"Kok kamu ada di sini? Bukannya sekarang jadwal kamu tinggal di apartemenmu sendiri?" tanya Ganendra tak suka.
"Aku bisa berada di manapun yang aku mau!" sentak Hilda. "Siapa perempuan ini, Ga!" serunya sambil mengarahkan telunjuk pada Jingga."Oh, ya. Aku belum sempat mengenalkannya padamu." Ganendra kembali merengkuh tubuh ramping Jingga sambil merapikan baju gadis itu yang sedikit berantakan.Hilda memperhatikan itu semua dengan sorot penuh amarah. "Jangan katakan kalau dia simpananmu yang baru?" desis Hilda."Kamu salah, Hil. Dia bukan simpanan. Jingga adalah istriku yang sah. Kami menikah secara resmi di KUA tadi pagi," timpal Ganendra."Apa?" Hilda melotot tajam. "Lelucon macam apa ini?""Sayangnya, ini bukan lelucon," balas Ganendra. Dia kemudian beralih pada Jingga yang ketakutan. "Coba ambil buku nikah kita," suruh Ganendra seraya menunjuk ke tas selempang milik Jingga yang tergeletak di ranjang.Ragu-ragu Jingga mengikuti perintah Ganendra. Dia membuka tas dan mengeluarkan dua buah buku nikah. Jingga lalu memberikannya pada Ganendra."Lihat ini, Hil. Sah," tegas Ganendra sambil menyeringai puas. Dia menyodorkan buku nikah itu tepat ke muka Hilda."Brengsek kamu, Ga!" Hilda mencoba merebut buku nikah suaminya. Namun, Ganendra bergerak lebih cepat. Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, sehingga tak tergapai oleh Hilda."Kamu memang licik!" Hilda terpantik emosi. Dia memukuli dada bidang Ganendra dengan begitu keras.Jingga amat ketakutan melihat hal itu. Perlahan, dia beringsut menjauh."Aku bisa menebak rencana busukmu, Ga! Kamu ingin supaya aku menuntut cerai darimu, kan?" terka Hilda. Nada bicaranya teramat nyaring."Asal kamu tahu, ya! Aku tidak akan ke mana-mana! Aku akan tetap di sini!" Hilda menghentakkan kaki, lalu duduk di tepi ranjang. Dia melipat kedua tangannya di dada sambil mengamati Jingga dengan tatapan yang sama sekali tak bersahabat. Matanya menyiratkan amarah yang sedemikian besar saat memperhatikan Jingga dari ujung kepala sampai kaki."Darimana kamu mengambil gadis murahan ini?" ejek Hilda."Jaga mulutmu, Hilda! Dia bukan gadis murahan!" hardik Ganendra."Oh, ya? Aku yakin, dia adalah salah seorang gadis yang kamu beli keperawanannya. Jangan dikira aku tidak tahu hobimu yang satu itu," cibir Hilda pongah."Kalau iya, memangnya kenapa?" tantang Ganendra."Aku percaya bahwa ini semua hanyalah sandiwaramu supaya aku tidak bisa menuntut macam-macam padamu. Iya, kan?" tuding Hilda. "Kamu ingin membungkamku agar aku tidak meminta segala sesuatu yang seharusnya menjadi hakku!""Hak darimana?" Ganendra tertawa mengejek. "Pernikahan kita tidak terikat secara hukum. Kamu tidak akan bisa meminta hak apapun dariku," tegasnya.Wajah cantik Hilda semakin merah padam. Dia berdiri dan mengepalkan tangan erat-erat sambil membayangkan meninju rahang Ganendra, walaupun dia tahu bahwa dirinya tidak akan pernah berani melakukan hal itu. "Asal kamu tahu, ya! Aku tidak akan kalah!" ujar Hilda sembari menepuk dada."Aku akan tetap di sini sampai kapanpun. Aku tidak mau dicerai, apalagi diusir. Jadi, beritahukan pada istrimu, jika mulai sekarang, dia harus terbiasa dengan kehadiranku," tegas Hilda jumawa."Tidak masalah. Kamu mau ada di manapun, itu sama sekali bukan urusanku," sahut Ganendra dengan entengnya."Oke! Kalau begitu, aku akan beristirahat di ranjang ini, seperti biasa." Hilda melepas heels, lalu mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang mewah berukuran besar itu.
"Eit, tidak semudah itu." Ganendra menarik kedua pergelangan kaki Hilda, sampai wanita itu terseret turun dari ranjang. "Aku dan Jingga tidur di sini, kamu ambil tempat di sana saja," tunjuk Ganendra ke arah sofa bed yang berada di salah satu sisi ruangan kamar.
