Amaya menggenggam garpu yang ada di tangannya kian erat saat melihat Kelvin yang dengan gegas berdiri dari duduknya. Pria itu dijumpainya berlutut dan dengan cepat membantu Caecil bangun. Dari tempat Amaya berada, ia bisa mendengar bariton Kelvin bertanya, “Kamu baik-baik saja?” “Ah—panas banget, Pak Kelvin.” Jawab itu disertai dengan kedua tangannya yang mengusap bagian depan pakaian yang ia kenakan, seperti sebelumnya. Kelvin terlihat meraih tisu dan menyerahkannya pada Caecil, “Kayaknya kamu perlu pergi ke UKK deh,” sarannya. “Takut kalau ada luka ruam gara-gara panas atau gimana gitu.” “Bapak yang antar?” “Sama Bu Sonya ,” jawab Kelvin. “Beliau bilang mau jenguk asdos-nya tadi di UKK.” Kelvin tampak menoleh pada rekan sesama dosennya yang baru ia sebutkan namanya itu—Sonya—yang juga dengan gegas bangun dari tempat beliau duduk dan mengangguk tak keberatan. “Ayo ke sana sama saya,” ajak beliau. Maka pergilah dua orang itu meninggalkan kantin, masih dengan diiringi oleh ta
Saat Kelvin menarik kepalanya dari leher Amaya, ia menyentuh dagu kecilnya sembari menunjukkan seulas senyum. Tampak seperti sebuah ekspresi yang seolah bertanya, ‘Gimana? Masih belum percaya?’ Sementara Amaya menggosok lehernya, matanya menatap Kelvin dengan gugup saat ia menghela dalam napasnya, “Kalau besok kelihatan merahnya gimana?” “Aku nggak bikin merah kok,” jawab Kelvin. “Itu cuma gigitan kecil, kalau kamu mau yang merah, nanti malam aku bisa—“ “Jangan,” cegah Amaya. “Jangan buat di leher maksudnya,” ralatnya. Mendengar itu membuat Kelvin yang tadinya sudah memiliki niat untuk melonggarkan tangannya yang mengunci Amaya di dinding kini kembali terpaku di sana. Ia mengangguk saat mengatakan, “Sure. Akan aku buat di tempat yang lain yang cuma aku sendiri yang bisa lihat.” Amaya menggigit bibirnya, merasa kalah karena ia mengatakan sesuatu yang ambigu dengan ‘Jangan buat di leher’ yang justru dianggap oleh Kelvin agar pria itu membuatnya di tempat yang lain. Sepasang
“M-maaf,” sebut Amaya lirih. Ia menahan napasnya saat Kelvin menariknya lebih dekat sehingga ia berpindah tempat duduk. Jika sebelumnya berbagi sofa yang sama dengan duduk di antara kedua kaki Kelvin yang terbuka, kini ia duduk di pangkuannya. “Apakah masih mau nyebut aku suka sama perempuan lain sekarang?” tanya Kelvin, salah satu alisnya yang lebat terangkat. “A-aku mikir begitu tuh karena kamu kelihatannya senang banget pas ngomongin soal akan pergi ke luar negeri.” “Of course senang,” sahut Kelvin. “Aku senang karena akan pergi ke sana sama kamu. Aku tanya kapan kamu akan selesai kuliah itu bukan tanpa alasan, Amaya,” terangnya sekali lagi. “Itu karena aku mau ngajakin kamu buat tinggal di sana selama periode aku lanjutin pendidikan itu.” Rasanya satu demi satu pertanyaan yang disalahpahami oleh Amaya itu telah menuai jawaban. Kali ini adalah soal kejelasan akan bagaimana rencana ke depan Kelvin yang ingin pergi ke luar negeri itu. "Kamu nggak suka kalau kita pergi ke
