Ancaman Ganendra, membuat Jingga lebih banyak diam. Sesekali dia melirik Ganendra yang serius mengemudi, hingga kendaraan yang mereka tumpangi tiba di sebuah klinik ibu dan anak.
"Untuk apa kita ke sini?" Jingga terpaksa membuka suara, karena instingnya merasakan sesuatu yang berbahaya."Konsultasi ke dokter kandungan," jawab Ganendra datar."Konsultasi tentang apa?" cecar Jingga.Ganendra tampak risi dengan pertanyaan Jingga yang bertubi-tubi. Dia mengempaskan napas panjang, lalu menatap tajam ke arah gadis cantik itu."Sesuai dengan perjanjian, kamu dilarang hamil selamanya," ujar Ganendra."Lantas?" Jantung Jingga berdebar. Dia meremas ujung dressnya kuat-kuat."Aku ingin berdiskusi pada dokter kandungan untuk program sterilisasi rahim," jawab Ganendra enteng."Apa?" Jingga melotot tak percaya. "Keterlaluan kamu, Pak!" serunya hilang kendali. "Aku tidak mau!""Kalau kamu tidak mau, maka bersiaplah untuk ....""Terserah mau anda apakan rumah itu! Ambil saja semuanya! Jika bisa, ambil juga ginjalku untuk menutupi utang-utang omku! Yang jelas, aku menolak sterilisasi rahim!" tolak Jingga tegas."Aku tidak kuat lagi. Kehilangan harga diri dan hidup saja sudah sangat menyakitkan, dan sekarang anda hendak merebut masa depanku? Bunuh saja aku!" pekik Jingga histeris."Persetan dengan kalian semua!" Muka Jingga merah padam dikuasai amarah. Pikirannya hanya satu, yaitu pergi dari Ganendra sejauh-jauhnya.Jingga gesit membuka pintu mobil dan melompat turun. Dia berniat untuk berlari sekencang mungkin.Akan tetapi, gerak Ganendra juga tak kalah cepat. Dia segera turun dari mobil, lalu mengejar Jingga. "Hei, tunggu!" cegahnya. Ganendra berhasil mencengkeram satu lengan Jingga dan menyeretnya kembali ke dekat mobil."Lepaskan!" Jingga berusaha untuk memberontak. Tak dipedulikannya pandangan heran orang-orang di sekitar yang berlalu lalang. Beberapa di antara mereka bahkan berhenti untuk melihat yang terjadi."Hentikan, Jingga!" sentak Ganendra. Pria itu sepertinya juga kehilangan kesabaran. Dia mendekap erat Jingga secara tiba-tiba, sebelum istri barunya itu sempat mengelak.Ganendra memeluk Jingga sambil bersikap seolah tak terjadi apapun. "Biasa, pengantin baru. Kami baru saja menikah. Butuh adaptasi," jelasnya pada orang-orang yang masih memperhatikan pertengkaran tersebut.Ganendra memamerkan senyuman ramah agar terlihat baik-baik saja. Dia baru berhenti ketika orang-orang tak lagi menghiraukan.Dia beralih pada Jingga yang masih tampak marah. "Puas kamu sekarang? Kamu sudah mempermalukanku!" omel Ganendra."Lepaskan aku! Ceraikan sekalian!" geram Jingga.Ganendra mengangkat satu alisnya. "Cerai?" cibirnya mengejek. "Tidak semudah itu, Sayang. Apa kamu tidak membaca isi dari surat perjanjian tadi? Istri tidak berhak menuntut cerai. DI-LA-RANG!" tegas Ganendra sambil mengeja kata terakhir penuh penekanan.Jingga menggeleng pelan. Lagi-lagi dia marah pada diri sendiri yang dengan mudahnya membuat keputusan."Kamu tidak mau proses sterilisasi? Oke, tidak masalah, kita pulang sekarang!" ujar Ganendra enteng sembari memaksa Jingga masuk ke mobil.Pria itu lalu bersiap di balik kemudi dan menyalakan mesinnya. "Kita bisa mencari cara lain supaya kamu tidak bisa punya anak," cetus Ganendra."Kenapa harus aku? Kenapa tidak anda saja yang berhenti menyentuhku. Dengan begitu, aku tidak akan bisa