Alfan sudah sampai di Jakarta lebih dulu. Hanya memerlukan waktu sekitar dua setengah jam untuk sampai di Jakarta. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata mengingat ini malam minggu, ia tak ingin terjebak kemacetan di jalan.
Matanya melirik ke arah jam di pergelangan tangan, ia memilih langsung menjemput Bulan karena ia yakin bahwa istrinya telah tiba.
Perbedaan waktu Jakarta-Bali hanya satu jam. Seharusnya sekitar pukul lima atau setengah enam, Bulan sudah tiba.
Alfan menunggu di pintu kedatangan. Sudah hampir dua puluh menit ia menunggu namun tak kelihatan kehadiran Bulan.
Ia mengeluarkan ponsel berniat menghubungi istrinya ketika tepukan di bahu membuatnya terkejut. Segera saja ia menoleh dan melihat seorang wanita dengan jumpsuit panjang dengan rambut yang acak-acakan berdiri di hadapannya. Wajahnya tertutup masker hingga tak terlalu jelas terlihat.
“Mas Alfan,” panggilnya.
Suara itu … Alfan yang mengenali suaranya langsung membelalakkan mata.
“Bulan?” tebak Alfan yang dijawab dengan anggukan kepala oleh wanita itu. “Dari mana? Kok dari arah lain?” tanyanya karena Bulan tidak keluar dari pintu kedatangan melainkan dari arah lain.
“Dari toilet sebentar,” jawabnya.
Alfan menatap Bulan seolah meneliti penampilannya. Namun tidak ada yang aneh, semuanya masih sama hanya saja ia menyadari bahwa warna rambut istrinya telah berganti.
“Kamu warnai rambutmu?”
“Iya,” jawab Bulan singkat.
Setelahnya tak ada lagi obrolan. Alfan mengambil dua koper yang dibawa istrinya.
“Kamu bawa baju sebanyak ini?” tanya Alfan ketika mereka berjalan menuju tempat dimana mobilnya berada.
Bulan menggeleng. “Bukan, Mas. Yang satu koper isinya oleh-oleh.”
“Sebanyak itu? Apa saja yang kamu beli,” gumamnya diiringi keterkejutan di wajahnya.
Bulan tak merespon. Ia masuk ke dalam mobil lebih dulu ketika Alfan masih memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil.
Mobil kemudian melaju membelah jalanan kota Jakarta yang mulai padat merayap.
“Langsung ke rumah Mama Silvi ya, Mas. Aku sudah berjanji akan langsung ke sana,” kata Bulan.
“Okay!”
Hanya membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima menit akhirnya mobil yang dikendarai Alfan telah tiba di sebuah perumahan mewah dengan pemandangan yang hijau dan asri dengan tumbuhan segar di sepanjang jalan masuk ke dalam perumahan.
Mediterania Town, namanya.
Berada di sini saat pagi hari mungkin akan menyenangkan karena suasana yang damai seperti di desa.
“Di sini sejuk ya,” gumam Bulan.
Alfan mengangguk setuju.
“Kenapa Mas Alfan tidak membeli rumah di sini saja?” tanya Bulan.
“Mahal, tabunganku belum cukup.” Diiringi dengan ledakan tawa pelan seolah ucapannya menunjukkan keseriusan.
Bulan menatap Alfan dengan menaikkan alisnya. “Aku serius bertanya, Mas.”
Alfan menghentikan tawanya. Ia menoleh ke arah Bulan yang juga tengah melirik ke arahnya.
“Memang benar. Uangku tidak cukup untuk beli rumah di sini. Apa kamu mau pindah? Jika ya aku akan meminta papa meminjamkan aku uang untuk membeli rumah di sini,” ucap Alfan dengan nada serius.
Bulan menggeleng. “Aku tidak bermaksud, hanya bertanya saja. Permata Greenland sudah cukup mewah bagiku,” jawabnya sungguh-sungguh.
