Pada akhirnya setelah melihat bagaimana dua keluarganya berbahagia atas pernikahan mereka, Bulan urung mengatakan yang sebenarnya kepada orang tuanya.
“Berikan kesempatan pada pernikahan ini, Bulan. Kita pasti bisa menjalaninya.”
“Bagaimana dengan istrimu?” tanya Bulan.
“Aku yang akan mengatakan semuanya. Ini semua salahku,” jawabnya.
“Jika istrimu berarti untukmu, lalu apa artinya aku di antara kalian, Mas?” Suara Bulan kembali terdengar.
“Aku masih belajar menerima semua ini, Bulan.”
Pada akhirnya Bulan meminta waktu dan kesempatan untuk memikirkan ucapan Alfan, walaupun ia tidak yakin bahwa semuanya akan berjalan dengan baik. Karena ia tahu bahwa sejatinya tidak ada wanita yang mau jika suaminya dibagi dengan wanita lain, termasuk dirinya. Walaupun hubungannya dengan Alfan belum menumbuhkan debaran dan getaran di hati, sejujurnya Bulan hanya menginginkan pernikahan sekali selama hidupnya.
“Tolong, jangan katakan apapun pada keluarga kita.”
Bulan mengangguk menyanggupi permintaan Alfan.
“Di depan semua orang, kamu adalah satu-satunya istriku.”
“Tapi pada kenyataannya, akulah istri keduamu.”
Bulan tersenyum miris.
“Sekali lagi, maafkan aku, Bulan. Akulah yang paling bersalah di sini,” sahut Alfan.
“Kamu memang bersalah.”
Alfan mengangguk.
“Kamu jahat, Mas.”
Alfan kembali mengangguk membenarkan ucapan Bulan.
Tangis Bulan kembali pecah. Kenapa kehidupan rumit ini harus menyapa dirinya? Apa kesalahannya hingga ia harus berada di titik ini.
“Maaf.” Hanya itulah yang mampu diucapkan Alfan atas rasa bersalahnya.
Ini benar-benar seperti mimpi buruk untuknya.
Ketika keinginan dan harapan tak sesuai dengan kenyataan, Bulan memilih berserah diri kepada sang pemberi kehidupan. Memohon dan berharap bahwa semua ujian yang datang padanya segera menemukan jalan terbaik.
“Ya Allah, jika memang takdirku harus seperti ini. Hamba mohon kuatkan diri ini dan besarkan hati hamba untuk menerima segala sesuatu yang sudah terjadi.”
“Amin.”
Bulan terisak pelan ketika ia baru saja menyelesaikan sholat di sepertiga malam.
Manusia hanya bisa berencana, tapi kuasa Tuhan tetaplah yang utama. Dan di atas sajadah ini Bulan memohon ampun atas segala dosa-dosanya dan memohon yang terbaik untuk hidupnya.
Jika memang ini takdir yang telah digariskan untuknya. Semoga ia sabar dan tegar dalam menjalaninya. Satu kata sederhana yang sulit untuk dilakukan.
Sudah tiga hari tiga malam Bulan dan Alfan menginap di hotel. Sudah dua malam pula Bulan meminta petunjuk pada sang pemberi kehidupan. Hingga pada akhirnya ia memilih bertahan menjadi istri seorang Alfan Fatih Herlambang.
Istri yang sah secara hukum dan agama. Wanita pertama dan satu-satunya yang diketahui adalah istri dari Alfan Fatih Herlambang. Namun pada kenyataannya, ia kembali harus tertampar akan statusnya bahwa ia hanyalah yang kedua.
Siap ataupun tidak. Ia harus berbagi suami dengan wanita yang diketahui bernama Zahra.
“Terima kasih, Bulan.” Alfan menatapnya dengan ketulusan.
Bulan mengangguk.
“Pulang sekarang?” tanya Alfan.
“Mampir ke rumah dulu. Aku mau ngambil barang-barang keperluanku.”
Alfan mengangguk.
“Kamu tidak ingin mampir ke suatu tempat?” tanya Alfan membuka obrolan.