hamil!" sahut Jingga sewot."Apa?" Ganendra terkekeh. "Enak saja. Ibarat barang, aku sudah membelimu! Masa iya, tidak dipakai? Rugi sekali! Lagipula kamu ...."Ganendra sengaja tak melanjutkan kata-kata. Dia buru-buru mengulum bibir. Ganendra jelas tak akan dapat menyembunyikan rasa malu seandainya dia keceplosan mengatakan bahwa dirinya sangat menikmati tubuh Jingga."Ah, sudahlah!" Ganendra mengibaskan tangan. Dia merasa rugi jika harus terus berdebat dengan Jingga. Hal itu akan membuang-buang waktunya yang berharga. Padahal ada banyak hal yang harus dia kerjakan.Pasangan pengantin baru itu tiba di kediaman Ganendra tepat setengah jam kemudian. Tampak Sandra dengan wajah semringah, berdiri menyambut kedatangan pria tampan itu.Namun, senyuman Sandra seketika memudar saat melihat Ganendra tak sendirian. Kekasih gelapnya itu membawa seorang gadis yang sempat ditemui Sandra beberapa hari lalu."Selamat sore, Pak Ganendra. Anda sudah pulang? " sapa Sandra basa-basi sambil mencuri pandang ke arah Jingga."Tumben belum pulang?" sahut Ganendra."Saya sengaja menunggu anda datang. Pak Atmawirya mengirimkan beberapa dokumen yang harus anda pelajari," jawab Sandra."Taruh saja di mejaku. Aku masih ada sedikit urusan," titah Ganendra. Dia menoleh ke arah Jingga lalu merengkuh pinggangnya. "Ayo, Sayang," ujarnya lembut.Sandra semakin terkejut mendengar panggilan Ganendra terhadap Jingga. "Sayang?" ulangnya tanpa sadar."Ah, aku lupa mengenalkan padamu. Ini istriku. Kami baru saja menikah tadi." Ganendra tersenyum puas saat melihat wajah cantik Sandra yang memucat."Istri?" Sandra mencoba untuk tersenyum, meskipun hatinya remuk redam."Iya, kami sudah sah, baik secara agama maupun negara," jelas Ganendra enteng."Apa istri baru anda ini mengetahui bahwa anda sudah mempunyai seorang istri? Bagaimana tanggapan Nyonya Hilda nanti?" tanya Sandra dengan bibir bergetar menahan tangis."Sejak kapan kamu berani mencampuri urusan pribadiku, Sandra? Tugasmu hanyalah sebagai sekretaris pribadi ayahku," tegas Ganendra.Sementara Jingga semakin merasa tak nyaman dengan percakapan itu. Dia lebih banyak menunduk dan menghindari tatapan Sandra yang menusuk."Ah, iya. Saya lupa. Saya cuma seorang sekretaris." Sandra tersenyum getir. "Baiklah, kalau begitu. Selamat datang di rumah ini, Nyonya," ucapnya seraya mengulurkan tangan pada Jingga."Terima kasih." Ragu-ragu Jingga menerima uluran itu. Dia menjabat tangan Sandra dengan malu-malu."Ya, sudah. Kita masuk dulu." Ganendra mengurai jabat tangan kedua wanita itu, lalu menarik Jingga masuk ke rumah, meninggalkan Sandra yang hanya bisa terpaku di teras."Sepertinya dia tidak suka dengan berita pernikahan kita," celetuk Jingga pelan."Biar saja," sahut Ganendra acuh tak acuh. Dia tak melepaskan genggamannya sampai tiba di kamar yang berada di lantai dua."Mulai sekarang kamu tidur di sini, bersamaku," tegas Ganendra."Ehm ... tapi ...." Jingga mengigit bibir. Dia kerap melakukan itu saat gugup. "Bagaimana kalau nanti istri anda ....""Hilda tidak mempunyai hak apapun di rumah ini. Dia hanya istri siri. Sedangkan kamu ...." Ganendra menyentuh pucuk hidung Jingga menggunakan telunjuknya."Suka atau tidak, kita sudah menjadi suami istri yang sah." Ganendra menyeringai, membuat bulu kuduk Jingga meremang."Meskipun pernikahan kita hanya pura-pura, tapi aku