Hari-hari dilewati oleh Bulan dan Alfan dengan tempat dan waktu yang berbeda juga situasi yang hampir delapan puluh persen berbeda.
Jika Alfan sibuk dengan keluarga kecilnya, maka Bulan tengah menikmati liburannya walaupun seorang diri.
Bulan pasrah dan menjalani apa yang memang harus dijalani hingga Tuhan berkata berhenti. Ia telah memasrahkan semuanya kepada sang pemberi kehidupan.
Sosok Bulan masih menjadi wanita masa kini dengan penampilan yang sangat fashionable. Namun begitu ia tak pernah lupa menjalankan kewajiban sholat lima waktu disela kesibukannya selama ini. Keluarga Latief adalah mualaf, mereka berpindah agama sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Tidak memakai hijab bukan berarti mereka lupa menjalankan kewajiban. Jangan melihat seseorang hanya dari luarnya saja, karena dalamnya hati seseorang kita tak pernah tahu.
Bulan menerima perjodohan dengan Alfan karena ia tahu keluarganya jelas memilihkan calon suami yang terbaik dari sekadar yang baik. Tapi pada kenyataannya … entahlah ….
Kembali pada saat ini.
Sesekali mereka bertukar kabar lewat pesan atau panggilan. Sebelum berangkat ke Bali, Alfan telah mentransfer uang pada Bulan dengan alasan sebagai bekal liburannya selama di Bali, anggap saja itu uang kompensasi sebagai imbalan untuknya tutup mulut.
Bulan tak menolaknya juga tak langsung menerimanya. Ia masih memakai uang pribadi miliknya sendiri.
Wanita cantik itu benar-benar menikmati kesendiriannya untuk menenangkan diri. Percuma mengeluh juga tak akan mengubah apa pun yang memang sudah terjadi.
Ibarat kata nasi sudah menjadi bubur, pernikahan ini sudah terjadi dan tak akan mungkin dibatalkan begitu saja. Pernikahan bukanlah permainan yang jika kita bosan kita bisa berhenti memainkannya begitu saja.
Itulah sebabnya yang dibutuhkan orang dalam memulai kehidupan pernikahan bukan hanya kesiapan finansial saja, tapi lebih dari itu yaitu kesiapan mental dan matang secara emosional. Kita akan melihat pasangan dari mulai bangun tidur hingga tidur lagi. Tak akan ada kata bosan melihatnya setiap hari.
Semua orang selalu berharap bahwa mereka akan menikah hanya sekali seumur hidup termasuk dirinya.
Bulan yang masih bergelung di dalam selimut memilih turun dari ranjang dan menghirup udara segar di balkon kamarnya. Waktu masih pagi, namun ia akan bersiap untuk keluar membeli banyak oleh-oleh sebelum kembali pulang.
Ini akan menjadi hari terakhirnya di Bali karena hari ini juga Alfan akan kembali ke Jakarta seperti pesan yang kemarin diterima olehnya.
Hari ini ia berencana memborong berbagai macam oleh-oleh khas Bali yang akan dibagikannya kepada orang tua dan mertuanya. Tak lupa juga untuk para pekerja yang bekerja di rumahnya.
Setelah puas menikmati udara pagi, ia memilih berendam air hangat dengan aroma wewangian yang menenangkan.
Setelah mandi, sarapan dan merias diri dengan riasan tipis, Bulan menyambar tas kecil berisi uang dan beberapa kartu debit dan kredit yang dimiliki. Tak lupa ponselnya ia masukkan ke dalam tas sebelum benar-benar keluar dari kamar.
Bulan terlihat cantik dengan dress bunga-bunga berbentuk sabrina yang memperlihatkan bahunya yang mulus. Flat shoes berwarna cream menjadi pilihannya, sangat pas dipakai pada kulitnya yang putih. Selama menginjakkan kakinya di Bali, Bulan mengubah warna rambutnya dari golden brown menjadi blue black dengan gradasi warna abu-abu.
Apa pun yang dilakukan seorang wanita kalau pada dasarnya cantik ya mau apa pun itu tetap terlihat cantik.
Setelahnya Bulan keluar dari hotel dengan berjalan kaki sambil menikmati keramaian para turis-turis asing yang juga sedang berlalu lalang.
