"Siapa yang bilang kayak gitu?!" tanya Rama lantang. "Kesaksian siapa itu?" Dagunya terangkat saat ia berdiri menantang mahasiswa yang rambutnya agak gondrong itu dengan tatapan yang tidak suka. "Jangan ngomong sembarangan!" katanya semakin menggebu. "Emang beneran ada saksi yang lihat kalau sebelumnya Miranda ketemuan sama kamu kok." "Kenapa jadi aku? Anak-anak lainnya tahu kalik kalau dia sebelumnya ketemuan sama Amaya." Mendengar namanya disebut membuat Amaya terhenyak bangun dari duduknya. Terdengar kentara dari bagaimana Rama menekankan nama 'Amaya' telah menunjukkan bahwa pemuda itu menggunakannya sebagai tameng untuk menutupi kepanikannya. 'Brengsek emang!' Amaya nyaris melabraknya sebelum mahasiswa kakak tingkatnya itu lebih dulu bangun dengan tangan di pinggang. "Miranda mungkin emang mau ketemuan sama Amaya, tapi kamu ngikutin dia!" sahutnya. "Jangan ngarang deh!" "Ngarang?" Si kakak tingkat Amaya itu tertawa lebih dulu. "Aku nggak ngerti kamu itu sebenernya bodo
“Pa, aku—“ Rama mencoba menjelaskannya saat sang Ayah menarik kerah bajunya untuk bangun sehingga mereka berdiri berhadapan. “Aku nggak—““Bereskan!” titah ayahnya. “Bereskan semua yang kamu lakukan ini, anak sialan!” hardiknya tanpa hati. “Kalau sampai kamu bikin pencalonanku ini gagal, aku akan mengirimmu pergi ke rumah ibumu! Biar kamu jadi gelandangan di sana!” Rama melihat sang ayah pergi dari hadapannya. Pria paruh baya itu tidak sendirian, melainkan dengan wanita berambut sebahu, yang selama ini ia panggil sebagai ‘Mama’ yang sebenarnya bukanlah ibu kandungnya.Wanita itu adalah ibu tirinya, dulu dia adalah sekretaris ayahnya. Dari sebatas sekretaris, kedekatan mereka telah berubah arah. Wanita itu menyingkirkan ibu kandungnya, yang sekarang berada di kampong halamannya, jauh dari Jakarta setelah diceraikan oleh ayahnya.“Aku bilang juga apa, dia itu anak yang payah!” ucap ibu tirinya seraya mengekor kepergian ayahnya. “Biarkan saja, kalau dia nggak bisa beresin, aku akan ki
Amaya merasa ada kerenggangan yang terjadi di antara ia dan Kelvin. Sejak semalam, pria itu lebih banyak mendiamkannya tanpa sebab yang jelas. Saat Amaya bertanya apa salahnya, Kelvin hanya menjawab, ‘Kamu nggak salah, perempuan nggak pernah salah, ‘kan?’ Jika itu karena Kelvin masih kesal sebab menganggap Amaya membela Rama, bukankah … itu sedikit berlebihan? Amaya hanya memperingatkannya kemarin agar tak seperti itu lagi, karena belakangan ini Kelvin namanya banyak terseret dan dibicarakan oleh banyak orang. Apakah salah Amaya berusaha melindunginya? ‘Atau ada kesalahan yang aku lakuin yang aku nggak sadar itu apa?’ batin Amaya menerka-nerka. Ia menghela dalam napasnya saat membawa kakinya menuju ke ruangan yang akan ia hadiri pagi hari ini. Ia juga berangkat lebih dulu, tak bersama dengan Kelvin. Memutuskan untuk tidak mengganggunya karena sepertinya ia sibuk. Mungkin dengan niatnya ke luar negeri itu, atau … entahlah! ‘Dia nggak suka pas aku diemin waktu itu, tapi sekarang s
Alih-alih takut, Amaya menepis tangan Rama yang singgah di dagunya. Ia mendorong pemuda itu agar mereka memiliki jarak. Tindakannya membuat Rama termangu selama beberapa detik hingga ia mendengar hela napas kesal Amaya yang singgah di telinganya. “Berarti benar kamu yang dorong Miranda,” kata Amaya setelah beberapa saat matanya terpejam, tak habis pikir bahwa pemuda yang pernah menjalin hubungan dengannya ini adalah monster. “Kalau emang bukan, kamu nggak akan segusar ini, Ram,” imbuhnya. “Jangan ikut campur kamu, May!” ancam Rama. “Hubungan kamu sama Miranda itu udah nggak baik, udah rusak! Jangan sok peduli lagi sama dia!” “Sok peduli gimana maksudmu? Kamu jangan nyamain diri kamu sama aku dong!” tudingnya. “Aku begini masih punya hati ya!” “Nggak usah pura-pura, May! Kamu pasti senang ‘kan soalnya dendammu sama Miranda bisa terbalas pas dia jatuh?” Amaya seperti tak tahu lagi bagaimana harus bicara pada Rama. Kalimatnya mencerminkan betapa dirinya tak ingin disalahkan
