🤣🤣🤣🤣🤣 gabisa berkata-kata sama kelakuan pasutri gaje a.k.a gapura kabupaten dan kucing Munchkin 😹 dahhhh sampai jumpa besok lagi ya 🙂↕️ TYSM ILYTTMAB
Pagi hari ini, Amaya sedang berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Kelvin meninggalkan rumah. Mereka tak langsung menuju kampus melainkan terlebih dahulu pergi ke rumah ibunya Miranda.Amaya menoleh sekilas ke belakang, memastikan barang bawaannya aman di kursi penumpang. Ia bawakan makanan dan beberapa bahannya untuk Hesti—ibunya Miranda—agar wanita paruh baya itu setidaknya memiliki persediaan di rumah mengingat kondisinya yang kurang sehat untuk bepergian ke sana ke mari.“Kamu masih kesal sama saya?” tanya Kelvin, membuat Amaya yang tadinya memandang ke luar melalui jendela di sisi kiri segera menoleh kepadanya.“Kesal kenapa?” tanya Amaya balik.“Yang di kamar mandi.”“Nggak tuh,” jawab Amaya. “Pak Kelvin ‘kan udah taruh baju saya di luar, jadi yang semalam Bapak ngejekin saya bisa dimaafkan.”Kelvin tersenyum mendengarnya. Senyum yang sama yang bisa dilihat oleh Amaya saat semalam—setelah ia ‘terjebak’ di dalam kamar mandi tanpa membawa pakaian ganti—sewaktu melihatnya mun
Terlambat bagi Amaya untuk mencegahnya. Sedan milik Kelvin telah melewati pintu gerbang, membuat mahasiswa yang menyadari kedatangannya menepi. Meski Amaya yakin ia tak terlihat dari luar, ia tetap menunduk menyembunyikan wajahnya. Pemandangan yang baru dijumpai oleh Amaya adalah, mereka—para mahasiswa—rupanya cukup antusias dengan kedatangan Kelvin. Mata mengikuti ke mana mobil bergerak, beberapa menunjuk dengan gerak bibir yang ditangkap Amaya tengah mengatakan, ‘Pak Kelvin datang.’ Mobil berhenti di parkiran, pada tempat yang dikhususkan untuk para dosen. Yang untungnya pagi ini tak ada orang lain yang berada di sana. “Sudah sampai,” ucap Kelvin seraya membuka seat belt yang menahan tubuhnya. “Saya nggak mau bareng lagi loh kalau begini,” protes Amaya. “Kok gitu? Kenapa?” “Ini kebetulan tempat parkirnya lagi sepi, gimana kalau ramai coba?” tanya balik Amaya. “Nggak ada masalah antara ramai atau sepi,” jawab Kelvin tanpa beban. “Lagi pula mereka ‘kan sudah nggak aneh dengan k
“Ada gila-gilanya nih cewek!” seru Alin saat mendengar Caecil yang baru saja menyebut Amaya sebagai seorang pembunuh. “Jaga omonganmu, Kak Caecil!” “Emang bener, ‘kan?” Caecil justru mengangkat dagunya saat sekali lagi memandang Amaya. “Kalau bukan gara-gara dia nggak bisa diatur, papanya nggak akan tiba-tiba sakit dan meninggal!” Amaya mengepalkan kedua tangannya. Bibirnya sangat ingin membantah, ingin ia balas ucapan-ucapan Caecil yang menyakitkan itu. Tetapi ia tahu jika hal itu ia lakukan yang terjadi justru ia akan menangis. Ia tak ingin menumpahkan air matanya di sini meski retakan di dalam hatinya tumbuh secara masif. Melihat Amaya yang hanya terdiam dengan rahang kecilnya yang menegang, Alin memilih untuk mengajaknya pergi dari sana. “Ayo pergi dari sini, May!” ajak Alin, meraih tangan Amaya dan menariknya menjauh melewati Caecil. Mahasiswa yang semula berkerumun menyaksikan mereka menyisih saat mereka lewat, memberi jalan membiarkan keduanya pergi dari lorong. Caecil bi
“Pak Kelvin mau ngajakin saya ke mana?” tanya Amaya saat ia berjalan menuruni tangga bersama dengannya. “Nanti kamu juga akan tahu,” jawab Kelvin, sekilas menoleh pada Amaya. Seulas senyum yang membawa serta lesung pipi itu terlihat. “B-baiklah.” Tiba di ujung anak tangga, mereka melihat Bi Mara, wanita paruh baya itu membawa sekeranjang pakaian yang akan ia naikkan ke kamar atas. “Mau kencan, Pak Kelvin, Non Amaya?” sapanya tak bisa menahan senyum. “Iya, Bi Mara,” jawab Kelvin lebih dulu. “Titip rumah sebentar ya?” “Baik.” Mereka meninggalkan rumah setelah itu. Amaya duduk di samping Kelvin yang sibuk dengan kemudi mobil, melaju membelah jalan raya yang rasanya lebih lengang ketimbang hari-hari biasa. “Apa Pak Kelvin tahu apa nama pohon yang bunganya mekar di pinggir jalan itu?” tanya Amaya membuka percakapan. “Tabebuya,” jawabnya. “Cantik banget, apalagi yang warna pink.” “Kamu mau punya juga di rumah kita?” “Memangnya ada yang jual yang ukurannya udah besar begitu?” tan