Bulan baru saja sampai kembali ke hotel setelah menghabiskan sekitar empat atau lima jam di luar sana dengan berburu aneka ragam oleh-oleh khas Bali. Ada baju, makanan dan berbagai pernak-pernik lucu. Bahkan ia harus membeli koper untuk menampung oleh-olehnya supaya tak repot. Bahkan koper yang dibeli lebih besar dari koper pakaian yang dibawa.
Ponselnya berdering tanda pesan masuk. Bulan langsung mengambilnya untuk melihat siapa yang mengirim pesan.
[Alfan : Pesawat jam berapa, Bulan? Jam tiga nanti aku on the way Jakarta.]
[Bulan : Jam lima, Mas.]
[Alfan : Nanti aku jemput.]
[Bulan : Okay. Kamu hati-hati di jalan, Mas.]
[Alfan : Kamu juga hati-hati.]
Setelah bertukar kabar dengan sang suami, Bulan memilih mandi sebelum berangkat ke bandara. Tubuhnya lengket karena seharian berada di luar. Ia juga berniat makan di resto hotel dulu karena ia tadi belum sempat makan ketika berada di luar.
***
Selama seminggu Alfan berada di Bandung menemani Zahra, istrinya. Setelah pengajian selama tujuh hari berturut-turut telah usai, kini waktunya Alfan kembali ke Jakarta.
Sebelumnya, Alfan sudah meminta Zahra dan kedua adiknya untuk ikut ke Jakarta, tapi Zahra menolak karena kedua adiknya sedang menjalani ujian kelulusan.
Beberapa kali Zahra bertanya tentang Bulan namun lelaki itu belum menemukan alasan yang tepat untuk menjelaskan. Bukan ingin menunda kejujuran, tapi ia juga tak akan tega mengatakan kejujuran itu di waktu dan kondisi yang tidak tepat. Zahra baru saja kehilangan ibunya dan tidak mungkin Alfan akan menambah beban pikiran untuk wanita itu.
Zahra baru saja selesai membereskan koper Alfan ketika lelaki itu masuk ke dalam kamarnya.
Alfan duduk di tepi ranjang dan menepuk sisi sebelahnya untuk menyuruh Zahra duduk.
“Ada apa, Mas?” tanya Zahra dengan suara yang lembut seperti biasanya.
Alfan mengeluarkan amplop cokelat ke arah istrinya.
“Pegang ini untuk keperluan kalian selama aku ke Jakarta. Mungkin aku akan datang sebulan sekali setelah ini karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jika kurang, kamu bisa kabari dan aku akan mentransfernya,” ucap Alfan. Dalam amplop tersebut berisi sekitar dua puluh lima juta yang baru saja ditarik Alfan dari ATM terdekat.
Biasanya Alfan akan datang dua kali dalam satu bulan. Tapi itu dulu saat dirinya belum menikahi Bulan.
Dan untuk kartu kredit ataupun debit, Zahra memang tak diberikan oleh Alfan mengingat seluruh tagihan kartu tersebut masih dikontrol oleh kedua orang tuanya. Tapi Alfan memiliki tabungan sendiri dari gajinya selama bekerja di perusahaan orang tuanya.
“Kenapa begitu, Mas? Kan’ biasanya juga dua minggu sekali,” tanya Zahra menuntut penjelasan.
“Satu minggu aku sudah cuti. Kalau aku cuti terus menerus, keluargaku bisa curiga. Pekerjaan yang kutinggalkan selama seminggu ini juga pasti sudah menumpuk dan kamu tahu meskipun papa pemiliknya tapi tidak ada keringanan untukku, Ra. Aku tetap harus bertanggung jawab dengan pekerjaanku.” Alfan mendesah pelan.
“Jadi?”
“Satu bulan sekali aku akan datang. Jika tidak ada halangan, aku usahakan datang sebulan dua kali.”
Meskipun kecewa, Zahra akhirnya mengangguk.
“Terima kasih, Ra. Kamu jaga diri baik-baik. Apa pun yang kamu butuhkan segera hubungi aku ya,” ucap Alfan sambil merangkul bahu istrinya.
“Iya, Mas.”
Zahra adalah sosok gadis lembut dan anggun yang pada akhirnya membuatnya jatuh cinta hingga melakukan aksi nekat dengan menikahinya secara diam-diam. Keadaan yang tidak mendukung membuatnya memilih jalan yang salah dengan menyembunyikan pernikahan ini. Alfan tahu bahwa orang tuanya tidak pernah main-main dengan ucapannya. Ia takut kedua orang tuanya akan menyakiti keluarga Zahra.
