Bulan dan Alfan turun dari lantai dua. Mereka akan langsung pergi ke rumah pribadi milik Alfan.
Kedua orang tuanya sudah menunggu di ruang tamu. Beberapa koper besar sudah dimasukkan ke dalam mobil lebih dulu.
Bulan memeluk Mami Tari dan Papi Jacob secara bergantian.
“Jaga dirimu baik-baik, Nak.” Mami Tari mengelus rambut panjangnya.
“Mami juga. Jaga kesehatan dan berhentilah bekerja terus menerus.”
“Iya,” jawab Mami Tari dengan senyum yang dipaksakan.
“Aku akan sangat merindukan kalian.” Bulan berbicara dengan mata yang berkaca-kaca.
Papi Jacob memeluk Alfan. “Titip putriku, Nak. Cintai dan sayangi dia seperti kami mencintainya.”
Tapi kalian lebih mencintai pekerjaan dibandingkan aku anak kalian, batin Bulan.
“Baik. Saya akan berusaha membahagiakan Bulan.”
Bahkan untuk pertama kalinya kamu sudah menggoreskan luka, batin Bulan.
“Jadilah wanita shalihah yang selalu menurut apa kata suami. Kamu bukan lagi bebas melakukan apa pun semaumu. Kamu harus meminta izin pada suamimu. Kamu paham, Bulan?” Nasihat Mami Tari padanya.
“Iya, Mam.”
Kedua orang tua itu akhirnya melepas kepergiannya dengan sedikit drama mengharukan.
Akhirnya mobil yang dikendarai Alfan meninggalkan rumah tempatnya dibesarkan. Diikuti mobil lain yang membawa beberapa koper besar keperluan Bulan. Tentu saja mobil sport ini tidak akan bisa memuat koper-koper berukuran besar tersebut.
Jalanan padat merayap. Bulan memilih menyadarkan kepalanya dan memejamkan mata.
“Ada apa Bulan?” tanya Alfan memecah keheningan.
“Tidak apa-apa, Mas. Aku cuma sedikit mengantuk.”
“Pusing?” tanya Alfan lagi.
“Tidak, Mas.”
Permata Greenland.
Mobil yang dikendarai Alfan sudah berhenti di sebuah rumah mewah yang tidak terlalu besar dengan dua lantai.
“Bulan, bangun. Kita sudah sampai.” Alfan menyentuh bahu Bulan dengan pelan agar tak mengagetkan wanita itu.
“Bulan,” panggilnya sekali lagi.
Perlahan Bulan membuka mata dan menatap sekitar.
“Kita sudah sampai,” ucap Alfan yang mengerti akan kebingungan Bulan.
“Maaf aku ketiduran,” ujar Bulan dengan suara serak.
Alfan mengangguk.
Kemudian keduanya turun dari mobil. Bulan melihat dua orang lelaki mengeluarkan koper-koper dari dalam mobil. Setelah selesai Alfan memberikan beberapa lembar kepada mereka dan langsung pamit pergi.
Alfan mengajak Bulan masuk ke dalam rumah.
“Ayo aku antar ke kamar.”
Bulan mengangguk dan mengikuti langkah Alfan yang telah melangkah lebih dulu.
“Rumah ini punya lampu otomatis. Saat sensor menunjukkan bahwa ada orang di sekitar maka lampu akan tetap menyala,” jelas Alfan.
Bulan mengagumi desain rumah ini.
Keduanya sampai di lantai dua. Ada beberapa kamar di lantai dua yaitu kamar tamu dan kamar utama. Sedangkan di lantai dasar hanya kamar khusus pekerja rumah.
Ceklek!
Pintu terbuka dan seketika lampu menyala.
“Kamu istirahat saja dulu. Biar besok bibi yang membantumu menyimpan keperluanmu.”
Bulan mengangguk.
Setelah mencuci muka, ia langsung naik ke atas ranjang. Ia tak lagi melihat Alfan di dalam kamar.