“Menurut saya—eh—jatuh!” Amaya terkejut karena album yang ada di tangannya tiba-tiba terjatuh.Mungkin karena terlalu lama memandangi Kelvin sehingga ia mengabaikan apa yang sedang ia lakukan sebelumnya. Otot di tangannya melemah dan membuat album tersebut jatuh.Amaya menunduk dengan cepat, nyaris memungut benda berukuran tebal itu sebelum tangan besar Kelvin lebih dulu meraihnya.“Lihatlah besok lagi,” ucap Kelvin. Pria itu turun dari ranjang, memandang Amaya yang mengangguk tak membantahnya, “I-iya,” jawabnya.“Kalau nggak ada hal lain yang mau kamu kerjakan, kamu bisa tidur, Amaya.”“Iya, terima kasih.”Amaya melihat punggungnya menjauh dan menghilang saat Kelvin memasuki ruang ganti. Memindah album itu ke sana agar Amaya melihatnya besok lagi.Ia pun menarik selimut sehingga menutup sebagian tubuhnya. Matanya masih mengarah pada Kelvin, menunggu kehadiran pria itu yang membuat jantungnya semakin berpacu setiap kali Kelvin mematikan lampu dan menggantinya dengan cahaya yang lebih
“J-jadi pacarnya Kak Ziel?” ulang Amaya setelah mendengar syarat yang dikatakan oleh Ziel. Pemuda itu menganggukkan kepalanya, “Iya, Amaya,” jawabnya. “Aku mau bantu kamu dan akan kasih kesaksian biar kamu nggak punya gosip lagi di kampus ini, tapi kamu harus jadi pacarku.” Amaya meremas jari-jarinya, rasanya kebas. Batinnya berucap, ‘Ternyata dia nggak setulus yang aku pikirkan.’ “A-apa nggak ada cara lain?” tanya Amaya setelah beberapa saat keheningan. “Itu udah yang paling mudah loh, lagian aku suka sama kamu kok. Nggak akan ada yang keberatan kalau kita pacaran.” Amaya kembali terdiam. Tapi seperti tahu keresahan yang tengah ia pikirkan, Ziel mengetuk meja yang ada di hadapan mereka sebanyak beberapa kali sehingga Amaya kembali mengangkat wajahnya. “Nggak perlu kamu jawab sekarang,” kata Ziel. “Kamu bisa pikirin dulu kok.” Mereka mendengar suara ketukan di pintu yang membuat keduanya menoleh ke sana. Ada mahasiswa lain yang masuk—teman seangkatan Ziel—yang dari tatapannya te
“P-Pak Kelvin betulan jangan kepancing loh,” peringat Amaya sekali lagi. “Iya,” jawabnya masih sama tenang. Ia menutup bukunya setelah menyisipkan pembatasnya lalu meletakkannya di atas meja.Ia kembali menoleh pada Amaya dengan senyumnya yang terlihat manis saat mengatakan, “Terima kasih karena kamu udah mau bilang ini ke saya.”“Karena saya merasa kalau disembunyiin tuh agak ... mengganggu.”“Padahal penyebab utamanya juga bukan dari kamu tapi dari si Ziel itu,” kata Kelvin. Mendengar penekanan dari cara Kelvin menyebut ‘Ziel’ membuat Amaya sekali lagi mencegahnya agar tidak kesal. “Tadi udah janji buat nggak marah loh. Tapi barusan nyebut nama ‘Ziel’ kayak mau ngajakin sparing.”Kelvin tertawa lirih mendengarnya, “Nggak, serius,” katanya. “Kamu udah selesai bikin tugasnya?”“Udah.”“Mau makan sekarang?” ajak Kelvin seraya bangun dari duduknya. “Tadi saya minta Bi Mara untuk bikinkan ayam goreng, kamu suka ‘kan sama ayam goreng?”Mendengar kata ‘ayam goreng’ membuat kedua telinga