Bulan masih sedikit kaku jika berbicara dengan Alfan. Ia masih menggunakan bahasa baku seperti kepada orang asing yang belum dikenal.
Mobil masuk ke halaman rumah yang luas. Di kanan dan kiri terdapat tanaman yang dirawat dengan rapi dan indah.
“Ayo turun,” ucap Alfan.
Bulan mengikuti Alfan yang sudah lebih dulu turun. Lelaki itu mulai mengeluarkan kopernya dari dalam bagasi.
“Biar saya bantu bawa ke dalam, Den.” Salah satu satpam yang tadi membukakan pintu membantu membawa koper Bulan yang besar.
“Tolong bawakan ke kamarku di lantai dua ya, Pak.”
“Baik, Den.”
Ketika keduanya melangkah masuk ke dalam rumah. Terlihat wanita paruh baya yang masih cantik itu berjalan dengan senyum mengembang ke arahnya.
Mereka saling berpelukan sebentar sebelum Mama Silvi membawa menantunya untuk duduk.
“Kenapa tidak berkabar kalau mau datang?”
“Kami baru saja pulang, Ma. Dari bandara langsung ke mari,” jawab Bulan.
Senyum wanita paruh baya itu semakin lebar. “Kalian pasti lelah, bersihkan diri dan istirahat sebentar. Mama mau bantuin masak untuk menyambut kedatangan kalian.”
“Mama tidak perlu repot-repot,” ucap Bulan segan.
“Tidak repot. Mama senang. Sudah, Alfan ajak istrimu ke kamar.”
Alfan mengangguk. “Papa ke mana, Ma?”
“Masih di jalan. Sebentar lagi mungkin sampai.”
Alfan mengajak Bulan naik ke lantai dua di mana kamarnya berada. Setelahnya lelaki itu langsung menjatuhkan diri di atas ranjang dengan mata yang langsung terpejam.
Bulan maklum. Mungkin saja Alfan lelah karena perjalanan Jakarta-Bandung yang harus ditempuh seorang diri.
Tangannya membuka koper dan mengambil pakaian ganti sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Ia ingin berendam di dalam bathtub dengan air panas supaya pegal-pegal yang dirasakan sedikit berkurang.
“Mas, Mas Alfan,” panggil Bulan membangunkan suaminya.
“Bangun Mas.” Ia mengguncang tubuh Alfan hingga lelaki itu membuka mata. “Mandi dulu, Mas.”
Dengan malas Alfan bangun dan meneguk segelas air yang ada di atas meja.
“Jam berapa?” tanyanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
“Setengah delapan. Mandi dulu supaya badanmu segar. Mama dan papa sudah nunggu buat makan malam.”
Alfan mengangguk.
“Mau aku siapkan air panas dalam bathtub?” tawar Bulan dengan penuh perhatian.
Alfan menggeleng. “Tidak perlu.”
Selama Alfan mandi, Bulan menyiapkan pakaian suaminya dan meletakkannya di atas ranjang. Setelah itu ia memilih turun untuk membuat kopi.
“Di mana Alfan, Bulan?” Mama Silvi yang kebetulan lewat bertanya.
“Masih mandi, Ma. Sepertinya Mas Alfan kelelahan.”
Arti ucapan Bulan terdengar berbeda di telinga Mama Silvi yang sudah berpikir jauh. Wanita paruh baya itu tersenyum sendiri membuat Bulan bergidik ngeri
“Aku permisi mau ke dapur, Ma.” Secepat kilat ia langsung menghindar.
Setelah membuatkan kopi, Bulan langsung menuju ruang makan. Alfan sudah berada di sana dengan tampilan yang segar dan semakin terlihat tampan.
“Terima kasih,” ucap Alfan diiringi senyum tipis.
Mama Silvi tersenyum dengan perhatian yang ditunjukkan Bulan. Mereka tak salah dalam memilih menantu yang baik dan memiliki latar belakang yang jelas.
