Jingga tertawa sinis. "Permainan apalagi yang anda rencanakan, Pak?" tanyanya curiga.
"Yang jelas, rencanaku sangat menguntungkan bagi dirimu," jawab Ganendra percaya diri."Oh, ya?" Jingga mengangkat wajah, seakan menantang Ganendra."Kubebaskan semua utang-utang pamanmu. Rumah ini tidak akan kusita. Surat perjanjiannya menyusul nanti, setelah kamu menyetujui semua," jelas Ganendra dengan raut datar sambil terus menatap mata bulat Jingga.Wajah gadis itu tampak polos. Tak ada lipstik, bedak ataupun maskara yang biasa dia lihat di wajah Sandra dan Hilda. Namun demikian, kecantikan Jingga tetap terpancar. Ganendra susah payah untuk tidak tergoda. Sayang, bayangan adegan panasnya bersama Jingga tiba-tiba berputar jelas di dalam kepala.Tanpa sadar, ujung ibu jari Ganendra menyentuh bibir Jingga yang ranum dan kemerahan. Dia mengusap bibir itu lembut dan penuh perasaan, sambil memorinya memutar kebersamaan dengan Jingga selama tujuh hari ke belakang."Bagaimana, Jingga? Aku menunggu jawabanmu secepatnya," tanya Ganendra. Nada bicaranya pun berubah menjadi lebih hangat dengan sorot mata menggoda.Jingga tak lagi mampu menahan godaan dahsyat dari pria setampan Ganendra. Gadis itu langsung mengangguk, tanpa berpikir panjang tentang perjanjian tersebut."Bagus." Ganendra tersenyum lebar. "Kamu siapkan semua berkas-berkas persyaratan yang dibutuhkan untuk pernikahan kita. Seminggu lagi aku kembali ke sini," ujarnya.Ganendra keluar dari pagar rumah Jingga bersamaan dengan Lukman yang masuk sambil menuntun motor. "Pak?" sapa Lukman dengan sorot heran."Keponakanmu sudah setuju untuk menikah denganku. Tolong urus semuanya," titah Ganendra seraya mengeluarkan dompet dan menyerahkan puluhan lembar pecahan uang seratus ribu. "Ini untuk mempercepat proses pendaftaran pernikahan kami di KUA," ucap Ganendra sebelum berlalu masuk ke mobil yang terparkir di depan rumah."Apa, Pak?" Lukman terbelalak. Apalagi saat matanya mengamati tumpukan uang di genggaman tangan. Hampir saja Lukman menjatuhkan motornya."Suruh keponakanmu saja yang menjelaskan! Aku tak ada waktu!" seru Ganendra dari dalam mobil yang mulai melaju meninggalkan rumah Jingga.Sontak, Lukman menoleh ke arah Jingga yang terpaku. "Maksud Pak Ganendra tadi apa, Ngga?" tanyanya.Jingga mengembuskan napas pelan. Sebenarnya dia malas untuk menjelaskan. Akan tetapi, Jingga paham bahwa sang paman tak akan berhenti mendesak jika dirinya tidak segera bercerita. "Intinya, Pak Ganendra menawarkan pernikahan kontrak untukku. Sebagai imbalannya, dia akan menghapus seluruh utang-utang Om Lukman," tutur Jingga."Benarkah?" Saking senangnya, Lukman sampai hampir melonjak kegirangan. "Tapi ... kamu tidak menolak, kan?" tanya Lukman was-was.Detik itulah, Jingga menyadari kebodohannya. Tadi dia menyetujui begitu saja perjanjian itu tanpa bertanya lebih jauh tentang segala persyaratannya. "Jangan khawatir. Mulai detik ini, Om tidak perlu lagi memikirkan masalah utang, karena aku sudah melunasinya."Jingga tersenyum getir. Jelas sudah, bahwa sang paman sama sekali tak memikirkan dirinya. Lukman hanya mementingkan bagaimana cara agar terbebas dari lilitan utang. Pria itu sama sekali tak peduli dengan nasib Jingga."Seminggu lagi dia datang ke sini," ujar Jingga."Kalau begitu, om akan menguruskan surat-suratmu secepatnya ya, Ngga," sahut Lukman antusias.Namun, Jingga tak menjawab. Dia masuk ke rumah tanpa