Amaya berpapasan dengan seorang bapak-bapak ojek online yang ia minta mengantarnya pergi ke rumah Miranda. Mungkin karena bapak itu berpikir Amaya ketakutan dan ingin segera pulang ke rumah pun beliau bersedia.Dengan begini, Amaya masih memiliki harapan untuk bisa tiba lebih cepat di rumah Miranda. Berharap dua orang teman Rama yang tadi diminta untuk mencuri ponsel serta laptop itu tidak berhasil.“Bisa tolong lebih cepat nggak, Pak?” pinta Amaya pada bapak ojek online yang mengangguk mengiyakannya, “Bisa, Non.”Membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk tiba di rumah Miranda, berhubung mereka berlawanan arah dari kepergian para demonstran, tidak membutuhkan perjuangan yang berarti untuk menerobos keramaian.“Terima kasih, Pak,” ucap Amaya begitu bapak ojek online itu menurunkannya di depan rumah Miranda. Amaya berlari memasuki pagar setelah membayarnya, ia mengetuk pintu memanggil ibunya Miranda dengan gusar.“Bu Hesti!” panggilnya. Ia hampir mengetuk pintu lebih keras sebelum
Mendengar itu, tubuh Amaya seolah mengecil. Ia bisa merasakan serak kecewa yang besar dan kekhawatiran yang menjadi satu dari cara Kelvin berucap. “Aku khawatir padamu tapi sepertinya kamu nggak peduli!” kata Kelvin. Ia memalingkan wajahnya saat Amaya meremas kedua tangannya erat-erat. Ia tak kuasa menahan air matanya yang barangkali tak disadari oleh Kelvin karena itu bercampur dengan air hujan. “Aku ke sini karena tahu Rama nyuruh mereka buat nyuri laptop sama HP-nya Miranda,” jawab Amaya akhirnya. “Aku nggak mau dia ngerusakin barang bukti makanya aku lari ke sini. Aku juga nggak tahu kalau di luar bakalan ada demo, kenapa kamu marah?!” “Aku nggak—“ “Jangan bilang kamu nggak marah!” sela Amaya. “Dari semalam kamu udah diemin aku dan nggak kasih tahu apa kesalahanku.” Amaya menggertakkan rahang kecilnya. Ia menahan dirinya untuk tak meninggikan nada suaranya, tetapi tidak bisa! Rasanya terlalu sakit saat tiba-tiba mendapatkan perlakukan yang dingin dari pria yang jelas
Amaya memeluk erat pinggang Kelvin. Ia jatuhkan kepalanya pada punggungnya yang bidang, tergugu dalam tangis saat Kelvin tak memberi reaksi apapun selama beberapa saat. Barangkali sibuk menguraikan gelombang kejut yang tiba-tiba menyerangnya saat Amaya menyusul dan memeluknya. Mungkin setelah keheningan yang terjadi lebih dari enam puluh detik, barulah Kelvin menimpakan tangan besarnya pada punggung tangan Amaya yang terasa dingin. Ia remas jari-jari kecil itu sebelum diuraikannya perlahan sehingga Amaya melepaskan pelukannya. Kelvin menghadapkan tubuhnya pada Amaya sehingga kini ia bisa menjumpai maniknya yang sendu, basah terguyur air hujan. Amaya mencoba menata kata di tengah napasnya yang tersengal itu, “Maaf,” ucap Amaya akhirnya. “Aku ...” Amaya menunduk menghindari tatapan mata Kelvin saat bahunya berguncang mengiringi lisannya yang menuturkan, “Aku suka sama kamu,” akunya. “Aku juga jatuh cinta sama kamu, Kelvin. Bukannya aku nggak mau peduli, aku hanya berpikir bahwa yang
Amaya meremas erat kemeja yang ada di pinggang Kelvin utuk meredam rasa gugupnya yang datang tiada tara. Ini adalah ciuman pertama mereka. Sentuhan bibir kala hujan belum mereda. Menghangatkan diri saat berubah dari sekadar ciuman menjadi pagutan yang lambat-laun seakan membakar gairah. Amaya diburu detak jantungnya yang berdenyut kencang. Batas-batas kesalahpahaman yang belum lama ini hadir di antara mereka seketika sirna. Gigil tergerus saat bibir saling memberi gigitan. Amaya yang paling tegang karena ini pertamakali baginya. Bibir Kelvin terasa manis, wangi dan sensual seakan menuntut Amaya agar tercandu padanya. Amaya membuka mata saat Kelvin menarik wajahnya. Ada sebuah ketidakrelaan saat semua itu harus berakhir begitu saja. Amaya melihatya tersenyum, lesung pipinya terlihat sangat jelas di hadapannya apalagi saat pria itu menunduk dan mensejajarkan pandangan. Berpikir Kelvin masih belum cukup akan ciuman mereka barusan, Amaya menutup kembali matanya. Tetapi al