Makan malam dilanjutkan dalam diam. Tidak ada yang bersuara kecuali suara sendok dan garpu yang saling beradu di atas piring.
“Terima kasih Mama sudah merepotkan diri dengan memasak banyak makanan untuk kami,” ucap Bulan ketika mereka baru saja selesai makan malam.
Mama Silvi mengangguk. Sedangkan Papa Andre terpanah dengan ucapan menantunya yang bahkan berterima kasih dengan hal-hal yang terkadang dianggap sepele.
“Jangan begitu, kamu menantu di keluarga ini. Kita sekarang keluarga, apapun yang kamu butuhkan bisa minta pada kami atau suamimu.” Papa Andre menimpali.
Bulan hanya mengangguk dan tersenyum.
Tengah malam keduanya baru saja masuk ke dalam kamar setelah menghabiskan waktu di ruang keluarga dengan obrolan-obrolan ringan yang tak ayal mampu membuat Bulan sedikit melupakan beban dalam pikirannya.
Setelah mencuci tangan dan kakinya, Bulan naik ke atas ranjang sebelah kanan, sedang suaminya sudah bersandar di sisi sebelah kiri. Di tengah-tengah mereka terdapat guling pembatas antara area keduanya.
“Mas, kamu sudah cerita ke istrimu tentang pernikahan kita? Bagaimana responnya?” tanya Bulan, “aku benar-benar merasa bersalah dengan dia. Tapi semua ini bukan salahku semata karena ini terjadi akibat dari keegoisanmu. Demi harta kamu mengorbankan dua hati yang tidak bersalah,” sambungnya dengan lirih.
Alfan menoleh ke arahnya.
“Aku bicara fakta, jangan tersinggung.” Bulan menambahkan lagi.
“Kamu memang benar. Semua salahku, bukankah aku terlihat serakah?”
Bulan mengangguk.
Kau memang serakah. Menginginkan kebahagiaan bersama dengan istrimu juga harta orang tuamu tapi mengorbankan aku yang tidak tahu apapun.
“Maafkan aku,” ujar Alfan dengan nada rendah.
“Sudahlah, pembahasan selesai. Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas.”
Bulan sebenarnya enggan membahas masalah ini karena ia sudah pasrah dengan takdir yang memang seharusnya dijalani. Ia akan mencoba menerima semuanya dengan lapang dada walau dalam hatinya ia masih belum ikhlas menerima kenyataan pahit ini.
Alfan menoleh menatapnya. “Aku belum bicara. Ini masih dalam suasana duka. Aku akan mengatakannya nanti. Berikan aku waktu sedikit lagi.”
“Jangan mengundur lagi, Mas. Kamu saja bisa memberikanku duka di saat aku baru saja mencapai bahagia. Lalu kenapa kamu tidak bisa melakukan hal yang sama padanya?”
Alfan menghembuskan napas pelan enggan menjawab.
“Tentu karena kamu sangat mencintainya. Sedangkan aku? Siapa aku? Aku hanyalah wanita yang kamu nikahi karena sebuah tujuan.” Bulan menyela lagi dengan nada penuh kepiluan. “Aku benar-benar menjadi wanita yang malang.”
Bulan tersenyum miris seraya menghapus air mata yang keluar begitu saja.
Alfan membuang muka ke arah lain. Karena ia tak tega melihat Bulan yang tengah berderai air mata karena ulahnya.
“Maaf, maaf dan maaf. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Kita sudah berjanji akan memulainya dari awal. Kita akan hidup dengan saling berdampingan,” ujar Alfan.
Saling berdampingan? Lucu sekali, Alfan. Wanita mana yang mau hidup berdampingan dengan membagi suami? Kamu tetap menjadi lelaki yang egois dengan mempertahankan Bulan demi harta dan Zahra karena cinta.
“Apa kamu yakin bisa adil dengan memiliki dua istri?”
To Be Continue ….