Bulan menggeleng. “Tidak, terima kasih,” ucapnya.
Alfan menyeret satu koper berukuran sedang yang berisi pakaiannya dan Bulan selama menginap di hotel. Setelah cek out, mobil yang dikendarai Alfan melaju membela padatnya kota Jakarta yang tidak pernah tidur. Apalagi ketika siang hari seperti ini, kemacetan menjadi hal yang biasa terjadi.
Mobil yang dikendarai Alfan sudah masuk ke dalam halaman rumah yang sangat luas bergaya eropa dengan pilar-pilar besar sebagai ciri khasnya.
Rumah milik keluarga Latief ini memang berbeda dari yang lain karena dibangun ulang oleh pemiliknya. Juga menjadi salah satu rumah yang sangat luas dan besar dengan halaman yang luas karena menggabungkan empat kavling untuk mendapatkan rumah impian.
Rumah yang indah dan mewah dengan mobil berbagai merk berjajar rapi di garasi.
Bulan turun diikuti Alfan. Mereka berdua langsung masuk dan disambut dengan asisten rumah tangga yang sedang membersihkan pajangan dinding di ruang tamu.
“Non Bulan sudah kembali,” sapa wanita paruh baya itu sambil melempar senyum tipis.
Bulan mengangguk dan balas tersenyum.
“Selamat datang, Den Alfan.”
“Terima kasih, Bi.”
“Non Bulan dan Den Alfan mau makan siang? Bibi siapkan ya,” tawarnya kepada sepasang pengantin baru tersebut.
Alfan mengangguk. “Terima kasih, Bi.”
“Sama-sama, Den Alfan.”
Tidak perlu ditanya kemana kedua orang tua Bulan. Sudah pasti mereka sedang bekerja dan akan pulang larut malam untuk tidur dan kembali di pagi hari.
Entah apa yang kedua orang tuanya cari hingga lupa waktu bahkan terkadang sampai lupa pada anak sendiri hanya untuk mengejar materi yang bahkan lebih dari cukup mereka miliki.
“Boleh aku jalan-jalan di sekitar sini?” tanya Alfan membuyarkan lamunan wanita cantik itu.
Bulan mengangguk.
“Mau menemani?” tanya Alfan.
Banyak hal yang ingin Alfan ketahui tentang Bulan, tapi entah mengapa ia tak bisa memulainya.
Bulan menggeleng. “Aku harus membereskan keperluanku, Mas.”
“Ya sudah.”
Bulan menuju kamarnya untuk mengambil keperluannya sedangkan Alfan berkeliling rumah.
Alfan dan Bulan duduk di meja makan menyantap makanan yang telah disediakan.
Sesekali Alfan menoleh ke arah istrinya yang makan dengan sangat pelan dan penuh kehati-hatian.
“Kenapa melihatku?” tanya Bulan membuat Alfan tersedak karena merasa ketahuan.
Uhuk! Uhuk!
“Hati-hati, Mas.” Bulan menyodorkan segelas air ke arah suaminya.
“Terima kasih, Bulan.”
Hingga pada sore harinya, Alfan menemui Bulan yang saat itu sedang duduk di samping kolam renang. Wajah wanita itu terlihat seperti kehilangan banyak semangat. Ada raut kesedihan dan luka yang tersorot dari manik matanya.
“Bulan,” panggilnya membuat wanita itu menoleh.
“Ya,” sahutnya dengan pelan. “Jika butuh sesuatu kamu bisa memintanya pada bibi.”
Alfan tertawa. “Aku ingin melihat senyum di wajahmu. Siapa yang bisa membantuku melakukannya?” Terdengar manis tapi sayang mulut itu juga yang telah tertutup rapat menutupi kedustaan.
“Mencoba merayuku?” tanya Bulan dengan datar. “Sayangnya aku bukan wanita yang mudah melupakan,” sambungnya dengan wajah menunduk memandangi pantulan dirinya di permukaan air.
“Aku hanya sedang berusaha mengakrabkan diri. Kita harus saling mengenal,” ucap Alfan.