Alfan sudah memasukkan kopernya ke dalam mobil. Ia diantar oleh istri dan kedua adik iparnya sampai di depan mobil yang sudah terparkir di depan rumah.
“Jaga diri kalian baik-baik ya. Zea, Zain belajar yang benar. Jangan bikin Mbak Zahra marah. Harus nurut,,” ujar Alfan mengingatkan.
“Kami nurut kok, Mas.” Keduanya menjawab bersamaan. “Mas hati-hati di jalan.”
Alfan mengangguk sebagai jawaban.
“Mas Alfan, hati-hati di jalan. Jaga diri baik-baik di sana. Aku selalu menunggumu, Mas.” Zahra mengucapkan itu dengan mata yang berkaca-kaca. “Kamu harus menepati janjimu padaku,” lanjutnya dengan tetesan air mata yang sudah lolos ketika ia berkedip.
Alfan mengangguk dan memeluk Zahra. Memberikan ciuman di kening sebentar kemudian melepaskannya.
Zahra menyambut tangan Alfan dan mencium punggung tangannya dengan lembut.
Setelah berpamitan Alfan berniat masuk ke dalam mobil sebelum ucapan wanita yang tengah terisak itu kembali menghentikan langkahnya.
“Perasaanku tidak enak, Mas. Mas Alfan tidak menyembunyikan apa pun ‘kan, Mas?”
Deg!
Entah perasaan apa ini? Kenapa ini seperti kita tidak akan bertemu lagi, batin hati Zahra.
To Be Continue ….
Alfan sudah sampai di Jakarta lebih dulu. Hanya memerlukan waktu sekitar dua setengah jam untuk sampai di Jakarta. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata mengingat ini malam minggu, ia tak ingin terjebak kemacetan di jalan. Matanya melirik ke arah jam di pergelangan tangan, ia memilih langsung menjemput Bulan karena ia yakin bahwa istrinya telah tiba. Perbedaan waktu Jakarta-Bali hanya satu jam. Seharusnya sekitar pukul lima atau setengah enam, Bulan sudah tiba. Alfan menunggu di pintu kedatangan. Sudah hampir dua puluh menit ia menunggu namun tak kelihatan kehadiran Bulan. Ia mengeluarkan ponsel berniat menghubungi istrinya ketika tepukan di bahu membuatnya terkejut. Segera saja ia menoleh dan melihat seorang wanita dengan jumpsuit panjang dengan rambut yang acak-acakan berdiri di hadapannya. Wajahnya tertutup masker hingga tak terlalu jelas terlihat.
Pagi itu Bulan sudah mandi dan bersiap turun ke lantai dua dengan membawa beberapa paper bag yang berisi oleh-oleh dari Bali. Dibantu oleh bibi asisten rumah tangga, Bulan membawa semua barang-barang itu ke ruang keluarga untuk dibagikan ke semua orang. “Bulan, kenapa repot-repot bawain mama oleh-oleh banyak begini.” Mama Silvi berkomentar saat ia masuk ke dalam ruang keluarga. “Tidak repot, Ma. Mumpung sekalian di Bali. Kapan-kapan belum tentu ada waktu buat liburan lagi,” jawab Bulan diiringi tawa ringan. Ia mulai bisa menyesuaikan diri dengan keluarga Alfan dengan berbicara santai. Mama Silvi ikut tertawa. Semua pekerja yang bekerja di rumah mendapatkan jatah semuanya tanpa terkecuali. Setelah keadaan hening, Mama Silvi menggenggam tangan Bulan dan menatapnya dengan intens penuh ketegasan. “Ada apa, Ma?”