Cuaca yang tidak cukup cerah untuk hari Sabtu yang seharusnya bisa dihabiskan oleh keluarga di tempat wisata hingga esok hari.Amaya bisa menyaksikan datangnya mendung yang berarak menutupi atap-atap di semua gedung rumah sakit sewaktu ia berjalan menuju ke kamar rawat Miranda pada siang menuju sore ini. Ia tak sendirian, melainkan bersama dengan Kelvin yang berjalan di sampingnya. Tiba di sebuah pintu yang berdaun dua, ia mengetuknya dengan pelan, khawatir Miranda yang ada di dalam sedang istirahat.Hanya beberapa detik berlalu hingga pintu tersebut terbuka dan wajah ibunya Miranda—Hesti—menyambut Amaya dengan senyum yang hangat seperti biasa.“Nak Amaya,” sambut Hesti. “Silahkan masuk,” ucapnya mempersilahkan.Wanita paruh baya itu membuka pitu lebih lebar saat melihat Kelvin yang berjalan di belakang Amaya.“Ada Pak Kelvin juga?” Hesti terlihat sedikit menundukkan kepalanya, mungkin sungkan karena dosennya Miranda sampai turun tangan bahkan sejak hari pertama.Kelvin juga menepat
Miranda mengangguk tanpa keraguan saat menjawab, “Iya, itu Caecil,” katanya. “Dia nyuruh aku buat bikin akun itu, terus dia yang upload video dan sendirinya juga yang ngegiring opini biar seolah-olah itu kamu.” Persis seperti dugaan Amaya sebelumnya. Apa yang pernah ia katakan dengan Gafi itu nyatanya terbukti benar. Apa yang dilakukan oleh Miranda itu bukan semata karena keinginannya, tapi karena suruhan Caecil. “Aku ada buktinya kok May kalau kamu mau,” lanjutnya. Air mata tertahan di sudut matanya. Seolah ia tengah mengabaikan rasa malunya hanya untuk mengatakan kebenaran akan peristiwa itu. “Dan nanti kalau aku udah keluar dari rumah sakit, bakal aku ajuin itu ke kampus, biar mereka tahu kalau Caecil yang sebenarnya bikin kegaduhan itu.” “Terus, kamu juga tahu siapa pemeran di video itu?” Kali ini Kelvin yang bertanya. “Nggak tahu, Pak Kelvin. Tapi saya pernah dengar kalau itu diperanin sama salah satu geng-nya dia.” Amaya tersenyum dengan rasa terima kasih, “Thanks,” katanya
“Kalau ada yang lihat gimana coba?!” tanya Amaya setelah rasa terkejut yang menyerang jantungnya berangsur pudar. Sementara Kelvin yang ditanya malah dengan tanpa dosanya menoleh ke kiri serta ke kanan, “Mana?” tanyanya. “Nggak ada tuh yang lihat. Tadi aku pikir kamu modus soal rambut itu biar kamu bisa cium aku, Amaya. Jadi aku wujudkan keinginanmu.” “Nggak,” tepis Amaya. “Nggak sama sekali. Kenapa Mas Vin ngatain aku yang modus padahal yang cium duluan itu kamu?” “Aah ... jadi kamu nggak suka aku cium? Kembalikan kalau begitu!” Kelvin memandang Amaya, sedikit merendahkan wajahnya dan seakan sengaja menyodorkan bibirnya pada Amaya agar ‘mengembalikan’ ciuman yang baru saja ia berikan. “Itu double modus!”Amaya mendengus tak habis pikir akan bagaimana cerdiknya pria itu dalam menempatkannya dalam posisi serba salah seperti ini. Jika minuman dan waffle yang mereka pesan tidak diantar, mungkin Kelvin masih belum akan berhenti menggodanya seperti barusan. Memotong sebagian keci
Apa memang seperti ini rasanya memiliki hubungan dengan pria dewasa yang setiap ucapannya membuat Amaya berdebar setengah mati? Padahal Kelvin tak mengatakan sesuatu yang vulgar, kalimatnya manis dan terkesan biasa saja. Tapi justru di sana daya tariknya. Ah ... atau memang ini karena Amaya saja yang terpesona padanya. Memangnya ada perempuan yang tak berdebar diperlakukan sebaik ini? Meninggalkan I Coffee You, Kelvin mengemudikan mobilnya menjauh dari kota. Memasuki kawasan yang berubah sepi, Amaya baru sadar jika tempat yang dituju oleh Kelvin adalah sebuah tempat yang tidak asing. "Kita ke West Hill?" tanya Amaya setelah memastikannya pada Kelvin. Bahwa ini adalah lokasi tempat di mana ia melakukan gathering tempo hari dengan teman-temannya. "Iya," jawab Kelvin. "Bukannya pergi ke vila yang kamu kasih lihat aku di foto itu?" "Vila itu juga bagian dari West Hill, Amaya," jawabnya. "Cuma beda kawasan aja." "Aah, begitu ...." Kelvin tak berbohong saat mengatakan bahwa mereka