“Maybe not now. Kita masih sama-sama membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, Mas.” Bulan menghembuskan napas pelan diiringi desahan lirih dari bibirnya.
Hening untuk beberapa saat sampai Bulan memilih mengakhiri kegiatannya. Ia menoleh menatap Alfan sekilas sebelum meninggalkan kolam dengan tatapan mata Alfan yang masih mengikutinya.
“Aku bersalah. Bagaimana aku bisa menebus semuanya?” lirihnya sambil tertunduk.
To Be Continue ….
Bulan dan Alfan turun dari lantai dua. Mereka akan langsung pergi ke rumah pribadi milik Alfan. Kedua orang tuanya sudah menunggu di ruang tamu. Beberapa koper besar sudah dimasukkan ke dalam mobil lebih dulu. Bulan memeluk Mami Tari dan Papi Jacob secara bergantian. “Jaga dirimu baik-baik, Nak.” Mami Tari mengelus rambut panjangnya. “Mami juga. Jaga kesehatan dan berhentilah bekerja terus menerus.” “Iya,” jawab Mami Tari dengan senyum yang dipaksakan. “Aku akan sangat merindukan kalian.” Bulan berbicara dengan mata yang berkaca-kaca. Papi Jacob memeluk Alfan. “Titip putriku, Nak. Cintai dan sayangi dia seperti kami mencintainya.” Tapi kalian lebih mencintai pekerjaan dibandingkan aku anak kalian, batin Bulan. “Baik. Saya akan berusaha membahagiakan Bulan.
Bandung. Mobil yang dikendarai Alfan akhirnya sampai di sebuah rumah sakit swasta yang lumayan besar dan terkenal. Dengan sedikit tergesa, Alfan berlari menuju ke ruangan ibu mertuanya. Sedari tadi Zahra, sang istri terus saja menghubunginya. Panik, cemas dan takut adalah perasaan yang juga dirasakan Alfan. Ibu mertuanya sangat baik terhadapnya, bahkan ia sudah menganggapnya seperti ibu kandung sendiri. Oleh sebab itu bahkan Alfan rela menerima perjodohan dengan Bulan sebab alasan yang egois. Langkah kaki Alfan membuat seseorang yang ada di depan ruangan tersebut menoleh. Wajahnya sembab dengan bekas air mata yang masih basah di pipi. Wanita bertubuh mungil dengan hijab berwarna biru itu berlari dan memeluknya. Menumpahkan isak tangis di dalam pelukannya. “Aku takut, Mas.” “Ibu akan baik-baik saja, Ra
Setelah panggilan terputus Bulan melempar asal ponselnya ke atas ranjang. Tangannya menyahut kertas gambar yang tadi dipakai untuk menuangkan ide menggambarnya kemudian meremasnya dengan pelan dan melemparnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Mampukah aku bertahan sementara hatiku saja terasa sesak seperti ini? Tuhan, kenapa takdir yang kau berikan harus serumit ini? Astaghfirullah,” gumam Bulan seraya menekan dadanya dengan pelan. Bulan memilih masuk ke kamar mandi dan berwudhu, lebih baik ia menyerahkan semuanya kepada sang pemberi kehidupan. Percuma saja mengeluh dan meratapi nasib, sekuat apa pun kita melawan takdir, jika Tuhan sudah menuliskan skenarionya, maka manusia hanya mampu menjalaninya. Setelah selesai melakukan salat, masih terlihat jelas jejak air mata di kedua pipinya yang masih basah. Perlahan Bulan menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya berharap semuanya akan
Hari-hari dilewati oleh Bulan dan Alfan dengan tempat dan waktu yang berbeda juga situasi yang hampir delapan puluh persen berbeda. Jika Alfan sibuk dengan keluarga kecilnya, maka Bulan tengah menikmati liburannya walaupun seorang diri. Bulan pasrah dan menjalani apa yang memang harus dijalani hingga Tuhan berkata berhenti. Ia telah memasrahkan semuanya kepada sang pemberi kehidupan. Sosok Bulan masih menjadi wanita masa kini dengan penampilan yang sangat fashionable. Namun begitu ia tak pernah lupa menjalankan kewajiban sholat lima waktu disela kesibukannya selama ini. Keluarga Latief adalah mualaf, mereka berpindah agama sekitar sepuluh tahun yang lalu. Tidak memakai hijab bukan berarti mereka lupa menjalankan kewajiban. Jangan melihat seseorang hanya dari luarnya saja, karena dalamnya hati seseorang kita tak pernah tahu. Bulan menerima perjodohan dengan A
