Pagi itu Bulan sudah mandi dan bersiap turun ke lantai dua dengan membawa beberapa paper bag yang berisi oleh-oleh dari Bali.
Dibantu oleh bibi asisten rumah tangga, Bulan membawa semua barang-barang itu ke ruang keluarga untuk dibagikan ke semua orang.
“Bulan, kenapa repot-repot bawain mama oleh-oleh banyak begini.” Mama Silvi berkomentar saat ia masuk ke dalam ruang keluarga.
“Tidak repot, Ma. Mumpung sekalian di Bali. Kapan-kapan belum tentu ada waktu buat liburan lagi,” jawab Bulan diiringi tawa ringan. Ia mulai bisa menyesuaikan diri dengan keluarga Alfan dengan berbicara santai.
Mama Silvi ikut tertawa. Semua pekerja yang bekerja di rumah mendapatkan jatah semuanya tanpa terkecuali.
Setelah keadaan hening, Mama Silvi menggenggam tangan Bulan dan menatapnya dengan intens penuh ketegasan.
“Ada apa, Ma?”
Mama Silvi masih belum bicara. Ia hanya menatap menantunya yang juga tengah menatapnya.
“Mama,” panggil Bulan sekali lagi.
“Berjanjilah dengan mama,” jawabnya dengan mendesak.
“Janji apa, Ma? Aku tidak akan berjanji sebelum Mama kasih tahu apa yang harus kujanjikan.” Bulan menggeleng, “janji adalah hutang dan aku takut tak bisa menepatinya.”
“Berjanjilah untuk selalu menemani Alfan dalam keadaan apa pun. Baik suka atau duka, jangan tinggalkan Alfan.”
Bulan langsung menggeleng dengan tegas. “Aku tidak bisa berjanji untuk itu, Ma. Jodoh tidak ada yang tahu,” jawabnya dengan tegas.
“Kenapa?”
“Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti, Ma. Jangan membuatku mengemban sesuatu yang berat.” Bulan menghela napas pelan.
“Mama kenapa berpikir sejauh itu?”
Apa Mama tahu sesuatu tentang hubungan Mas Alfan dan istrinya? Bulan menebak.
Mama Silvi memeluk Bulan dengan erat. “Setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Begitu juga dengan kami sebagai orang tua Alfan. Kami ingin Alfan memiliki istri yang baik dan dari keluarga yang baik.”
Perkataan Mama Silvi semakin membuat Bulan berpikir bahwa wanita paruh baya itu sudah mengetahui hubungan anaknya dengan wanita lain.
“Apa Mama merahasiakan sesuatu?” tanya Bulan dengan tatapan mata menyelidik.
Mama Silvi menggeleng.
“Lalu sebenarnya apa maksud Mama? Aku masih tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini.”
“Tidak ada orang tua yang tidak menginginkan kebahagiaan untuk anaknya. Tapi jika kebahagiaan itu hanyalah semu dan penuh kepalsuan, apakah kami akan membiarkannya?”
Bulan menggeleng. “Semua orang tua pasti ingin yang terbaik dari sekedar yang baik, Ma.”
Mama Silvi tersenyum puas dengan jawaban Bulan.
“Jangan dipikirkan,” ucap Mama Silvi membuyarkan lamunannya. “Jalani saja semuanya seperti air mengalir.”
Bulan mengangguk.
Tok! Tok! Tok!
“Mas Alfan, makan siang dulu.”
Bulan berdiri di depan ruang kerja milik Alfan. Mengajak lelaki itu untuk makan siang bersama karena semenjak pagi lelaki itu selalu menghindarinya.
Bulan tahu bahwa Alfan merasa bersalah. Ia juga tahu bahwa suaminya enggan bertemu karena pembicaraan semalam yang teramat menyakitkan.
Tapi … dengan segala pengertian Bulan masih mau menunjukkan perhatiannya untuk Alfan yang jelas telah banyak menyakitinya.
Ceklek!
Alfan keluar dari ruang kerjanya dengan mata sayu.
“Makan siang dulu, Mas.”