penasaran dengan tujuan anda menikahiku. Bukankah anda sudah mempunyai seorang istri?" tanya Jingga hati-hati."Jangan banyak tanya. Jadilah gadis baik, seperti saat di apartemenku waktu itu." Ganendra mengedipkan sebelah mata dengan sorot nakal.Tak sabar dirinya ingin mengulang adegan percintaan yang begitu indah dan panas bersama Jingga.Akan tetapi, tepat pada saat Ganendra hendak melepaskan pakaian Jingga, pintu kamar yang memang belum terkunci, tiba-tiba terbuka.Hilda berdiri di ambang pintu dengan mata nyalang. "Apa-apaan ini, Ga!" sentaknya."Kok kamu ada di sini? Bukannya sekarang jadwal kamu tinggal di apartemenmu sendiri?" tanya Ganendra tak suka."Aku bisa berada di manapun yang aku mau!" sentak Hilda. "Siapa perempuan ini, Ga!" serunya sambil mengarahkan telunjuk pada Jingga."Oh, ya. Aku belum sempat mengenalkannya padamu." Ganendra kembali merengkuh tubuh ramping Jingga sambil merapikan baju gadis itu yang sedikit berantakan.Hilda memperhatikan itu semua dengan sorot penuh amarah. "Jangan katakan kalau dia simpananmu yang baru?" desis Hilda."Kamu salah, Hil. Dia bukan simpanan. Jingga adalah istriku yang sah. Kami menikah secara resmi di KUA tadi pagi," timpal Ganendra."Apa?" Hilda melotot tajam. "Lelucon macam apa ini?""Sayangnya, ini bukan lelucon," balas Ganendra. Dia kemudian beralih pada Jingga yang ketakutan. "Coba ambil buku nikah kita," suruh Ganendra seraya menunjuk ke tas selempang milik Jingga yang tergeletak di ranjang.Ragu-ragu Jingga mengikuti perintah Ganendra. Dia membuka tas dan mengeluarkan d
"Sa-saya ...." Jingga menelan ludah berkali-kali. Dia tak menyangka bahwa Hilda akan memberikan penawaran semenarik itu. Jika Jingga memiliki uang sebanyak yang Hilda sebutkan, tentu dia tak akan bersedia dinikahi oleh Ganendra. "Bagaimana cara saya meninggalkan Pak Ganendra?" tanyanya polos. "Gampang, kamu tinggal pergi dari sini," jawab Hilda enteng. "Lalu? Status pernikahan saya?" Jingga mulai goyah. "Tinggal ajukan cerai saja. Gampang, kan?" Hilda menjentikkan jari. "Andai semudah itu." Jingga mengempaskan napas pelan. "Apanya yang sulit? Ganendra bukan tipe pria yang berlutut memohon pada wanitanya agar tidak pergi. Dia cenderung cuek dan tidak peduli. Bagi Ganendra, wanita hanyalah mainan pelengkap dalam hidupnya," ungkap Hilda. "Masalahnya ...." Jingga menggigit bibir. Dia bimbang hendak mengatakan pada Hilda jika pernikahannya dengan Ganendra, hanyalah sandiwara semata. Entah apa yang akan Ganendra lakukan padanya j
Jingga terbangun saat ponselnya berdering nyaring. Gadis itu tak segera mengangkat telepon. Dia diam sejenak sambil mengumpulkan kesadaran.Jingga mengucek mata sebelum mengeja nama yang tertera di layar ponsel. "Om Lukman?" gumamnya heran.Buru- buru dia menerima panggilan itu. "Halo, ada apa, Om?" sapa Jingga."Tidak apa-apa, Nak. Om hanya ingin tahu kabarmu? Apa ... Pak Ganendra memperlakukanmu dengan baik?" tanya Lukman ragu-ragu.Perhatian yang cukup terlambat bagi Jingga. Namun demikian, dia tetap membalas hal itu dengan sikap yang cukup baik. "Seperti yang om katakan kemarin. Pak Ganendra pasti akan membahagiakan aku," jawab Jingga."Syukurlah. Om tak bisa membayangkan kalau dia menyakitimu. Om pasti akan merasa sangat bersalah," sesal Lukman."Jangan khawatir, aku ...." Jingga terpaksa menjeda kalimatnya saat menyadari bahwa Hilda sudah tidak ada di kamar Ganendra. "Nanti kutelepon lagi, Om." Jingga mengakhiri panggilan secara sepihak. Dia beringsut turun dari ranjang dan bern