memedulikan sang paman yang terlihat sangat bahagia.Tepat tujuh hari berlalu sejak kedatangan Ganendra. Pria itu ternyata benar-benar menepati janjinya. Dia datang bersama dua orang pengacara. Masing-masing dari orang itu membawa sebuah koper. Salah satu dari pria itu maju dan membuka kopernya di meja ruang tamu."Ini adalah berkas-berkas yang diperlukan untuk pernikahan Pak Ganendra dengan anda, Bu," papar si pengacara sopan seraya menyodorkan tumpukan map pada Jingga."Semuanya sudah siap, Pak. Saya juga sudah mendaftarkan di KUA," sela Lukman penuh semangat."Itu bagus, tapi sebelum pergi ke sana, aku ingin kalian membaca surat-surat perjanjian yang sudah kususun ini." Ganendra menjentikkan jari, sebagai pertanda bagi pengacaranya yang lain untuk membuka koper dan memberikan beberapa lembar kertas untuk Jingga."Bacalah dulu sebentar," suruh Ganendra tanpa melepaskan tatapannya dari Jingga.Deret demi deret tulisan dapat Jingga pahami dengan tepat. Namun, dia berhenti pada dua poin terakhir yang membuatnya sangat terkejut. "Saya tidak berhak menuntut harta sedikitpun dari anda. Saya juga dilarang hamil dan menghasilkan seorang keturunan?" ucap Jingga pelan."Ya! Mudah, bukan?" celetuk Ganendra."Ini berlaku sampai kapan?" jemari Jingga gemetar saat menggenggam kertas-kertas itu."Sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Mungkin juga untuk selamanya," jawab Ganendra yakin."Apa?" Tubuh Jingga mendadak lemas, seakan tak bertulang. Demi dua ratus juta dan rumah peninggalan sang ayah, dia harus rela terikat dengan Ganendra untuk selamanya."Saya setuju, Pak!" seru Lukman antusias, membuat Jingga melotot tajam padanya."Om tega, ya." Mata Jingga berkaca-kaca."Nak, jangan salah paham. Bayangkan kamu menjadi istri dari pria sekaya Pak Ganendra. Segala kebutuhanmu akan terpenuhi," bisik Lukman tepat di telinga Jingga."Dari dulu Om memang tidak pernah peduli padaku," protes Jingga."Bukan begitu, Ngga. Selama ini Om juga berjuang demi kamu." Lukman tak putus asa membujuk keponakannya itu."Jadi, bagaimana? Kalian setuju atau tidak? Kalau iya, cepat tanda tangani, supaya kita bisa segera pergi ke KUA," desak Ganendra tak sabar.Air mata Jingga menetes, membasahi pipi mulus yang kini bersemu merah. Dia menahan tangis sekaligus amarah dan kecewa. Namun, lagi-lagi dia tak kuasa mengubah apapun.Akhirnya, dengan kesadaran penuh, Jingga meraih pulpen di tangan salah satu pengacara Ganendra, kemudian menandatangani semua berkas-berkas yang diberikan oleh Ganendra. Setelah itu, dia dibawa pergi oleh Ganendra menuju KUA terdekat.Disaksikan Lukman beserta dua orang pengacara, hari itu juga Ganendra dan Jingga telah sah menjadi pasangan suami istri, baik secara agama maupun negara."Setelah ini bagaimana?" tanya Jingga lirih."Kamu pulang ke rumahku. Biar Lukman yang menjaga rumah warisan ayahmu," sahut Ganendra santai."Kalau begitu, izinkan aku berkemas dulu. Aku belum menyiapkan baju-baju yang akan kubawa," pinta Jingga."Tidak perlu. Aku akan membelikanmu yang baru. Tidak tahan rasanya melihat selera berpakaianmu yang jelek dan kampungan," hina Ganendra dengan entengnya.Sebuah kalimat pedas pertama yang dilontarkan Ganendra saat dia resmi berstatus sebagai suami. Jingga memilih untuk tak menghiraukan. