haloooo maaf karena sangat lambat wkwkwk, sampai jumpa besok lagi akakku semua đ€âșïžđȘ terimakasih sudah membaca, đ€
"Seperti apa misalnya?" tanya Amaya, matanya menatap Kelvin yang tersenyum tipis.Lesung pipinya kembali menggoda saat ia mengembalikan tanya dari Amaya dengan, "Apa menurutmu? Aku pikir kamu sudah tahu."Pupil Amaya bergerak gugup. Bohong jika ia tak tahu.Ia tahu apa maksudnya itu. Amaya hampir menjawab Kelvin sebelum pria itu memindah dirinya dari atas Amaya ke sisi kiri tempat di mana ia tidur.Lengannya yang besar merengkuh pinggang Amaya, menariknya lebih dekat.Amaya menutup mata saat Kelvin menciumnya kembali, kali ini tak selama sebelumnya. Hanya beberapa detik sebelum ia berbisik, "Bagaimana ini?""Apa?" balas Amaya seraya menyentuh jakunnya yang naik turun saat ia bicara."Tadi rasanya sangat khawatir, cemas karena berpikir aku nggak akan bisa menemukanmu," jawabnya. "Tapi lihat siapa yang aku peluk sekarang ... perempuan yang tadi aku cari sampai hampir putus asa."Amaya terlambat menghindar karena Kelvin mendekapnya semakin erat, bibirnya memagut Amaya. Hal yang berulang
"Kamu yakin?" Salah satu alis Kelvin terangkat, memastikan pada Amaya bahwa ia telah memberikan keputusan yang benar. Amaya mengangguk, "Iya," jawabnya. Setelah itu, lampu kamar di atas mereka padam, ruangan hanya diterangi oleh temaram dimmer yang memeluk mereka dalam rasa hangat kala hujan masih bertubi turun di luar. Amaya lupa bagaimana caranya semua pakaian yang ia kenakan telah tiada. Jantungnya berdebar sewaktu mereka saling bersentuhan. Iris saling menatap dalam sayu, hening merasuk tak sebanding dengan debaran yang semakin liar. Saat telapak tangan Kelvin menarik pinggangnya agar mereka lebih dekat, Amaya tak bisa lagi menahan suaranya. "Ahhâ" rintihnya. "S-sakit." Netranya berair menatap Kelvin. Sadar bahwa mereka tidak seimbang. Kelvin adalah pria matang yang umurnya hampir dua kali lipat dari Amaya. Ia mencengkeram bahu Kelvin erat-erat, tak peduli jika itu akan meninggalkan bekas di lapisan terluar kulitnya. "Maaf," bisik Kelvin saat bibirnya menyingg
Saat Amaya membuka matanya pagi ini, ia merasa badannya benar-benar remuk. Ia perlahan bangun dari berbaringnya dan memandang ke sisi kiri ranjang yang telah kosong.Tidak tampak keberadaan Kelvin yang semalaman memeluknya.Ia menyingkap selimut yang menutupi kakinya. Melihat noktah merah yang semalam dijumpainya itu masih berada di sana.Yang menandakan apa yang ia lakukan tadi malam bersama dengan Kelvin itu adalah sebuah hal yang nyata. Mereka telah menjadi sepasang suami istriâdalam arti yang sesungguhnya.Jika Amaya masih ragu, ia bisa melihat pada gaun tidur yang sedang ia kenakan ini. Bahan satin lembut yang semalam diambil dan dipakaikan Kelvin untuknya.Ia menurunkan kakinya perlahan dari ranjang, berdiri dan hampir menangis karena area genitalnya terasa nyeri.Ia sempat mengatakan hal itu pada Kelvin semalam sebelum mereka benar-benar terlelap.âRasanya sakit, aku nggak yakin bisa jalan besok,â ungkapnya.âSesuatu yang terasa nikmat memang diawali dengan rasa sakit, Amaya,â