Jika matanya ini bukan buatan Tuhan, pasti sudah jatuh menggelinding entah ke mana.Amaya menatap Kelvin yang sekali lagi malah menunjukkan senyumnya dengan tanpa dosa."Ayo," ajaknya seraya berjalan lebih dulu, memimpin Amaya agar mengikutinya. "Ke mana?""Jadi nggak naik perahunya?"Meski masih kesal, Amaya ikut ke mana Kelvin pergi. Ke sisi lain danau, pada jembatan lain yang menjorok ke perairan, ada seorang pria paruh baya yang menjaga beberapa perahu yang bersandar di sana.Kelvin memesan satu, mereka naik setelah mengenakan pelampung.Dengan dayung yang mereka kayuh, perahu mengantar mereka tiba hampir di tengah.Udaranya sangat sejuk, dan Amaya suka. Ia bisa menatap birunya langit yang sedikit tercemar oleh semburat warna orange dari arah timur. Matahari sedang dalam perjalanannya menuju titik yang lebih tinggi."Bener apa yang dibilang sama Kak Serena dulu?" tanya Amaya membuka percakapan, menoleh pada Kelvin yang baru saja mengambil fotonya melalui ponsel."Apa?" tanya Kel
Amaya membiarkan tiga sahabatnya itu memeluknya secara bersamaan. Isak tangis Alin dan Naira sebab rindu terdengar sementara Randy tak bersuara. Tapi saat mereka saling melepaskan, Amaya bisa melihat sepasang matanya yang memerah. “Kangen banget,” kata Alin menyusul ucapan dari Naira yang menyebutkan bahwa ini sudah bulan ke enam mereka tak saling berjumpa. “Aku tanya ke Pak Gafi di kantor apa beliau nggak akan datang ke sini,” kata Randy. “Kalau mau pergi, aku bilang saya sama dua teman saya mau barengan. Dan ternyata beliau malah minta kami cuti biar hari ini bisa datang.” “Serius?” tanya Amaya, menoleh ada Gafi yang tersenyum sementara ketiga temannya itu mengangguk membenarkannya. Perlu diketahui, Alin dan Naira bekerja di Rajs Holdings—perusahaan milik keluarganya Kelvin. Keduanya menjadi tax accountant, dengan Alin yang belakangan ia dengar sedang dipromosikan untuk naik jabatan sementara Naira menjadi ketua tim. Randy ada di Hariz Corp, posisinya sudah lumayan tinggi. Ota
Amaya hendak melangkah menjauh setelah mengatakan itu, tapi ia tak bisa pergi begitu saja sebab Kelvin merengkuh pinggangnya agar mereka berdiri seperti sebelumnya. Prianya itu menunduk, dan berbisik, "Aku mencintaimu, Amaya." Kecupan sekali lagi jatuh di bibirnya. Senyum merekah saat mereka kemudian menoleh pada Amora yang menangis dan memanggil, "Mama ...." Bocah kecil itu tengah terduduk di atas rerumputan, tengah dibantu oleh si Abang agar bangun. "Nggak apa-apa, Adek ... ayo bangun," kata Keegan lalu mengusap lutut Amora sebelum merdeka menoleh pada Amaya yang bertanya, "Kenapa, Sayang-sayangnya, Mama?" "Amora jatuh, Mama," jawab Keegan. "Nggak apa-apa, 'kan? Udah ditolong Kakak?" Amora mengangguk meski bibirnya masih tertekuk dan pucuk hidungnya yang memerah. "Kalau begitu bisa berhenti sebentar lari-lariannya?" pinta Amaya yang disambut anggukan oleh si kembar. "Bisa." Maka setelah itu Amaya melihat Keegan dan Amora yang berjalan bergandengan tangan, di atas jogging tr
