"Instingku tajam, Sayang. Aku bisa mencium niatmu. Anak manja yang berprofesi sebagai seorang artis, tentu saja harus mencari suami kaya raya untuk menyokong biaya hidupnya yang mewah dan fantastis," cibir Ganendra.
"Lalu, kamu akan memaksaku untuk mengesahkan pernikahan kita. Itu artinya, kamu bisa menuntut segala hal, termasuk harta. Apalagi kalau kau berhasil memiliki anak. Mungkin kamu akan memerasku sampai habis." Ganendra terkekeh pelan."Kamu gila," desis Hilda."Oh, tidak. Aku tidak gila. Aku hanya memaksimalkan ini." Ganendra mengetuk-ngetuk pelipisnya menggunakan telunjuk, lalu melepaskan genggamannya dari tangan Hilda. Dia mendorong wanita cantik itu pelan."Kalau kamu pikir aku menyerah hanya karena gertakanmu, kamu salah, Ga! Aku tidak akan mundur! Aku akan tetap berjuang menjadi satu-satunya untukmu!" seru Hilda penuh percaya diri."Terserah kamu saja! Aku tidak peduli!" timpal Ganendra dingin. Dia membalikkan badan dan meninggalkan Hilda begitu saja di dalam kamar.Ganendra malas jika harus berada satu ruangan dengan Hilda. Kepalanya sudah panas memikirkan tingkah Sandra. Dia tak ingin moodnya menjadi semakin berantakan.Ganendra memutuskan untuk kembali ke apartemen mewah yang menjadi saksi percintaan panasnya dengan Jingga selama seminggu penuh. Dia melepas kancing teratas kemeja, lalu mengempaskan diri ke sofa. Terbayang oleh Ganendra senyuman dan tawa Jingga yang sempat memenuhi apartemen mewah yang selalu sepi dan kosong itu. Terbayang pula saat mereka berpisah dan Jingga nekat mencium bibirnya. Tanpa sadar, Ganendra menyentuh permukaan bibir, lalu tersenyum samar."Semua wanita itu menyusahkan," gumam Ganendra pada diri sendiri. Dia berniat bangkit untuk berolahraga di ruang gym pribadi ketika tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Tertera nama Atmawirya di layar. Mau tak mau, Ganendra harus menerima panggilan itu. "Ada apa, Pa?" tanyanya tanpa basa-basi."Sandra sudah menceritakan semuanya padaku. Begitu pula Hilda," jawab Atmawirya. Pria itu juga tak suka basa-basi, sama halnya dengan Ganendra."Apa Papa hendak menekanku juga?" gerutu Ganendra."Oh, tentu tidak. Aku sudah tahu pasti sifatmu yang keras kepala itu. Walaupun aku harus menodongkan senjata ke kepalamu, kamu tak akan patuh padaku. Ya kan?" terka Atmawirya."Aku dulu sempat patuh pada Papa yang berambisi menjodohkanku dengan Hilda. Namun, lihat hasilnya sekarang. Dia tak sebaik yang Papa pikirkan," ujar Ganendra."Bukankah wajar jika seorang wanita menuntut kejelasan?" tutur Atmawirya."Kurang jelas apalagi? Dia sudah menjadi istriku. Begitu pula dengan Sandra, dari awal sudah kutegaskan padanya bahwa hubungan kami hanya main-main," elak Ganendra."Sampai kapan kamu akan begini, Ga?" Terdengar hempasan napas pelan dari Atmawirya. "Berapa banyak wanita lagi yang akan menjadi korbanmu?""Aku sudah menawarkan perceraian pada Hilda, tapi dia menolak. Apa perlu kupaksa?" Ganendra malah mengalihkan fokus pembicaraan."Tentu saja dia menolak. Hilda tidak ingin kehilangan tambang emasnya. BIsa bahaya kalau sampai kamu melepas dia," ungkap Atmawirya."Nah, itu Papa sudah tahu bagaimana liciknya Hilda. Kenapa dulu menjodohkan dia denganku?" Ganendra mendengkus kesal."Kupikir kehadiran Hilda bisa membuatmu berubah. Saat itu, kulihat kalian memiliki banyak sekali