"Iyaânggakâbeneran enggak," tegas Amaya karena mata Kelvin seperti sangsi dengan jawaban yang diberikannya. Pria itu hanya tersenyum sebelum menghilang di balik pintu ruang ganti. Baru beberapa menit setelahnya, Amaya mengikutinya. Bukan untuk menyusulnya mandi! Tetapi untuk menyiapkan pakaian Kelvin. Ia ingin lakukan ini sejak dulu karena jujur ia sangat suka dengan pakaian yang dipilih oleh Kelvin, jadi sesekali ia juga ingin memadu-madankan apa yang bagus yang ia bisa dapatkan dari dalam lemarinya yang berukuran titan itu. Pilihannya jatuh pada kemeja warna biru muda, dan setelan jas navy. Sepertinya Kelvin belum pernah memakai perpaduan ini. Amaya menunggunya hingga selesai, sampai wangi sabun menggelitik indera pembaunya, menandakan Kelvin keluar dan sepertinya ia sedikit terkejut dengan yang dilakukan oleh Amaya. "Kamu mau aku pakai baju ini?" tanyanya. "Iya, s-suka nggak?" "Apapun yang dipilih sama istri tuh bukannya emang harus selalu disukai ya?" Seulas senyum kemb
Belum cukupkah debaran-debaran yang semalam diberikan olehnya?Amaya meremas jemarinya semakin kuat, sadar semakin banyak pasang mata yang menyaksikan mereka.Tapi senyum Kelvin yang lebih tipis dari dua milimeter itu justru seolah menikmati kegugupan Amaya. âDari kak Serena,â ucap Kelvin akhirnya. âTadi saya mampir ke kafe buat beli kopi dan Kak Serena titip itu buat dikasihkan ke kamu.âBohong!Amaya tahu bahwa itu pasti bohong. Dilihat dari bagaimana Kelvin pernah mengatakan âaku ingin semua orang tahu kalau kamu istrikuâ ... yang baru saja dilakukan oleh Kelvin ini adalah sebuah kebohongan yang kentara di mata Amaya.Entah harus ia sebut bagaimana? Apa itu adalah sebuah kebohongan manis?âT-terima kasih,â kata Amaya, ia meraih satu kotak kue dengan penutup bening yang tampak cantik itu dan mendekatkannya.âSama-sama,â jawab Kelvin.Ia beranjak pergi dari samping Amaya, menguraikan keterkejutan di sekitar keduanya untuk kembali ke aktivitas normal.Pria itu menuju ke sudut diagon
Amaya menggenggam garpu yang ada di tangannya kian erat saat melihat Kelvin yang dengan gegas berdiri dari duduknya. Pria itu dijumpainya berlutut dan dengan cepat membantu Caecil bangun. Dari tempat Amaya berada, ia bisa mendengar bariton Kelvin bertanya, âKamu baik-baik saja?â âAhâpanas banget, Pak Kelvin.â Jawab itu disertai dengan kedua tangannya yang mengusap bagian depan pakaian yang ia kenakan, seperti sebelumnya. Kelvin terlihat meraih tisu dan menyerahkannya pada Caecil, âKayaknya kamu perlu pergi ke UKK deh,â sarannya. âTakut kalau ada luka ruam gara-gara panas atau gimana gitu.â âBapak yang antar?â âSama Bu Sonya ,â jawab Kelvin. âBeliau bilang mau jenguk asdos-nya tadi di UKK.â Kelvin tampak menoleh pada rekan sesama dosennya yang baru ia sebutkan namanya ituâSonyaâyang juga dengan gegas bangun dari tempat beliau duduk dan mengangguk tak keberatan. âAyo ke sana sama saya,â ajak beliau. Maka pergilah dua orang itu meninggalkan kantin, masih dengan diiringi oleh ta
Saat Kelvin menarik kepalanya dari leher Amaya, ia menyentuh dagu kecilnya sembari menunjukkan seulas senyum. Tampak seperti sebuah ekspresi yang seolah bertanya, âGimana? Masih belum percaya?â Sementara Amaya menggosok lehernya, matanya menatap Kelvin dengan gugup saat ia menghela dalam napasnya, âKalau besok kelihatan merahnya gimana?â âAku nggak bikin merah kok,â jawab Kelvin. âItu cuma gigitan kecil, kalau kamu mau yang merah, nanti malam aku bisaââ âJangan,â cegah Amaya. âJangan buat di leher maksudnya,â ralatnya. Mendengar itu membuat Kelvin yang tadinya sudah memiliki niat untuk melonggarkan tangannya yang mengunci Amaya di dinding kini kembali terpaku di sana. Ia mengangguk saat mengatakan, âSure. Akan aku buat di tempat yang lain yang cuma aku sendiri yang bisa lihat.â Amaya menggigit bibirnya, merasa kalah karena ia mengatakan sesuatu yang ambigu dengan âJangan buat di leherâ yang justru dianggap oleh Kelvin agar pria itu membuatnya di tempat yang lain. Sepasang
