk lorong gedung bertingkat t
"Tari!" panggil Gempita menghampiri Mentari dengan langkah panjang. Kedua tangannya memegang sejumlah buku dan makalah. "Kamu sudah mau ke kelas?" tanya Gempita sesampainya di depan Mentari. "Iya." Mentari melirik buku-buku di tangannya, "Kamu sibuk sekali." "Mauku tidak begini, tapi kalau aku tidak mengumpulkan data untuk skripsi, aku tidak bisa lulus." Gempita memperlihatkan beberapa buku di tangannya. "Kamu tahu aku, kan? Sejak kapan aku senang belajar?" Mentari tersenyum nakal, "Ooh, benarkah ini Gempita?" Gempita tersipu, "Apa, sih." Dia berusaha memukul Mentari seperti yang sering dilakukannya ketika mereka bercanda, tapi hanya menyebabkan beberapa buku jatuh ke lantai. Keduanya terbahak dan hampir bersamaan menunduk memunguti buku-buku yang jatuh. "Aku kangen banget sama kamu. Kangen kita bercanda seperti ini." Gempita menatapi Mentari lembut, tersirat kerinduan yang di sana. Mentari merupakan teman terdekatnya selama di kampus, sejak ia cuti kuliah setahun yang lalu, ia
Hujan deras mengguyur membasahi Mentari dari ujung rambutnya. Dia tidak membawa payung ataupun jaket untuk menutupi kepalanya. Setengah berlari hati-hati dia menyeberangi jalan menuju angkot yang parkir di seberang jalan."Neng, tidak mandi tadi pagi ya?" gurau Abang pengemudi angkot memperhatikan air menetes dari kaos Mentari."Iya, Bang. Mumpung ada air gratis, bisa mandi sekarang," balas Mentari berkelakar.Abang angkot tertawa namun menasehati, "Sampai di rumah langsung minum jahe hangat, biar tidak sakit.""Ga ada jahe, Bang. Habis dipakai ibu masak," canda Mentari berlanjut."Ya Eneng. Tolak angin aja diminum.""Angin udah terlanjur masuk nih, Bang." Mentari tertawa. Dia memang merasakan angin telah bersarang di dalam tubuhnya, karena dia mulai menggigil kedinginan.Abang angkot menemani perjalanan pulang Mentari dengan gurauan dan nasehat berbumbu curahan hati seorang suami yang sering dimarahi istri. Dalam kedinginannya, Mentari menimpali ucapan-ucapan abang hingga dia turun d
Argan masuk ke dalam kamar pagi itu dan melihat Mentari berbaring tertutup selimut hingga ke pundak."Tari, kamu ga kuliah? Ini sudah jam 7 lewat." Argan menggoncang bahu Mentari.Mentari berputar, dengan mata sayu dan wajah pucat dia menjawab, "Aku ga enak badan, mau istirahat."Sebelum Argan merespon, Ibu muncul dari balik tirai, berdiri di pintu. "Kamu sudah bangun, Tari?"Melihat Argan, ibu menyapanya, "Pagi, Argan, baru datang?""Iya, Bu. Hari ini kuliah siang, kemari mau ambil barang yang kelupaan."Ibu hanya mengangguk, melewati Argan dan duduk di tepi ranjang, lalu meraba dahi Mentari. "Demam kamu sudah turun. Ibu bawakan makanan lalu minum obat, ya?"Mentari menghentikan ibu yang beranjak menuju pintu, "Ga usah, Bu. Aku makan di dapur saja." Oleng, Mentari duduk di pinggir ranjang. Dia menunggu hingga kepala dan pandangannya stabil, kemudian berdiri."Kalau sakit, di kamar aja, tuh kamu oleng," sergah Argan."Kalau terus berbaring, rasanya semakin sakit. Aku juga mau hirup ud