"Apa!" Kemarahan Hilda semakin menjadi."Jingga lebih tinggi kedudukannya daripada kamu, Hil," ujar Ganendra seraya menahan tawa. Baginya, suatu hiburan yang menyenangkan saat berhasil membuat Hilda marah sekaligus tertekan seperti saat itu."Kamu ...." Kata-kata Hilda terjeda ketika tiba-tiba terdengar ketukan kencang di pintu.
Ganendra bergegas membuka pintu dan mendapati Sandra berdiri sambil memasang raut was-was. "Kamu masih di sini? Kenapa belum pulang?" tanyanya keheranan.
"Maaf, Pak. Pak Atmawirya menunggu anda untuk live meeting mendadak, bersama beberapa orang komisaris," jawab Sandra.
"Apa ada masalah?" Ganendra memicingkan matanya curiga.
"Saya kurang tahu. Ada baiknya anda segera datang ke ruang kerja. Saya sudah menyambungkan panggilan live di laptop," tutur Sandra. Sesekali dia melihat ke arah Jingga yang berdiri tak jauh dari Hilda.
Seulas senyuman samar tersungging di bibir Sandra. Dia sempat mengangguk pada dua wanita yang berada di belakang Ganendra sebelum berlalu.
"Aku ke ruang kerja dulu. Kalian baik-baik di sini, ya. Jangan berkelahi," kelakar Ganendra seraya tertawa pelan. Dia berjalan gagah keluar kamar, meninggalkan Hilda dan Jingga berdua. Ganendra sengaja menutup pintu rapat-rapat, dan mengunci dua wanita cantik itu di dalam kamarnya.
Sementara itu, Hilda terus melayangkan sorot permusuhan pada Jingga. Dia tak henti-hentinya mengamati gadis yang tampak jauh lebih muda darinya itu. "Umur berapa kamu?" tanya Hilda ketus.
"Dua puluh satu, Kak," jawab Jingga sembari menunduk.
"Ya, ampun. Masih ingusan," ejek Hilda. "Kenapa kamu mau jadi perusak rumah tangga orang? Apa yang Gaga janjikan padamu?"
Pertanyaan Hilda seolah anak panah yang tepat menghujam ke jantung Jingga. Dia mendongak dan memandang Hilda dengan mata berkaca-kaca. "Sa-saya tidak bermaksud merusak rumah tangga siapapun," sesal Jingga.
"Nyatanya kamu menghancurkan hubunganku dengan Ganendra," timpal Hilda, masih dengan sikapnya yang sinis.
"Maafkan saya," ucap Jingga lirih. "Saya tidak punya pilihan."
"Berapa yang kamu minta?" tanya Hilda lagi.
"Apa?" Jingga menggeleng tak mengerti.
"Aku yakin kamu menerima lamaran Ganendra karena uang. Iya, kan?" terka Hilda.
Jingga tak dapat mengelak. Nyatanya, dia bersedia dinikahi pria yang baru saja dikenalnya, demi menebus utang-utang sang paman.
"Bagaimana kalau kuberi lima ratus juta, tunai!" tawar Hilda tiba-tiba.
Mata indah Jingga membulat sempurna. "Lima ratus juta?" ulangnya.
"Iya, tunai! Sekarang juga, asalkan kamu bersedia meninggalkan Ganendra," cetus Hilda.
"Sa-saya ...." Jingga menelan ludah berkali-kali. Dia tak menyangka bahwa Hilda akan memberikan penawaran semenarik itu. Jika Jingga memiliki uang sebanyak yang Hilda sebutkan, tentu dia tak akan bersedia dinikahi oleh Ganendra. "Bagaimana cara saya meninggalkan Pak Ganendra?" tanyanya polos. "Gampang, kamu tinggal pergi dari sini," jawab Hilda enteng. "Lalu? Status pernikahan saya?" Jingga mulai goyah. "Tinggal ajukan cerai saja. Gampang, kan?" Hilda menjentikkan jari. "Andai semudah itu." Jingga mengempaskan napas pelan. "Apanya yang sulit? Ganendra bukan tipe pria yang berlutut memohon pada wanitanya agar tidak pergi. Dia cenderung cuek dan tidak peduli. Bagi Ganendra, wanita hanyalah mainan pelengkap dalam hidupnya," ungkap Hilda. "Masalahnya ...." Jingga menggigit bibir. Dia bimbang hendak mengatakan pada Hilda jika pernikahannya dengan Ganendra, hanyalah sandiwara semata. Entah apa yang akan Ganendra lakukan padanya j
