Apa memang seperti ini rasanya memiliki hubungan dengan pria dewasa yang setiap ucapannya membuat Amaya berdebar setengah mati? Padahal Kelvin tak mengatakan sesuatu yang vulgar, kalimatnya manis dan terkesan biasa saja. Tapi justru di sana daya tariknya. Ah ... atau memang ini karena Amaya saja yang terpesona padanya. Memangnya ada perempuan yang tak berdebar diperlakukan sebaik ini? Meninggalkan I Coffee You, Kelvin mengemudikan mobilnya menjauh dari kota. Memasuki kawasan yang berubah sepi, Amaya baru sadar jika tempat yang dituju oleh Kelvin adalah sebuah tempat yang tidak asing. "Kita ke West Hill?" tanya Amaya setelah memastikannya pada Kelvin. Bahwa ini adalah lokasi tempat di mana ia melakukan gathering tempo hari dengan teman-temannya. "Iya," jawab Kelvin. "Bukannya pergi ke vila yang kamu kasih lihat aku di foto itu?" "Vila itu juga bagian dari West Hill, Amaya," jawabnya. "Cuma beda kawasan aja." "Aah, begitu ...." Kelvin tak berbohong saat mengatakan bahwa mereka
Jika matanya ini bukan buatan Tuhan, pasti sudah jatuh menggelinding entah ke mana.Amaya menatap Kelvin yang sekali lagi malah menunjukkan senyumnya dengan tanpa dosa."Ayo," ajaknya seraya berjalan lebih dulu, memimpin Amaya agar mengikutinya. "Ke mana?""Jadi nggak naik perahunya?"Meski masih kesal, Amaya ikut ke mana Kelvin pergi. Ke sisi lain danau, pada jembatan lain yang menjorok ke perairan, ada seorang pria paruh baya yang menjaga beberapa perahu yang bersandar di sana.Kelvin memesan satu, mereka naik setelah mengenakan pelampung.Dengan dayung yang mereka kayuh, perahu mengantar mereka tiba hampir di tengah.Udaranya sangat sejuk, dan Amaya suka. Ia bisa menatap birunya langit yang sedikit tercemar oleh semburat warna orange dari arah timur. Matahari sedang dalam perjalanannya menuju titik yang lebih tinggi."Bener apa yang dibilang sama Kak Serena dulu?" tanya Amaya membuka percakapan, menoleh pada Kelvin yang baru saja mengambil fotonya melalui ponsel."Apa?" tanya Kel
“Jangan nangis,” bisik Kelvin sekali lagi. Ia menarik wajahnya dari Amaya, mengusap lembut pipinya yang nyaris berubah menjadi merah padam saat sesenggukan barusan. “Ngerasa kesel sama diri sendiri,” kata Amaya. Menggosok matanya sebelum benar-benar mengangkat wajah utuk membalas tatapan Kelvin. “Kesel kenapa?” “Kesel karena saat Mas Vin punya perasaan setulus itu aku malah nggak tahu,” jawabnya. “Nggak ikut andil apapun dan malah suka sama cowok lain yang kurang ajar. Saat kamu janji ke papaku buat jagain aku, yang aku lakuin justru mau balas dendam ke mereka.” Kelvin tersenyum, ia menyentuh dagu Amaya seraya membalas, “Nggak apa-apa,” ucapnya. “Manusia wajar kok melakukan kesalahan. Nggak ada dari kita yang sempurna, Amaya.” “Tapi kamu nggak begitu,” sela Amaya. “Aku nggak begitu?” “Iya, Mas Vin nggak begitu. Bagiku kamu sempurna, baik, minusnya dulu suka ngatain aku.” Kelvin berdeham, “Ngatain kamu itu biar ada bahan buat kita debat. Kalau kamu ngambek ‘kan jadi a