Gempita menyambut kedatangan Mentari di kampus dengan rentetan pertanyaan. "Tari, kamu sudah baikan? Kamu sakit apa?""Bagaimana kamu tahu?""Argan memberitahuku kemarin." Gempita menarik tangan Mentari untuk duduk di bangku depan taman."Kemarin aku mencarimu, tapi kata anak-anak bilang kamu ga masuk. Kupikir kamu mungkin sibuk menjaga Feliz. Aku kirim Whatsapp, tapi ga kamu balas."Mendengar itu, Mentari segera mengeluarkan ponselnya dari tas selempangnya. Tampak layar ponselnya dipenuhi berbagai notifikasi yang belum dibaca.Gempita yang ikut melihat, menimpali, "Waduh, waduh, Nyonya Argan ini sibuk sekali sampai-sampai tidak pernah memeriksa ponselnya."Gempita memberondongnya dengan berbagai komentar dan pernyataan yang membuat Mentari tersenyum mendengarnya. Pantas saja dia dan Argan bersaudara, ada DNA yang sama mengalir dalam darah keduanya, DNA cerewet.Tertawa, Mentari membalas ucapan-ucapan Gempita, "Makanya, kamu juga buruan nikah, biar tahu rasanya menjadi seorang ibu mud
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq
Waktu berlalu begitu cepat. Hal itu disyukuri Mentari. Begitu inginnya dia agar waktu melompat ke minggu depan pada hari kembalinya orang tua Argan. Namun, sebelumnya ada hari senin yang terlebih dahulu harus dilewatinya.Di hari minggu ini, Cahya mengajak seluruh anggota keluarga untuk mengunjungi sebuah arena rekreasi yang letaknya tidak begitu jauh. Suaminya telah melarangnya karena ini akhir bulan, keuangan mereka telah menipis.“Tempat itu tidak mahal. Kita tidak perlu membeli makanan di sana, kita bisa membawa bekal. Hanya perlu membayar ongkos masuk saja,” bantah Cahya saat ditolak Feri. “Aku memiliki uang, kamu tidak perlu mengeluarkan uangmu.”Bisnis penjualan makanan Cahya memang masih berjalan, walaupun keuntungannya semakin berkurang akhir-akhir ini. Dari hari ke hari, pelanggannya semakin sedikit.“Bukankah itu uang tabunganmu untuk keadaan darurat? Kenapa kamu mau menggunakannya sekarang?”Seperti k
Aroma kecanggungan terhirup pekat di tiap tarikan nafas setiap anggota keluarga pagi itu. Sarapan dalam keheningan bukanlah kebiasaan keluarga itu. Mereka hanya saling menyapa saat duduk di kursi masing-masing kemudian meja makan hening.Sebagai seorang pria dewasa yang menggunakan lebih banyak logika, Feri memecah keheningan, “Kamu harus memeriksakan kakimu lagi, Argan?”“Iya, Kak, senin minggu depan,” sahut Argan setelah memasukkan sepotong ikan dan nasi ke mulutnya. “Menurut dokter, aku harus menjalani terapi kalau tidak ada kemajuan setelah pemeriksaan nanti.”“Di rumah sakit mana?” sambung Feri.“Rumah Sakit Daerah,” jawab Argan singkat lalu menenggak seteguk air. Makanannya tersendat di tempat yang tidak seharusnya.“Lumayan jauh dari sini. Kamu bisa ke sana sendirian?”Pertanyaan itu mengundang lirikan tajam Cahya dan menarik perhatian ibu. Sementara Mentari berlagak seperti tidak mendengar apapun.“Bisa, Kak. Aku bisa naik taksi online,” jawab Argan penuh percaya diri. “Tapi b
“Selamat sore, Bu, Kak Cahya. Apa kabar?”Sekian lama suara itu tidak terdengar di rumah itu, terasa asing dan canggung. Cahya tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya. Dia berpaling, mengarahkan pandangannya pada pintu menuju dapur.Seolah kejadian-kejadian buruk di antara dia dan Mentari tidak pernah terjadi, Argan segera duduk di sofa terdekat sambil tersenyum dan berujar, “Senang rasanya kembali ke sini.”Hampir saja semburan Cahya terlontar dari mulutnya jika ibu tidak segera berdiri dan menahan tubuhnya yang berpaling menghadap Argan yang masih terus tersenyum memandangi sekeliling ruang tamu sekaligus mengikuti gerakan ibu yang meninggalkan ruang tamu.Pandangan jijik seolah berkata ‘Tidak tahu malu’ dilemparkan Cahya pada Argan. Argan yang melihat Cahya memandanginya dengan gaya sok lugu berujar, “Kak, makin cantik aja.”Sebelum Cahya sempat menanggapi, bunyi dering ponsel Argan yang maksimal menyelanya.“Halo, Ma.... Iya, baru aja tiba .... Iya, Ma, iya. Ga usah kuatir ....