Jingga terbangun saat ponselnya berdering nyaring. Gadis itu tak segera mengangkat telepon. Dia diam sejenak sambil mengumpulkan kesadaran.Jingga mengucek mata sebelum mengeja nama yang tertera di layar ponsel. "Om Lukman?" gumamnya heran.Buru- buru dia menerima panggilan itu. "Halo, ada apa, Om?" sapa Jingga."Tidak apa-apa, Nak. Om hanya ingin tahu kabarmu? Apa ... Pak Ganendra memperlakukanmu dengan baik?" tanya Lukman ragu-ragu.Perhatian yang cukup terlambat bagi Jingga. Namun demikian, dia tetap membalas hal itu dengan sikap yang cukup baik. "Seperti yang om katakan kemarin. Pak Ganendra pasti akan membahagiakan aku," jawab Jingga."Syukurlah. Om tak bisa membayangkan kalau dia menyakitimu. Om pasti akan merasa sangat bersalah," sesal Lukman."Jangan khawatir, aku ...." Jingga terpaksa menjeda kalimatnya saat menyadari bahwa Hilda sudah tidak ada di kamar Ganendra. "Nanti kutelepon lagi, Om." Jingga mengakhiri panggilan secara sepihak. Dia beringsut turun dari ranjang dan bern
"Le-lepaskan aku," pinta Jingga memelas. "Uang darimana itu, Sayang? Kamu belum menjawab pertanyaanku." Ganendra melepaskan dagu Jingga. Sebagai gantinya, pria berambut hitam legam itu beralih menangkup wajah cantik sang istri dan menariknya mendekat. "A-aku ...." Jingga memejamkan mata rapat-rapat. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi dia tak berani berbohong. Namun, di sisi lain dirinya tak berani menyebut nama Hilda. "Menurut perkiraanku, kamu masih baru di sini. Kegiatanmu hanya sebatas di kamar dan meja makan. Tidak mungkin bukan kamu mendapatkan uang ini dari pegawaiku?" terka Ganendra. 'Satu-satunya yang berani membujukmu untuk berbuat bodoh seperti ini hanyalah Hilda." Jingga menelan ludah. Dia sudah bertekad untuk tidak menyebutkan nama itu. Apalagi Hilda sudah berkali-kali menegaskan bahwa Jingga tidak pantas menjadi seorang pelakor. "Jingga ... kenapa diam? Hm?" Ganendra menyentuh bibir ranum gadis itu, lalu mengecupnya lembut. Bayangan percintaan mereka berdua, kembali
"Ga?" Hilda berusaha tertawa untuk menutupi ketakutannya. "Apa itu?" tanyanya pura-pura tak mengerti. "Seharusnya aku yang bertanya, apa ini?" Ganendra bangkit dari sofa, lalu berjalan mendekati Hilda. Dia menempelkan koper kecil yang cukup berat itu ke dada istri sirinya. "Kamu memberikan uang itu untuk Jingga, sementara uang itu kamu dapatkan dari aku. Lelucon macam apa ini, Hil?" geram Ganendra. "Oh, jadi gadis murahan itu yang membocorkan semua," desis Hilda. "Dia tidak membocorkan apapun!" sangkal Ganendra. "Aku yang terlalu pintar untuk membaca segalanya." Hilda terkesiap. Wajah cantiknya memucat. Rasa pening akibat minuman beralkohol yang dia tenggak saat berpesta dengan teman-temannya tadi, menghilang seketika. "Ga ...." Bibirnya bergetar saat menyebut nama sang suami. Sedangkan otaknya berputar keras untuk menutupi rencananya yang telah gagal. "Ga, kamu tahu, kan? Aku sangat mencintaimu. Aku tidak rela membagimu dengan siapapun," rayu Hilda. Luwes, jemari lentiknya berm
Kelopak mata Jingga bergerak pelan. Sayup-sayup pendengarannya menangkap percakapan antara Ganendra dengan seseorang. Meskipun berat, Jingga berusaha untuk membuka mata karena penasaran. Melalui pandangannya yang masih sedikit kabur, Jingga melihat Ganendra tengah berbincang dengan seseorang di ambang pintu. "Pak?" Refleks dirinya menyapa sang suami sambil bergegas turun dari ranjang. Ganendra dan Sandra menoleh secara bersamaan ke arah suara. "Akhirnya, bangun juga kamu," celetuk Ganendra. Sedangkan Sandra yang awalnya ceria, langsung menekuk muka. Akan tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Sandra sangat pandai mengendalikan diri sekaligus menguasai emosi. Sesaat kemudian, dia kembali memamerkan senyumnya yang menawan. "Selamat pagi, Nyonya Ganendra," sapa Sandra. Baru kali ini Jingga mendengar seseorang menyapanya dengan sebutan itu. Sontak, sapaan Sandra membuat wajahnya merah merona. "Se-selamat pagi," balas Jingga gugup. "Maaf kalau saya mengganggu pagi-pagi. Saya harus menj