Alfan sudah sampai di Jakarta lebih dulu. Hanya memerlukan waktu sekitar dua setengah jam untuk sampai di Jakarta. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata mengingat ini malam minggu, ia tak ingin terjebak kemacetan di jalan. Matanya melirik ke arah jam di pergelangan tangan, ia memilih langsung menjemput Bulan karena ia yakin bahwa istrinya telah tiba. Perbedaan waktu Jakarta-Bali hanya satu jam. Seharusnya sekitar pukul lima atau setengah enam, Bulan sudah tiba. Alfan menunggu di pintu kedatangan. Sudah hampir dua puluh menit ia menunggu namun tak kelihatan kehadiran Bulan. Ia mengeluarkan ponsel berniat menghubungi istrinya ketika tepukan di bahu membuatnya terkejut. Segera saja ia menoleh dan melihat seorang wanita dengan jumpsuit panjang dengan rambut yang acak-acakan berdiri di hadapannya. Wajahnya tertutup masker hingga tak terlalu jelas terlihat.
Pagi itu Bulan sudah mandi dan bersiap turun ke lantai dua dengan membawa beberapa paper bag yang berisi oleh-oleh dari Bali. Dibantu oleh bibi asisten rumah tangga, Bulan membawa semua barang-barang itu ke ruang keluarga untuk dibagikan ke semua orang. “Bulan, kenapa repot-repot bawain mama oleh-oleh banyak begini.” Mama Silvi berkomentar saat ia masuk ke dalam ruang keluarga. “Tidak repot, Ma. Mumpung sekalian di Bali. Kapan-kapan belum tentu ada waktu buat liburan lagi,” jawab Bulan diiringi tawa ringan. Ia mulai bisa menyesuaikan diri dengan keluarga Alfan dengan berbicara santai. Mama Silvi ikut tertawa. Semua pekerja yang bekerja di rumah mendapatkan jatah semuanya tanpa terkecuali. Setelah keadaan hening, Mama Silvi menggenggam tangan Bulan dan menatapnya dengan intens penuh ketegasan. “Ada apa, Ma?”
Bulan turun ke meja makan lebih dulu setelah menyiapkan pakaian suaminya. Sejak semalam mereka tak banyak bicara seperti biasanya. Tak lama Alfan turun ke meja makan dengan pakaian rapi. Mereka berdua sudah kembali memulai aktivitas kembali seperti biasanya. Alfan sudah harus kembali bekerja di perusahaan papanya dan ia harus kembali mengurus butik yang sudah hampir dua minggu ini ditinggalkan. Setelah lelaki itu duduk, Bulan dengan penuh perhatian melayani suaminya. Walaupun bukan cinta setidaknya ia memberikan rasa hormatnya pada suaminya. “Apa yang kamu lakukan semalam, Bulan?” tanya Alfan membuat tangan Bulan menggantung di udara. “Apa maksudnya?” jawab Bulan yang belum paham inti dari ucapan suaminya. “Zahra,” sahutnya dengan pelan. Bulan meletakkan kembali tangannya kemudian menatap suaminya dengan datar. Kini ia paham apa maksud
Hari berganti, minggu berlalu, bulan berganti dan waktu terus berputar mengikuti bumi yang juga terus berputar. Semuanya mengalami perubahan namun tidak dengan hubungan antara Alfan dan Bulan. Hubungan sepasang suami-istri itu masih panas seperti saat terakhir kali mereka bertengkar. Sikap Bulan yang cuek membuat hubungan mereka terasa semakin dingin karena tidak ada komunikasi yang baik di antara keduanya. Bulan dan Alfan sama-sama memiliki sikap yang tak mudah dibelokkan sehingga keduanya sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Alfan sudah mencoba bicara dengan Bulan namun selalu berujung dengan perdebatan. Alfan yang seharusnya hanya meminta maaf pada Bulan ternyata mengungkit sesuatu hal lain yang selalu membuat emosinya naik. Begitulah keduanya. Mereka tinggal bersama bahkan berbagi kamar yang sama namun bagaikan orang asing yang tidak saling mengenal. Asisten rumah tang