Nasib dua ratus tusuk telur gulung itu berakhir dengan dibagikan kepada orang-orang yang siang itu ada di Ruang Terbuka Hijau tempat di mana Amaya dan Kelvin berhenti.Tapi tentu saja tidak habis semuanya, orang-orang hanya mengambil seperlunya—tiga hingga lima tusuk saja.Sehingga makanan itu mereka putuskan agar berpindah tangan dan berhenti di rumah orang tua Kelvin serta di rumah Gafi. Arsen yang paling senang saat mendapatkan jajan itu dari keduanya.Amaya juga masih memakannya setelah mereka sampai di rumah. Bersama dengan Kelvin, mereka duduk di ruang makan, mendesis pedas oleh sambal buatan Bi Mara—yang juga diminta Amaya untuk membantu menghabiskan telur gulungnya.'Kapok deh, nggak bakal jajan tanpa tanya harga dulu,' batin Amaya seraya keluar dari kamarnya. Ia mengusap perutnya yang rasanya terlalu kenyang, terisi telur gulung.Ia merapikan rambutnya dan mencangklong tas miliknya. Ada agenda yang harus ia lakukan di luar. Ia bersama dengan Alin dan Naira akan mengerjakan
Amaya mendorong Kelvin dengan menggunakan kedua tangannya. Sepasang matanya membola menatap prianya itu yang malah tersenyum dengan tanpa dosanya padahal Amaya dilanda kepanikan.Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada orang yang melihat apa yang mereka lakukan karena memang saat ini mereka ada di tempat umum."Mas Vin apaan sih ah!" tegur Amaya. "Kita di tempat umum loh, jangan main cium-cium begitu dong! Gimana kalau ada yang lihat coba?"Yang mendapat protes justru menoleh ke kiri dan ke kanan, menirukan saat Amaya melakukannya dengan sedikit panik tadi."Oh ya? Siapa?" tanyanya, persis seperti nada bicara Amaya barusan.Amaya yang kesal memukul dadanya, tangan kecilnya itu diraih oleh Kelvin yang menariknya agar mendekat sebelum ia menjawab dengan "Aku nggak menemukan siapapun di sekitar sini yang lihat aku cium kamu, Amaya," katanya. "Penjual lagi sibuk ngejualin orang, pohon sama tanaman sibuk menikmati hidup mereka yang tenang dan dibelai-belai angin, cuma Kelvin aj
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?'Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak.Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya.'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?'Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin?Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi.Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo."Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung harus bagaimana
“Maaf, Mir,” ucap Rama sekali lagi. “Buat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.”Miranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.Hening kembali menghampiri, senja di luar yag menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil.“Waktu itu ...” Miranda akhirnya membuka suaranya. “Waktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?” tanyanya. “Apa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?”Rama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....”Miranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirnya untuk me