"Aku bisa jelasin, Mam," jawab Kelvin lebih dulu.Riana tak memberikan reaksi lain selain matanya yang tampak basah. Kedua alis ibu mertua Amaya itu terlihat hampir bertautan, tajam memindai keduanya."Ngomonglah, Vin!" kata Rajendra, nada bicaranya terdengar bahwa beliau mencoba mendinginkan atmosfer yang tercipta di sekeliling mereka."Itu dulu, tapi sekarang enggak," jawabnya. "Kami—"Kelvin berhenti bicara saat Riana menjatuhkan paper bag yang ada di tangannya. Ibunya itu tampak mencegahnya bicara sebelum mengusap dadanya."Cukup," ucapnya. "Kalian pikir pernikahan itu sesuatu yang bisa kalian permainkan? Apalagi itu adalah permintaan terakhir papanya Amaya? Kalian udah bikin kecewa!""Mam, dengar dulu—" kata Kelvin mencoba mencegah beliau bertambah marah. "Dulu bukannya wajar kami nggak bisa langsung dekat begitu saja? Dulu itu beda sama sekarang. Tolong garis bawahi.""Setelah kalian bisa membohongi kami dengan rapi seperti itu, kalian pikir kami masih akan percaya?"Riana menga
“Ayo!” ajak Kelvin sekali lagi karena Amaya hanya terdiam tak kunjung menjawabnya. Alin yang berdiri di samping kanan Amaya menyenggol lengannya seraya mengatakan, “Ikut buruan, May! Sebelum Pak Kelvin berubah pikiran.” Amaya mendorong napasnya dengan sedikit kesal. Ia beranjak menuruti apa yang dikatakan oleh Kelvin agar tak semakin banyak orang yang melihat. Setelah ia melambaikan tangannya pada Alin, barulah Kelvin ikut masuk ke dalam mobil dan mengemudikannya meninggalkan kampus. Tidak ada yang berbicara hingga Kelvin membelokkan mobilnya di tikungan. Pria itu terdengar menghela dalam napasnya sebelum bertanya, “Kamu masih marah sama aku?” “Nggak,” jawabnya. “Aku akan hati-hati lain kali kalau ngomong, tapi kamu jangan ngambek begitu dong!” Sebenarnya ... Amaya ingin menjawab Kelvin dengan menunjukkan bahwa memang ia masih kesal. Tapi situasinya sangat tidak mendukung. Yang terdengar di dalam mobil Kelvin bukan sebuah lagu yang tenang, Versace on the floor mengudara di
“B-beneran kalian udah nggak pura-pura lagi?” tanya Riana dengan mata yang masih memindai anak lelaki dan menantunya itu bergantian. “Iya, Mam,” jawab Kelvin. Ia mengangkat tangan Amaya yang digenggamnya, seolah itu adalah sebuah isyarat bahwa sedekat itulah mereka sekarang. “Kami kemarin baru pulang dari West Hill loh pas Mama sama papa datang. Kami baru mesra-mesraan sepanjang hari tapi tadi malam aku harus lihat istriku ngambek gara-gara aku ngomongin soal masa lalu dan itu bikin Mama kesal,” tuturnya panjang. “Masa?” sangsi Riana.“Minta Papa buat cek CCTV yang ada di West Hill deh kalau Mama nggak percaya. Akan kelihatan berapa kali aku cium Amaya selama kami naik perahu.”Riana mengalihkan pandangannya pada Amaya yang menunjukkan senyumnya. Anggukan samar Amaya terlihat seolah ingin menguatkan kalimat yang dikatakan oleh Kelvin.“Mama udahan dong ngambeknya ....” kata Kelvin. “Nggak lihat tuh bibir anak menantu Mama yang paling cantik udah manyun sepanjang lima senti?”“Mama
Amaya benar-benar tak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh Kelvin. Ia memandang kepergian prianya itu yang dengan santainya meninggalkan dirinya di parkiran pasar. Padahal Amaya baru meletakkan kantong plastik berisi sayur kangkung di setir depannya—belum beberapa kantong lainnya—dan menepuk bahu Kelvin agar sedikit maju. Tapi alih-alih melakukan yang ia minta, Kelvin malah memacu motornya itu menjauh darinya. "MAS VIN!" panggil Amaya sekuat yang ia bisa. "KELVIIIIN!" Tapi tak membuahkan hasil! Kelvin pergi berdua dengan kangkung yang ia bawa sementara Amaya tertinggal di parkiran pasar dan ditertawakan oleh beberapa ibu-ibu yang berbelanja di sana. "Kenapa, Dek?" tanya salah seorang dari ibu itu. "Ditinggal suaminya ya?" "Iya, Bu." "Suami Ibu juga pernah begitu kok," ucap si Ibu berusaha menghibur Amaya yang kesal dan hampir menangis. Tak ada yang sakit—selain hatinya yang dongkol! Hanya rasa malunya yang tembus hingga ke tulang-belulang. "Telpon suaminya,