kesamaan," dalih Atmawirya."Pilihan papa tak selalu benar," sindir Ganendra. Dia mulai lelah berbincang dengan sang ayah. "Kumatikan dulu teleponnya, ya.""Tunggu! Bagaimana dengan keponakan Lukman? Apa dia turut hadir dalam pertemuan pagi tadi?" tanya Atmawirya."Jingga, dia ...." Kata-kata Ganendra mengambang. Tiba-tiba saja benaknya dipenuhi oleh bayangan Jingga saat Ganendra menyebutkan nama itu."Kalian sudah bertemu?" sahut Atmawirya antusias."Aku tidak yakin gadis itu bisa mendapatkan uang tiga ratus juta dalam seminggu. Sedikit lagi, rumah dan tanah milik Agung Prasetyo akan menjadi milik Papa, seperti yang Papa impi-impikan selama ini," jawab Ganendra."Sepertinya ... aku tidak ingin lagi rumah itu," celetuk Atmawirya."Apa? Nggak salah, nih?" seru Ganendra setengah tak percaya."Aku punya ide lain yang mungkin bisa menjauhkanmu dari para wanita lintah itu," cetus Atmawirya."Oh, ya? Apa?""Manfaatkan Jingga," ujar Atmawirya."Manfaatkan?" ulang Ganendra. "Apa maksudnya?""Kalau kamu menikahi seorang wanita dengan sah, baik secara agama dan negara, aku yakin, Hilda dan Sandra akan mundur perlahan," jelas Atmawirya hati-hati."Konyol sekali!" tolak Ganendra keberatan. "Berapa kali harus kukatakan pada Papa. Aku tidak ingin menikah secara sah. Aku tidak mau hidupku hancur oleh seorang wanita berstatus istri sah!""Justru itu," sela Atmawirya. "Buatlah perjanjian dengan Jingga supaya tidak menuntut macam-macam. Kalian hanya cukup menikah di atas kertas secara sipil. Sandiwara saja."Ganendra seketika terdiam. Tak dapat dipungkiri bahwa ide sang ayah sangatlah brilian. "Benar juga," gumamnya. "Baiklah, Pa. Kututup dulu teleponnya. Nanti kuhubungi lagi."Belum sempat Atmawirya menanggapi, Ganendra sudah lebih dulu mengakhiri panggilannya. Buru-buru dia mengaitkan kancing yang sempet terlepas, sambil kepalanya mengingat-ingat alamat rumah Agung Prasetyo yang sempat dia baca di berkas dokumen saat pertemuannya dengan Lukman tadi.Ganendra melajukan kendaraannya kencang hingga tiba di depan sebuah rumah sederhana, tetapi terlihat cukup luas. Pekarangannya asri dan terawat. Terdapat beberapa tanaman hias yang tumbuh di tiap sisi pekarangan.Setelah memarkirkan mobilnya di tanah kosong samping rumah, Ganendra turun dan membuka pagar tanpa permisi. Saat itulah, pintu rumah terbuka. Tampak Jingga keluar dari sana sambil membawa wadah air berukuran sedang untuk menyiram tanaman.Sama halnya dengan Jingga, Ganendra pun terpaku melihat sosok gadis yang hanya mengenakan daster sederhana bermotif bunga tersebut. Pria rupawan itu seolah membeku di tempatnya. Sedangkan Jingga menelan ludah berkali-kali."Ada apa anda ke sini? Ini belum satu minggu!" ucap Jingga ketus."Aku tidak pikun," balas Ganendra dengan nada datar."Lalu?" Jingga melayangkan tatapan permusuhan."Boleh aku masuk?" tawar Ganendra. Intonasinya berubah menjadi sedikit lembut."Di sini saja. Om sedang keluar. Tidak enak dilihat tetangga kalau aku memasukkan pria asing," tolak Jingga."Oke." Dengan santainya Ganendra berjalan melintasi pekarangan, lalu duduk di kursi rotan yang terdapat di teras. "Aku bisa membantumu melunasi hutang Pak Lukman," ujar Ganendra."Bagaimana caranya? Aku sudah tidak perawan lagi. Tak ada lagi yang berharga dalam hidupku. Semua sudah kujual," timpal Jingga.Ganendra terdiam mendengar