“I-istri?” ulang Ziel seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Kelvin. “Iya,” jawab Kelvin tegas. “Amaya adalah istri saya, sah secara agama dan negara.” “Pak Kelvin lagi bercanda?” “Apa kira-kira saya datang dan ingin menemuimu pagi-pagi begini cumaa buat ngajakin kamu bercanda?” tanya Kelvin balik. “Kalau benar, apa itu nggak menyalahi aturan?” cecarnya. “Apa ini bisa dibenarkan, dosen menikahi mahasiswanya sendiri? Bapak nggak takut kena skandal?” “Saya melakukan hal ini bukan tanpa pertimbangan.” Kelvin mengangkat dagunya dengan penuh percaya diri. “Lagian skandal mana yang kamu omongin itu? Saya rasa semua orang di sini tahu kalau saya sama Amaya punya hubungan khusus. Dan saya belum pernah dengar kalau mereka nggak setuju atau menentang kami, mereka baik-baik saja—ahh ....” Kelvin tertawa lirih saat mengambil jeda. “Kecuali barisan sakit hati yang saya rasa nggak perlu saya sebut contohnya.” Kelvin memindai Ziel dari bawah ke atas dan berhenti untuk mengu
Nasib dua ratus tusuk telur gulung itu berakhir dengan dibagikan kepada orang-orang yang siang itu ada di Ruang Terbuka Hijau tempat di mana Amaya dan Kelvin berhenti.Tapi tentu saja tidak habis semuanya, orang-orang hanya mengambil seperlunya—tiga hingga lima tusuk saja.Sehingga makanan itu mereka putuskan agar berpindah tangan dan berhenti di rumah orang tua Kelvin serta di rumah Gafi. Arsen yang paling senang saat mendapatkan jajan itu dari keduanya.Amaya juga masih memakannya setelah mereka sampai di rumah. Bersama dengan Kelvin, mereka duduk di ruang makan, mendesis pedas oleh sambal buatan Bi Mara—yang juga diminta Amaya untuk membantu menghabiskan telur gulungnya.'Kapok deh, nggak bakal jajan tanpa tanya harga dulu,' batin Amaya seraya keluar dari kamarnya. Ia mengusap perutnya yang rasanya terlalu kenyang, terisi telur gulung.Ia merapikan rambutnya dan mencangklong tas miliknya. Ada agenda yang harus ia lakukan di luar. Ia bersama dengan Alin dan Naira akan mengerjakan
Amaya mendorong Kelvin dengan menggunakan kedua tangannya. Sepasang matanya membola menatap prianya itu yang malah tersenyum dengan tanpa dosanya padahal Amaya dilanda kepanikan.Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada orang yang melihat apa yang mereka lakukan karena memang saat ini mereka ada di tempat umum."Mas Vin apaan sih ah!" tegur Amaya. "Kita di tempat umum loh, jangan main cium-cium begitu dong! Gimana kalau ada yang lihat coba?"Yang mendapat protes justru menoleh ke kiri dan ke kanan, menirukan saat Amaya melakukannya dengan sedikit panik tadi."Oh ya? Siapa?" tanyanya, persis seperti nada bicara Amaya barusan.Amaya yang kesal memukul dadanya, tangan kecilnya itu diraih oleh Kelvin yang menariknya agar mendekat sebelum ia menjawab dengan "Aku nggak menemukan siapapun di sekitar sini yang lihat aku cium kamu, Amaya," katanya. "Penjual lagi sibuk ngejualin orang, pohon sama tanaman sibuk menikmati hidup mereka yang tenang dan dibelai-belai angin, cuma Kelvin aj
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?'Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak.Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya.'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?'Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin?Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi.Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo."Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung harus bagaimana
“Maaf, Mir,” ucap Rama sekali lagi. “Buat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.”Miranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.Hening kembali menghampiri, senja di luar yag menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil.“Waktu itu ...” Miranda akhirnya membuka suaranya. “Waktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?” tanyanya. “Apa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?”Rama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....”Miranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirnya untuk me