Pikiran yang masih kacau ditambah dengan tubuh yang lelah membuat tak butuh waktu lama bagi Bulan akhirnya terlelap di bawah selimut.
***
“Ada apa Ra? Kenapa belum tidur, ini sudah larut malam.”
“Aku tidak bisa tidur, Mas. Kepikiran kamu. Kayaknya aku merasa ada sesuatu yang terjadi sama kamu.”
“Itu cuma pikiranmu saja. Tidur Ra, ini sudah larut malam.”
“Aku kangen, Mas.”
“Lusa aku datang. Oh ya bagaimana perkembangan ibu?”
“Masih sama, Mas.”
“Sudah tidak apa-apa, ibu pasti sembuh. Kamu yang sabar dan jangan lupa berdoa.”
“Terima kasih Mas. Aku mencintaimu.”
“Aku lebih mencintaimu, Ra.”
“Ya sudah aku mau tidur. Mas Alfan jaga kesehatan di sana ya.”
“Iya. Good night, Sayang.”
Alfan memutuskan panggilan setelah berbicara dengan Zahra, istrinya. Setelah itu ia memilih merebahkan tubuhnya di sofa dan memilih memejamkan mata.
Tanpa diketahui oleh Alfan bahwa Bulan mendengar dengan jelas obrolan tersebut.
Tiba-tiba hatinya didera rasa sakit dan kecewa yang mendalam. Itu manusiawi karena Alfan adalah suaminya.
Bulan membungkam mulutnya agar tak mengeluarkan suara.
Kenapa rasanya sesakit ini, batin Bulan dengan air mata yang sudah meleleh.
Diam-diam Bulan terisak dengan pelan dibalik selimut yang menutup tubuhnya. Ia tidak menyangka bahwa rasanya akan semenyedihkan ini. Mampukah ia berbagi suami dengan wanita yang lebih dulu menjadi istri dari suaminya?
Bulan yang semenjak subuh tidak melihat keberadaan Alfan, bergegas mencuci muka dan sikat gigi. Setelah itu ia turun ke bawah mencari keberadaan suaminya.
“Pagi, Bi.” Bulan menyapa bibi asisten rumah tangga.
“Pagi, Non.”
“Masak apa, Bi? Ada yang bisa aku bantu?” tawar Bulan.
“Tidak Non, jangan. Non duduk saja.” Bibi menolak dengan halus.
“Nanti Marni yang akan bantu Non di lantai atas. Marni lagi pergi ke pasar, sebentar lagi pasti sudah pulang.”
Bulan mengangguk.
“Di sini ada tiga asisten rumah tangga termasuk bibi. Bibi cuma masak dan bertugas di dapur. Lainnya dipegang Marni sama Yuli,” jelas wanita paruh baya itu.
Bulan kembali mengangguk. Semalam mereka memang tak sempat bertemu.
“Mas Alfan ke mana, Bi?”
“Den Alfan kalau pagi begini lagi olahraga, Non. Biasanya keliling kompleks,” jawab Bibi.
Setelah meneguk segelas air dingin, Bulan memilih pergi kembali ke kamarnya.
Ceklek!
“Lho sudah bangun,” ucap Alfan yang baru saja masuk ke kamar dan melihat Bulan duduk di sofa dengan televisi yang menyala.
Kaos yang dipakai terlihat basah hingga mencetak jelas bentuk tubuhnya yang tegap.
Bulan menoleh. “Dari mana, Mas?”
“Lari keliling kompleks,” sahutnya.
Bulan mengangguk.
“Aku mandi dulu ya.” Bergegas masuk ke kamar mandi tanpa menunggu sahutan dari Bulan.
Setelah itu Bulan bangun dan berjalan menuju lemari untuk menyiapkan pakaian suaminya.
Celana kain selutut dengan kaos polos menjadi pilihan. Bulan menyiapkan pakaian tersebut di atas ranjang dan kembali duduk di sofa.
