Terlambat bagi Amaya untuk mencegahnya. Sedan milik Kelvin telah melewati pintu gerbang, membuat mahasiswa yang menyadari kedatangannya menepi. Meski Amaya yakin ia tak terlihat dari luar, ia tetap menunduk menyembunyikan wajahnya. Pemandangan yang baru dijumpai oleh Amaya adalah, mereka—para mahasiswa—rupanya cukup antusias dengan kedatangan Kelvin. Mata mengikuti ke mana mobil bergerak, beberapa menunjuk dengan gerak bibir yang ditangkap Amaya tengah mengatakan, ‘Pak Kelvin datang.’ Mobil berhenti di parkiran, pada tempat yang dikhususkan untuk para dosen. Yang untungnya pagi ini tak ada orang lain yang berada di sana. “Sudah sampai,” ucap Kelvin seraya membuka seat belt yang menahan tubuhnya. “Saya nggak mau bareng lagi loh kalau begini,” protes Amaya. “Kok gitu? Kenapa?” “Ini kebetulan tempat parkirnya lagi sepi, gimana kalau ramai coba?” tanya balik Amaya. “Nggak ada masalah antara ramai atau sepi,” jawab Kelvin tanpa beban. “Lagi pula mereka ‘kan sudah nggak aneh dengan k
“Ada gila-gilanya nih cewek!” seru Alin saat mendengar Caecil yang baru saja menyebut Amaya sebagai seorang pembunuh. “Jaga omonganmu, Kak Caecil!” “Emang bener, ‘kan?” Caecil justru mengangkat dagunya saat sekali lagi memandang Amaya. “Kalau bukan gara-gara dia nggak bisa diatur, papanya nggak akan tiba-tiba sakit dan meninggal!” Amaya mengepalkan kedua tangannya. Bibirnya sangat ingin membantah, ingin ia balas ucapan-ucapan Caecil yang menyakitkan itu. Tetapi ia tahu jika hal itu ia lakukan yang terjadi justru ia akan menangis. Ia tak ingin menumpahkan air matanya di sini meski retakan di dalam hatinya tumbuh secara masif. Melihat Amaya yang hanya terdiam dengan rahang kecilnya yang menegang, Alin memilih untuk mengajaknya pergi dari sana. “Ayo pergi dari sini, May!” ajak Alin, meraih tangan Amaya dan menariknya menjauh melewati Caecil. Mahasiswa yang semula berkerumun menyaksikan mereka menyisih saat mereka lewat, memberi jalan membiarkan keduanya pergi dari lorong. Caecil bi
“Pak Kelvin mau ngajakin saya ke mana?” tanya Amaya saat ia berjalan menuruni tangga bersama dengannya. “Nanti kamu juga akan tahu,” jawab Kelvin, sekilas menoleh pada Amaya. Seulas senyum yang membawa serta lesung pipi itu terlihat. “B-baiklah.” Tiba di ujung anak tangga, mereka melihat Bi Mara, wanita paruh baya itu membawa sekeranjang pakaian yang akan ia naikkan ke kamar atas. “Mau kencan, Pak Kelvin, Non Amaya?” sapanya tak bisa menahan senyum. “Iya, Bi Mara,” jawab Kelvin lebih dulu. “Titip rumah sebentar ya?” “Baik.” Mereka meninggalkan rumah setelah itu. Amaya duduk di samping Kelvin yang sibuk dengan kemudi mobil, melaju membelah jalan raya yang rasanya lebih lengang ketimbang hari-hari biasa. “Apa Pak Kelvin tahu apa nama pohon yang bunganya mekar di pinggir jalan itu?” tanya Amaya membuka percakapan. “Tabebuya,” jawabnya. “Cantik banget, apalagi yang warna pink.” “Kamu mau punya juga di rumah kita?” “Memangnya ada yang jual yang ukurannya udah besar begitu?” tan