âM-maaf,â sebut Amaya lirih. Ia menahan napasnya saat Kelvin menariknya lebih dekat sehingga ia berpindah tempat duduk. Jika sebelumnya berbagi sofa yang sama dengan duduk di antara kedua kaki Kelvin yang terbuka, kini ia duduk di pangkuannya. âApakah masih mau nyebut aku suka sama perempuan lain sekarang?â tanya Kelvin, salah satu alisnya yang lebat terangkat. âA-aku mikir begitu tuh karena kamu kelihatannya senang banget pas ngomongin soal akan pergi ke luar negeri.â âOf course senang,â sahut Kelvin. âAku senang karena akan pergi ke sana sama kamu. Aku tanya kapan kamu akan selesai kuliah itu bukan tanpa alasan, Amaya,â terangnya sekali lagi. âItu karena aku mau ngajakin kamu buat tinggal di sana selama periode aku lanjutin pendidikan itu.â Rasanya satu demi satu pertanyaan yang disalahpahami oleh Amaya itu telah menuai jawaban. Kali ini adalah soal kejelasan akan bagaimana rencana ke depan Kelvin yang ingin pergi ke luar negeri itu. "Kamu nggak suka kalau kita pergi ke
Amaya merasa hatinya sedang tak karuan sekarang melihat Kelvin yang menjatuhkan air mata. Saat manik mereka bertemu, Amaya melihat betapa pria itu sangat tulus meletakkan seluruh perasaannya dan seolah menunggu agar hari ini tiba.Gafi tersenyum saat memandang keduanya bergantian sebelum ia memindah tangan Amaya pada Kelvin.Pembawa acara meminta agar Gafi kemudian memberikan ruang dan tempat untuk kedua pengantin yang tengah berbahagia.Amaya tak bisa memalingkan wajahnya, ia terpesona, terperangkap pada Kelvin saat pria itu terus menatapnya dengan teduh.Gerakan bibirnya yang tanpa suara sedang mengatakan, âCantik sekali.âDan tentu saja itu diketahui oleh semua orang yang hadir di sana dan itu membuat tubuh Amaya meremang.Apalagi saat pembawa acara mengatakan, âBapak-Ibu tamu undangan sekalian, sepertinya kedua mempelai kita ini sudah tidak sabar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan selama ini,â ujarnya. âMari kita dengarkan terlebih dahulu sepatah dua patah kata dari masing-
Kelvin menghela dalam napasnya saat ia menunduk, memastikan bahwa groom boutonniere yang tersemat di dadanya benar dalam keadaan yang rapi.âVin?â panggil sebuah suara yang tak asing di telinganya sehingga ia mengangkat kepalanya dengan cepat.Ia menjumpai Gafi yang muncul di dekat pintu berdaun dua di dalam kamar hotelnya entah sejak kapan.Kelvin yang melamun, atau memang kedatangannya yang memang tanpa suara?Entahlah ... yang jelas ia memang ada di sini bersamanya, dan mungkin memang sengaja menemuinya.âKak Gaf?â balasnya seraya menunjukkan senyuman.âGugup?ââBanget,â jawabnya. Tak menemukan kata lain untuk menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang ini selain gugup.Gugup untuk bertemu Amaya, gugup untuk melihatnya dalam balutan gaun pengantinnya yang cantik.Gugup, karena ia bisa saja tak bisa menahan diri nanti dan mencium Amaya secara tiba-tiba.âSetelah ini, aku akan membawa Amaya buat ketemu sama kamu, Vin,â ucap Gafi mula-mula. âAku sudah pernah bilang ini ke kamu. Tapi