kalimat Jingga. Entah kenapa, dia merasa sedikit bersalah. Ganendra lalu menggeleng pelan demi menepiskan perasaan aneh tersebut. "Anggap saja aku yang akan melunasi seluruh utang-utang om-mu. Jadi, kamu tidak perlu kehilangan rumah peninggalan ayahmu ini," terangnya."Apa yang harus kulakukan untuk membayar kebaikan anda?" tanya Jingga setengah menyindir.Ganendra tak segera menjawab. Dia bangkit dari kursi, lalu mendekat ke arah Jingga. "Menikahlah denganku," ucap Ganendra pelan, tapi penuh penekanan.Jingga tertawa sinis. "Permainan apalagi yang anda rencanakan, Pak?" tanyanya curiga. "Yang jelas, rencanaku sangat menguntungkan bagi dirimu," jawab Ganendra percaya diri. "Oh, ya?" Jingga mengangkat wajah, seakan menantang Ganendra. "Kubebaskan semua utang-utang pamanmu. Rumah ini tidak akan kusita. Surat perjanjiannya menyusul nanti, setelah kamu menyetujui semua," jelas Ganendra dengan raut datar sambil terus menatap mata bulat Jingga. Wajah gadis itu tampak polos. Tak ada lipstik, bedak ataupun maskara yang biasa dia lihat di wajah Sandra dan Hilda. Namun demikian, kecantikan Jingga tetap terpancar. Ganendra susah payah untuk tidak tergoda. Sayang, bayangan adegan panasnya bersama Jingga tiba-tiba berputar jelas di dalam kepala. Tanpa sadar, ujung ibu jari Ganendra menyentuh bibir Jingga yang ranum dan kemerahan. Dia mengusap bibir itu lembut dan penuh perasaan, sambil memorinya memutar kebersamaan dengan Jingga selama tujuh hari ke belakang."Bagaimana, Jingga? Aku menunggu
Ancaman Ganendra, membuat Jingga lebih banyak diam. Sesekali dia melirik Ganendra yang serius mengemudi, hingga kendaraan yang mereka tumpangi tiba di sebuah klinik ibu dan anak."Untuk apa kita ke sini?" Jingga terpaksa membuka suara, karena instingnya merasakan sesuatu yang berbahaya."Konsultasi ke dokter kandungan," jawab Ganendra datar."Konsultasi tentang apa?" cecar Jingga.Ganendra tampak risi dengan pertanyaan Jingga yang bertubi-tubi. Dia mengempaskan napas panjang, lalu menatap tajam ke arah gadis cantik itu."Sesuai dengan perjanjian, kamu dilarang hamil selamanya," ujar Ganendra."Lantas?" Jantung Jingga berdebar. Dia meremas ujung dressnya kuat-kuat."Aku ingin berdiskusi pada dokter kandungan untuk program sterilisasi rahim," jawab Ganendra enteng."Apa?" Jingga melotot tak percaya. "Keterlaluan kamu, Pak!" serunya hilang kendali. "Aku tidak mau!""Kalau kamu tidak mau, maka bersiaplah untuk ....""Terserah mau anda apakan rumah itu! Ambil saja semuanya! Jika bisa, ambi
"Kok kamu ada di sini? Bukannya sekarang jadwal kamu tinggal di apartemenmu sendiri?" tanya Ganendra tak suka."Aku bisa berada di manapun yang aku mau!" sentak Hilda. "Siapa perempuan ini, Ga!" serunya sambil mengarahkan telunjuk pada Jingga."Oh, ya. Aku belum sempat mengenalkannya padamu." Ganendra kembali merengkuh tubuh ramping Jingga sambil merapikan baju gadis itu yang sedikit berantakan.Hilda memperhatikan itu semua dengan sorot penuh amarah. "Jangan katakan kalau dia simpananmu yang baru?" desis Hilda."Kamu salah, Hil. Dia bukan simpanan. Jingga adalah istriku yang sah. Kami menikah secara resmi di KUA tadi pagi," timpal Ganendra."Apa?" Hilda melotot tajam. "Lelucon macam apa ini?""Sayangnya, ini bukan lelucon," balas Ganendra. Dia kemudian beralih pada Jingga yang ketakutan. "Coba ambil buku nikah kita," suruh Ganendra seraya menunjuk ke tas selempang milik Jingga yang tergeletak di ranjang.Ragu-ragu Jingga mengikuti perintah Ganendra. Dia membuka tas dan mengeluarkan d