Entah bagaimana caranya Kelvin harus membujuk Amaya. Setelah ia dipukuli dengan menggunakan ikan kakap tadi pagi di halaman rumah, istri kecilnya itu sama sekali tidak mau bicara.Makan pun tak mau bersebelahan dengannya. Amaya lebih memilih duduk di samping Riana dan Rajendra, sementara Kelvin duduk sendirian. Ia seperti anak pungut yang tak dianggap saat tiga orang itu sibuk dengan santapan mereka pagi tadi.“Akh! Bisa gila rasanya!” kata Kelvin, meremas rambutnya saat ia duduk di dalam ruang dosen.Ia baru saja mengirim pesan pada Amaya dengan mengatakan bahwa ia akan membawakannya pulang ayam goreng yang disukai olehnya nanti sepulang dari kampus.Tapi ... jawaban yang diberikan oleh Amaya adalah ....[Nggak usah, aku makan kangkung aja!]Entah kapan drama perkangkungan itu akan berakhir.“Kenapa bisa gila?” tanya sebuah suara yang datang dari samping kanan Kelvin. Arsha, rekan sesama dosennya yang alisnya berkerut bingung memandang Kelvin yang terlihat ‘berantakan’ sejak pagi.“
Amaya merasa hatinya sedang tak karuan sekarang melihat Kelvin yang menjatuhkan air mata. Saat manik mereka bertemu, Amaya melihat betapa pria itu sangat tulus meletakkan seluruh perasaannya dan seolah menunggu agar hari ini tiba.Gafi tersenyum saat memandang keduanya bergantian sebelum ia memindah tangan Amaya pada Kelvin.Pembawa acara meminta agar Gafi kemudian memberikan ruang dan tempat untuk kedua pengantin yang tengah berbahagia.Amaya tak bisa memalingkan wajahnya, ia terpesona, terperangkap pada Kelvin saat pria itu terus menatapnya dengan teduh.Gerakan bibirnya yang tanpa suara sedang mengatakan, ‘Cantik sekali.’Dan tentu saja itu diketahui oleh semua orang yang hadir di sana dan itu membuat tubuh Amaya meremang.Apalagi saat pembawa acara mengatakan, “Bapak-Ibu tamu undangan sekalian, sepertinya kedua mempelai kita ini sudah tidak sabar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan selama ini,” ujarnya. “Mari kita dengarkan terlebih dahulu sepatah dua patah kata dari masing-
Kelvin menghela dalam napasnya saat ia menunduk, memastikan bahwa groom boutonniere yang tersemat di dadanya benar dalam keadaan yang rapi.“Vin?” panggil sebuah suara yang tak asing di telinganya sehingga ia mengangkat kepalanya dengan cepat.Ia menjumpai Gafi yang muncul di dekat pintu berdaun dua di dalam kamar hotelnya entah sejak kapan.Kelvin yang melamun, atau memang kedatangannya yang memang tanpa suara?Entahlah ... yang jelas ia memang ada di sini bersamanya, dan mungkin memang sengaja menemuinya.“Kak Gaf?” balasnya seraya menunjukkan senyuman.“Gugup?”“Banget,” jawabnya. Tak menemukan kata lain untuk menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang ini selain gugup.Gugup untuk bertemu Amaya, gugup untuk melihatnya dalam balutan gaun pengantinnya yang cantik.Gugup, karena ia bisa saja tak bisa menahan diri nanti dan mencium Amaya secara tiba-tiba.“Setelah ini, aku akan membawa Amaya buat ketemu sama kamu, Vin,” ucap Gafi mula-mula. “Aku sudah pernah bilang ini ke kamu. Tapi