Alfan hanya mengangguk dan mengikuti langkah Bulan menuju meja makan.
Tidak ada Mama Silvi atau Papa Andre. Mereka hanya makan siang berdua dalam kebungkaman masing-masing.
Setelah makan siang, Alfan pamit kembali ke ruang kerja karena harus menyelesaikan pekerjaannya. Bulan hanya mengangguk tanpa bertanya apapun.
Keduanya berniat pulang ke rumahnya. Karena mereka berdua pulang mendekati makan malam, akhirnya Mama Silvi membawakan banyak makanan untuk menantunya agar mereka bisa langsung makan tanpa menunggu.
Awalnya Mama Silvi meminta anak dan menantunya menginap satu malam lagi, namun Bulan menolaknya karena besok mereka berdua sudah mulai menjalankan aktivitas kembali.
Sore tadi Bulan sudah meminta tolong pada sopir Mama Silvi untuk mengantarkan oleh-olehnya ke rumah keluarga Latief.
“Sering-sering main ke rumah kalau lagi libur.” Mama Silvi berpesan sambil memeluk Bulan.
“Kami pulang, Ma, Pa. Jaga kesehatan kalian,” pamit Bulan kepada kedua mertuanya.
Mobil yang dikendarai Alfan membelah padatnya jalanan ibukota. Sebenarnya jarak rumah mereka tidak terlalu jauh seperti ke rumah keluarganya yang butuh waktu berjam-jam.
Satu jam kemudian ….
Mereka telah tiba di rumah sendiri. Bulan segera turun diikuti oleh Alfan.
“Kamu masuk saja duluan. Aku akan mengeluarkan kopernya dulu,” ucap Alfan ketika mobil sudah berhenti di rumahnya.
“Iya.” Bulan langsung keluar dari dalam mobil setelahnya.
Mbak Marni yang membukakan pintu dan bertanya apa yang diinginkan. Ia menyerahkan paper bag berisi makanan yang dibawakan dari rumah mertuanya.
“Dihangatkan saja nanti, Mbak. Aku mau bersih-bersih dulu,” ucap Bulan menginterupsi yang langsung dibalas anggukan kepala.
Bulan langsung berjalan ke kamarnya dan langsung membersihkan diri dengan mencuci muka. Pikirnya tidak usah mandi karena sore tadi ia sudah mandi di rumah mertuanya.
Setelahnya ia merebahkan diri sebentar di atas ranjang untuk meluruskan punggungnya yang sedikit pegal.
Ceklek!
“Bulan,” panggil Alfan yang mengira Bulan tertidur.
“Ada apa, Mas?”
“Sudah mandi?”
“Sudah tadi. Kenapa?”
“Tidak sholat isya dulu? Ayo sama-sama, kita berjamaah.”
Mendengar itu Bulan tersenyum tipis dan segera duduk dengan tegak.
Alfan pamit ke kamar mandi lebih dulu untuk membersihkan diri. Tak lama lelaki itu sudah keluar dengan penampilan yang segar dan terlihat tampan dengan baju koko yang dikenakan.
“Wudhu dulu,” ucapnya.
Alfan berdiri di depan sebagai imam sedangkan Bulan mengikuti di belakangnya sebagai makmum. Keduanya melakukan sholat dengan khusyuk untuk pertama kalinya setelah berstatus suami istri. Sebelumnya mereka selalu melakukan sholat sendiri.
“Assalamualaikum warahmatullah.”
Setelah mengucapkan salam keduanya masih duduk untuk memanjatkan doa.
“Allaahumma baarik lii fii ahlii wa baarik li ahlii fiyya (Ya Allah, berkahilah istriku untukku dan berkahilah aku untuk istriku)."
“Allahummaghfirli, warhamni, wahdini, wa‘aafini, warzuqni (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, berilah petunjuk kepadaku, selamatkanlah aku, dan berikanlah rezeki kepadaku).”
“Amin.”
Alfan berbalik badan menoleh ke arah Bulan yang sudah berlinang air mata. Lelaki itu menghapus air mata istrinya dengan pelan kemudian istrinya menangkap tangannya dan mencium punggung tangannya penuh kelembutan dan perasaan.