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende
Keesokan paginya berita tentang kejadian semalam membuat namanya dan nama butiknya terseret dalam berita surat kabar.Saat membacanya Ayesha masih bisa bernapas lega karena apa yang terjadi padanya tidak sampai terekspos keluar. Bukan karena tidak ingin nama baiknya hancur, kini ia kembali menyandang nama Herlambang yang membuatnya harus menjaga nama baik suaminya juga.Alfan mengusap bahunya lembut dan mengatakan kalimat yang menenangkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mom, kudengar semalam mommy keluar. Ke mana?” tanya Arzen duduk di meja makan.Remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ada polisi yang menghampiri ke rumah mereka. Karena kebiasaan Arzen memang setelah masuk kamar, ia jarang keluar jika tidak perlu sesuatu.“Ya, mommy ada urusan.”“Are you okay, Mom?”“Sure, Son.” Melemparkan senyum tipis yang tulus.“Kamu tidak perlu cemas. Berita itu tidak akan keluar,” bisik Alfan pelan.“Aku ha
Hi, boleh absen dong yang masih setia baca cerita ini? Komen di setiap bab agar aku tahu bahwa kalian masih ada di sini. Makasih.♡♡♡“Maaf, Nyonya. Di bawah ada polisi yang ingin bertemu Anda.”Polisi, batinnya bertanya-tanya.“Ya, bilang saja suruh tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu,” kata Ayesha segera masuk kamar dan mengganti pakaian.Saat ia turun ke ruang tamu, benar ada dua polisi yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Nyonya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu Anda. Kami dari Polresta Denpasar mendapat surat perintah penggeledahan butik Anda untuk melengkapi bukti bahwa saudari Clara Adelin terlibat dalam kasus peredaran dan penjualan narkoba jenis sabu.”Deg!Jantung Ayesha berdebar dengan sangat keras. Ia terkejut sekaligus syok dengan apa yang baru saja didengar.“Maaf, Pak polisi. Izinkan saya bertanya lebih dulu.”Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pe
Sebelum berangkat ia telah menghubungi suaminya dan meminta alamat kantor yang sampai saat ini belum diketahui.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, diiringi suara musik dari penyanyi favoritnya.Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan HM Group. Ayesha segera memarkirkan mobilnya di basement dan menuju resepsionis.“Ruangan Tuan Alfan Fatih Herlambang di mana, ya?” tanya Ayesha sopan.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu dengan ramah.“Apa seorang istri perlu membuat janji untuk bertemu suaminya?” Ayesha tersenyum, tetapi kata-katanya menegaskan bahwa ia adalah istrinya.“Ah, maaf. Anda Nyonya Ayesha.” Wanita itu menunduk dan meminta maaf berkali-kali.“Mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya kemudian mengarahkannya menuju lift khusus.Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai yang dituju. Lantai sepuluh, gedung teratas