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak menanggapi seburuk apapun perlakuan Ganendra."Kamu tenang saja, Ngga. Om akan menjaga rumah peninggalan ayahmu dengan sebaik-baiknya," hibur Lukman tatkala melihat keponakannya yang tampak ragu-ragu.Tangis Jingga pecah saat itu. Bagaikan mimpi, kehidupannya berputar demikian cepat. Tiba-tiba saja dia sudah menjadi istri seorang pria bernama Ganendra. Entah kehidupan seperti apa yang akan dia jalani nanti. Jingga sudah mengorbankan seluruh hidupnya demi uang dan sebuah tempat tinggal.Ganendra seolah tak peduli sama sekali dengan kesedihan Jingga. Dia malah menarik tangan Jingga dan membawanya ke dalam mobil. "Ingat perjanjian kita! Kamu harus menunjukkan sikap ceria dan bahagia di depan semua orang nantinya. Jangan sampai kamu mengacaukan sandiwara ini, atau kamu akan merasakan akibatnya!" ancam Ganendra.Ancaman Ganendra, membuat Jingga lebih banyak diam. Sesekali dia melirik Ganendra yang serius mengemudi, hingga kendaraan yang mereka tumpangi tiba di sebuah klinik ibu dan anak."Untuk apa kita ke sini?" Jingga terpaksa membuka suara, karena instingnya merasakan sesuatu yang berbahaya."Konsultasi ke dokter kandungan," jawab Ganendra datar."Konsultasi tentang apa?" cecar Jingga.Ganendra tampak risi dengan pertanyaan Jingga yang bertubi-tubi. Dia mengempaskan napas panjang, lalu menatap tajam ke arah gadis cantik itu."Sesuai dengan perjanjian, kamu dilarang hamil selamanya," ujar Ganendra."Lantas?" Jantung Jingga berdebar. Dia meremas ujung dressnya kuat-kuat."Aku ingin berdiskusi pada dokter kandungan untuk program sterilisasi rahim," jawab Ganendra enteng."Apa?" Jingga melotot tak percaya. "Keterlaluan kamu, Pak!" serunya hilang kendali. "Aku tidak mau!""Kalau kamu tidak mau, maka bersiaplah untuk ....""Terserah mau anda apakan rumah itu! Ambil saja semuanya! Jika bisa, ambi
"Kok kamu ada di sini? Bukannya sekarang jadwal kamu tinggal di apartemenmu sendiri?" tanya Ganendra tak suka."Aku bisa berada di manapun yang aku mau!" sentak Hilda. "Siapa perempuan ini, Ga!" serunya sambil mengarahkan telunjuk pada Jingga."Oh, ya. Aku belum sempat mengenalkannya padamu." Ganendra kembali merengkuh tubuh ramping Jingga sambil merapikan baju gadis itu yang sedikit berantakan.Hilda memperhatikan itu semua dengan sorot penuh amarah. "Jangan katakan kalau dia simpananmu yang baru?" desis Hilda."Kamu salah, Hil. Dia bukan simpanan. Jingga adalah istriku yang sah. Kami menikah secara resmi di KUA tadi pagi," timpal Ganendra."Apa?" Hilda melotot tajam. "Lelucon macam apa ini?""Sayangnya, ini bukan lelucon," balas Ganendra. Dia kemudian beralih pada Jingga yang ketakutan. "Coba ambil buku nikah kita," suruh Ganendra seraya menunjuk ke tas selempang milik Jingga yang tergeletak di ranjang.Ragu-ragu Jingga mengikuti perintah Ganendra. Dia membuka tas dan mengeluarkan d
"Sa-saya ...." Jingga menelan ludah berkali-kali. Dia tak menyangka bahwa Hilda akan memberikan penawaran semenarik itu. Jika Jingga memiliki uang sebanyak yang Hilda sebutkan, tentu dia tak akan bersedia dinikahi oleh Ganendra. "Bagaimana cara saya meninggalkan Pak Ganendra?" tanyanya polos. "Gampang, kamu tinggal pergi dari sini," jawab Hilda enteng. "Lalu? Status pernikahan saya?" Jingga mulai goyah. "Tinggal ajukan cerai saja. Gampang, kan?" Hilda menjentikkan jari. "Andai semudah itu." Jingga mengempaskan napas pelan. "Apanya yang sulit? Ganendra bukan tipe pria yang berlutut memohon pada wanitanya agar tidak pergi. Dia cenderung cuek dan tidak peduli. Bagi Ganendra, wanita hanyalah mainan pelengkap dalam hidupnya," ungkap Hilda. "Masalahnya ...." Jingga menggigit bibir. Dia bimbang hendak mengatakan pada Hilda jika pernikahannya dengan Ganendra, hanyalah sandiwara semata. Entah apa yang akan Ganendra lakukan padanya j