"Sa-saya ...." Jingga menelan ludah berkali-kali. Dia tak menyangka bahwa Hilda akan memberikan penawaran semenarik itu. Jika Jingga memiliki uang sebanyak yang Hilda sebutkan, tentu dia tak akan bersedia dinikahi oleh Ganendra. "Bagaimana cara saya meninggalkan Pak Ganendra?" tanyanya polos. "Gampang, kamu tinggal pergi dari sini," jawab Hilda enteng. "Lalu? Status pernikahan saya?" Jingga mulai goyah. "Tinggal ajukan cerai saja. Gampang, kan?" Hilda menjentikkan jari. "Andai semudah itu." Jingga mengempaskan napas pelan. "Apanya yang sulit? Ganendra bukan tipe pria yang berlutut memohon pada wanitanya agar tidak pergi. Dia cenderung cuek dan tidak peduli. Bagi Ganendra, wanita hanyalah mainan pelengkap dalam hidupnya," ungkap Hilda. "Masalahnya ...." Jingga menggigit bibir. Dia bimbang hendak mengatakan pada Hilda jika pernikahannya dengan Ganendra, hanyalah sandiwara semata. Entah apa yang akan Ganendra lakukan padanya j
Jingga terbangun saat ponselnya berdering nyaring. Gadis itu tak segera mengangkat telepon. Dia diam sejenak sambil mengumpulkan kesadaran.Jingga mengucek mata sebelum mengeja nama yang tertera di layar ponsel. "Om Lukman?" gumamnya heran.Buru- buru dia menerima panggilan itu. "Halo, ada apa, Om?" sapa Jingga."Tidak apa-apa, Nak. Om hanya ingin tahu kabarmu? Apa ... Pak Ganendra memperlakukanmu dengan baik?" tanya Lukman ragu-ragu.Perhatian yang cukup terlambat bagi Jingga. Namun demikian, dia tetap membalas hal itu dengan sikap yang cukup baik. "Seperti yang om katakan kemarin. Pak Ganendra pasti akan membahagiakan aku," jawab Jingga."Syukurlah. Om tak bisa membayangkan kalau dia menyakitimu. Om pasti akan merasa sangat bersalah," sesal Lukman."Jangan khawatir, aku ...." Jingga terpaksa menjeda kalimatnya saat menyadari bahwa Hilda sudah tidak ada di kamar Ganendra. "Nanti kutelepon lagi, Om." Jingga mengakhiri panggilan secara sepihak. Dia beringsut turun dari ranjang dan bern
"Le-lepaskan aku," pinta Jingga memelas. "Uang darimana itu, Sayang? Kamu belum menjawab pertanyaanku." Ganendra melepaskan dagu Jingga. Sebagai gantinya, pria berambut hitam legam itu beralih menangkup wajah cantik sang istri dan menariknya mendekat. "A-aku ...." Jingga memejamkan mata rapat-rapat. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi dia tak berani berbohong. Namun, di sisi lain dirinya tak berani menyebut nama Hilda. "Menurut perkiraanku, kamu masih baru di sini. Kegiatanmu hanya sebatas di kamar dan meja makan. Tidak mungkin bukan kamu mendapatkan uang ini dari pegawaiku?" terka Ganendra. 'Satu-satunya yang berani membujukmu untuk berbuat bodoh seperti ini hanyalah Hilda." Jingga menelan ludah. Dia sudah bertekad untuk tidak menyebutkan nama itu. Apalagi Hilda sudah berkali-kali menegaskan bahwa Jingga tidak pantas menjadi seorang pelakor. "Jingga ... kenapa diam? Hm?" Ganendra menyentuh bibir ranum gadis itu, lalu mengecupnya lembut. Bayangan percintaan mereka berdua, kembali