Ganendra merasa sulit sekali untuk konsentrasi. Masih terus terngiang di dalam kepalanya tentang perkataan Sandra yang menuduh dirinya tengah jatuh cinta. "Ck!" Ganendra mengacak-acak rambutnya kasar. Dia lalu meraih segelas air yang memang sudah disediakan untuk setiap anggota rapat. Ganendra seolah tak memedulikan presentasi yang dipaparkan oleh anak buahnya di depan para komisaris. Dia meneguk air sampai habis dan meletakkan gelas yang sudah kosong ke meja. Tak berhenti sampai di situ, Ganendra malah mengetuk-ngetukkan gelas itu ke permukaan meja. Tentu saja hal itu mengganggu orang-orang di sekitarnya. Mereka mengarahkan tatapannya pada Ganendra, tak terkecuali Sandra yang duduk tepat di sampingnya. Wanita muda yang tampak sangat cantik dalam balutan blazer pink dan rok span ketat berwarna senada itu langsung berdehem. "Oh, maaf," ucap Ganendra menyadari kesalahannya. "Silakan lanjutkan." "Kamu kenapa sih, Ga?" bisik Sandra. Namun, Ganendra tak menjawab. Dia berusaha untuk ke
"Kok sudah pulang? Katanya anda mau pulang sore?" tanya Jingga."Rapat sudah selesai. Aku tidak ingin berlama-lama di kantor," jawab Ganendra ketus seraya melayangkan tatapan tajam pada Jingga."Berarti ... apa kita jadi jalan-jalan?" tanya Jingga lagi, masih dengan gayanya yang polos."Itu pasti. Aku sudah bosan melihatmu memakai bajuku terus!" sahut Ganendra."Ehm ...." Anggada mencoba untuk menyela pembicaraan. "Pak," sapanya."Kamu belum pulang juga? Apa papaku yang menyuruhmu kemari?" Ganendra mengalihkan perhatiannya pada Anggada."Pak Atmawirya menyuruh saya mengambil beberapa dokumen dari ruang kerja, Pak," jelas Anggada sambil menunjuk ke arah tas kerjanya yang tergeletak di sofa ruang tamu."Ya, sudah kalau begitu. Tunggu apalagi?" ujar Ganendra."Saya ingin mengajak ...." Anggada ragu mengarahkan telunjuknya pada Jingga."Kamu mau mengajak istri saya?" tanya Ganendra dengan nada tinggi."Istri?" Anggada terbelalak tak percaya. "Dia istri bapak?""Iya, apa ada yang salah?" G
"Kamu mabuk lagi, ya?" Ganendra menanggapi santai amarah Hilda. Lain halnya dengan Jingga yang tampak ketakutan. Tanpa sadar dirinya meremas lengan kekar Ganendra, membuat konsentrasi pria itu sedikit terganggu. "Sandra sudah menceritakan semua! Dia bilang kalau kamu hendak mengadakan resepsi besar-besaran! Keterlaluan kamu, Ga! Memangnya siapa Jingga sampai-sampai kamu istimewakan melebihi aku!" cerca Hilda tanpa jeda. "Harus berapa kali kujelaskan padamu tentang siapa Jingga," timpal Ganendra malas. "Aku yang lebih dulu masuk ke dalam hidupmu, Ga!" seru Hilda semakin tak terkendali. "Masuk secara paksa," ralat Ganendra. "Masa kamu lupa, Hil. Papa yang begitu bersemangat menjodohkan kita, dan kenyataannya kita tidak cocok." "Kurang ajar!" umpat Hilda. "Aku tidak akan menyetujui rencanamu, Ga! Akan kugagalkan pesta kalian! Lihat saja nanti!" ancamnya sebelum mengakhiri panggilan secara sepihak. "Bagaimana ini, Pak
"Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny
"Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l
Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude
Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t
"Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya
"Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah
Semalam sudah Jingga menginap di rumah sendiri. Kini, dia dapat bernapas lega karena tak perlu sekamar lagi dengan Armas. Pria tampan itu menempati kamar tamu bersama Elio.Keesokan harinya, Jingga mengajak Armas bertemu dengan Echa dan Marini di rumah mereka. Tak terkira betapa senangnya Marini melihat kedatangan Jingga."Ya, ampun. Kamu makin cantik saja, Ngga!" sanjung Echa takjub."Ini Sophia, ya? Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Biasanya cuma lewat panggilan video!" ujar Marini antusias seraya menggendong balita cantik itu."Dan ini Elio. Anak tampan yang selalu mengganggu panggilan video kalian." Jingga mendorong lembut tubuh Elio agar semakin mendekat pada Echa."Akhirnya, aku bisa mencubit pipimu, ya!" seru Echa sembari mengusap gemas pipi Elio, lalu mencubitnya pelan."Ini Papa. Dia juga sering lewat di sebelah Tante Jingga setiap kali Tante sedang menelepon. Papa suka penasaran dan sering cemburu," celoteh Elio yang begitu lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia ta
Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang
Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b