Pipinya basah, biji matanya memerah. Ada sebilah pisau yang berada dalam genggaman tangan dinginnya. Meski gemetar, ia tetap mencengkeram kuat benda tajam itu.
“Nduk ... apakah ubinya sudah siap?” Ponirah menoleh ke arah Kemala yang masih melamun. “Airnya sudah mendidih!” serunya.
Wanita tua yang sejak tadi duduk di depan tungku segera beranjak, menghampiri cucunya, lalu mengambil paksa wadah berisi ubi yang baru sebagian dikupas. Tanpa banyak bicara, sebilah pisau dalam genggaman Kemala direbut dengan hati-hati.
“Emm ... Mala belum selesai mengupasnya, Mbah.” Ia baru tersadar dari lamunannya.
“Sudah ... sudah ... kamu kerjakan yang lain saja.” Ponirah mulai mengupas ubi yang masih tersisa. “Oh ya, sepertinya susu Dylan habis. Kasihan, nanti dia tidak bisa tidur.”
Kemala meninggalkan dapur menuju ke kamar tidurnya. Mengambil botol susu kosong milik Dylan
"Rupanya buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya." Sekar berdiri menatap Bramantyo sambil mengangkat wajah. Ia memicingkan mata sambil menarik ujung bibirnya, mencibir lalu membuang muka penuh kesal. Dadanya masih naik turun menahan amarah yang susah payah ia sembunyikan. Sehingga wajah cantiknya tampak pudar oleh keangkuhan. Bramantyo menoleh ke asal suara. Pun Kemala yang turut menatap heran atas kedatangan wanita paruh baya itu. Mereka masih tertegun, menoleh satu sama lain. "Marco! Tolong jelaskan, apa semua ini!" Bramantyo beralih menatap Marco yang berdiri mematung di samping Sekar. Tanpa mengatakan apapun, Marco memilih tetap berada di sisi Sekar. Seolah hatinya telah membunuh persahabatan mereka, ia lebih takut kehilangan semua yang telah diberikan Sekar daripada menunjukkan kesetiakawanan-nya pada Bram. Tentu hal itu membuat Bramantyo geram, rahangnya mengeras, kedua tangannya pun mengepal. "Tidak perlu heran, Marco memang orangku, aku sengaja menyuruhnya berada di dek
Marco terdiam, bibirnya terasa beku hingga tidak dapat mengatakan apapun untuk menjawab pertanyaan pamannya. Terlebih lagi ia tidak ingin dianggap kembali mengkhianati Bramantyo. Pada akhirnya, Marco memutuskan untuk menyimpan sendiri apa yang sempat ia dengar dari pembicaraan singkatnya dengan si Penelpon, dia tak lain adalah Sekar Yulinda. “Apa ada masalah?” Yos bertanya lagi, “Mukamu kelihatan bingung.” Ia memperhatikan jalanan di depannya. “Tidak–tadi ada kabar dari kurator agar disampaikan pada Bram,” sangkal Marco, ia sambil membetulkan kacamatanya. Selama di perjalanan, Marco tidak banyak bicara. Begitu dirinya sampai di rumah, ia kembali merogoh ponselnya di dalam saku celana. Kemudian menghubungi Sekar lagi, sebelumnya ia memastikan bahwa Yos benar-benar telah pergi. Mimik wajah Marco terlihat serius. Sesekali ia mengangguk, terkadang juga hanya menjawab ‘iya’ atau ‘baik’, tidak banyak kata yang diucapkannya. Kali ini, durasi permbicaraan mereka terbilang agak lama dari
Butiran bening membanjiri kedua pipi Sekar, batinnya berkata bahwa dirinya bahkan tidak pantas meminta agar Bram menganggapnya sebagai seorang ibu. Sebab luka yang ia torehkan sangat dalam, mungkin juga belum sembuh hingga saat ini. Wajar kalau Bram sangat membencinya. “Jika memang anda menyayangi Bram, mengapa anda berkata ketus padanya di kali terakhir bertemu?” Marco perlu meyakinkan hatinya agar percaya pada pengakuan Sekar. “Aku terlalu malu untuk mengakui bahwa aku adalah ibu yang juga menunggu kabarnya.” Sekar mengusap pipinya. “Mungkin sulit, anda tahu–ia sangat ingin melupakan masa lalunya.” Marco berdiri, ia hendak pergi. “Tolong, ini terakhir kali aku meminta bantuanmu. Aku akan berikan imbalan setimpal agar kau bisa menyelamatkan hidup adikmu.” Sekar tiba-tiba memohon sambil menyatukan kedua tangannya di hadapan Marco. Pria itu tidak mengatakan apapun, ia segera pergi dari kediaman Sekar. Isi kepala Marco berpikir sangat keras, ia harus mengambil langkah bijak. Mi
Setelah Marco mengantarkan Sekar sampai ke luar rumah, ia kembali menemui Bramantyo. Kali ini Marco tidak ingin bungkam, jika sebelumnya ia memilih tidak bersuara karena dirinya berada di posisi salah, sekarang tidak begitu. Marco merasa terusik untuk menjelaskan tentang bagaimana seorang Sekar sesungguhnya. “Apa lagi yang kamu mau?” Bram bertanya sinis saat melihat Marco datang. “Tidak ada. Aku hanya ingin kamu lebih membuka hati. Oke, kalau di masa lalu Bu Sekar memang pribadi yang buruk. Namun, cobalah sedikit berempati sebab aku tahu beliau bertahun-tahun melakukan banyak hal demi bisa menebus dosa-dosanya padamu.” Marco menatap Bram sangat tajam. “Siapapun bisa dengan mudah mengatakan hal semacam itu, termasuk kamu. Tapi, aku tidak yakin kau akan tetap berpikir begitu jika kau berada di posisiku.” Bram tidak kalah kesal dari Marco. Perdebatan di antara mereka berujung saling diam, hingga saat Kemala datang. Mereka masih dalam situasi canggung, tidak ada seorang pun diantar