Pagi itu Bulan sudah mandi dan bersiap turun ke lantai dua dengan membawa beberapa paper bag yang berisi oleh-oleh dari Bali. Dibantu oleh bibi asisten rumah tangga, Bulan membawa semua barang-barang itu ke ruang keluarga untuk dibagikan ke semua orang. “Bulan, kenapa repot-repot bawain mama oleh-oleh banyak begini.” Mama Silvi berkomentar saat ia masuk ke dalam ruang keluarga. “Tidak repot, Ma. Mumpung sekalian di Bali. Kapan-kapan belum tentu ada waktu buat liburan lagi,” jawab Bulan diiringi tawa ringan. Ia mulai bisa menyesuaikan diri dengan keluarga Alfan dengan berbicara santai. Mama Silvi ikut tertawa. Semua pekerja yang bekerja di rumah mendapatkan jatah semuanya tanpa terkecuali. Setelah keadaan hening, Mama Silvi menggenggam tangan Bulan dan menatapnya dengan intens penuh ketegasan. “Ada apa, Ma?”
Bulan turun ke meja makan lebih dulu setelah menyiapkan pakaian suaminya. Sejak semalam mereka tak banyak bicara seperti biasanya. Tak lama Alfan turun ke meja makan dengan pakaian rapi. Mereka berdua sudah kembali memulai aktivitas kembali seperti biasanya. Alfan sudah harus kembali bekerja di perusahaan papanya dan ia harus kembali mengurus butik yang sudah hampir dua minggu ini ditinggalkan. Setelah lelaki itu duduk, Bulan dengan penuh perhatian melayani suaminya. Walaupun bukan cinta setidaknya ia memberikan rasa hormatnya pada suaminya. “Apa yang kamu lakukan semalam, Bulan?” tanya Alfan membuat tangan Bulan menggantung di udara. “Apa maksudnya?” jawab Bulan yang belum paham inti dari ucapan suaminya. “Zahra,” sahutnya dengan pelan. Bulan meletakkan kembali tangannya kemudian menatap suaminya dengan datar. Kini ia paham apa maksud
Hari berganti, minggu berlalu, bulan berganti dan waktu terus berputar mengikuti bumi yang juga terus berputar. Semuanya mengalami perubahan namun tidak dengan hubungan antara Alfan dan Bulan. Hubungan sepasang suami-istri itu masih panas seperti saat terakhir kali mereka bertengkar. Sikap Bulan yang cuek membuat hubungan mereka terasa semakin dingin karena tidak ada komunikasi yang baik di antara keduanya. Bulan dan Alfan sama-sama memiliki sikap yang tak mudah dibelokkan sehingga keduanya sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Alfan sudah mencoba bicara dengan Bulan namun selalu berujung dengan perdebatan. Alfan yang seharusnya hanya meminta maaf pada Bulan ternyata mengungkit sesuatu hal lain yang selalu membuat emosinya naik. Begitulah keduanya. Mereka tinggal bersama bahkan berbagi kamar yang sama namun bagaikan orang asing yang tidak saling mengenal. Asisten rumah tang
Masih berada di rumah yang sama namun kini keadaan kedua wanita itu sama-sama tak terkendali. Bulan mengayunkan tangannya menghampiri wajah Zahra yang tengah meluapkan emosinya. Kejadiannya sangat cepat hingga Alfan tak bisa mencegahnya. Tamparan Bulan sekaligus menghentikan ucapan Zahra. Wanita itu menatap Bulan dengan tatapan tidak percaya. Ia memegang pipinya yang terasa panas. “Jangan melimpahkan kesalahan hanya padaku. Jika ada yang harus disalahkan itu adalah kalian berdua. Kalian yang menyembunyikan pernikahan itu. Jika kamu menyebutku pelacur lalu apa bedanya denganmu yang mau dinikahi hanya secara siri?” balas Bulan dengan suara meninggi. Zahra dan Alfan sama-sama tersentak mendengar lengkingan suara Bulan yang penuh amarah. “Sudah cukup!” Alfan melerai di antara dua istrinya sebelum keduanya kembali memulai debat. Ia menoleh ke arah Zahra. “Sudah aku bilang, semuanya salahku. Bulan