Ceklek!
Pintu kamar mandi terbuka, Alfan keluar dengan handuk yang hanya melilit tubuh bagian bawahnya.
Matanya melihat pakaian yang ada di atas ranjang. Kemudian tersenyum tipis dan mengambilnya.
Alfan kembali masuk ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya.
“Terima kasih, Bulan.”
Bulan tersenyum dan mengangguk. Andai saja ia tidak mengetahui fakta bahwa lelaki ini telah memiliki istri lain, mungkin Bulan akan sangat bahagia. Tapi lagi dan lagi kenyataan itu kembali menamparnya akan sebuah status bahwa ia hanyalah istri di atas kertas.
Dan mencoba bersikap baik-baik saja itu ternyata tidak semudah bayangan. Butuh tenaga ekstra untuk menutupi segalanya.
Tok! Tok! Tok!
“Non Bulan, Den Alfan, sarapan sudah siap.”
“Iya, Mbak.” Alfan balas berteriak.
Alfan berpaling menatap Bulan.
“Itu Mbak Marni.”
Bulan mengangguk.
“Mau sarapan sekarang?” tanya Alfan.
“Iya,” sahut Bulan.
Keduanya akhirnya berjalan bersama menuju meja makan. Tidak banyak obrolan yang bisa dilakukan sepasang pengantin baru tersebut. Mereka berdua sepertinya masih canggung walaupun keduanya mencoba bersikap biasa saja.
Bulan mengambilkan makanan untuk Alfan. Ia melayani suaminya dengan baik walaupun di sudut hatinya masih ada luka menganga.
“Selamat makan,” ucap Alfan dengan senyum tipis yang sangat manis.
Ponsel milik Alfan bergetar menandakan ada sebuah pesan masuk. Bulan pura-pura tidak peduli, namun sekilas matanya melirik ke arah Alfan yang menatap ponselnya dengan raut tegang.
“Bulan,” panggil Alfan lirih.
“Ada apa, Mas? Kenapa Mas Alfan tegang?” tanya balik Bulan.
Alfan langsung bangkit dari kursi. “Aku harus ke Bandung. Ibu mertuaku mendadak kritis.”
Deg!
Bulan mematung.
Alfan langsung bergegas menuju kamarnya tanpa mempedulikan Bulan yang diam saja.
Tak lama Alfan turun dengan pakaian yang sudah rapi. Kemeja panjang yang dilipat sampai sebatas siku membuatnya terlihat semakin tampan.
“Aku pergi dulu, Bulan. Kamu hati-hati di rumah. Maaf harus meninggalkanmu,” ucap Alfan.
“Hati-hati di jalan, Mas Alfan.”
Suara Bulan lirih, Alfan jelas tak akan mendengarnya karena lelaki itu sudah menghilang dari hadapannya.
Tanpa terasa buliran bening itu membasahi pipinya.
Mulai sekarang kamu memang harus terbiasa, Bulan. Karena suamimu bukan hanya milikmu, batinnya.
Bulan tak lagi melanjutkan sarapan. Napsu makannya menguap begitu saja ketika melihat kecemasan yang tergambar di wajah Alfan.
Sampai siang hari Bulan masih mengurung diri di dalam kamar. Beberapa kali Mbak Marni dan Mbak Yuli datang untuk menawarkan makan siang namun ditolaknya begitu saja.
Tak lama ponselnya berdering kembali, tanda pesan masuk dari Mama Silvi yang menawarkan paket liburan kepadanya.
Bulan tersenyum miris dan mencibir dirinya sendiri.
Kamu adalah pengantin baru yang paling menyedihkan, Bulan. Baru beberapa jam menikah, suamimu mengatakan kejujuran yang menyakitkan, dan kini kau harus ditinggalkan begitu saja, batinnya mengasihani diri sendiri.
To Be Continue ….
