terima kasih sudah membaca ya 🤗 jangan lupa tinggalkan komentar ☺️ sampai jumpa besok lagi 🪄🪄✨✨
Cuaca yang tidak cukup cerah untuk hari Sabtu yang seharusnya bisa dihabiskan oleh keluarga di tempat wisata hingga esok hari.Amaya bisa menyaksikan datangnya mendung yang berarak menutupi atap-atap di semua gedung rumah sakit sewaktu ia berjalan menuju ke kamar rawat Miranda pada siang menuju sore ini. Ia tak sendirian, melainkan bersama dengan Kelvin yang berjalan di sampingnya. Tiba di sebuah pintu yang berdaun dua, ia mengetuknya dengan pelan, khawatir Miranda yang ada di dalam sedang istirahat.Hanya beberapa detik berlalu hingga pintu tersebut terbuka dan wajah ibunya Miranda—Hesti—menyambut Amaya dengan senyum yang hangat seperti biasa.“Nak Amaya,” sambut Hesti. “Silahkan masuk,” ucapnya mempersilahkan.Wanita paruh baya itu membuka pitu lebih lebar saat melihat Kelvin yang berjalan di belakang Amaya.“Ada Pak Kelvin juga?” Hesti terlihat sedikit menundukkan kepalanya, mungkin sungkan karena dosennya Miranda sampai turun tangan bahkan sejak hari pertama.Kelvin juga menepat
Miranda mengangguk tanpa keraguan saat menjawab, “Iya, itu Caecil,” katanya. “Dia nyuruh aku buat bikin akun itu, terus dia yang upload video dan sendirinya juga yang ngegiring opini biar seolah-olah itu kamu.” Persis seperti dugaan Amaya sebelumnya. Apa yang pernah ia katakan dengan Gafi itu nyatanya terbukti benar. Apa yang dilakukan oleh Miranda itu bukan semata karena keinginannya, tapi karena suruhan Caecil. “Aku ada buktinya kok May kalau kamu mau,” lanjutnya. Air mata tertahan di sudut matanya. Seolah ia tengah mengabaikan rasa malunya hanya untuk mengatakan kebenaran akan peristiwa itu. “Dan nanti kalau aku udah keluar dari rumah sakit, bakal aku ajuin itu ke kampus, biar mereka tahu kalau Caecil yang sebenarnya bikin kegaduhan itu.” “Terus, kamu juga tahu siapa pemeran di video itu?” Kali ini Kelvin yang bertanya. “Nggak tahu, Pak Kelvin. Tapi saya pernah dengar kalau itu diperanin sama salah satu geng-nya dia.” Amaya tersenyum dengan rasa terima kasih, “Thanks,” katanya
“Kalau ada yang lihat gimana coba?!” tanya Amaya setelah rasa terkejut yang menyerang jantungnya berangsur pudar. Sementara Kelvin yang ditanya malah dengan tanpa dosanya menoleh ke kiri serta ke kanan, “Mana?” tanyanya. “Nggak ada tuh yang lihat. Tadi aku pikir kamu modus soal rambut itu biar kamu bisa cium aku, Amaya. Jadi aku wujudkan keinginanmu.” “Nggak,” tepis Amaya. “Nggak sama sekali. Kenapa Mas Vin ngatain aku yang modus padahal yang cium duluan itu kamu?” “Aah ... jadi kamu nggak suka aku cium? Kembalikan kalau begitu!” Kelvin memandang Amaya, sedikit merendahkan wajahnya dan seakan sengaja menyodorkan bibirnya pada Amaya agar ‘mengembalikan’ ciuman yang baru saja ia berikan. “Itu double modus!”Amaya mendengus tak habis pikir akan bagaimana cerdiknya pria itu dalam menempatkannya dalam posisi serba salah seperti ini. Jika minuman dan waffle yang mereka pesan tidak diantar, mungkin Kelvin masih belum akan berhenti menggodanya seperti barusan. Memotong sebagian keci
Apa memang seperti ini rasanya memiliki hubungan dengan pria dewasa yang setiap ucapannya membuat Amaya berdebar setengah mati? Padahal Kelvin tak mengatakan sesuatu yang vulgar, kalimatnya manis dan terkesan biasa saja. Tapi justru di sana daya tariknya. Ah ... atau memang ini karena Amaya saja yang terpesona padanya. Memangnya ada perempuan yang tak berdebar diperlakukan sebaik ini? Meninggalkan I Coffee You, Kelvin mengemudikan mobilnya menjauh dari kota. Memasuki kawasan yang berubah sepi, Amaya baru sadar jika tempat yang dituju oleh Kelvin adalah sebuah tempat yang tidak asing. "Kita ke West Hill?" tanya Amaya setelah memastikannya pada Kelvin. Bahwa ini adalah lokasi tempat di mana ia melakukan gathering tempo hari dengan teman-temannya. "Iya," jawab Kelvin. "Bukannya pergi ke vila yang kamu kasih lihat aku di foto itu?" "Vila itu juga bagian dari West Hill, Amaya," jawabnya. "Cuma beda kawasan aja." "Aah, begitu ...." Kelvin tak berbohong saat mengatakan bahwa mereka