“Menurut saya—eh—jatuh!” Amaya terkejut karena album yang ada di tangannya tiba-tiba terjatuh.Mungkin karena terlalu lama memandangi Kelvin sehingga ia mengabaikan apa yang sedang ia lakukan sebelumnya. Otot di tangannya melemah dan membuat album tersebut jatuh.Amaya menunduk dengan cepat, nyaris memungut benda berukuran tebal itu sebelum tangan besar Kelvin lebih dulu meraihnya.“Lihatlah besok lagi,” ucap Kelvin. Pria itu turun dari ranjang, memandang Amaya yang mengangguk tak membantahnya, “I-iya,” jawabnya.“Kalau nggak ada hal lain yang mau kamu kerjakan, kamu bisa tidur, Amaya.”“Iya, terima kasih.”Amaya melihat punggungnya menjauh dan menghilang saat Kelvin memasuki ruang ganti. Memindah album itu ke sana agar Amaya melihatnya besok lagi.Ia pun menarik selimut sehingga menutup sebagian tubuhnya. Matanya masih mengarah pada Kelvin, menunggu kehadiran pria itu yang membuat jantungnya semakin berpacu setiap kali Kelvin mematikan lampu dan menggantinya dengan cahaya yang lebih
“J-jadi pacarnya Kak Ziel?” ulang Amaya setelah mendengar syarat yang dikatakan oleh Ziel. Pemuda itu menganggukkan kepalanya, “Iya, Amaya,” jawabnya. “Aku mau bantu kamu dan akan kasih kesaksian biar kamu nggak punya gosip lagi di kampus ini, tapi kamu harus jadi pacarku.” Amaya meremas jari-jarinya, rasanya kebas. Batinnya berucap, ‘Ternyata dia nggak setulus yang aku pikirkan.’ “A-apa nggak ada cara lain?” tanya Amaya setelah beberapa saat keheningan. “Itu udah yang paling mudah loh, lagian aku suka sama kamu kok. Nggak akan ada yang keberatan kalau kita pacaran.” Amaya kembali terdiam. Tapi seperti tahu keresahan yang tengah ia pikirkan, Ziel mengetuk meja yang ada di hadapan mereka sebanyak beberapa kali sehingga Amaya kembali mengangkat wajahnya. “Nggak perlu kamu jawab sekarang,” kata Ziel. “Kamu bisa pikirin dulu kok.” Mereka mendengar suara ketukan di pintu yang membuat keduanya menoleh ke sana. Ada mahasiswa lain yang masuk—teman seangkatan Ziel—yang dari tatapannya te
“P-Pak Kelvin betulan jangan kepancing loh,” peringat Amaya sekali lagi. “Iya,” jawabnya masih sama tenang. Ia menutup bukunya setelah menyisipkan pembatasnya lalu meletakkannya di atas meja.Ia kembali menoleh pada Amaya dengan senyumnya yang terlihat manis saat mengatakan, “Terima kasih karena kamu udah mau bilang ini ke saya.”“Karena saya merasa kalau disembunyiin tuh agak ... mengganggu.”“Padahal penyebab utamanya juga bukan dari kamu tapi dari si Ziel itu,” kata Kelvin. Mendengar penekanan dari cara Kelvin menyebut ‘Ziel’ membuat Amaya sekali lagi mencegahnya agar tidak kesal. “Tadi udah janji buat nggak marah loh. Tapi barusan nyebut nama ‘Ziel’ kayak mau ngajakin sparing.”Kelvin tertawa lirih mendengarnya, “Nggak, serius,” katanya. “Kamu udah selesai bikin tugasnya?”“Udah.”“Mau makan sekarang?” ajak Kelvin seraya bangun dari duduknya. “Tadi saya minta Bi Mara untuk bikinkan ayam goreng, kamu suka ‘kan sama ayam goreng?”Mendengar kata ‘ayam goreng’ membuat kedua telinga
“I-istri?” ulang Ziel seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Kelvin. “Iya,” jawab Kelvin tegas. “Amaya adalah istri saya, sah secara agama dan negara.” “Pak Kelvin lagi bercanda?” “Apa kira-kira saya datang dan ingin menemuimu pagi-pagi begini cumaa buat ngajakin kamu bercanda?” tanya Kelvin balik. “Kalau benar, apa itu nggak menyalahi aturan?” cecarnya. “Apa ini bisa dibenarkan, dosen menikahi mahasiswanya sendiri? Bapak nggak takut kena skandal?” “Saya melakukan hal ini bukan tanpa pertimbangan.” Kelvin mengangkat dagunya dengan penuh percaya diri. “Lagian skandal mana yang kamu omongin itu? Saya rasa semua orang di sini tahu kalau saya sama Amaya punya hubungan khusus. Dan saya belum pernah dengar kalau mereka nggak setuju atau menentang kami, mereka baik-baik saja—ahh ....” Kelvin tertawa lirih saat mengambil jeda. “Kecuali barisan sakit hati yang saya rasa nggak perlu saya sebut contohnya.” Kelvin memindai Ziel dari bawah ke atas dan berhenti untuk mengu