“Apa ini, May?” tanya Randy sembari mengambil salah satu kotak susu yang ada di hadapan Amaya.Karena Amaya terlambat mencegahnya, dan karena memang gerakan Randy sangat cepat, Amaya akhirnya membiarkannya saja.“Kok ... susu ibu hamil?” tanya Alin dengan nada bicara yang lirih. Yang barangkali hanya mereka saja yang bisa mendengarnya.“Kita mau dapat keponakan?” sahut Naira yang disambut anggukan dari Amaya.“Alasan kenapa resepsinya dimajuin tuh karena itu,” aku Amaya dengan jujur.Randy hampir melompat kesenangan jika Alin tak mencegahnya.Ia juga hampir berteriak jika Naira tak mengisyaratkan agar ia sebaiknya diam dan tetap menjaga mulutnya itu terkunci rapat."Demi apa, demi apa kita bakalan punya keponakan?" Heboh, seperti biasanya dan Amaya dibuat terharu dengan mereka yang turut senang dengan kabar yang ia berikan ini."Maaay! Kamu bakalan jadi hot mommy dong?" Naira sepertinya sudah membayangkan terlalu jauh.Mereka saling pandang untuk menyetujui ungkapan itu sebelum kompa
Mengetahui bahwa sorakan itu ditujukan untuknya, Amaya dengan cepat menurunkan ponselnya. Ia menggigit bibirnya, malu karena Kelvin benar-benar tak sungkan lagi menunjukkan hubungan mereka yang telah menjadi rahasia umum bahwa mereka memang menikah. Antusias itu rupanya menjadi bahan bakar bagi semua mahasiswa untuk mengikuti bincang santai tersebut. Pembicara yang dimaksudkan Kelvin lalu datang, beliau adalah seorang pengusaha yang mengatakan perjalanan bisnisnya lebih dari dua puluh tahun untuk bisa berjaya hingga hari ini yang salah satu landasannya adalah stabilitas sistem keuangan. Barangkali bukan hanya pembicaranya saja yang memang sudah berpengalaman, tapi bagaimana cara hostnya memancing agar beliau menyampaikan informasi, sepak terjangnya dalam dunia bisnis. Aah ... atau ini hanya perasaan Amaya saja yang sangat senang bisa melihat Kelvin seperti itu? Mungkin tahun ini adalah gilirannya menjadi host karena tahun sebelumnya Lucy lah yang bertugas. Dan mendengar dari
Amaya mengangguk saat pipinya terasa panas. "Padahal mau kasih kejutan nanti pas kita bahas soal resepsi yang mau dibikin maju," jawab Amaya. "Tapi si bocil Arsen ini malah tahu duluan." Amaya memandang pada Arsen yang ada di pangkuan Kelvin dan tersenyum menunjukkan barisan giginya. "Dari mana kamu tahu kalau Aunty May mau punya baby, Sen?" Kali ini Kelvin yang bertanya. "Cuma asal ngomong aja, Uncle Vin," jawabnya. "Soalnya tadi Arsen lihat Aunty May ngusap perut, persis kayak mamanya teman Arsen yang juga lagi hamil." Ia sekali lagi meringis sementara kabar gembira itu tentu saja disambut dengan senang hati oleh Gafi dan Serena. "Selamat ya ...." kata Serena. Amaya memandang Gafi yang hanya terdiam. Mata mereka bertemu, di kedua sudut netra kakak lelakinya itu, Amaya bisa melihat butiran bening yang barangkali sedang sekuat tenaga coba ia tahan agar tak jatuh. Melihatnya seperti itu membuat Amaya kembali terenyuh. Matanya bicara lebih banyak bahwa ia bahagia, dengan tak bi
Rajendra dengan cepat bangun karena Riana sudah mendekat ke arahnya dan dilihat dari tangannya itu, sepertinya ia akan mencubit Rajendra. Yang telah mengubah suasana yang harusnya haru karena Kelvin dan Amaya membawa kabar baik menjadi lawak. "Kebiasaan kalau ada orang seneng selalu ngerusak momen!" kata Riana, hampir berseru pada Rajendra yang berlindung di balik sofa. Melihat itu ... sepertinya Amaya tahu ingin menjadi seperti apa ia di masa yang akan datang. Seperti Rajendra dan Riana yang awet muda dengan interaksi mereka. "Ya ngomong apa emangnya loh?!" tanya Rajendra, memandang istri, anak lelaki dan menantunya bergantian. "Bukannya Kelvin nawarin cucur?" "Cucu, Pa!" jawab Riana. "Mereka mau bilang kalau kita bakalan punya cucu!" Kedua mata Rajendra melebar dengan bibirnya yang terbuka tanpa kata. Untuk beberapa saat beliau terus seperti itu hingga anggukan Kelvin dijumpainya dan ia akhirnya bersuara. "Papa nggak tahu harus ngomong apa," ucapnya. "Congrats, Vin. Kamu jug