Jika matanya ini bukan buatan Tuhan, pasti sudah jatuh menggelinding entah ke mana.Amaya menatap Kelvin yang sekali lagi malah menunjukkan senyumnya dengan tanpa dosa."Ayo," ajaknya seraya berjalan lebih dulu, memimpin Amaya agar mengikutinya. "Ke mana?""Jadi nggak naik perahunya?"Meski masih kesal, Amaya ikut ke mana Kelvin pergi. Ke sisi lain danau, pada jembatan lain yang menjorok ke perairan, ada seorang pria paruh baya yang menjaga beberapa perahu yang bersandar di sana.Kelvin memesan satu, mereka naik setelah mengenakan pelampung.Dengan dayung yang mereka kayuh, perahu mengantar mereka tiba hampir di tengah.Udaranya sangat sejuk, dan Amaya suka. Ia bisa menatap birunya langit yang sedikit tercemar oleh semburat warna orange dari arah timur. Matahari sedang dalam perjalanannya menuju titik yang lebih tinggi."Bener apa yang dibilang sama Kak Serena dulu?" tanya Amaya membuka percakapan, menoleh pada Kelvin yang baru saja mengambil fotonya melalui ponsel."Apa?" tanya Kel
“Jangan nangis,” bisik Kelvin sekali lagi. Ia menarik wajahnya dari Amaya, mengusap lembut pipinya yang nyaris berubah menjadi merah padam saat sesenggukan barusan. “Ngerasa kesel sama diri sendiri,” kata Amaya. Menggosok matanya sebelum benar-benar mengangkat wajah utuk membalas tatapan Kelvin. “Kesel kenapa?” “Kesel karena saat Mas Vin punya perasaan setulus itu aku malah nggak tahu,” jawabnya. “Nggak ikut andil apapun dan malah suka sama cowok lain yang kurang ajar. Saat kamu janji ke papaku buat jagain aku, yang aku lakuin justru mau balas dendam ke mereka.” Kelvin tersenyum, ia menyentuh dagu Amaya seraya membalas, “Nggak apa-apa,” ucapnya. “Manusia wajar kok melakukan kesalahan. Nggak ada dari kita yang sempurna, Amaya.” “Tapi kamu nggak begitu,” sela Amaya. “Aku nggak begitu?” “Iya, Mas Vin nggak begitu. Bagiku kamu sempurna, baik, minusnya dulu suka ngatain aku.” Kelvin berdeham, “Ngatain kamu itu biar ada bahan buat kita debat. Kalau kamu ngambek ‘kan jadi ada hal ya
"Aku bisa jelasin, Mam," jawab Kelvin lebih dulu.Riana tak memberikan reaksi lain selain matanya yang tampak basah. Kedua alis ibu mertua Amaya itu terlihat hampir bertautan, tajam memindai keduanya."Ngomonglah, Vin!" kata Rajendra, nada bicaranya terdengar bahwa beliau mencoba mendinginkan atmosfer yang tercipta di sekeliling mereka."Itu dulu, tapi sekarang enggak," jawabnya. "Kami—"Kelvin berhenti bicara saat Riana menjatuhkan paper bag yang ada di tangannya. Ibunya itu tampak mencegahnya bicara sebelum mengusap dadanya."Cukup," ucapnya. "Kalian pikir pernikahan itu sesuatu yang bisa kalian permainkan? Apalagi itu adalah permintaan terakhir papanya Amaya? Kalian udah bikin kecewa!""Mam, dengar dulu—" kata Kelvin mencoba mencegah beliau bertambah marah. "Dulu bukannya wajar kami nggak bisa langsung dekat begitu saja? Dulu itu beda sama sekarang. Tolong garis bawahi.""Setelah kalian bisa membohongi kami dengan rapi seperti itu, kalian pikir kami masih akan percaya?"Riana menga
“Ayo!” ajak Kelvin sekali lagi karena Amaya hanya terdiam tak kunjung menjawabnya. Alin yang berdiri di samping kanan Amaya menyenggol lengannya seraya mengatakan, “Ikut buruan, May! Sebelum Pak Kelvin berubah pikiran.” Amaya mendorong napasnya dengan sedikit kesal. Ia beranjak menuruti apa yang dikatakan oleh Kelvin agar tak semakin banyak orang yang melihat. Setelah ia melambaikan tangannya pada Alin, barulah Kelvin ikut masuk ke dalam mobil dan mengemudikannya meninggalkan kampus. Tidak ada yang berbicara hingga Kelvin membelokkan mobilnya di tikungan. Pria itu terdengar menghela dalam napasnya sebelum bertanya, “Kamu masih marah sama aku?” “Nggak,” jawabnya. “Aku akan hati-hati lain kali kalau ngomong, tapi kamu jangan ngambek begitu dong!” Sebenarnya ... Amaya ingin menjawab Kelvin dengan menunjukkan bahwa memang ia masih kesal. Tapi situasinya sangat tidak mendukung. Yang terdengar di dalam mobil Kelvin bukan sebuah lagu yang tenang, Versace on the floor mengudara di