Bulan turun ke meja makan lebih dulu setelah menyiapkan pakaian suaminya. Sejak semalam mereka tak banyak bicara seperti biasanya. Tak lama Alfan turun ke meja makan dengan pakaian rapi. Mereka berdua sudah kembali memulai aktivitas kembali seperti biasanya. Alfan sudah harus kembali bekerja di perusahaan papanya dan ia harus kembali mengurus butik yang sudah hampir dua minggu ini ditinggalkan. Setelah lelaki itu duduk, Bulan dengan penuh perhatian melayani suaminya. Walaupun bukan cinta setidaknya ia memberikan rasa hormatnya pada suaminya. “Apa yang kamu lakukan semalam, Bulan?” tanya Alfan membuat tangan Bulan menggantung di udara. “Apa maksudnya?” jawab Bulan yang belum paham inti dari ucapan suaminya. “Zahra,” sahutnya dengan pelan. Bulan meletakkan kembali tangannya kemudian menatap suaminya dengan datar. Kini ia paham apa maksud
Hari berganti, minggu berlalu, bulan berganti dan waktu terus berputar mengikuti bumi yang juga terus berputar. Semuanya mengalami perubahan namun tidak dengan hubungan antara Alfan dan Bulan. Hubungan sepasang suami-istri itu masih panas seperti saat terakhir kali mereka bertengkar. Sikap Bulan yang cuek membuat hubungan mereka terasa semakin dingin karena tidak ada komunikasi yang baik di antara keduanya. Bulan dan Alfan sama-sama memiliki sikap yang tak mudah dibelokkan sehingga keduanya sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Alfan sudah mencoba bicara dengan Bulan namun selalu berujung dengan perdebatan. Alfan yang seharusnya hanya meminta maaf pada Bulan ternyata mengungkit sesuatu hal lain yang selalu membuat emosinya naik. Begitulah keduanya. Mereka tinggal bersama bahkan berbagi kamar yang sama namun bagaikan orang asing yang tidak saling mengenal. Asisten rumah tang
Masih berada di rumah yang sama namun kini keadaan kedua wanita itu sama-sama tak terkendali. Bulan mengayunkan tangannya menghampiri wajah Zahra yang tengah meluapkan emosinya. Kejadiannya sangat cepat hingga Alfan tak bisa mencegahnya. Tamparan Bulan sekaligus menghentikan ucapan Zahra. Wanita itu menatap Bulan dengan tatapan tidak percaya. Ia memegang pipinya yang terasa panas. “Jangan melimpahkan kesalahan hanya padaku. Jika ada yang harus disalahkan itu adalah kalian berdua. Kalian yang menyembunyikan pernikahan itu. Jika kamu menyebutku pelacur lalu apa bedanya denganmu yang mau dinikahi hanya secara siri?” balas Bulan dengan suara meninggi. Zahra dan Alfan sama-sama tersentak mendengar lengkingan suara Bulan yang penuh amarah. “Sudah cukup!” Alfan melerai di antara dua istrinya sebelum keduanya kembali memulai debat. Ia menoleh ke arah Zahra. “Sudah aku bilang, semuanya salahku. Bulan
Semenjak pertemuan antara Bulan dan Zahra, keadaan sedikit mulai membaik sebab mereka sudah saling tahu tentang apa yang terjadi. Alfan berusaha bersikap adil dengan membagi waktunya, tiga hari bersama dengannya dan tiga hari bersama Zahra. Sementara di hari minggu, Alfan meminta waktu untuk sendiri. Bulan menyetujui tanpa banyak protes, sementara Zahra terlihat beberapa kali tidak menerima keputusan Alfan. Bahkan wanita itu menuntut hari minggu Alfan harus bersamanya karena ia istri pertama. Jawaban Alfan membuat wanita itu terdiam dengan isak tangis. “Jangan menuntut terlalu banyak, Zahra. Istri pertama atau kedua tidak ada bedanya, kalian sama di mataku. Seharusnya kamu bersyukur kita bisa bertemu tiga kali dalam seminggu. Dulu kita hanya bertemu dua kali dalam sebulan. Kamu jangan terlihat serakah, Zahra.” Itulah ucapan Alfan yang saat itu terdengar di telinga Bulan. Begitu te
Selama beberapa hari Bulan selalu sibuk dengan urusan butiknya. Ia selalu pulang larut malam dan selama itu pula Alfan selalu menunggunya. Hubungannya dengan lelaki itu lebih baik dari sebelumnya. Komunikasi di antara keduanya juga mulai terbuka tentang beberapa hal. Karena hari ini adalah hari terakhir dirinya bersama dengan Alfan maka Bulan memutuskan untuk pulang sebelum magrib tiba. Ia ingin sedikit memanfaatkan waktu bersama dengan suaminya untuk saling mengenal. Saat Bulan tiba di rumah ternyata Alfan juga baru saja tiba. Mereka berdua bahkan baru saja turun dari mobilnya masing-masing. “Tumben pulang sore, Bulan,” ucap Alfan. “Kamu baik-baik saja ‘kan?” Bulan mengangguk. “Baik. Pekerjaanku sudah selesai makanya aku pulang.” Keduanya berjalan bersamaan masuk ke dalam rumah. Bulan langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa setelah mereka berada di ruan