"Le-lepaskan aku," pinta Jingga memelas. "Uang darimana itu, Sayang? Kamu belum menjawab pertanyaanku." Ganendra melepaskan dagu Jingga. Sebagai gantinya, pria berambut hitam legam itu beralih menangkup wajah cantik sang istri dan menariknya mendekat. "A-aku ...." Jingga memejamkan mata rapat-rapat. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi dia tak berani berbohong. Namun, di sisi lain dirinya tak berani menyebut nama Hilda. "Menurut perkiraanku, kamu masih baru di sini. Kegiatanmu hanya sebatas di kamar dan meja makan. Tidak mungkin bukan kamu mendapatkan uang ini dari pegawaiku?" terka Ganendra. 'Satu-satunya yang berani membujukmu untuk berbuat bodoh seperti ini hanyalah Hilda." Jingga menelan ludah. Dia sudah bertekad untuk tidak menyebutkan nama itu. Apalagi Hilda sudah berkali-kali menegaskan bahwa Jingga tidak pantas menjadi seorang pelakor. "Jingga ... kenapa diam? Hm?" Ganendra menyentuh bibir ranum gadis itu, lalu mengecupnya lembut. Bayangan percintaan mereka berdua, kembali
"Ga?" Hilda berusaha tertawa untuk menutupi ketakutannya. "Apa itu?" tanyanya pura-pura tak mengerti. "Seharusnya aku yang bertanya, apa ini?" Ganendra bangkit dari sofa, lalu berjalan mendekati Hilda. Dia menempelkan koper kecil yang cukup berat itu ke dada istri sirinya. "Kamu memberikan uang itu untuk Jingga, sementara uang itu kamu dapatkan dari aku. Lelucon macam apa ini, Hil?" geram Ganendra. "Oh, jadi gadis murahan itu yang membocorkan semua," desis Hilda. "Dia tidak membocorkan apapun!" sangkal Ganendra. "Aku yang terlalu pintar untuk membaca segalanya." Hilda terkesiap. Wajah cantiknya memucat. Rasa pening akibat minuman beralkohol yang dia tenggak saat berpesta dengan teman-temannya tadi, menghilang seketika. "Ga ...." Bibirnya bergetar saat menyebut nama sang suami. Sedangkan otaknya berputar keras untuk menutupi rencananya yang telah gagal. "Ga, kamu tahu, kan? Aku sangat mencintaimu. Aku tidak rela membagimu dengan siapapun," rayu Hilda. Luwes, jemari lentiknya berm
Kelopak mata Jingga bergerak pelan. Sayup-sayup pendengarannya menangkap percakapan antara Ganendra dengan seseorang. Meskipun berat, Jingga berusaha untuk membuka mata karena penasaran. Melalui pandangannya yang masih sedikit kabur, Jingga melihat Ganendra tengah berbincang dengan seseorang di ambang pintu. "Pak?" Refleks dirinya menyapa sang suami sambil bergegas turun dari ranjang. Ganendra dan Sandra menoleh secara bersamaan ke arah suara. "Akhirnya, bangun juga kamu," celetuk Ganendra. Sedangkan Sandra yang awalnya ceria, langsung menekuk muka. Akan tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Sandra sangat pandai mengendalikan diri sekaligus menguasai emosi. Sesaat kemudian, dia kembali memamerkan senyumnya yang menawan. "Selamat pagi, Nyonya Ganendra," sapa Sandra. Baru kali ini Jingga mendengar seseorang menyapanya dengan sebutan itu. Sontak, sapaan Sandra membuat wajahnya merah merona. "Se-selamat pagi," balas Jingga gugup. "Maaf kalau saya mengganggu pagi-pagi. Saya harus menj