"Hubungan terlarang seperti apa yang kamu bicarakan?" tanya Kelvin dengan terus melangkah ke depan.Meski mungkin di sekitar ia dan Rama tak ada yang bisa mendengar dengan begitu jelas karena nada bicara Kelvin yang lirih, tapi siapapun pasti bisa melihat wajah pemuda itu yang berubah pucat. "Daripada cuma menyebut 'hubungan terlarang' begitu, sebaiknya kamu ngomong yang jelas ke saya.""S-saya hanya b-bercanda, Pak Kelvin," jawab Rama. Setelah mendengar itu Kelvin pun berhenti, sehingga Rama juga melakukan hal yang sama. "S-saya ngomong begitu k-karena B-bapak selalu ada di sekitarnya Amaya, saya ng-nggak punya maksud lain kok," lanjutnya terbata-bata.Kelvin tampak tertawa, samar hampir tak terdengar, ia mengarahkan tangannya ke depan, menyentuh kerah dari kaos yang dikenakan oleh Rama, merapikannya seraya berujar, "Aah, jadi begitu caramu melihat orang lain?" tanyanya. "Kamu menyimpulkan sekehendak hatimu begitu?""Maaf." Rama menundukkan kepalanya, pupil matanya bergerak gugup,
Amaya merasa hatinya sedang tak karuan sekarang melihat Kelvin yang menjatuhkan air mata. Saat manik mereka bertemu, Amaya melihat betapa pria itu sangat tulus meletakkan seluruh perasaannya dan seolah menunggu agar hari ini tiba.Gafi tersenyum saat memandang keduanya bergantian sebelum ia memindah tangan Amaya pada Kelvin.Pembawa acara meminta agar Gafi kemudian memberikan ruang dan tempat untuk kedua pengantin yang tengah berbahagia.Amaya tak bisa memalingkan wajahnya, ia terpesona, terperangkap pada Kelvin saat pria itu terus menatapnya dengan teduh.Gerakan bibirnya yang tanpa suara sedang mengatakan, ‘Cantik sekali.’Dan tentu saja itu diketahui oleh semua orang yang hadir di sana dan itu membuat tubuh Amaya meremang.Apalagi saat pembawa acara mengatakan, “Bapak-Ibu tamu undangan sekalian, sepertinya kedua mempelai kita ini sudah tidak sabar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan selama ini,” ujarnya. “Mari kita dengarkan terlebih dahulu sepatah dua patah kata dari masing-
Kelvin menghela dalam napasnya saat ia menunduk, memastikan bahwa groom boutonniere yang tersemat di dadanya benar dalam keadaan yang rapi.“Vin?” panggil sebuah suara yang tak asing di telinganya sehingga ia mengangkat kepalanya dengan cepat.Ia menjumpai Gafi yang muncul di dekat pintu berdaun dua di dalam kamar hotelnya entah sejak kapan.Kelvin yang melamun, atau memang kedatangannya yang memang tanpa suara?Entahlah ... yang jelas ia memang ada di sini bersamanya, dan mungkin memang sengaja menemuinya.“Kak Gaf?” balasnya seraya menunjukkan senyuman.“Gugup?”“Banget,” jawabnya. Tak menemukan kata lain untuk menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang ini selain gugup.Gugup untuk bertemu Amaya, gugup untuk melihatnya dalam balutan gaun pengantinnya yang cantik.Gugup, karena ia bisa saja tak bisa menahan diri nanti dan mencium Amaya secara tiba-tiba.“Setelah ini, aku akan membawa Amaya buat ketemu sama kamu, Vin,” ucap Gafi mula-mula. “Aku sudah pernah bilang ini ke kamu. Tapi