Keduanya duduk di meja makan dalam keheningan. Baik Alfan atau Bulan tidak ada yang bicara sebelum sarapan usai. Sebelum turun ke meja makan tadi, Bulan sempat menyiapkan beberapa pakaian untuk suaminya selama menginap di rumah Zahra, istri pertamanya. Menyebut istri pertama dan kedua selalu membuat sudut hatinya terluka tapi selalu disembunyikan. “Nanti pulang aku langsung ke rumah Zahra,” ucap Alfan memulai obrolan. “Aku tahu. Pakaian dan keperluan Mas Alfan sudah aku siapkan. Jika kekurangan apa pun, langsung hubungi saja,” balas Bulan dengan senyum manis. “Terima kasih. Maaf harus meninggalkanmu sendiri,” ucap Alfan penuh sesal. Bulan mengangguk mengerti. Inilah resiko yang harus diambil saat ia memilih bertahan. “Kita sudah sepakat. Aku mengerti,” sahut Bulan menghentikan. Sebelum pembahasan ini melukai hatinya lebih baik dihentik
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende
Keesokan paginya berita tentang kejadian semalam membuat namanya dan nama butiknya terseret dalam berita surat kabar.Saat membacanya Ayesha masih bisa bernapas lega karena apa yang terjadi padanya tidak sampai terekspos keluar. Bukan karena tidak ingin nama baiknya hancur, kini ia kembali menyandang nama Herlambang yang membuatnya harus menjaga nama baik suaminya juga.Alfan mengusap bahunya lembut dan mengatakan kalimat yang menenangkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mom, kudengar semalam mommy keluar. Ke mana?” tanya Arzen duduk di meja makan.Remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ada polisi yang menghampiri ke rumah mereka. Karena kebiasaan Arzen memang setelah masuk kamar, ia jarang keluar jika tidak perlu sesuatu.“Ya, mommy ada urusan.”“Are you okay, Mom?”“Sure, Son.” Melemparkan senyum tipis yang tulus.“Kamu tidak perlu cemas. Berita itu tidak akan keluar,” bisik Alfan pelan.“Aku ha
Hi, boleh absen dong yang masih setia baca cerita ini? Komen di setiap bab agar aku tahu bahwa kalian masih ada di sini. Makasih.♡♡♡“Maaf, Nyonya. Di bawah ada polisi yang ingin bertemu Anda.”Polisi, batinnya bertanya-tanya.“Ya, bilang saja suruh tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu,” kata Ayesha segera masuk kamar dan mengganti pakaian.Saat ia turun ke ruang tamu, benar ada dua polisi yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Nyonya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu Anda. Kami dari Polresta Denpasar mendapat surat perintah penggeledahan butik Anda untuk melengkapi bukti bahwa saudari Clara Adelin terlibat dalam kasus peredaran dan penjualan narkoba jenis sabu.”Deg!Jantung Ayesha berdebar dengan sangat keras. Ia terkejut sekaligus syok dengan apa yang baru saja didengar.“Maaf, Pak polisi. Izinkan saya bertanya lebih dulu.”Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pe
Sebelum berangkat ia telah menghubungi suaminya dan meminta alamat kantor yang sampai saat ini belum diketahui.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, diiringi suara musik dari penyanyi favoritnya.Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan HM Group. Ayesha segera memarkirkan mobilnya di basement dan menuju resepsionis.“Ruangan Tuan Alfan Fatih Herlambang di mana, ya?” tanya Ayesha sopan.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu dengan ramah.“Apa seorang istri perlu membuat janji untuk bertemu suaminya?” Ayesha tersenyum, tetapi kata-katanya menegaskan bahwa ia adalah istrinya.“Ah, maaf. Anda Nyonya Ayesha.” Wanita itu menunduk dan meminta maaf berkali-kali.“Mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya kemudian mengarahkannya menuju lift khusus.Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai yang dituju. Lantai sepuluh, gedung teratas