âApa ini, May?â tanya Randy sembari mengambil salah satu kotak susu yang ada di hadapan Amaya.Karena Amaya terlambat mencegahnya, dan karena memang gerakan Randy sangat cepat, Amaya akhirnya membiarkannya saja.âKok ... susu ibu hamil?â tanya Alin dengan nada bicara yang lirih. Yang barangkali hanya mereka saja yang bisa mendengarnya.âKita mau dapat keponakan?â sahut Naira yang disambut anggukan dari Amaya.âAlasan kenapa resepsinya dimajuin tuh karena itu,â aku Amaya dengan jujur.Randy hampir melompat kesenangan jika Alin tak mencegahnya.Ia juga hampir berteriak jika Naira tak mengisyaratkan agar ia sebaiknya diam dan tetap menjaga mulutnya itu terkunci rapat."Demi apa, demi apa kita bakalan punya keponakan?" Heboh, seperti biasanya dan Amaya dibuat terharu dengan mereka yang turut senang dengan kabar yang ia berikan ini."Maaay! Kamu bakalan jadi hot mommy dong?" Naira sepertinya sudah membayangkan terlalu jauh.Mereka saling pandang untuk menyetujui ungkapan itu sebelum kompa
Mengetahui bahwa sorakan itu ditujukan untuknya, Amaya dengan cepat menurunkan ponselnya. Ia menggigit bibirnya, malu karena Kelvin benar-benar tak sungkan lagi menunjukkan hubungan mereka yang telah menjadi rahasia umum bahwa mereka memang menikah. Antusias itu rupanya menjadi bahan bakar bagi semua mahasiswa untuk mengikuti bincang santai tersebut. Pembicara yang dimaksudkan Kelvin lalu datang, beliau adalah seorang pengusaha yang mengatakan perjalanan bisnisnya lebih dari dua puluh tahun untuk bisa berjaya hingga hari ini yang salah satu landasannya adalah stabilitas sistem keuangan. Barangkali bukan hanya pembicaranya saja yang memang sudah berpengalaman, tapi bagaimana cara hostnya memancing agar beliau menyampaikan informasi, sepak terjangnya dalam dunia bisnis. Aah ... atau ini hanya perasaan Amaya saja yang sangat senang bisa melihat Kelvin seperti itu? Mungkin tahun ini adalah gilirannya menjadi host karena tahun sebelumnya Lucy lah yang bertugas. Dan mendengar dari
Amaya mengangguk saat pipinya terasa panas. "Padahal mau kasih kejutan nanti pas kita bahas soal resepsi yang mau dibikin maju," jawab Amaya. "Tapi si bocil Arsen ini malah tahu duluan." Amaya memandang pada Arsen yang ada di pangkuan Kelvin dan tersenyum menunjukkan barisan giginya. "Dari mana kamu tahu kalau Aunty May mau punya baby, Sen?" Kali ini Kelvin yang bertanya. "Cuma asal ngomong aja, Uncle Vin," jawabnya. "Soalnya tadi Arsen lihat Aunty May ngusap perut, persis kayak mamanya teman Arsen yang juga lagi hamil." Ia sekali lagi meringis sementara kabar gembira itu tentu saja disambut dengan senang hati oleh Gafi dan Serena. "Selamat ya ...." kata Serena. Amaya memandang Gafi yang hanya terdiam. Mata mereka bertemu, di kedua sudut netra kakak lelakinya itu, Amaya bisa melihat butiran bening yang barangkali sedang sekuat tenaga coba ia tahan agar tak jatuh. Melihatnya seperti itu membuat Amaya kembali terenyuh. Matanya bicara lebih banyak bahwa ia bahagia, dengan tak bi
Rajendra dengan cepat bangun karena Riana sudah mendekat ke arahnya dan dilihat dari tangannya itu, sepertinya ia akan mencubit Rajendra. Yang telah mengubah suasana yang harusnya haru karena Kelvin dan Amaya membawa kabar baik menjadi lawak. "Kebiasaan kalau ada orang seneng selalu ngerusak momen!" kata Riana, hampir berseru pada Rajendra yang berlindung di balik sofa. Melihat itu ... sepertinya Amaya tahu ingin menjadi seperti apa ia di masa yang akan datang. Seperti Rajendra dan Riana yang awet muda dengan interaksi mereka. "Ya ngomong apa emangnya loh?!" tanya Rajendra, memandang istri, anak lelaki dan menantunya bergantian. "Bukannya Kelvin nawarin cucur?" "Cucu, Pa!" jawab Riana. "Mereka mau bilang kalau kita bakalan punya cucu!" Kedua mata Rajendra melebar dengan bibirnya yang terbuka tanpa kata. Untuk beberapa saat beliau terus seperti itu hingga anggukan Kelvin dijumpainya dan ia akhirnya bersuara. "Papa nggak tahu harus ngomong apa," ucapnya. "Congrats, Vin. Kamu jug