Alfan merengkuh tubuh Bulan ke dalam pelukannya dengan air mata yang juga ikut meleleh.
‘Maaf’ satu kata itu sudah berulang kali diucapkan.
Jika seperti ini mereka berdua terlihat seperti pasangan yang berbahagia. Yang satunya sholeh yang satunya shalihah, tapi apa yang terlihat kadang tak sesuai dengan kenyataan. Begitulah kehidupan.
“Bulan bisa minta sesuatu?” Alfan berbicara serius.
“Ada apa, Mas?”
“Bisa bicara padaku dengan bahasa santai saja? Jangan terlalu kaku, jika seperti ini kita terlihat seperti orang asing.”
Bulan mengangguk. “Baiklah.”
Setelah makan malam, Bulan langsung masuk ke kamarnya sedangkan Alfan masuk ke ruang kerjanya kalau tidak salah. Ia tidak begitu memperhatikan karena saat Alfan pamit tadi, ia sedang bertelponan dengan Mami Tari.
Mami Tari terkejut ketika ia mengatakan berlibur bersama Alfan. Karena ibunya tahu bahwa di antara keduanya belum ada cinta di dalamnya. Namun penjelasan Bulan mematahkan semua prasangka buruk ibunya.
Wanita itu sedang menekuni buku yang sedang dibaca. Salah satu buku bisnis yang dulu dibeli atas rekomendasi dari dosennya saat ia menempuh pendidikan di Harvard University.
Bulan adalah lulusan Harvard University jurusan manajemen bisnis dengan predikat cumlaude. Namun memilih mengembangkan hobinya menggambar dengan menjadi seorang desainer.
Fokusnya kembali terpecah saat mendengar getaran ponsel. Bulan melihat ponselnya, layarnya mati berarti bukan suara ponselnya. Ia menoleh dan mendapati ada ponsel tergeletak di atas meja. Bulan meraihnya dan melihat nama yang tertera di layarnya.
My Love, menjadi nama yang disematkan di kontak tersebut.
Bulan menduga itu adalah istri pertama Alfan, cintanya, wanita yang dibela lelaki itu hingga mengorbankannya.
Ragu.
Ia ingin menjawab panggilan tersebut dan mendengar suara dari wanita yang sudah membuat lelaki seperti Alfan bertindak gegabah. Namun, siapkah ia mendengar apa yang seharusnya tidak didengar?
Dengan tangan sedikit gemetar dan hembusan napas panjang, ia meraih ponsel tersebut yang terus bergetar dan mengganggu konsentrasinya. Jemarinya menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan.
“Halo Mas, kenapa pesanku dari tadi tidak dijawab?”
Suaranya lembut dan terdengar manja di telinganya.
“Mas Alfan. Kok diam saja. Ada apa, Mas? Tidak rindu aku ya?”
Bulan masih terdiam dengan hati yang semakin melebur mendengar suara bernada manja itu mendayu di telinganya.
“Halo, Mas Alfan.”
“Maaf Mbak. Mas Alfan sedang sibuk,” ucapnya dengan bibir yang bergetar.
“Loh! Maaf Mbak siapa ya?” tanyanya sedikit terkejut. “Ini ponsel Mas Alfan. Mas Alfan di mana ya?”
Aku istrinya, batin Bulan perih.
“Mbak bisa tanya Mas Alfan siapa saya.” Bulan tidak berhak menjawab. “Ada yang ingin disampaikan sama Mas Alfan? Jika ya saya akan memanggilnya,” lanjutnya mencoba tetap biasa saja.
“Oh tidak perlu, Mbak. Nanti saja biar Mas Alfan yang menghubungiku.”
“Ya sudah kalau begitu, Mbak.”
“Maaf mengganggu, Mbak. Selamat malam.”
Tut ….
Bulan kembali meletakkan ponselnya di tempat semula dan menyahut segelas air kemudian meneguknya untuk membasahi tenggorokan. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya. Mendengar suara manja itu membuatnya membayangkan sosok wanita bernama Zahra tersebut.