Langit gelap telah berganti terang. Matahari mulai tampak malu-malu menunjukkan sinarnya.Cuaca yang masih terasa dingin membuat dua sosok lelaki di ruangan yang berbeda kembali menggulung dirinya di dalam selimut tebal yang menghangatkan.Setelah urusan dapur usai, Ayesha bergegas naik ke lantai dua dan membangunkan sang anak. Beberapa kali remaja itu menggeliat dan bergumam, tetapi tak juga membuka mata.Ayesha yang kesal langsung menarik selimutnya dengan kasar dan membuka tirai. Membiarkan cahaya pagi menembus jendela dan mengusik si pemilik kamar.“Zen! Bangun! Mommy akan menyirammu dengan air jika kamu tidak segera bangun,” ancam Ayesha dengan suara rendah.“Oh, Mommy!” keluhnya dengan suara serak. Manik cokelat itu akhirnya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya sebelum akhirnya terbuka.“Sudah. Aku bangun,” lanjutnya, ia masih duduk di tepi ranjang. Menyahut segelas air di atas nakas dan meneguknya hingga tandas. Matanya menoleh ke arah jam dinding dan terkejut saat menyad
Empat hari kemudian, mereka resmi pindah ke rumah Alfan. Lelaki itu hanya meminta anak dan istrinya membawa pakaian dan surat-surat penting lainnya.Nena juga ikut serta bersama mereka. Sebab, Ayesha sudah menganggap wanita itu seperti saudarinya.Setelah hampir dua jam merapikan kamar, Ayesha memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Pindahan memang membutuhkan tenaga ekstra.Alfan yang baru masuk kamar bertanya, “Sudah selesai?”“Belum. Ruang ganti masih berantakan, aku lelah sekali.”Ayesha memang tidak mau dibantu asisten untuk merapikan kamar dan ruang ganti. Ia ingin merapikannya sendiri agar tahu di mana letak ia menyimpan barang-barangnya.Alfan berjalan ke ruang ganti dan melihatnya. Memang masih sangat berantakan, beberapa koper masih teronggok dengan isi yang sudah carut marut.“Istirahat saja. Masih ada waktu besok lagi, jangan memaksakan diri.”Ayesha mengangguk. “Aku tahu. Kamar Arzen sudah selesai?”“Sudah. Nena sedang merapikannya.”Beberapa hari yang lalu Alfan sudah ke
Seminggu telah berlalu dengan cepat. Hari ini menjadi perpisahan antara Ayesha dan kedua orang tuanya.Mereka mengantar keduanya sampai di bandara. Bahkan Arzen turut libur sekolah karena ingin mengantarkan oma dan grandpa kesayangannya.Isak tangis Ayesha sudah terdengar sejak mereka dalam perjalanan. Kini, semakin keras suara tangis itu saat kedua orang tuanya semakin tak terlihat lagi dalam pandangan.Alfan merengkuh tubuh sang istri dan mencoba menenangkannya. Setelah keadaannya berangsur tenang mereka meninggalkan bandara.“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Alfan.“Langsung pulang saja,” balas Ayesha pelan, tak bersemangat.“Zen?” Menatap sang putra melalui kaca mobil. Remaja itu juga tampak tak bersemangat.“Ya, Dad.” Tatapannya kembali mengarah ke luar.Setelah sampai di rumah. Ibu dan anak itu mengurung diri di kamar sampai melewatkan makan malam.Alfan yang ada di meja makan sendirian menjadi tidak tenang. Ia meminta Nena menyiapkan makanan untuk dibawa ke kamar anak da
Masuk ke kamar sepasang suami istri itu kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda. Kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Mencapai nirwana tertinggi di iringi deru napas yang memburu.Dingin di luar sana sama sekali tak mendinginkan keduanya. Justru semakin memanas, bagaikan kobaran api yang baru saja disiram bensin.Membara.Peluh menetes, menjadi saksi betapa bersemangatnya mereka. Kerinduan, kasih sayang, gairah, semuanya melebur menjadi satu.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya, Ayesha bahkan sampai tak bisa bernapas dengan lega karena terus-menerus dihabisi oleh sang suami.“Sudah, Mas. Aku lelah,” ucap Ayesha dengan suara lemah.Umur yang hampir menyentuh kepala empat sama sekali tak membuat Alfan melunak sedikit pun.Ingatan tentang saat pertama kali lelaki itu menjamah dirinya terlintas. Betapa buas dan sama sekali tak menahan diri.“Tahan sebentar lagi, Sayang,” bisik Alfan, mengecup lembut pelipis sang istri.Suara erangan panjang menjadi penutup kegiatan malam it