Vancouver, Canada. Tiga tahun kemudian. .... Amaya menggandeng tangan kecil masing-masing di sebelah kiri dan kanannya saat berjalan keluar dari mobil yang ia berhentikan di tepi jalan. Mereka tengah menunggu seseorang keluar dari pintu gerbang itu untuk berjumpa dengannya. "PAPA!" seru suara manis bocah kecil di sebelah kanan dan kiri Amaya secara bersamaan. Mereka melambaikan tangannya pada pria dengan coat panjang warna hitam yang berlari keluar dari pintu gerbang. Kelvin. Pria itu adalah Kelvin. "TWINS!" balas Kelvin tak mau kalah antusiasnya. Ia berlutut seraya merentangkan kedua tangannya, sehingga Amaya melepas 'twins' yang baru saja dikatakan oleh Kelvin itu dan mereka memeluknya. Dua bocah kecil itu adalah Keegan dan Amora, anak kembarnya yang telah lahir dan tumbuh menjadi kembar sepasang yang tampan dan cantik. Keegan Yezekail dan Amora Amarilly, tentu dengan nama keluarga Amaya dan Kelvin di belakangnya, Hariz-Asgartama. Janin kembar yang hari itu
Meski disembunyikan, atau sebesar apa usaha Amaya dan Kelvin menutupi tentang resepsi pernikahan mereka, tapi tetap saja fotonya bocor! Tak hanya resepsi pada pagi hari saja, tapi juga resepsi yang diselenggarakan pada malam hari. Semesta seperti ingin berbagi kebahagiaan itu pada semua orang. Foto-foto mereka yang manis menghiasi forum mahasiswa selama beberapa hari, dari Sabtu, Minggu hingga Senin pagi hari ini. Seseorang menghela dalam napasnya kala ia menggulir layar ponselnya, foto Kelvin yang tampak meneteskan air mata seperti baru saja membuatnya memberikan sebuah pengakuan bahwa pria itu mencintai Amaya sangat besar. Ziel, pemuda itu adalah Ziel, yang duduk di bangku taman yang tak jauh dari lapangan futsal di kampus. Seorang diri, sebelum sebuah suara datang dari samping kanannya dan ikut duduk di sana. "Bang Ziel," sapanya. Wajahnya muncul dan membuat Ziel sekilas melambaikan tangan padanya. "Ya, Randy. Aku pikir nggak masuk kamu tadi," balasnya. "Ngapain nggak masu
Amaya merasa hatinya sedang tak karuan sekarang melihat Kelvin yang menjatuhkan air mata. Saat manik mereka bertemu, Amaya melihat betapa pria itu sangat tulus meletakkan seluruh perasaannya dan seolah menunggu agar hari ini tiba. Gafi tersenyum saat memandang keduanya bergantian sebelum ia memindah tangan Amaya pada Kelvin. Pembawa acara meminta agar Gafi kemudian memberikan ruang dan tempat untuk kedua pengantin yang tengah berbahagia. Amaya tak bisa memalingkan wajahnya, ia terpesona, terperangkap pada Kelvin saat pria itu terus menatapnya dengan teduh. Gerakan bibirnya yang tanpa suara sedang mengatakan, ‘Cantik sekali.’ Dan tentu saja itu diketahui oleh semua orang yang hadir di sana dan itu membuat tubuh Amaya meremang. Apalagi saat pembawa acara mengatakan, “Bapak-Ibu tamu undangan sekalian, sepertinya kedua mempelai kita ini sudah tidak sabar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan selama ini,” ujarnya. “Mari kita dengarkan terlebih dahulu sepatah dua patah kata dari m
Kelvin menghela dalam napasnya saat ia menunduk, memastikan bahwa groom boutonniere yang tersemat di dadanya benar dalam keadaan yang rapi.“Vin?” panggil sebuah suara yang tak asing di telinganya sehingga ia mengangkat kepalanya dengan cepat.Ia menjumpai Gafi yang muncul di dekat pintu berdaun dua di dalam kamar hotelnya entah sejak kapan.Kelvin yang melamun, atau memang kedatangannya yang memang tanpa suara?Entahlah ... yang jelas ia memang ada di sini bersamanya, dan mungkin memang sengaja menemuinya.“Kak Gaf?” balasnya seraya menunjukkan senyuman.“Gugup?”“Banget,” jawabnya. Tak menemukan kata lain untuk menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang ini selain gugup.Gugup untuk bertemu Amaya, gugup untuk melihatnya dalam balutan gaun pengantinnya yang cantik.Gugup, karena ia bisa saja tak bisa menahan diri nanti dan mencium Amaya secara tiba-tiba.“Setelah ini, aku akan membawa Amaya buat ketemu sama kamu, Vin,” ucap Gafi mula-mula. “Aku sudah pernah bilang ini ke kamu. Tapi