Bandung. Mobil yang dikendarai Alfan akhirnya sampai di sebuah rumah sakit swasta yang lumayan besar dan terkenal. Dengan sedikit tergesa, Alfan berlari menuju ke ruangan ibu mertuanya. Sedari tadi Zahra, sang istri terus saja menghubunginya. Panik, cemas dan takut adalah perasaan yang juga dirasakan Alfan. Ibu mertuanya sangat baik terhadapnya, bahkan ia sudah menganggapnya seperti ibu kandung sendiri. Oleh sebab itu bahkan Alfan rela menerima perjodohan dengan Bulan sebab alasan yang egois. Langkah kaki Alfan membuat seseorang yang ada di depan ruangan tersebut menoleh. Wajahnya sembab dengan bekas air mata yang masih basah di pipi. Wanita bertubuh mungil dengan hijab berwarna biru itu berlari dan memeluknya. Menumpahkan isak tangis di dalam pelukannya. “Aku takut, Mas.” “Ibu akan baik-baik saja, Ra
Setelah panggilan terputus Bulan melempar asal ponselnya ke atas ranjang. Tangannya menyahut kertas gambar yang tadi dipakai untuk menuangkan ide menggambarnya kemudian meremasnya dengan pelan dan melemparnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Mampukah aku bertahan sementara hatiku saja terasa sesak seperti ini? Tuhan, kenapa takdir yang kau berikan harus serumit ini? Astaghfirullah,” gumam Bulan seraya menekan dadanya dengan pelan. Bulan memilih masuk ke kamar mandi dan berwudhu, lebih baik ia menyerahkan semuanya kepada sang pemberi kehidupan. Percuma saja mengeluh dan meratapi nasib, sekuat apa pun kita melawan takdir, jika Tuhan sudah menuliskan skenarionya, maka manusia hanya mampu menjalaninya. Setelah selesai melakukan salat, masih terlihat jelas jejak air mata di kedua pipinya yang masih basah. Perlahan Bulan menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya berharap semuanya akan
Hari-hari dilewati oleh Bulan dan Alfan dengan tempat dan waktu yang berbeda juga situasi yang hampir delapan puluh persen berbeda. Jika Alfan sibuk dengan keluarga kecilnya, maka Bulan tengah menikmati liburannya walaupun seorang diri. Bulan pasrah dan menjalani apa yang memang harus dijalani hingga Tuhan berkata berhenti. Ia telah memasrahkan semuanya kepada sang pemberi kehidupan. Sosok Bulan masih menjadi wanita masa kini dengan penampilan yang sangat fashionable. Namun begitu ia tak pernah lupa menjalankan kewajiban sholat lima waktu disela kesibukannya selama ini. Keluarga Latief adalah mualaf, mereka berpindah agama sekitar sepuluh tahun yang lalu. Tidak memakai hijab bukan berarti mereka lupa menjalankan kewajiban. Jangan melihat seseorang hanya dari luarnya saja, karena dalamnya hati seseorang kita tak pernah tahu. Bulan menerima perjodohan dengan A
Alfan sudah sampai di Jakarta lebih dulu. Hanya memerlukan waktu sekitar dua setengah jam untuk sampai di Jakarta. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata mengingat ini malam minggu, ia tak ingin terjebak kemacetan di jalan. Matanya melirik ke arah jam di pergelangan tangan, ia memilih langsung menjemput Bulan karena ia yakin bahwa istrinya telah tiba. Perbedaan waktu Jakarta-Bali hanya satu jam. Seharusnya sekitar pukul lima atau setengah enam, Bulan sudah tiba. Alfan menunggu di pintu kedatangan. Sudah hampir dua puluh menit ia menunggu namun tak kelihatan kehadiran Bulan. Ia mengeluarkan ponsel berniat menghubungi istrinya ketika tepukan di bahu membuatnya terkejut. Segera saja ia menoleh dan melihat seorang wanita dengan jumpsuit panjang dengan rambut yang acak-acakan berdiri di hadapannya. Wajahnya tertutup masker hingga tak terlalu jelas terlihat.