Jingga terbangun saat ponselnya berdering nyaring. Gadis itu tak segera mengangkat telepon. Dia diam sejenak sambil mengumpulkan kesadaran.Jingga mengucek mata sebelum mengeja nama yang tertera di layar ponsel. "Om Lukman?" gumamnya heran.Buru- buru dia menerima panggilan itu. "Halo, ada apa, Om?" sapa Jingga."Tidak apa-apa, Nak. Om hanya ingin tahu kabarmu? Apa ... Pak Ganendra memperlakukanmu dengan baik?" tanya Lukman ragu-ragu.Perhatian yang cukup terlambat bagi Jingga. Namun demikian, dia tetap membalas hal itu dengan sikap yang cukup baik. "Seperti yang om katakan kemarin. Pak Ganendra pasti akan membahagiakan aku," jawab Jingga."Syukurlah. Om tak bisa membayangkan kalau dia menyakitimu. Om pasti akan merasa sangat bersalah," sesal Lukman."Jangan khawatir, aku ...." Jingga terpaksa menjeda kalimatnya saat menyadari bahwa Hilda sudah tidak ada di kamar Ganendra. "Nanti kutelepon lagi, Om." Jingga mengakhiri panggilan secara sepihak. Dia beringsut turun dari ranjang dan bern
"Le-lepaskan aku," pinta Jingga memelas. "Uang darimana itu, Sayang? Kamu belum menjawab pertanyaanku." Ganendra melepaskan dagu Jingga. Sebagai gantinya, pria berambut hitam legam itu beralih menangkup wajah cantik sang istri dan menariknya mendekat. "A-aku ...." Jingga memejamkan mata rapat-rapat. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi dia tak berani berbohong. Namun, di sisi lain dirinya tak berani menyebut nama Hilda. "Menurut perkiraanku, kamu masih baru di sini. Kegiatanmu hanya sebatas di kamar dan meja makan. Tidak mungkin bukan kamu mendapatkan uang ini dari pegawaiku?" terka Ganendra. 'Satu-satunya yang berani membujukmu untuk berbuat bodoh seperti ini hanyalah Hilda." Jingga menelan ludah. Dia sudah bertekad untuk tidak menyebutkan nama itu. Apalagi Hilda sudah berkali-kali menegaskan bahwa Jingga tidak pantas menjadi seorang pelakor. "Jingga ... kenapa diam? Hm?" Ganendra menyentuh bibir ranum gadis itu, lalu mengecupnya lembut. Bayangan percintaan mereka berdua, kembali
"Ga?" Hilda berusaha tertawa untuk menutupi ketakutannya. "Apa itu?" tanyanya pura-pura tak mengerti. "Seharusnya aku yang bertanya, apa ini?" Ganendra bangkit dari sofa, lalu berjalan mendekati Hilda. Dia menempelkan koper kecil yang cukup berat itu ke dada istri sirinya. "Kamu memberikan uang itu untuk Jingga, sementara uang itu kamu dapatkan dari aku. Lelucon macam apa ini, Hil?" geram Ganendra. "Oh, jadi gadis murahan itu yang membocorkan semua," desis Hilda. "Dia tidak membocorkan apapun!" sangkal Ganendra. "Aku yang terlalu pintar untuk membaca segalanya." Hilda terkesiap. Wajah cantiknya memucat. Rasa pening akibat minuman beralkohol yang dia tenggak saat berpesta dengan teman-temannya tadi, menghilang seketika. "Ga ...." Bibirnya bergetar saat menyebut nama sang suami. Sedangkan otaknya berputar keras untuk menutupi rencananya yang telah gagal. "Ga, kamu tahu, kan? Aku sangat mencintaimu. Aku tidak rela membagimu dengan siapapun," rayu Hilda. Luwes, jemari lentiknya berm