Zahra mematung sambil menggenggam ponselnya dengan erat setelah memutuskan panggilan.
Bertanya-tanya dalam hati tentang siapa wanita yang menjawab panggilan di ponsel suaminya.
“Mas Alfan, apa ini, Mas? Siapa wanita itu?”
To Be Continue ….
Bulan turun ke meja makan lebih dulu setelah menyiapkan pakaian suaminya. Sejak semalam mereka tak banyak bicara seperti biasanya. Tak lama Alfan turun ke meja makan dengan pakaian rapi. Mereka berdua sudah kembali memulai aktivitas kembali seperti biasanya. Alfan sudah harus kembali bekerja di perusahaan papanya dan ia harus kembali mengurus butik yang sudah hampir dua minggu ini ditinggalkan. Setelah lelaki itu duduk, Bulan dengan penuh perhatian melayani suaminya. Walaupun bukan cinta setidaknya ia memberikan rasa hormatnya pada suaminya. “Apa yang kamu lakukan semalam, Bulan?” tanya Alfan membuat tangan Bulan menggantung di udara. “Apa maksudnya?” jawab Bulan yang belum paham inti dari ucapan suaminya. “Zahra,” sahutnya dengan pelan. Bulan meletakkan kembali tangannya kemudian menatap suaminya dengan datar. Kini ia paham apa maksud
Hari berganti, minggu berlalu, bulan berganti dan waktu terus berputar mengikuti bumi yang juga terus berputar. Semuanya mengalami perubahan namun tidak dengan hubungan antara Alfan dan Bulan. Hubungan sepasang suami-istri itu masih panas seperti saat terakhir kali mereka bertengkar. Sikap Bulan yang cuek membuat hubungan mereka terasa semakin dingin karena tidak ada komunikasi yang baik di antara keduanya. Bulan dan Alfan sama-sama memiliki sikap yang tak mudah dibelokkan sehingga keduanya sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Alfan sudah mencoba bicara dengan Bulan namun selalu berujung dengan perdebatan. Alfan yang seharusnya hanya meminta maaf pada Bulan ternyata mengungkit sesuatu hal lain yang selalu membuat emosinya naik. Begitulah keduanya. Mereka tinggal bersama bahkan berbagi kamar yang sama namun bagaikan orang asing yang tidak saling mengenal. Asisten rumah tang
Masih berada di rumah yang sama namun kini keadaan kedua wanita itu sama-sama tak terkendali. Bulan mengayunkan tangannya menghampiri wajah Zahra yang tengah meluapkan emosinya. Kejadiannya sangat cepat hingga Alfan tak bisa mencegahnya. Tamparan Bulan sekaligus menghentikan ucapan Zahra. Wanita itu menatap Bulan dengan tatapan tidak percaya. Ia memegang pipinya yang terasa panas. “Jangan melimpahkan kesalahan hanya padaku. Jika ada yang harus disalahkan itu adalah kalian berdua. Kalian yang menyembunyikan pernikahan itu. Jika kamu menyebutku pelacur lalu apa bedanya denganmu yang mau dinikahi hanya secara siri?” balas Bulan dengan suara meninggi. Zahra dan Alfan sama-sama tersentak mendengar lengkingan suara Bulan yang penuh amarah. “Sudah cukup!” Alfan melerai di antara dua istrinya sebelum keduanya kembali memulai debat. Ia menoleh ke arah Zahra. “Sudah aku bilang, semuanya salahku. Bulan
Semenjak pertemuan antara Bulan dan Zahra, keadaan sedikit mulai membaik sebab mereka sudah saling tahu tentang apa yang terjadi. Alfan berusaha bersikap adil dengan membagi waktunya, tiga hari bersama dengannya dan tiga hari bersama Zahra. Sementara di hari minggu, Alfan meminta waktu untuk sendiri. Bulan menyetujui tanpa banyak protes, sementara Zahra terlihat beberapa kali tidak menerima keputusan Alfan. Bahkan wanita itu menuntut hari minggu Alfan harus bersamanya karena ia istri pertama. Jawaban Alfan membuat wanita itu terdiam dengan isak tangis. “Jangan menuntut terlalu banyak, Zahra. Istri pertama atau kedua tidak ada bedanya, kalian sama di mataku. Seharusnya kamu bersyukur kita bisa bertemu tiga kali dalam seminggu. Dulu kita hanya bertemu dua kali dalam sebulan. Kamu jangan terlihat serakah, Zahra.” Itulah ucapan Alfan yang saat itu terdengar di telinga Bulan. Begitu te