Bramantyo hanya bisa menatap Kemala lekat tanpa dapat mengeluarkan suara, di dalam pikirannya berkecamuk berbagai hal, menghimpit isi kepalanya yang tak mampu menemukan jalan keluar. Di hadapannya, Kemala memilih untuk tidak memaksakan diri agar Bram menuruti apa yang ia katakan tentang melepas segala beban. Justru Kemala lebih memahami keinginannya, wanita itu membiarkan Bram berpikir sejenak tentang sesuatu yang merenggut setengah ruangan di dalam benaknya. “Kurasa wafle madu dengan secangkir coklat panas, cukup menyenangkan.” Kemala tersenyum tulus. Yah, dia selalu tahu apa yang dibutuhkan Bram saat ini. Sudah lama Bram tidak menikmati makanan buatan Kemala itu, ia selalu menyempatkan diri menyantapnya di echo bakery, paduan rasanya cukup mampu meringkus kejenuhan yang kerap ia rasakan. “Tapi–apakah masih tersedia untukku?” Bram membalas senyum calon istrinya. “Tentu. Tidak akan lama, kamu dapat menunggu sembari bermain bersama Dylan.” Kemala menarik tangannya, mereka pergi
“Meskipun beliau bukan ibu kandungmu, kurasa ia memang tulus. Aku melihat dari sorot matanya yang penuh penyesalan.” Kemala tersenyum. Pria itu mendengarkan setiap kata yang diucapkan Kemala. Setiap kali berbicara dengan tunangannya, Bramantyo merasa tenang. Wanita yang akan ia nikahi memang selalu bersikap bijak menghadapi persoalan yang terjadi. Sebab itulah, ia yakin Kemala adalah orang yang tepat menjadi pendamping hidupnya. “Kapan kamu akan pergi?” tanya Bramantyo, ia menggandeng tangan Kemala. “Mungkin, besok pagi. Kebetulan besok aku berencana tutup toko.” Kemala melepas genggaman tangan Bram. “Baiklah, kuharap tidak ada lagi hambatan yang memberatkan persiapan pernikahan kita.” Bram melangkah pergi, ia meninggalkan Kemala yang tengah berdiri di depan rumahnya._____________ Seperti yang Kemala janjikan, ia mengunjungi rumah kediaman Sekar. Ia membawa rantang berisi beberapa kue dan masakan kesukaan Sekar. Setelah Bram meninggalkan rumahnya tadi malam, Kemala mencari tahu
“Terima kasih,” ucap Bramantyo. “Aku tidak tahu, apa jadinya tanpa kamu di sisiku.” Bram menatap sendu ke arah wanita di hadapannya. “Tidak perlu berterima kasih, semua yang terjadi dalam hidupmu hampir pasti mengambil bagian di dalam hidupku.” Senyumnya kembali mengembang, semakin meyakinkan Bram tentang ketulusan yang dimiliki Kemala. Mereka kembali memeriksa beberapa hal mengenai persiapan pernikahan yang akan digelar 2 hari mendatang. Bram merasa hidupnya lebih ringan, jalannya semakin mulus tanpa ada yang mengganjal lagi. Kemala memang benar, dendam dan luka saling berhubungan. Luka tidak akan pernah bisa sembuh ketika kita masih memelihara dendam, membiarkannya bertindak sesuka hati, mengambil alih sebagian besar ruangan di dalam hati kita. Setiap kali mendengarkan kalimat bijak yang keluar dari mulut Kemala, keserakahannya atas rasa marah seketika menciut, lalu kehilangan keberanian yang sebelumnya merebut kendali atas pemikirannya. Mereka memang dua manusia berbeda latar b
Keheningan mulai menyusup di antara waktu yang sedang bergulir menuju pergantian hari. Suara derap langkah kaki-kaki yang berat menyisakan kekhawatiran di benak Kemala. Semakin dirinya mendekat ke arah ruang perawatan Mirna, semakin ia merasakan degup kencang yang menghujam dadanya.Sesekali ia mengedarkan pandangan ketika terdengar suara brankar yang berpacu dengan bunyi alas kaki beberapa orang. Jantungnya seakan-akan ingin meloncat, mendengar sayup-sayup suara tangisan dari arah yang lain. Terkadang ia mengintip wajah Mayang yang menyembunyikan kecemasan di balik senyuman.“Mirna pasti sembuh, saya yakin dia kuat.” Kemala meraih tangan Mayang yaang berayun seirama dengan langkah kakinya.Ia tersenyum kecut, lalu berkata, “Kuharap ia melewati masa kritisnya setelah bertemu denganmu.”Pintu kamar bernomor 237 terbuka, Mayang mendorongnya perlahan. Mereka masuk ke dalam ruangan sambil berjinjit agar Mi