Nasib dua ratus tusuk telur gulung itu berakhir dengan dibagikan kepada orang-orang yang siang itu ada di Ruang Terbuka Hijau tempat di mana Amaya dan Kelvin berhenti.Tapi tentu saja tidak habis semuanya, orang-orang hanya mengambil seperlunya—tiga hingga lima tusuk saja.Sehingga makanan itu mereka putuskan agar berpindah tangan dan berhenti di rumah orang tua Kelvin serta di rumah Gafi. Arsen yang paling senang saat mendapatkan jajan itu dari keduanya.Amaya juga masih memakannya setelah mereka sampai di rumah. Bersama dengan Kelvin, mereka duduk di ruang makan, mendesis pedas oleh sambal buatan Bi Mara—yang juga diminta Amaya untuk membantu menghabiskan telur gulungnya.'Kapok deh, nggak bakal jajan tanpa tanya harga dulu,' batin Amaya seraya keluar dari kamarnya. Ia mengusap perutnya yang rasanya terlalu kenyang, terisi telur gulung.Ia merapikan rambutnya dan mencangklong tas miliknya. Ada agenda yang harus ia lakukan di luar. Ia bersama dengan Alin dan Naira akan mengerjakan
Amaya mendorong Kelvin dengan menggunakan kedua tangannya. Sepasang matanya membola menatap prianya itu yang malah tersenyum dengan tanpa dosanya padahal Amaya dilanda kepanikan.Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada orang yang melihat apa yang mereka lakukan karena memang saat ini mereka ada di tempat umum."Mas Vin apaan sih ah!" tegur Amaya. "Kita di tempat umum loh, jangan main cium-cium begitu dong! Gimana kalau ada yang lihat coba?"Yang mendapat protes justru menoleh ke kiri dan ke kanan, menirukan saat Amaya melakukannya dengan sedikit panik tadi."Oh ya? Siapa?" tanyanya, persis seperti nada bicara Amaya barusan.Amaya yang kesal memukul dadanya, tangan kecilnya itu diraih oleh Kelvin yang menariknya agar mendekat sebelum ia menjawab dengan "Aku nggak menemukan siapapun di sekitar sini yang lihat aku cium kamu, Amaya," katanya. "Penjual lagi sibuk ngejualin orang, pohon sama tanaman sibuk menikmati hidup mereka yang tenang dan dibelai-belai angin, cuma Kelvin aj
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?'Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak.Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya.'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?'Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin?Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi.Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo."Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung harus bagaimana
“Maaf, Mir,” ucap Rama sekali lagi. “Buat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.”Miranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.Hening kembali menghampiri, senja di luar yag menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil.“Waktu itu ...” Miranda akhirnya membuka suaranya. “Waktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?” tanyanya. “Apa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?”Rama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....”Miranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirnya untuk me