“Apa ini, May?” tanya Randy sembari mengambil salah satu kotak susu yang ada di hadapan Amaya.Karena Amaya terlambat mencegahnya, dan karena memang gerakan Randy sangat cepat, Amaya akhirnya membiarkannya saja.“Kok ... susu ibu hamil?” tanya Alin dengan nada bicara yang lirih. Yang barangkali hanya mereka saja yang bisa mendengarnya.“Kita mau dapat keponakan?” sahut Naira yang disambut anggukan dari Amaya.“Alasan kenapa resepsinya dimajuin tuh karena itu,” aku Amaya dengan jujur.Randy hampir melompat kesenangan jika Alin tak mencegahnya.Ia juga hampir berteriak jika Naira tak mengisyaratkan agar ia sebaiknya diam dan tetap menjaga mulutnya itu terkunci rapat."Demi apa, demi apa kita bakalan punya keponakan?" Heboh, seperti biasanya dan Amaya dibuat terharu dengan mereka yang turut senang dengan kabar yang ia berikan ini."Maaay! Kamu bakalan jadi hot mommy dong?" Naira sepertinya sudah membayangkan terlalu jauh.Mereka saling pandang untuk menyetujui ungkapan itu sebelum kompa
Mengetahui bahwa sorakan itu ditujukan untuknya, Amaya dengan cepat menurunkan ponselnya. Ia menggigit bibirnya, malu karena Kelvin benar-benar tak sungkan lagi menunjukkan hubungan mereka yang telah menjadi rahasia umum bahwa mereka memang menikah. Antusias itu rupanya menjadi bahan bakar bagi semua mahasiswa untuk mengikuti bincang santai tersebut. Pembicara yang dimaksudkan Kelvin lalu datang, beliau adalah seorang pengusaha yang mengatakan perjalanan bisnisnya lebih dari dua puluh tahun untuk bisa berjaya hingga hari ini yang salah satu landasannya adalah stabilitas sistem keuangan. Barangkali bukan hanya pembicaranya saja yang memang sudah berpengalaman, tapi bagaimana cara hostnya memancing agar beliau menyampaikan informasi, sepak terjangnya dalam dunia bisnis. Aah ... atau ini hanya perasaan Amaya saja yang sangat senang bisa melihat Kelvin seperti itu? Mungkin tahun ini adalah gilirannya menjadi host karena tahun sebelumnya Lucy lah yang bertugas. Dan mendengar dari
Amaya mengangguk saat pipinya terasa panas. "Padahal mau kasih kejutan nanti pas kita bahas soal resepsi yang mau dibikin maju," jawab Amaya. "Tapi si bocil Arsen ini malah tahu duluan." Amaya memandang pada Arsen yang ada di pangkuan Kelvin dan tersenyum menunjukkan barisan giginya. "Dari mana kamu tahu kalau Aunty May mau punya baby, Sen?" Kali ini Kelvin yang bertanya. "Cuma asal ngomong aja, Uncle Vin," jawabnya. "Soalnya tadi Arsen lihat Aunty May ngusap perut, persis kayak mamanya teman Arsen yang juga lagi hamil." Ia sekali lagi meringis sementara kabar gembira itu tentu saja disambut dengan senang hati oleh Gafi dan Serena. "Selamat ya ...." kata Serena. Amaya memandang Gafi yang hanya terdiam. Mata mereka bertemu, di kedua sudut netra kakak lelakinya itu, Amaya bisa melihat butiran bening yang barangkali sedang sekuat tenaga coba ia tahan agar tak jatuh. Melihatnya seperti itu membuat Amaya kembali terenyuh. Matanya bicara lebih banyak bahwa ia bahagia, dengan tak bi
Rajendra dengan cepat bangun karena Riana sudah mendekat ke arahnya dan dilihat dari tangannya itu, sepertinya ia akan mencubit Rajendra. Yang telah mengubah suasana yang harusnya haru karena Kelvin dan Amaya membawa kabar baik menjadi lawak. "Kebiasaan kalau ada orang seneng selalu ngerusak momen!" kata Riana, hampir berseru pada Rajendra yang berlindung di balik sofa. Melihat itu ... sepertinya Amaya tahu ingin menjadi seperti apa ia di masa yang akan datang. Seperti Rajendra dan Riana yang awet muda dengan interaksi mereka. "Ya ngomong apa emangnya loh?!" tanya Rajendra, memandang istri, anak lelaki dan menantunya bergantian. "Bukannya Kelvin nawarin cucur?" "Cucu, Pa!" jawab Riana. "Mereka mau bilang kalau kita bakalan punya cucu!" Kedua mata Rajendra melebar dengan bibirnya yang terbuka tanpa kata. Untuk beberapa saat beliau terus seperti itu hingga anggukan Kelvin dijumpainya dan ia akhirnya bersuara. "Papa nggak tahu harus ngomong apa," ucapnya. "Congrats, Vin. Kamu jug