Semenjak pertemuan antara Bulan dan Zahra, keadaan sedikit mulai membaik sebab mereka sudah saling tahu tentang apa yang terjadi. Alfan berusaha bersikap adil dengan membagi waktunya, tiga hari bersama dengannya dan tiga hari bersama Zahra. Sementara di hari minggu, Alfan meminta waktu untuk sendiri. Bulan menyetujui tanpa banyak protes, sementara Zahra terlihat beberapa kali tidak menerima keputusan Alfan. Bahkan wanita itu menuntut hari minggu Alfan harus bersamanya karena ia istri pertama. Jawaban Alfan membuat wanita itu terdiam dengan isak tangis. “Jangan menuntut terlalu banyak, Zahra. Istri pertama atau kedua tidak ada bedanya, kalian sama di mataku. Seharusnya kamu bersyukur kita bisa bertemu tiga kali dalam seminggu. Dulu kita hanya bertemu dua kali dalam sebulan. Kamu jangan terlihat serakah, Zahra.” Itulah ucapan Alfan yang saat itu terdengar di telinga Bulan. Begitu te
Selama beberapa hari Bulan selalu sibuk dengan urusan butiknya. Ia selalu pulang larut malam dan selama itu pula Alfan selalu menunggunya. Hubungannya dengan lelaki itu lebih baik dari sebelumnya. Komunikasi di antara keduanya juga mulai terbuka tentang beberapa hal. Karena hari ini adalah hari terakhir dirinya bersama dengan Alfan maka Bulan memutuskan untuk pulang sebelum magrib tiba. Ia ingin sedikit memanfaatkan waktu bersama dengan suaminya untuk saling mengenal. Saat Bulan tiba di rumah ternyata Alfan juga baru saja tiba. Mereka berdua bahkan baru saja turun dari mobilnya masing-masing. “Tumben pulang sore, Bulan,” ucap Alfan. “Kamu baik-baik saja ‘kan?” Bulan mengangguk. “Baik. Pekerjaanku sudah selesai makanya aku pulang.” Keduanya berjalan bersamaan masuk ke dalam rumah. Bulan langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa setelah mereka berada di ruan
Keduanya duduk di meja makan dalam keheningan. Baik Alfan atau Bulan tidak ada yang bicara sebelum sarapan usai. Sebelum turun ke meja makan tadi, Bulan sempat menyiapkan beberapa pakaian untuk suaminya selama menginap di rumah Zahra, istri pertamanya. Menyebut istri pertama dan kedua selalu membuat sudut hatinya terluka tapi selalu disembunyikan. “Nanti pulang aku langsung ke rumah Zahra,” ucap Alfan memulai obrolan. “Aku tahu. Pakaian dan keperluan Mas Alfan sudah aku siapkan. Jika kekurangan apa pun, langsung hubungi saja,” balas Bulan dengan senyum manis. “Terima kasih. Maaf harus meninggalkanmu sendiri,” ucap Alfan penuh sesal. Bulan mengangguk mengerti. Inilah resiko yang harus diambil saat ia memilih bertahan. “Kita sudah sepakat. Aku mengerti,” sahut Bulan menghentikan. Sebelum pembahasan ini melukai hatinya lebih baik dihentik
“Mau ke mana Mas? Pagi sekali.” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Zahra yang melihat Alfan tengah bersiap. Padahal waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. “Aku ada urusan pekerjaan,” sahut Alfan tanpa menoleh. “Kenapa pagi sekali. Jam kantor baru akan buka jam delapan, Mas.” Zahra mendekat sambil menatap Alfan curiga. “Aku harus mengunjungi salah satu cabang yang baru mulai berkembang. Siang nanti aku akan kembali ke kantor pusat. Jadi jadwalku hari ini benar-benar padat, Ra.” Zahra menggeleng menolak untuk tidak percaya dengan perkataan Alfan. Kamu bosnya, untuk apa kamu harus bekerja sekeras ini, batin Zahra miris. “Aku mungkin akan pulang larut. Jadi, jangan menungguku.” Alfan berbalik badan dan menyentuh bahu Zahra lembut. “Mas Alfan tidak berniat menghindar, kan?” tanya Zahra dengan cairan bening ya