Langit gelap telah berganti terang. Matahari mulai tampak malu-malu menunjukkan sinarnya.Cuaca yang masih terasa dingin membuat dua sosok lelaki di ruangan yang berbeda kembali menggulung dirinya di dalam selimut tebal yang menghangatkan.Setelah urusan dapur usai, Ayesha bergegas naik ke lantai dua dan membangunkan sang anak. Beberapa kali remaja itu menggeliat dan bergumam, tetapi tak juga membuka mata.Ayesha yang kesal langsung menarik selimutnya dengan kasar dan membuka tirai. Membiarkan cahaya pagi menembus jendela dan mengusik si pemilik kamar.“Zen! Bangun! Mommy akan menyirammu dengan air jika kamu tidak segera bangun,” ancam Ayesha dengan suara rendah.“Oh, Mommy!” keluhnya dengan suara serak. Manik cokelat itu akhirnya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya sebelum akhirnya terbuka.“Sudah. Aku bangun,” lanjutnya, ia masih duduk di tepi ranjang. Menyahut segelas air di atas nakas dan meneguknya hingga tandas. Matanya menoleh ke arah jam dinding dan terkejut saat menyad
Empat hari kemudian, mereka resmi pindah ke rumah Alfan. Lelaki itu hanya meminta anak dan istrinya membawa pakaian dan surat-surat penting lainnya.Nena juga ikut serta bersama mereka. Sebab, Ayesha sudah menganggap wanita itu seperti saudarinya.Setelah hampir dua jam merapikan kamar, Ayesha memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Pindahan memang membutuhkan tenaga ekstra.Alfan yang baru masuk kamar bertanya, “Sudah selesai?”“Belum. Ruang ganti masih berantakan, aku lelah sekali.”Ayesha memang tidak mau dibantu asisten untuk merapikan kamar dan ruang ganti. Ia ingin merapikannya sendiri agar tahu di mana letak ia menyimpan barang-barangnya.Alfan berjalan ke ruang ganti dan melihatnya. Memang masih sangat berantakan, beberapa koper masih teronggok dengan isi yang sudah carut marut.“Istirahat saja. Masih ada waktu besok lagi, jangan memaksakan diri.”Ayesha mengangguk. “Aku tahu. Kamar Arzen sudah selesai?”“Sudah. Nena sedang merapikannya.”Beberapa hari yang lalu Alfan sudah ke
Seminggu telah berlalu dengan cepat. Hari ini menjadi perpisahan antara Ayesha dan kedua orang tuanya.Mereka mengantar keduanya sampai di bandara. Bahkan Arzen turut libur sekolah karena ingin mengantarkan oma dan grandpa kesayangannya.Isak tangis Ayesha sudah terdengar sejak mereka dalam perjalanan. Kini, semakin keras suara tangis itu saat kedua orang tuanya semakin tak terlihat lagi dalam pandangan.Alfan merengkuh tubuh sang istri dan mencoba menenangkannya. Setelah keadaannya berangsur tenang mereka meninggalkan bandara.“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Alfan.“Langsung pulang saja,” balas Ayesha pelan, tak bersemangat.“Zen?” Menatap sang putra melalui kaca mobil. Remaja itu juga tampak tak bersemangat.“Ya, Dad.” Tatapannya kembali mengarah ke luar.Setelah sampai di rumah. Ibu dan anak itu mengurung diri di kamar sampai melewatkan makan malam.Alfan yang ada di meja makan sendirian menjadi tidak tenang. Ia meminta Nena menyiapkan makanan untuk dibawa ke kamar anak da
Masuk ke kamar sepasang suami istri itu kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda. Kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Mencapai nirwana tertinggi di iringi deru napas yang memburu.Dingin di luar sana sama sekali tak mendinginkan keduanya. Justru semakin memanas, bagaikan kobaran api yang baru saja disiram bensin.Membara.Peluh menetes, menjadi saksi betapa bersemangatnya mereka. Kerinduan, kasih sayang, gairah, semuanya melebur menjadi satu.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya, Ayesha bahkan sampai tak bisa bernapas dengan lega karena terus-menerus dihabisi oleh sang suami.“Sudah, Mas. Aku lelah,” ucap Ayesha dengan suara lemah.Umur yang hampir menyentuh kepala empat sama sekali tak membuat Alfan melunak sedikit pun.Ingatan tentang saat pertama kali lelaki itu menjamah dirinya terlintas. Betapa buas dan sama sekali tak menahan diri.“Tahan sebentar lagi, Sayang,” bisik Alfan, mengecup lembut pelipis sang istri.Suara erangan panjang menjadi penutup kegiatan malam it