Selama beberapa hari Bulan selalu sibuk dengan urusan butiknya. Ia selalu pulang larut malam dan selama itu pula Alfan selalu menunggunya. Hubungannya dengan lelaki itu lebih baik dari sebelumnya. Komunikasi di antara keduanya juga mulai terbuka tentang beberapa hal. Karena hari ini adalah hari terakhir dirinya bersama dengan Alfan maka Bulan memutuskan untuk pulang sebelum magrib tiba. Ia ingin sedikit memanfaatkan waktu bersama dengan suaminya untuk saling mengenal. Saat Bulan tiba di rumah ternyata Alfan juga baru saja tiba. Mereka berdua bahkan baru saja turun dari mobilnya masing-masing. “Tumben pulang sore, Bulan,” ucap Alfan. “Kamu baik-baik saja ‘kan?” Bulan mengangguk. “Baik. Pekerjaanku sudah selesai makanya aku pulang.” Keduanya berjalan bersamaan masuk ke dalam rumah. Bulan langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa setelah mereka berada di ruan
Keduanya duduk di meja makan dalam keheningan. Baik Alfan atau Bulan tidak ada yang bicara sebelum sarapan usai. Sebelum turun ke meja makan tadi, Bulan sempat menyiapkan beberapa pakaian untuk suaminya selama menginap di rumah Zahra, istri pertamanya. Menyebut istri pertama dan kedua selalu membuat sudut hatinya terluka tapi selalu disembunyikan. “Nanti pulang aku langsung ke rumah Zahra,” ucap Alfan memulai obrolan. “Aku tahu. Pakaian dan keperluan Mas Alfan sudah aku siapkan. Jika kekurangan apa pun, langsung hubungi saja,” balas Bulan dengan senyum manis. “Terima kasih. Maaf harus meninggalkanmu sendiri,” ucap Alfan penuh sesal. Bulan mengangguk mengerti. Inilah resiko yang harus diambil saat ia memilih bertahan. “Kita sudah sepakat. Aku mengerti,” sahut Bulan menghentikan. Sebelum pembahasan ini melukai hatinya lebih baik dihentik
“Mau ke mana Mas? Pagi sekali.” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Zahra yang melihat Alfan tengah bersiap. Padahal waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. “Aku ada urusan pekerjaan,” sahut Alfan tanpa menoleh. “Kenapa pagi sekali. Jam kantor baru akan buka jam delapan, Mas.” Zahra mendekat sambil menatap Alfan curiga. “Aku harus mengunjungi salah satu cabang yang baru mulai berkembang. Siang nanti aku akan kembali ke kantor pusat. Jadi jadwalku hari ini benar-benar padat, Ra.” Zahra menggeleng menolak untuk tidak percaya dengan perkataan Alfan. Kamu bosnya, untuk apa kamu harus bekerja sekeras ini, batin Zahra miris. “Aku mungkin akan pulang larut. Jadi, jangan menungguku.” Alfan berbalik badan dan menyentuh bahu Zahra lembut. “Mas Alfan tidak berniat menghindar, kan?” tanya Zahra dengan cairan bening ya
Pagi ini hari sangat tenang dan indah. Matahari baru saja mulai terbit dari cakrawala berwarna merah. Mewarnai langit indah dengan warna jingga yang sangat cantik. Banyak orang yang telah melakukan aktivitas di luar rumah. Tapi bagi sebagian orang minggu adalah hari untuk bermalas-malasan. Udara sangat sejuk. Segalanya tampak begitu tenang dan damai, namun tidak demikian dengan salah satu rumah yang terdengar teriakan melengking yang jelas menarik perhatian tetangga di sekitarnya. Rumah mewah yang telah diatasnamakan Bulan itu tengah kedatangan tamu tidak diundang yang seketika membuat suasana hati Bulan memburuk. Zahra, wanita itu datang dengan cucuran air mata dan menarik perhatian Alfan dengan wajah polos minta digampar. Saat Alfan bertanya tentang apa yang terjadi, entah pikiran dari mana tiba-tiba Zahra menjawab, “Mbak Bulan datang dan memberikan ini padaku. Dia me