"Ga?" Hilda berusaha tertawa untuk menutupi ketakutannya. "Apa itu?" tanyanya pura-pura tak mengerti. "Seharusnya aku yang bertanya, apa ini?" Ganendra bangkit dari sofa, lalu berjalan mendekati Hilda. Dia menempelkan koper kecil yang cukup berat itu ke dada istri sirinya. "Kamu memberikan uang itu untuk Jingga, sementara uang itu kamu dapatkan dari aku. Lelucon macam apa ini, Hil?" geram Ganendra. "Oh, jadi gadis murahan itu yang membocorkan semua," desis Hilda. "Dia tidak membocorkan apapun!" sangkal Ganendra. "Aku yang terlalu pintar untuk membaca segalanya." Hilda terkesiap. Wajah cantiknya memucat. Rasa pening akibat minuman beralkohol yang dia tenggak saat berpesta dengan teman-temannya tadi, menghilang seketika. "Ga ...." Bibirnya bergetar saat menyebut nama sang suami. Sedangkan otaknya berputar keras untuk menutupi rencananya yang telah gagal. "Ga, kamu tahu, kan? Aku sangat mencintaimu. Aku tidak rela membagimu dengan siapapun," rayu Hilda. Luwes, jemari lentiknya berm
Kelopak mata Jingga bergerak pelan. Sayup-sayup pendengarannya menangkap percakapan antara Ganendra dengan seseorang. Meskipun berat, Jingga berusaha untuk membuka mata karena penasaran. Melalui pandangannya yang masih sedikit kabur, Jingga melihat Ganendra tengah berbincang dengan seseorang di ambang pintu. "Pak?" Refleks dirinya menyapa sang suami sambil bergegas turun dari ranjang. Ganendra dan Sandra menoleh secara bersamaan ke arah suara. "Akhirnya, bangun juga kamu," celetuk Ganendra. Sedangkan Sandra yang awalnya ceria, langsung menekuk muka. Akan tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Sandra sangat pandai mengendalikan diri sekaligus menguasai emosi. Sesaat kemudian, dia kembali memamerkan senyumnya yang menawan. "Selamat pagi, Nyonya Ganendra," sapa Sandra. Baru kali ini Jingga mendengar seseorang menyapanya dengan sebutan itu. Sontak, sapaan Sandra membuat wajahnya merah merona. "Se-selamat pagi," balas Jingga gugup. "Maaf kalau saya mengganggu pagi-pagi. Saya harus menj
"Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny
"Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l
Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude
Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t
"Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya
"Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah
Semalam sudah Jingga menginap di rumah sendiri. Kini, dia dapat bernapas lega karena tak perlu sekamar lagi dengan Armas. Pria tampan itu menempati kamar tamu bersama Elio.Keesokan harinya, Jingga mengajak Armas bertemu dengan Echa dan Marini di rumah mereka. Tak terkira betapa senangnya Marini melihat kedatangan Jingga."Ya, ampun. Kamu makin cantik saja, Ngga!" sanjung Echa takjub."Ini Sophia, ya? Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Biasanya cuma lewat panggilan video!" ujar Marini antusias seraya menggendong balita cantik itu."Dan ini Elio. Anak tampan yang selalu mengganggu panggilan video kalian." Jingga mendorong lembut tubuh Elio agar semakin mendekat pada Echa."Akhirnya, aku bisa mencubit pipimu, ya!" seru Echa sembari mengusap gemas pipi Elio, lalu mencubitnya pelan."Ini Papa. Dia juga sering lewat di sebelah Tante Jingga setiap kali Tante sedang menelepon. Papa suka penasaran dan sering cemburu," celoteh Elio yang begitu lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia ta
Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang
Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b