Seperti yang mereka rencanakan semalam, sepulang dari kampus, Amaya pergi bersama dengan Kelvin ke rumah sakit. Mereka melakukan pendaftaran lebih dulu dan menuju ke ruang pemeriksaan ibu hamil. Amaya duduk di kursi tunggu, berdiam diri tanpa mengatakan apapun dan itu membuat Kelvin yang ada di sebelah kanannya menyentuh tangan Amaya dan membuat jemari mereka saling mengait. "Kok diam aja?" tanyanya. "Kenapa, Sayang?" "Nggak apa-apa, Mas Vin, cuma gugup aja." Kelvin tersenyum mendengarnya, mengguncang lirih tangan Amaya sembari mendekatkan wajahnya untuk berbisik, "Sama, aku juga gugup." Amaya memandang Kelvin setelah matanya mengedar pada semua orang yang ada di sana dan duduk untuk menunggu nomor antrian. "Kayaknya kita dikira pasangan yang nggak bener deh." Amaya menyenggol lengan Kelvin yang kedua alisnya terangkat penuh kebingungan. "Nggak bener kenapa, Sayang? Cuma perasaan kamu mungkin ...." "Hm, semoga aja begitu. Takut aja dikira pasangan kumpul kebo soalnya dari pasi
Amaya mengatakannya setelah ia memastikan bahwa hasil yang ditunjukkan oleh test pack yang ada di tangannya itu adalah benar bergaris dua. Ia menunduk, menggigit bibir saat meremas ujung test pack itu erat-erat. Air matanya hampir luruh sebab Kelvin hanya berdiam diri saat ia mengaku hamil. Ekspresinya seperti ... entahlah. Ia hanya diam saja tanpa mengatakan satu kalimat pun. Jangankan kalimat ... sepatah kata pun tak ada sama sekali. Bagaimana jika sudah begini? Bukannya Kelvin yang mau mereka memiliki anak? Kenapa dia hanya diam saja? Pikiran Amaya berkecamuk. "Kamu baru tahu?" tanya Kelvin setelah keheningan yang cukup lama. Amaya mengangguk, tak menunjukkan wajahnya pada Kelvin saat pria itu selangkah mendekat mengikis sekian meter yang semula memisahkan mereka. "Sayang?" panggil Kelvin pada Amaya yang menghindari tatapan matanya. Kelvin menunduk, menyentuh dagu Amaya sehingga ia menengadah dan ia dibuat terkejut melihatnya. "Loh? Kok nangis kenapa?" tanya Kelvin seray
Karena merasa pusing, Amaya lebih dulu masuk ke dalam kamar. Ia berpamitan pada Kelvin dan orang tuanya yang masih berbincang di ruang tengah, biasanya mereka akan pulang sekitar jam delapan atau setengah sembilan—mungkin bisa lebih. Rajendra biasanya akan membicarakan beberapa hal dengan Kelvin soal bisnis mereka. Dan ... Amaya tidak bisa menunggu selama itu. Setelah makan rasanya ia sedikit pening sehingga harus duduk di tempat yang lebih tenang, di dalam kamar misalkan. Ia baru saja berganti pakaian dan menggosok gigi, mencuci muka dan hendak keluar dari kamar mandi. Tapi langkahnya terhenti saat benaknya mengatakan agar sebaiknya ia membuka laci yang ada di bawah wastafel itu. 'Lihat nggak ya?' tanyanya pada diri sendiri. 'Hm ....' Ini tentang yang tadi sempat ia pikirkan di ruang makan. Tentang dirinya yang berdiam diri dan alasan kenapa ia tiba-tiba mual. Gejala yang sama yang dialami oleh mendiang ibunya dulu. 'Kalau dari tanggal biasanya aku harusnya datang bulan, e