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende
Keesokan paginya berita tentang kejadian semalam membuat namanya dan nama butiknya terseret dalam berita surat kabar.Saat membacanya Ayesha masih bisa bernapas lega karena apa yang terjadi padanya tidak sampai terekspos keluar. Bukan karena tidak ingin nama baiknya hancur, kini ia kembali menyandang nama Herlambang yang membuatnya harus menjaga nama baik suaminya juga.Alfan mengusap bahunya lembut dan mengatakan kalimat yang menenangkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mom, kudengar semalam mommy keluar. Ke mana?” tanya Arzen duduk di meja makan.Remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ada polisi yang menghampiri ke rumah mereka. Karena kebiasaan Arzen memang setelah masuk kamar, ia jarang keluar jika tidak perlu sesuatu.“Ya, mommy ada urusan.”“Are you okay, Mom?”“Sure, Son.” Melemparkan senyum tipis yang tulus.“Kamu tidak perlu cemas. Berita itu tidak akan keluar,” bisik Alfan pelan.“Aku ha
Hi, boleh absen dong yang masih setia baca cerita ini? Komen di setiap bab agar aku tahu bahwa kalian masih ada di sini. Makasih.♡♡♡“Maaf, Nyonya. Di bawah ada polisi yang ingin bertemu Anda.”Polisi, batinnya bertanya-tanya.“Ya, bilang saja suruh tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu,” kata Ayesha segera masuk kamar dan mengganti pakaian.Saat ia turun ke ruang tamu, benar ada dua polisi yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Nyonya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu Anda. Kami dari Polresta Denpasar mendapat surat perintah penggeledahan butik Anda untuk melengkapi bukti bahwa saudari Clara Adelin terlibat dalam kasus peredaran dan penjualan narkoba jenis sabu.”Deg!Jantung Ayesha berdebar dengan sangat keras. Ia terkejut sekaligus syok dengan apa yang baru saja didengar.“Maaf, Pak polisi. Izinkan saya bertanya lebih dulu.”Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pe
Sebelum berangkat ia telah menghubungi suaminya dan meminta alamat kantor yang sampai saat ini belum diketahui.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, diiringi suara musik dari penyanyi favoritnya.Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan HM Group. Ayesha segera memarkirkan mobilnya di basement dan menuju resepsionis.“Ruangan Tuan Alfan Fatih Herlambang di mana, ya?” tanya Ayesha sopan.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu dengan ramah.“Apa seorang istri perlu membuat janji untuk bertemu suaminya?” Ayesha tersenyum, tetapi kata-katanya menegaskan bahwa ia adalah istrinya.“Ah, maaf. Anda Nyonya Ayesha.” Wanita itu menunduk dan meminta maaf berkali-kali.“Mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya kemudian mengarahkannya menuju lift khusus.Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai yang dituju. Lantai sepuluh, gedung teratas
Langit gelap telah berganti terang. Matahari mulai tampak malu-malu menunjukkan sinarnya.Cuaca yang masih terasa dingin membuat dua sosok lelaki di ruangan yang berbeda kembali menggulung dirinya di dalam selimut tebal yang menghangatkan.Setelah urusan dapur usai, Ayesha bergegas naik ke lantai dua dan membangunkan sang anak. Beberapa kali remaja itu menggeliat dan bergumam, tetapi tak juga membuka mata.Ayesha yang kesal langsung menarik selimutnya dengan kasar dan membuka tirai. Membiarkan cahaya pagi menembus jendela dan mengusik si pemilik kamar.“Zen! Bangun! Mommy akan menyirammu dengan air jika kamu tidak segera bangun,” ancam Ayesha dengan suara rendah.“Oh, Mommy!” keluhnya dengan suara serak. Manik cokelat itu akhirnya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya sebelum akhirnya terbuka.“Sudah. Aku bangun,” lanjutnya, ia masih duduk di tepi ranjang. Menyahut segelas air di atas nakas dan meneguknya hingga tandas. Matanya menoleh ke arah jam dinding dan terkejut saat menyad