Pagi itu Bulan sudah mandi dan bersiap turun ke lantai dua dengan membawa beberapa paper bag yang berisi oleh-oleh dari Bali. Dibantu oleh bibi asisten rumah tangga, Bulan membawa semua barang-barang itu ke ruang keluarga untuk dibagikan ke semua orang. “Bulan, kenapa repot-repot bawain mama oleh-oleh banyak begini.” Mama Silvi berkomentar saat ia masuk ke dalam ruang keluarga. “Tidak repot, Ma. Mumpung sekalian di Bali. Kapan-kapan belum tentu ada waktu buat liburan lagi,” jawab Bulan diiringi tawa ringan. Ia mulai bisa menyesuaikan diri dengan keluarga Alfan dengan berbicara santai. Mama Silvi ikut tertawa. Semua pekerja yang bekerja di rumah mendapatkan jatah semuanya tanpa terkecuali. Setelah keadaan hening, Mama Silvi menggenggam tangan Bulan dan menatapnya dengan intens penuh ketegasan. “Ada apa, Ma?”
Bulan turun ke meja makan lebih dulu setelah menyiapkan pakaian suaminya. Sejak semalam mereka tak banyak bicara seperti biasanya. Tak lama Alfan turun ke meja makan dengan pakaian rapi. Mereka berdua sudah kembali memulai aktivitas kembali seperti biasanya. Alfan sudah harus kembali bekerja di perusahaan papanya dan ia harus kembali mengurus butik yang sudah hampir dua minggu ini ditinggalkan. Setelah lelaki itu duduk, Bulan dengan penuh perhatian melayani suaminya. Walaupun bukan cinta setidaknya ia memberikan rasa hormatnya pada suaminya. “Apa yang kamu lakukan semalam, Bulan?” tanya Alfan membuat tangan Bulan menggantung di udara. “Apa maksudnya?” jawab Bulan yang belum paham inti dari ucapan suaminya. “Zahra,” sahutnya dengan pelan. Bulan meletakkan kembali tangannya kemudian menatap suaminya dengan datar. Kini ia paham apa maksud
Hari berganti, minggu berlalu, bulan berganti dan waktu terus berputar mengikuti bumi yang juga terus berputar. Semuanya mengalami perubahan namun tidak dengan hubungan antara Alfan dan Bulan. Hubungan sepasang suami-istri itu masih panas seperti saat terakhir kali mereka bertengkar. Sikap Bulan yang cuek membuat hubungan mereka terasa semakin dingin karena tidak ada komunikasi yang baik di antara keduanya. Bulan dan Alfan sama-sama memiliki sikap yang tak mudah dibelokkan sehingga keduanya sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Alfan sudah mencoba bicara dengan Bulan namun selalu berujung dengan perdebatan. Alfan yang seharusnya hanya meminta maaf pada Bulan ternyata mengungkit sesuatu hal lain yang selalu membuat emosinya naik. Begitulah keduanya. Mereka tinggal bersama bahkan berbagi kamar yang sama namun bagaikan orang asing yang tidak saling mengenal. Asisten rumah tang
Masih berada di rumah yang sama namun kini keadaan kedua wanita itu sama-sama tak terkendali. Bulan mengayunkan tangannya menghampiri wajah Zahra yang tengah meluapkan emosinya. Kejadiannya sangat cepat hingga Alfan tak bisa mencegahnya. Tamparan Bulan sekaligus menghentikan ucapan Zahra. Wanita itu menatap Bulan dengan tatapan tidak percaya. Ia memegang pipinya yang terasa panas. “Jangan melimpahkan kesalahan hanya padaku. Jika ada yang harus disalahkan itu adalah kalian berdua. Kalian yang menyembunyikan pernikahan itu. Jika kamu menyebutku pelacur lalu apa bedanya denganmu yang mau dinikahi hanya secara siri?” balas Bulan dengan suara meninggi. Zahra dan Alfan sama-sama tersentak mendengar lengkingan suara Bulan yang penuh amarah. “Sudah cukup!” Alfan melerai di antara dua istrinya sebelum keduanya kembali memulai debat. Ia menoleh ke arah Zahra. “Sudah aku bilang, semuanya salahku. Bulan