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende
Keesokan paginya berita tentang kejadian semalam membuat namanya dan nama butiknya terseret dalam berita surat kabar.Saat membacanya Ayesha masih bisa bernapas lega karena apa yang terjadi padanya tidak sampai terekspos keluar. Bukan karena tidak ingin nama baiknya hancur, kini ia kembali menyandang nama Herlambang yang membuatnya harus menjaga nama baik suaminya juga.Alfan mengusap bahunya lembut dan mengatakan kalimat yang menenangkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mom, kudengar semalam mommy keluar. Ke mana?” tanya Arzen duduk di meja makan.Remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ada polisi yang menghampiri ke rumah mereka. Karena kebiasaan Arzen memang setelah masuk kamar, ia jarang keluar jika tidak perlu sesuatu.“Ya, mommy ada urusan.”“Are you okay, Mom?”“Sure, Son.” Melemparkan senyum tipis yang tulus.“Kamu tidak perlu cemas. Berita itu tidak akan keluar,” bisik Alfan pelan.“Aku ha
Hi, boleh absen dong yang masih setia baca cerita ini? Komen di setiap bab agar aku tahu bahwa kalian masih ada di sini. Makasih.♡♡♡“Maaf, Nyonya. Di bawah ada polisi yang ingin bertemu Anda.”Polisi, batinnya bertanya-tanya.“Ya, bilang saja suruh tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu,” kata Ayesha segera masuk kamar dan mengganti pakaian.Saat ia turun ke ruang tamu, benar ada dua polisi yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Nyonya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu Anda. Kami dari Polresta Denpasar mendapat surat perintah penggeledahan butik Anda untuk melengkapi bukti bahwa saudari Clara Adelin terlibat dalam kasus peredaran dan penjualan narkoba jenis sabu.”Deg!Jantung Ayesha berdebar dengan sangat keras. Ia terkejut sekaligus syok dengan apa yang baru saja didengar.“Maaf, Pak polisi. Izinkan saya bertanya lebih dulu.”Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pe
Sebelum berangkat ia telah menghubungi suaminya dan meminta alamat kantor yang sampai saat ini belum diketahui.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, diiringi suara musik dari penyanyi favoritnya.Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan HM Group. Ayesha segera memarkirkan mobilnya di basement dan menuju resepsionis.“Ruangan Tuan Alfan Fatih Herlambang di mana, ya?” tanya Ayesha sopan.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu dengan ramah.“Apa seorang istri perlu membuat janji untuk bertemu suaminya?” Ayesha tersenyum, tetapi kata-katanya menegaskan bahwa ia adalah istrinya.“Ah, maaf. Anda Nyonya Ayesha.” Wanita itu menunduk dan meminta maaf berkali-kali.“Mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya kemudian mengarahkannya menuju lift khusus.Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai yang dituju. Lantai sepuluh, gedung teratas
Langit gelap telah berganti terang. Matahari mulai tampak malu-malu menunjukkan sinarnya.Cuaca yang masih terasa dingin membuat dua sosok lelaki di ruangan yang berbeda kembali menggulung dirinya di dalam selimut tebal yang menghangatkan.Setelah urusan dapur usai, Ayesha bergegas naik ke lantai dua dan membangunkan sang anak. Beberapa kali remaja itu menggeliat dan bergumam, tetapi tak juga membuka mata.Ayesha yang kesal langsung menarik selimutnya dengan kasar dan membuka tirai. Membiarkan cahaya pagi menembus jendela dan mengusik si pemilik kamar.“Zen! Bangun! Mommy akan menyirammu dengan air jika kamu tidak segera bangun,” ancam Ayesha dengan suara rendah.“Oh, Mommy!” keluhnya dengan suara serak. Manik cokelat itu akhirnya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya sebelum akhirnya terbuka.“Sudah. Aku bangun,” lanjutnya, ia masih duduk di tepi ranjang. Menyahut segelas air di atas nakas dan meneguknya hingga tandas. Matanya menoleh ke arah jam dinding dan terkejut saat menyad