Seperti yang mereka rencanakan semalam, sepulang dari kampus, Amaya pergi bersama dengan Kelvin ke rumah sakit. Mereka melakukan pendaftaran lebih dulu dan menuju ke ruang pemeriksaan ibu hamil. Amaya duduk di kursi tunggu, berdiam diri tanpa mengatakan apapun dan itu membuat Kelvin yang ada di sebelah kanannya menyentuh tangan Amaya dan membuat jemari mereka saling mengait. "Kok diam aja?" tanyanya. "Kenapa, Sayang?" "Nggak apa-apa, Mas Vin, cuma gugup aja." Kelvin tersenyum mendengarnya, mengguncang lirih tangan Amaya sembari mendekatkan wajahnya untuk berbisik, "Sama, aku juga gugup." Amaya memandang Kelvin setelah matanya mengedar pada semua orang yang ada di sana dan duduk untuk menunggu nomor antrian. "Kayaknya kita dikira pasangan yang nggak bener deh." Amaya menyenggol lengan Kelvin yang kedua alisnya terangkat penuh kebingungan. "Nggak bener kenapa, Sayang? Cuma perasaan kamu mungkin ...." "Hm, semoga aja begitu. Takut aja dikira pasangan kumpul kebo soalnya dari pasi
Amaya mengatakannya setelah ia memastikan bahwa hasil yang ditunjukkan oleh test pack yang ada di tangannya itu adalah benar bergaris dua. Ia menunduk, menggigit bibir saat meremas ujung test pack itu erat-erat. Air matanya hampir luruh sebab Kelvin hanya berdiam diri saat ia mengaku hamil. Ekspresinya seperti ... entahlah. Ia hanya diam saja tanpa mengatakan satu kalimat pun. Jangankan kalimat ... sepatah kata pun tak ada sama sekali. Bagaimana jika sudah begini? Bukannya Kelvin yang mau mereka memiliki anak? Kenapa dia hanya diam saja? Pikiran Amaya berkecamuk. "Kamu baru tahu?" tanya Kelvin setelah keheningan yang cukup lama. Amaya mengangguk, tak menunjukkan wajahnya pada Kelvin saat pria itu selangkah mendekat mengikis sekian meter yang semula memisahkan mereka. "Sayang?" panggil Kelvin pada Amaya yang menghindari tatapan matanya. Kelvin menunduk, menyentuh dagu Amaya sehingga ia menengadah dan ia dibuat terkejut melihatnya. "Loh? Kok nangis kenapa?" tanya Kelvin seray
Karena merasa pusing, Amaya lebih dulu masuk ke dalam kamar. Ia berpamitan pada Kelvin dan orang tuanya yang masih berbincang di ruang tengah, biasanya mereka akan pulang sekitar jam delapan atau setengah sembilanâmungkin bisa lebih. Rajendra biasanya akan membicarakan beberapa hal dengan Kelvin soal bisnis mereka. Dan ... Amaya tidak bisa menunggu selama itu. Setelah makan rasanya ia sedikit pening sehingga harus duduk di tempat yang lebih tenang, di dalam kamar misalkan. Ia baru saja berganti pakaian dan menggosok gigi, mencuci muka dan hendak keluar dari kamar mandi. Tapi langkahnya terhenti saat benaknya mengatakan agar sebaiknya ia membuka laci yang ada di bawah wastafel itu. 'Lihat nggak ya?' tanyanya pada diri sendiri. 'Hm ....' Ini tentang yang tadi sempat ia pikirkan di ruang makan. Tentang dirinya yang berdiam diri dan alasan kenapa ia tiba-tiba mual. Gejala yang sama yang dialami oleh mendiang ibunya dulu. 'Kalau dari tanggal biasanya aku harusnya datang bulan, e