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah!“Siang bolong begini, Vin?” goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua.“Apa sih?” tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. “Nggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.”“Oh—““Lagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,” imbuhnya. “Mama sama Papa dulu pasti juga sering—aaak!”Kelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. “Mam—sakit, Mam—““Berani kamu godain Mama hah?”“Godain gimana sih?” tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang.“Maaf ya, Sayang ....” kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. “Maklum di usianya yang udah kepala tiga si Kelvin
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa.Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya.Carl Fredricksen ia bilang?Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP.Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat.Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana.Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya."Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya.Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya."Itu, Kak Rena—" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!""Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," lanjut Amaya
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan ‘tadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu deh’ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu ‘lari tunggang-langgang’. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian ‘keren banget’ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. “Suami nggak tuh!” kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. “Kamu mau pulang bareng aku nggak?” tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. “Aku-kamu nggak tuh,” imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. “Katanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?” tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! “J-jadi,”
[Memutuskan—Menetapkan pemberhentian (Drop Out) mahasiswa atas nama Caecilia Harjono sebagaimana tercantum di dalam lampiran sebagai mahasiswa Universitas G....] Caecil membacanya hingga habis setelah ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Tangannya terasa kebas dan gemetar. Jika email ini sudah sampai kepadanya ... artinya surat fisiknya juga bisa saja telah sampai di rumah dan barangkali sudah dibaca oleh Adrian serta Belinda—kedua orang tuanya. “Akh!” Caecil menggeram kesal, matanya berair dan ia mengangkat wajahnya, pergi dari layar ponselnya yang menyala untuk menatap pada Sarah dan Oliv. “Kita harus bales ini ke Amaya!” katanya menggebu-gebu. “Bener apa yang aku bilang kalau Amaya itu kurang ajar, ‘kan? Selain ngadu ke Pak Kelvin, dia juga bikin aku di DO dari kampus.” Celotehannya justru membuat kedua bahu Sarah dan Oliv seketika jatuh. Kedua temannya itu secara kompak merotasikan bola mata mereka dengan enggan. “Kalian nggak setuju?” tanya Caecil saat menjumpai ra
"Udah masuk sendiri dia," celetuk Randy sementara mahasiswa lain yang melihat Caecil terperosok kepalanya di dalam tong sampah malah tertawa tanpa henti. "TOLONG!" seru Caecil sekali lagi. Kedua tangannya mengepak-ngepak seperti burung yang terbang sedang kepalanya bertopikan tong sampah. Amaya hampir mendekat, berniat untuk menolongnya karena tidak tega. Akan jadi buruk jika Caecil kehabisan oksigen dan tak bisa bernapas saat kepalanya terperangkap di dalam sana. Sekalipun yang ia lakukan itu adalah karena ulahnya sendiri—yang berkeinginan menyerang Alin tapi gagal—tapi mendengarnya meminta tolong membuat Amaya tergerak hatinya. Tapi, pada langkah pertamanya, ia terhenti sebab teman Caecil datang. Kedua gadis yang dikenal Amaya bernama Sarah dan Oliv itu lebih dulu menghampiri Caecil. Menariknya dan mengangkat tong sampah yang membuat kepalanya terjebak itu. Sampah-sampah yang kebetulannya adalah sampah basah berhamburan ke lantai saat tong tersebut terangkat sehingga memunculk