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende
Keesokan paginya berita tentang kejadian semalam membuat namanya dan nama butiknya terseret dalam berita surat kabar.Saat membacanya Ayesha masih bisa bernapas lega karena apa yang terjadi padanya tidak sampai terekspos keluar. Bukan karena tidak ingin nama baiknya hancur, kini ia kembali menyandang nama Herlambang yang membuatnya harus menjaga nama baik suaminya juga.Alfan mengusap bahunya lembut dan mengatakan kalimat yang menenangkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mom, kudengar semalam mommy keluar. Ke mana?” tanya Arzen duduk di meja makan.Remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ada polisi yang menghampiri ke rumah mereka. Karena kebiasaan Arzen memang setelah masuk kamar, ia jarang keluar jika tidak perlu sesuatu.“Ya, mommy ada urusan.”“Are you okay, Mom?”“Sure, Son.” Melemparkan senyum tipis yang tulus.“Kamu tidak perlu cemas. Berita itu tidak akan keluar,” bisik Alfan pelan.“Aku ha
Hi, boleh absen dong yang masih setia baca cerita ini? Komen di setiap bab agar aku tahu bahwa kalian masih ada di sini. Makasih.♡♡♡“Maaf, Nyonya. Di bawah ada polisi yang ingin bertemu Anda.”Polisi, batinnya bertanya-tanya.“Ya, bilang saja suruh tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu,” kata Ayesha segera masuk kamar dan mengganti pakaian.Saat ia turun ke ruang tamu, benar ada dua polisi yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Nyonya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu Anda. Kami dari Polresta Denpasar mendapat surat perintah penggeledahan butik Anda untuk melengkapi bukti bahwa saudari Clara Adelin terlibat dalam kasus peredaran dan penjualan narkoba jenis sabu.”Deg!Jantung Ayesha berdebar dengan sangat keras. Ia terkejut sekaligus syok dengan apa yang baru saja didengar.“Maaf, Pak polisi. Izinkan saya bertanya lebih dulu.”Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pe
Sebelum berangkat ia telah menghubungi suaminya dan meminta alamat kantor yang sampai saat ini belum diketahui.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, diiringi suara musik dari penyanyi favoritnya.Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan HM Group. Ayesha segera memarkirkan mobilnya di basement dan menuju resepsionis.“Ruangan Tuan Alfan Fatih Herlambang di mana, ya?” tanya Ayesha sopan.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu dengan ramah.“Apa seorang istri perlu membuat janji untuk bertemu suaminya?” Ayesha tersenyum, tetapi kata-katanya menegaskan bahwa ia adalah istrinya.“Ah, maaf. Anda Nyonya Ayesha.” Wanita itu menunduk dan meminta maaf berkali-kali.“Mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya kemudian mengarahkannya menuju lift khusus.Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai yang dituju. Lantai sepuluh, gedung teratas
Langit gelap telah berganti terang. Matahari mulai tampak malu-malu menunjukkan sinarnya.Cuaca yang masih terasa dingin membuat dua sosok lelaki di ruangan yang berbeda kembali menggulung dirinya di dalam selimut tebal yang menghangatkan.Setelah urusan dapur usai, Ayesha bergegas naik ke lantai dua dan membangunkan sang anak. Beberapa kali remaja itu menggeliat dan bergumam, tetapi tak juga membuka mata.Ayesha yang kesal langsung menarik selimutnya dengan kasar dan membuka tirai. Membiarkan cahaya pagi menembus jendela dan mengusik si pemilik kamar.“Zen! Bangun! Mommy akan menyirammu dengan air jika kamu tidak segera bangun,” ancam Ayesha dengan suara rendah.“Oh, Mommy!” keluhnya dengan suara serak. Manik cokelat itu akhirnya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya sebelum akhirnya terbuka.“Sudah. Aku bangun,” lanjutnya, ia masih duduk di tepi ranjang. Menyahut segelas air di atas nakas dan meneguknya hingga tandas. Matanya menoleh ke arah jam dinding dan terkejut saat menyad