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah!“Siang bolong begini, Vin?” goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua.“Apa sih?” tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. “Nggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.”“Oh—““Lagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,” imbuhnya. “Mama sama Papa dulu pasti juga sering—aaak!”Kelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. “Mam—sakit, Mam—““Berani kamu godain Mama hah?”“Godain gimana sih?” tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang.“Maaf ya, Sayang ....” kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. “Maklum di usianya yang udah kepala tiga si Kelvin
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa.Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya.Carl Fredricksen ia bilang?Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP.Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat.Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana.Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya."Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya.Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya."Itu, Kak Rena—" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!""Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," lanjut Amaya
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan ‘tadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu deh’ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu ‘lari tunggang-langgang’. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian ‘keren banget’ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. “Suami nggak tuh!” kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. “Kamu mau pulang bareng aku nggak?” tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. “Aku-kamu nggak tuh,” imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. “Katanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?” tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! “J-jadi,”
[Memutuskan—Menetapkan pemberhentian (Drop Out) mahasiswa atas nama Caecilia Harjono sebagaimana tercantum di dalam lampiran sebagai mahasiswa Universitas G....] Caecil membacanya hingga habis setelah ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Tangannya terasa kebas dan gemetar. Jika email ini sudah sampai kepadanya ... artinya surat fisiknya juga bisa saja telah sampai di rumah dan barangkali sudah dibaca oleh Adrian serta Belinda—kedua orang tuanya. “Akh!” Caecil menggeram kesal, matanya berair dan ia mengangkat wajahnya, pergi dari layar ponselnya yang menyala untuk menatap pada Sarah dan Oliv. “Kita harus bales ini ke Amaya!” katanya menggebu-gebu. “Bener apa yang aku bilang kalau Amaya itu kurang ajar, ‘kan? Selain ngadu ke Pak Kelvin, dia juga bikin aku di DO dari kampus.” Celotehannya justru membuat kedua bahu Sarah dan Oliv seketika jatuh. Kedua temannya itu secara kompak merotasikan bola mata mereka dengan enggan. “Kalian nggak setuju?” tanya Caecil saat menjumpai ra
"Udah masuk sendiri dia," celetuk Randy sementara mahasiswa lain yang melihat Caecil terperosok kepalanya di dalam tong sampah malah tertawa tanpa henti. "TOLONG!" seru Caecil sekali lagi. Kedua tangannya mengepak-ngepak seperti burung yang terbang sedang kepalanya bertopikan tong sampah. Amaya hampir mendekat, berniat untuk menolongnya karena tidak tega. Akan jadi buruk jika Caecil kehabisan oksigen dan tak bisa bernapas saat kepalanya terperangkap di dalam sana. Sekalipun yang ia lakukan itu adalah karena ulahnya sendiri—yang berkeinginan menyerang Alin tapi gagal—tapi mendengarnya meminta tolong membuat Amaya tergerak hatinya. Tapi, pada langkah pertamanya, ia terhenti sebab teman Caecil datang. Kedua gadis yang dikenal Amaya bernama Sarah dan Oliv itu lebih dulu menghampiri Caecil. Menariknya dan mengangkat tong sampah yang membuat kepalanya terjebak itu. Sampah-sampah yang kebetulannya adalah sampah basah berhamburan ke lantai saat tong tersebut terangkat sehingga memunculk