Ganendra merasa sulit sekali untuk konsentrasi. Masih terus terngiang di dalam kepalanya tentang perkataan Sandra yang menuduh dirinya tengah jatuh cinta. "Ck!" Ganendra mengacak-acak rambutnya kasar. Dia lalu meraih segelas air yang memang sudah disediakan untuk setiap anggota rapat. Ganendra seolah tak memedulikan presentasi yang dipaparkan oleh anak buahnya di depan para komisaris. Dia meneguk air sampai habis dan meletakkan gelas yang sudah kosong ke meja. Tak berhenti sampai di situ, Ganendra malah mengetuk-ngetukkan gelas itu ke permukaan meja. Tentu saja hal itu mengganggu orang-orang di sekitarnya. Mereka mengarahkan tatapannya pada Ganendra, tak terkecuali Sandra yang duduk tepat di sampingnya. Wanita muda yang tampak sangat cantik dalam balutan blazer pink dan rok span ketat berwarna senada itu langsung berdehem. "Oh, maaf," ucap Ganendra menyadari kesalahannya. "Silakan lanjutkan." "Kamu kenapa sih, Ga?" bisik Sandra. Namun, Ganendra tak menjawab. Dia berusaha untuk ke
"Kok sudah pulang? Katanya anda mau pulang sore?" tanya Jingga."Rapat sudah selesai. Aku tidak ingin berlama-lama di kantor," jawab Ganendra ketus seraya melayangkan tatapan tajam pada Jingga."Berarti ... apa kita jadi jalan-jalan?" tanya Jingga lagi, masih dengan gayanya yang polos."Itu pasti. Aku sudah bosan melihatmu memakai bajuku terus!" sahut Ganendra."Ehm ...." Anggada mencoba untuk menyela pembicaraan. "Pak," sapanya."Kamu belum pulang juga? Apa papaku yang menyuruhmu kemari?" Ganendra mengalihkan perhatiannya pada Anggada."Pak Atmawirya menyuruh saya mengambil beberapa dokumen dari ruang kerja, Pak," jelas Anggada sambil menunjuk ke arah tas kerjanya yang tergeletak di sofa ruang tamu."Ya, sudah kalau begitu. Tunggu apalagi?" ujar Ganendra."Saya ingin mengajak ...." Anggada ragu mengarahkan telunjuknya pada Jingga."Kamu mau mengajak istri saya?" tanya Ganendra dengan nada tinggi."Istri?" Anggada terbelalak tak percaya. "Dia istri bapak?""Iya, apa ada yang salah?" G
"Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny
"Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l
Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude
Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t
"Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya
"Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah
Semalam sudah Jingga menginap di rumah sendiri. Kini, dia dapat bernapas lega karena tak perlu sekamar lagi dengan Armas. Pria tampan itu menempati kamar tamu bersama Elio.Keesokan harinya, Jingga mengajak Armas bertemu dengan Echa dan Marini di rumah mereka. Tak terkira betapa senangnya Marini melihat kedatangan Jingga."Ya, ampun. Kamu makin cantik saja, Ngga!" sanjung Echa takjub."Ini Sophia, ya? Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Biasanya cuma lewat panggilan video!" ujar Marini antusias seraya menggendong balita cantik itu."Dan ini Elio. Anak tampan yang selalu mengganggu panggilan video kalian." Jingga mendorong lembut tubuh Elio agar semakin mendekat pada Echa."Akhirnya, aku bisa mencubit pipimu, ya!" seru Echa sembari mengusap gemas pipi Elio, lalu mencubitnya pelan."Ini Papa. Dia juga sering lewat di sebelah Tante Jingga setiap kali Tante sedang menelepon. Papa suka penasaran dan sering cemburu," celoteh Elio yang begitu lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia ta
Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang
Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b