Empat hari kemudian, mereka resmi pindah ke rumah Alfan. Lelaki itu hanya meminta anak dan istrinya membawa pakaian dan surat-surat penting lainnya.Nena juga ikut serta bersama mereka. Sebab, Ayesha sudah menganggap wanita itu seperti saudarinya.Setelah hampir dua jam merapikan kamar, Ayesha memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Pindahan memang membutuhkan tenaga ekstra.Alfan yang baru masuk kamar bertanya, “Sudah selesai?”“Belum. Ruang ganti masih berantakan, aku lelah sekali.”Ayesha memang tidak mau dibantu asisten untuk merapikan kamar dan ruang ganti. Ia ingin merapikannya sendiri agar tahu di mana letak ia menyimpan barang-barangnya.Alfan berjalan ke ruang ganti dan melihatnya. Memang masih sangat berantakan, beberapa koper masih teronggok dengan isi yang sudah carut marut.“Istirahat saja. Masih ada waktu besok lagi, jangan memaksakan diri.”Ayesha mengangguk. “Aku tahu. Kamar Arzen sudah selesai?”“Sudah. Nena sedang merapikannya.”Beberapa hari yang lalu Alfan sudah ke
Seminggu telah berlalu dengan cepat. Hari ini menjadi perpisahan antara Ayesha dan kedua orang tuanya.Mereka mengantar keduanya sampai di bandara. Bahkan Arzen turut libur sekolah karena ingin mengantarkan oma dan grandpa kesayangannya.Isak tangis Ayesha sudah terdengar sejak mereka dalam perjalanan. Kini, semakin keras suara tangis itu saat kedua orang tuanya semakin tak terlihat lagi dalam pandangan.Alfan merengkuh tubuh sang istri dan mencoba menenangkannya. Setelah keadaannya berangsur tenang mereka meninggalkan bandara.“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Alfan.“Langsung pulang saja,” balas Ayesha pelan, tak bersemangat.“Zen?” Menatap sang putra melalui kaca mobil. Remaja itu juga tampak tak bersemangat.“Ya, Dad.” Tatapannya kembali mengarah ke luar.Setelah sampai di rumah. Ibu dan anak itu mengurung diri di kamar sampai melewatkan makan malam.Alfan yang ada di meja makan sendirian menjadi tidak tenang. Ia meminta Nena menyiapkan makanan untuk dibawa ke kamar anak da
Masuk ke kamar sepasang suami istri itu kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda. Kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Mencapai nirwana tertinggi di iringi deru napas yang memburu.Dingin di luar sana sama sekali tak mendinginkan keduanya. Justru semakin memanas, bagaikan kobaran api yang baru saja disiram bensin.Membara.Peluh menetes, menjadi saksi betapa bersemangatnya mereka. Kerinduan, kasih sayang, gairah, semuanya melebur menjadi satu.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya, Ayesha bahkan sampai tak bisa bernapas dengan lega karena terus-menerus dihabisi oleh sang suami.“Sudah, Mas. Aku lelah,” ucap Ayesha dengan suara lemah.Umur yang hampir menyentuh kepala empat sama sekali tak membuat Alfan melunak sedikit pun.Ingatan tentang saat pertama kali lelaki itu menjamah dirinya terlintas. Betapa buas dan sama sekali tak menahan diri.“Tahan sebentar lagi, Sayang,” bisik Alfan, mengecup lembut pelipis sang istri.Suara erangan panjang menjadi penutup kegiatan malam it