Empat hari kemudian, mereka resmi pindah ke rumah Alfan. Lelaki itu hanya meminta anak dan istrinya membawa pakaian dan surat-surat penting lainnya.Nena juga ikut serta bersama mereka. Sebab, Ayesha sudah menganggap wanita itu seperti saudarinya.Setelah hampir dua jam merapikan kamar, Ayesha memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Pindahan memang membutuhkan tenaga ekstra.Alfan yang baru masuk kamar bertanya, “Sudah selesai?”“Belum. Ruang ganti masih berantakan, aku lelah sekali.”Ayesha memang tidak mau dibantu asisten untuk merapikan kamar dan ruang ganti. Ia ingin merapikannya sendiri agar tahu di mana letak ia menyimpan barang-barangnya.Alfan berjalan ke ruang ganti dan melihatnya. Memang masih sangat berantakan, beberapa koper masih teronggok dengan isi yang sudah carut marut.“Istirahat saja. Masih ada waktu besok lagi, jangan memaksakan diri.”Ayesha mengangguk. “Aku tahu. Kamar Arzen sudah selesai?”“Sudah. Nena sedang merapikannya.”Beberapa hari yang lalu Alfan sudah ke
Seminggu telah berlalu dengan cepat. Hari ini menjadi perpisahan antara Ayesha dan kedua orang tuanya.Mereka mengantar keduanya sampai di bandara. Bahkan Arzen turut libur sekolah karena ingin mengantarkan oma dan grandpa kesayangannya.Isak tangis Ayesha sudah terdengar sejak mereka dalam perjalanan. Kini, semakin keras suara tangis itu saat kedua orang tuanya semakin tak terlihat lagi dalam pandangan.Alfan merengkuh tubuh sang istri dan mencoba menenangkannya. Setelah keadaannya berangsur tenang mereka meninggalkan bandara.“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Alfan.“Langsung pulang saja,” balas Ayesha pelan, tak bersemangat.“Zen?” Menatap sang putra melalui kaca mobil. Remaja itu juga tampak tak bersemangat.“Ya, Dad.” Tatapannya kembali mengarah ke luar.Setelah sampai di rumah. Ibu dan anak itu mengurung diri di kamar sampai melewatkan makan malam.Alfan yang ada di meja makan sendirian menjadi tidak tenang. Ia meminta Nena menyiapkan makanan untuk dibawa ke kamar anak da
Masuk ke kamar sepasang suami istri itu kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda. Kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Mencapai nirwana tertinggi di iringi deru napas yang memburu.Dingin di luar sana sama sekali tak mendinginkan keduanya. Justru semakin memanas, bagaikan kobaran api yang baru saja disiram bensin.Membara.Peluh menetes, menjadi saksi betapa bersemangatnya mereka. Kerinduan, kasih sayang, gairah, semuanya melebur menjadi satu.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya, Ayesha bahkan sampai tak bisa bernapas dengan lega karena terus-menerus dihabisi oleh sang suami.“Sudah, Mas. Aku lelah,” ucap Ayesha dengan suara lemah.Umur yang hampir menyentuh kepala empat sama sekali tak membuat Alfan melunak sedikit pun.Ingatan tentang saat pertama kali lelaki itu menjamah dirinya terlintas. Betapa buas dan sama sekali tak menahan diri.“Tahan sebentar lagi, Sayang,” bisik Alfan, mengecup lembut pelipis sang istri.Suara erangan panjang menjadi penutup kegiatan malam it