Seperti yang mereka rencanakan semalam, sepulang dari kampus, Amaya pergi bersama dengan Kelvin ke rumah sakit. Mereka melakukan pendaftaran lebih dulu dan menuju ke ruang pemeriksaan ibu hamil. Amaya duduk di kursi tunggu, berdiam diri tanpa mengatakan apapun dan itu membuat Kelvin yang ada di sebelah kanannya menyentuh tangan Amaya dan membuat jemari mereka saling mengait. "Kok diam aja?" tanyanya. "Kenapa, Sayang?" "Nggak apa-apa, Mas Vin, cuma gugup aja." Kelvin tersenyum mendengarnya, mengguncang lirih tangan Amaya sembari mendekatkan wajahnya untuk berbisik, "Sama, aku juga gugup." Amaya memandang Kelvin setelah matanya mengedar pada semua orang yang ada di sana dan duduk untuk menunggu nomor antrian. "Kayaknya kita dikira pasangan yang nggak bener deh." Amaya menyenggol lengan Kelvin yang kedua alisnya terangkat penuh kebingungan. "Nggak bener kenapa, Sayang? Cuma perasaan kamu mungkin ...." "Hm, semoga aja begitu. Takut aja dikira pasangan kumpul kebo soalnya dari pasi
Amaya mengatakannya setelah ia memastikan bahwa hasil yang ditunjukkan oleh test pack yang ada di tangannya itu adalah benar bergaris dua. Ia menunduk, menggigit bibir saat meremas ujung test pack itu erat-erat. Air matanya hampir luruh sebab Kelvin hanya berdiam diri saat ia mengaku hamil. Ekspresinya seperti ... entahlah. Ia hanya diam saja tanpa mengatakan satu kalimat pun. Jangankan kalimat ... sepatah kata pun tak ada sama sekali. Bagaimana jika sudah begini? Bukannya Kelvin yang mau mereka memiliki anak? Kenapa dia hanya diam saja? Pikiran Amaya berkecamuk. "Kamu baru tahu?" tanya Kelvin setelah keheningan yang cukup lama. Amaya mengangguk, tak menunjukkan wajahnya pada Kelvin saat pria itu selangkah mendekat mengikis sekian meter yang semula memisahkan mereka. "Sayang?" panggil Kelvin pada Amaya yang menghindari tatapan matanya. Kelvin menunduk, menyentuh dagu Amaya sehingga ia menengadah dan ia dibuat terkejut melihatnya. "Loh? Kok nangis kenapa?" tanya Kelvin seray
Karena merasa pusing, Amaya lebih dulu masuk ke dalam kamar. Ia berpamitan pada Kelvin dan orang tuanya yang masih berbincang di ruang tengah, biasanya mereka akan pulang sekitar jam delapan atau setengah sembilan—mungkin bisa lebih. Rajendra biasanya akan membicarakan beberapa hal dengan Kelvin soal bisnis mereka. Dan ... Amaya tidak bisa menunggu selama itu. Setelah makan rasanya ia sedikit pening sehingga harus duduk di tempat yang lebih tenang, di dalam kamar misalkan. Ia baru saja berganti pakaian dan menggosok gigi, mencuci muka dan hendak keluar dari kamar mandi. Tapi langkahnya terhenti saat benaknya mengatakan agar sebaiknya ia membuka laci yang ada di bawah wastafel itu. 'Lihat nggak ya?' tanyanya pada diri sendiri. 'Hm ....' Ini tentang yang tadi sempat ia pikirkan di ruang makan. Tentang dirinya yang berdiam diri dan alasan kenapa ia tiba-tiba mual. Gejala yang sama yang dialami oleh mendiang ibunya dulu. 'Kalau dari tanggal biasanya aku harusnya datang bulan, e