Empat hari kemudian, mereka resmi pindah ke rumah Alfan. Lelaki itu hanya meminta anak dan istrinya membawa pakaian dan surat-surat penting lainnya.Nena juga ikut serta bersama mereka. Sebab, Ayesha sudah menganggap wanita itu seperti saudarinya.Setelah hampir dua jam merapikan kamar, Ayesha memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Pindahan memang membutuhkan tenaga ekstra.Alfan yang baru masuk kamar bertanya, “Sudah selesai?”“Belum. Ruang ganti masih berantakan, aku lelah sekali.”Ayesha memang tidak mau dibantu asisten untuk merapikan kamar dan ruang ganti. Ia ingin merapikannya sendiri agar tahu di mana letak ia menyimpan barang-barangnya.Alfan berjalan ke ruang ganti dan melihatnya. Memang masih sangat berantakan, beberapa koper masih teronggok dengan isi yang sudah carut marut.“Istirahat saja. Masih ada waktu besok lagi, jangan memaksakan diri.”Ayesha mengangguk. “Aku tahu. Kamar Arzen sudah selesai?”“Sudah. Nena sedang merapikannya.”Beberapa hari yang lalu Alfan sudah ke
Seminggu telah berlalu dengan cepat. Hari ini menjadi perpisahan antara Ayesha dan kedua orang tuanya.Mereka mengantar keduanya sampai di bandara. Bahkan Arzen turut libur sekolah karena ingin mengantarkan oma dan grandpa kesayangannya.Isak tangis Ayesha sudah terdengar sejak mereka dalam perjalanan. Kini, semakin keras suara tangis itu saat kedua orang tuanya semakin tak terlihat lagi dalam pandangan.Alfan merengkuh tubuh sang istri dan mencoba menenangkannya. Setelah keadaannya berangsur tenang mereka meninggalkan bandara.“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Alfan.“Langsung pulang saja,” balas Ayesha pelan, tak bersemangat.“Zen?” Menatap sang putra melalui kaca mobil. Remaja itu juga tampak tak bersemangat.“Ya, Dad.” Tatapannya kembali mengarah ke luar.Setelah sampai di rumah. Ibu dan anak itu mengurung diri di kamar sampai melewatkan makan malam.Alfan yang ada di meja makan sendirian menjadi tidak tenang. Ia meminta Nena menyiapkan makanan untuk dibawa ke kamar anak da
Masuk ke kamar sepasang suami istri itu kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda. Kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Mencapai nirwana tertinggi di iringi deru napas yang memburu.Dingin di luar sana sama sekali tak mendinginkan keduanya. Justru semakin memanas, bagaikan kobaran api yang baru saja disiram bensin.Membara.Peluh menetes, menjadi saksi betapa bersemangatnya mereka. Kerinduan, kasih sayang, gairah, semuanya melebur menjadi satu.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya, Ayesha bahkan sampai tak bisa bernapas dengan lega karena terus-menerus dihabisi oleh sang suami.“Sudah, Mas. Aku lelah,” ucap Ayesha dengan suara lemah.Umur yang hampir menyentuh kepala empat sama sekali tak membuat Alfan melunak sedikit pun.Ingatan tentang saat pertama kali lelaki itu menjamah dirinya terlintas. Betapa buas dan sama sekali tak menahan diri.“Tahan sebentar lagi, Sayang,” bisik Alfan, mengecup lembut pelipis sang istri.Suara erangan panjang menjadi penutup kegiatan malam it