Kelopak mata Jingga bergerak pelan. Sayup-sayup pendengarannya menangkap percakapan antara Ganendra dengan seseorang. Meskipun berat, Jingga berusaha untuk membuka mata karena penasaran. Melalui pandangannya yang masih sedikit kabur, Jingga melihat Ganendra tengah berbincang dengan seseorang di ambang pintu. "Pak?" Refleks dirinya menyapa sang suami sambil bergegas turun dari ranjang. Ganendra dan Sandra menoleh secara bersamaan ke arah suara. "Akhirnya, bangun juga kamu," celetuk Ganendra. Sedangkan Sandra yang awalnya ceria, langsung menekuk muka. Akan tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Sandra sangat pandai mengendalikan diri sekaligus menguasai emosi. Sesaat kemudian, dia kembali memamerkan senyumnya yang menawan. "Selamat pagi, Nyonya Ganendra," sapa Sandra. Baru kali ini Jingga mendengar seseorang menyapanya dengan sebutan itu. Sontak, sapaan Sandra membuat wajahnya merah merona. "Se-selamat pagi," balas Jingga gugup. "Maaf kalau saya mengganggu pagi-pagi. Saya harus menj
Ganendra merasa sulit sekali untuk konsentrasi. Masih terus terngiang di dalam kepalanya tentang perkataan Sandra yang menuduh dirinya tengah jatuh cinta. "Ck!" Ganendra mengacak-acak rambutnya kasar. Dia lalu meraih segelas air yang memang sudah disediakan untuk setiap anggota rapat. Ganendra seolah tak memedulikan presentasi yang dipaparkan oleh anak buahnya di depan para komisaris. Dia meneguk air sampai habis dan meletakkan gelas yang sudah kosong ke meja. Tak berhenti sampai di situ, Ganendra malah mengetuk-ngetukkan gelas itu ke permukaan meja. Tentu saja hal itu mengganggu orang-orang di sekitarnya. Mereka mengarahkan tatapannya pada Ganendra, tak terkecuali Sandra yang duduk tepat di sampingnya. Wanita muda yang tampak sangat cantik dalam balutan blazer pink dan rok span ketat berwarna senada itu langsung berdehem. "Oh, maaf," ucap Ganendra menyadari kesalahannya. "Silakan lanjutkan." "Kamu kenapa sih, Ga?" bisik Sandra. Namun, Ganendra tak menjawab. Dia berusaha untuk ke
"Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny
"Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l
Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude
Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t
"Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya
"Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah
Semalam sudah Jingga menginap di rumah sendiri. Kini, dia dapat bernapas lega karena tak perlu sekamar lagi dengan Armas. Pria tampan itu menempati kamar tamu bersama Elio.Keesokan harinya, Jingga mengajak Armas bertemu dengan Echa dan Marini di rumah mereka. Tak terkira betapa senangnya Marini melihat kedatangan Jingga."Ya, ampun. Kamu makin cantik saja, Ngga!" sanjung Echa takjub."Ini Sophia, ya? Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Biasanya cuma lewat panggilan video!" ujar Marini antusias seraya menggendong balita cantik itu."Dan ini Elio. Anak tampan yang selalu mengganggu panggilan video kalian." Jingga mendorong lembut tubuh Elio agar semakin mendekat pada Echa."Akhirnya, aku bisa mencubit pipimu, ya!" seru Echa sembari mengusap gemas pipi Elio, lalu mencubitnya pelan."Ini Papa. Dia juga sering lewat di sebelah Tante Jingga setiap kali Tante sedang menelepon. Papa suka penasaran dan sering cemburu," celoteh Elio yang begitu lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia ta
Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang
Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b