“Apa ini, May?” tanya Randy sembari mengambil salah satu kotak susu yang ada di hadapan Amaya. Karena Amaya terlambat mencegahnya, dan karena memang gerakan Randy sangat cepat, Amaya akhirnya membiarkannya saja. “Kok ... susu ibu hamil?” tanya Alin dengan nada bicara yang lirih. Yang barangkali hanya mereka saja yang bisa mendengarnya. “Kita mau dapat keponakan?” sahut Naira yang disambut anggukan dari Amaya. “Alasan kenapa resepsinya dimajuin tuh karena itu,” aku Amaya dengan jujur. Randy hampir melompat kesenangan jika Alin tak mencegahnya. Ia juga hampir berteriak jika Naira tak mengisyaratkan agar ia sebaiknya diam dan tetap menjaga mulutnya itu terkunci rapat. "Demi apa, demi apa kita bakalan punya keponakan?" Heboh, seperti biasanya dan Amaya dibuat terharu dengan mereka yang turut senang dengan kabar yang ia berikan ini. "Maaay! Kamu bakalan jadi hot mommy dong?" Naira sepertinya sudah membayangkan terlalu jauh. Mereka saling pandang untuk menyetujui ungkapan itu sebe
Mengetahui bahwa sorakan itu ditujukan untuknya, Amaya dengan cepat menurunkan ponselnya. Ia menggigit bibirnya, malu karena Kelvin benar-benar tak sungkan lagi menunjukkan hubungan mereka yang telah menjadi rahasia umum bahwa mereka memang menikah. Antusias itu rupanya menjadi bahan bakar bagi semua mahasiswa untuk mengikuti bincang santai tersebut. Pembicara yang dimaksudkan Kelvin lalu datang, beliau adalah seorang pengusaha yang mengatakan perjalanan bisnisnya lebih dari dua puluh tahun untuk bisa berjaya hingga hari ini yang salah satu landasannya adalah stabilitas sistem keuangan. Barangkali bukan hanya pembicaranya saja yang memang sudah berpengalaman, tapi bagaimana cara hostnya memancing agar beliau menyampaikan informasi, sepak terjangnya dalam dunia bisnis. Aah ... atau ini hanya perasaan Amaya saja yang sangat senang bisa melihat Kelvin seperti itu? Mungkin tahun ini adalah gilirannya menjadi host karena tahun sebelumnya Lucy lah yang bertugas. Dan mendengar dari
Amaya mengangguk saat pipinya terasa panas. "Padahal mau kasih kejutan nanti pas kita bahas soal resepsi yang mau dibikin maju," jawab Amaya. "Tapi si bocil Arsen ini malah tahu duluan." Amaya memandang pada Arsen yang ada di pangkuan Kelvin dan tersenyum menunjukkan barisan giginya. "Dari mana kamu tahu kalau Aunty May mau punya baby, Sen?" Kali ini Kelvin yang bertanya. "Cuma asal ngomong aja, Uncle Vin," jawabnya. "Soalnya tadi Arsen lihat Aunty May ngusap perut, persis kayak mamanya teman Arsen yang juga lagi hamil." Ia sekali lagi meringis sementara kabar gembira itu tentu saja disambut dengan senang hati oleh Gafi dan Serena. "Selamat ya ...." kata Serena. Amaya memandang Gafi yang hanya terdiam. Mata mereka bertemu, di kedua sudut netra kakak lelakinya itu, Amaya bisa melihat butiran bening yang barangkali sedang sekuat tenaga coba ia tahan agar tak jatuh. Melihatnya seperti itu membuat Amaya kembali terenyuh. Matanya bicara lebih banyak bahwa ia bahagia, dengan tak bi