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah!“Siang bolong begini, Vin?” goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua.“Apa sih?” tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. “Nggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.”“Oh—““Lagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,” imbuhnya. “Mama sama Papa dulu pasti juga sering—aaak!”Kelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. “Mam—sakit, Mam—““Berani kamu godain Mama hah?”“Godain gimana sih?” tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang.“Maaf ya, Sayang ....” kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. “Maklum di usianya yang udah kepala tiga si Kelvin
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa.Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya.Carl Fredricksen ia bilang?Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP.Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat.Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana.Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya."Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya.Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya."Itu, Kak Rena—" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!""Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," lanjut Amaya
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan ‘tadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu deh’ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu ‘lari tunggang-langgang’. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian ‘keren banget’ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. “Suami nggak tuh!” kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. “Kamu mau pulang bareng aku nggak?” tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. “Aku-kamu nggak tuh,” imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. “Katanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?” tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! “J-jadi,”
[Memutuskan—Menetapkan pemberhentian (Drop Out) mahasiswa atas nama Caecilia Harjono sebagaimana tercantum di dalam lampiran sebagai mahasiswa Universitas G....] Caecil membacanya hingga habis setelah ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Tangannya terasa kebas dan gemetar. Jika email ini sudah sampai kepadanya ... artinya surat fisiknya juga bisa saja telah sampai di rumah dan barangkali sudah dibaca oleh Adrian serta Belinda—kedua orang tuanya. “Akh!” Caecil menggeram kesal, matanya berair dan ia mengangkat wajahnya, pergi dari layar ponselnya yang menyala untuk menatap pada Sarah dan Oliv. “Kita harus bales ini ke Amaya!” katanya menggebu-gebu. “Bener apa yang aku bilang kalau Amaya itu kurang ajar, ‘kan? Selain ngadu ke Pak Kelvin, dia juga bikin aku di DO dari kampus.” Celotehannya justru membuat kedua bahu Sarah dan Oliv seketika jatuh. Kedua temannya itu secara kompak merotasikan bola mata mereka dengan enggan. “Kalian nggak setuju?” tanya Caecil saat menjumpai ra
"Udah masuk sendiri dia," celetuk Randy sementara mahasiswa lain yang melihat Caecil terperosok kepalanya di dalam tong sampah malah tertawa tanpa henti. "TOLONG!" seru Caecil sekali lagi. Kedua tangannya mengepak-ngepak seperti burung yang terbang sedang kepalanya bertopikan tong sampah. Amaya hampir mendekat, berniat untuk menolongnya karena tidak tega. Akan jadi buruk jika Caecil kehabisan oksigen dan tak bisa bernapas saat kepalanya terperangkap di dalam sana. Sekalipun yang ia lakukan itu adalah karena ulahnya sendiri—yang berkeinginan menyerang Alin tapi gagal—tapi mendengarnya meminta tolong membuat Amaya tergerak hatinya. Tapi, pada langkah pertamanya, ia terhenti sebab teman Caecil datang. Kedua gadis yang dikenal Amaya bernama Sarah dan Oliv itu lebih dulu menghampiri Caecil. Menariknya dan mengangkat tong sampah yang membuat kepalanya terjebak itu. Sampah-sampah yang kebetulannya adalah sampah basah berhamburan ke lantai saat tong tersebut terangkat sehingga memunculk