Keputusan Mentari untuk menelepon Argan dianggap sebagai sebuah kekalahan bagi Cahya.“Mereka yang membutuhkan kamu, mereka yang harus menghubungi kamu. Kenapa kamu berinisiatif bodoh seperti itu?” cerca Cahya setelah Mentari memberitahunya dan ibu.Kata-kata Cahya itu juga telah berputar di benak Mentari berulang kali sebelum dia memutuskan.“Bagaimana pun dia masih suamiku, Kak.”“Bukan alasan tepat!” bantah Cahya. “Seenaknya saja keluarganya keluar masuk dari kehidupan kamu. Kalau kamu tidak dibutuhkan mereka menelantarkan kamu seperti orang pinggiran. Tapi, saat mereka membutuhkanmu, mereka mencarimu dan memperlakukan kamu seperti pelayan mereka.”“Cahya,” tegur ibu keras.Cahya hendak menanggapi teguran ibu, namun dia mengurungkan niatnya.“Apa kata Argan?” Cahya hendak mengatakan ‘pria tidak tahu diri’ sebagai ganti nama Argan, namun lirikan matanya pada ibu yang tampak serius membuatnya menelan kata-kata itu.“Hmm... dia mengatakan kalau dia ditabrak dari belakang oleh sebuah m
Sekali lagi Mentari membaca pesan masuk yang muncul di layar depan ponselnya. Dia membuka aplikasi pesan itu dan membaca sekali lagi. Tidak ada yang salah dengan penglihatannya, tulisannya tetap sama seperti yang dibacanya pertama kali.Mentari terdiam, matanya menatap layar ponselnya, namun pikirannya melayang-layang.Setelah beberapa lama memandangi Mentari yang terdiam, Cahya pun mendekati adiknya dan menggoyang tubuhnya, “Ada apa, Tari?”Tersentak, Mentari menatap kakaknya lalu menyodorkan ponselnya yang menyala pada Cahya. Cahya membaca lalu memandang Mentari.“Tanyakan kejelasannya pada Gempita.”Seperti robot, Mentari mengikuti perintah Cahya. Dia segera menelepon Gempita.‘Tari, Argan kecelakaan,’ ucap Gempita mengulangi isi pesannya.Belum sempat Mentari bertanya, Gempita telah mulai menjelaskan, “Tante baru saja meneleponku dan mengabari kalau Argan kecelakaan kemarin. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun hari ini sudah pulang karena Argan tidak ingin berlama-lama di r
Berita bahwa Mentari memiliki sepeda motor baru menyebar bagai virus di lingkungan tempat tinggalnya. Tetangga Mentari yang tidak pernah menyapanya sebelumnya, berbasa-basi dengannya sambil memperhatikan motor yang sementara didorongnya keluar dari halaman rumah. Dia masih belum mahir mengendarainya di area sempit, begitu pula dengan hal memarkirkan motor.Motor itu seperti mendukung tetangganya, tersangkut di sebuah batu yang menonjol di pinggiran jalan keluar. Mentari mendorongnya sekuat tenaga untuk melewati batu itu.Melihatnya terdiam, tetangganya mendekatinya dan memandangi motor yang sedang didorong Mentari.“Mentari, kamu kerja di mana sampai bisa membeli motor baru?”Wanita yang diajak bicara sedang berjibaku dengan motornya, kembali bertanya, “Kenapa?”Setelah beberapa kali usaha kerasnya tidak membuahkan hasil, dia pun memundurkan motornya dan mengambil jalan yang rata di sebelah batu itu. Dia merasa bodoh dalam hatinya, seharusnya sejak tadi dia melakukannya.“Permisi, Pak
“Ada apa ini? Ramai sekali,” serbu Feri dengan nada bicara bersemangat memasuki ruang tamu yang berisik.“Tante Mentari sedang curhat, Pak,” sahut Winar yang bersandar di sofa mendengarkan cerita Mentari.“Itu, Kak, di toko. Bagaimana mungkin ada pelanggan yang sangat pelit seperti si bapak-bapak itu? Dia meminta diskon terus-menerus sampai meminta aku yang membayari biaya pengirimannya barangnya. Belum lagi dia memanggilku dengan kata ‘sayang’.” Amarah Mentari meluap-luap.Cahya yang duduk mengangkat kaki tergelak mendengarnya.“Hari ini adalah hari sial kamu, Tari.”“Ada lagi selain itu?” Feri penasaran.“Hari ini dia mendapatkan ojek online mantan pembalap MotoGP.” Tawa Cahya kembali pecah.Dengan antusias, Mentari kembali mengulang kisahnya pada kakak iparnya, “Waduh, Kak, kecepatannya 200 km/jam. Dia tidak mengenal lampu merah, lubang dan trotoar, semua diterjangnya tanpa rem. Beberapa kali aku hampir terlempar dari motornya. Sudah aku beritahu, tapi tidak digubrisnya. Bintang sa